Petir di Hari Petang

2136 Kata
    “Arimbi.”     Aku menoleh, kulihat Mas Bram sudah berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang dapur dengan taman belakang, tempat aku berada sekarang. Dia sudah mandi. Mengenakan polo shirt biru dongker dengan celana jeans regular fit warna senada. Segarnya aroma sabun, guar dari tubuhnya, tercium olehku yang berdiri kurang lebih tiga meter darinya.     “Ya, Mas?”     “Bisa kita bicara?” tanyanya serius dengan mimik wajah yang juga serius.     “Ya,” jawabku, sembari menganggukkan kepala. “Di sini?”     Mas Bram diam sejenak, lalu menoleh ke arah sepasang kursi taman yang berada di sebelah kolam taman. Namun kemudian, dia menggeleng lemah, seolah gelengan itu ditujukannya pada dirinya sendiri.     “Em, di ruang tengah saja. Kutunggu di sana.”     Setelah mengatakannya, Mas Bram berbalik badan, berjalan masuk ke dalam rumah. Buru-buru, kusimpan kembali botol penyemprot anggrek ke dalam lemari kabinet kecil yang terpasang di dinding, tak jauh dari tempatku berdiri. Sebenarnya, belum selesai kesibukanku mengurus anggrek-anggrek koleksiku itu. Hari ini jadwalnya menyemprotkan pupuk. Akan tetapi, karena Mas Bram butuh untuk bicara, maka kesenangan itu harus dihentikan terlebih dahulu. Toh, aku masih bisa melanjutkannya nanti, setelah selesai bicara dengan Mas Bram. Atau, kalaupun sudah kemalaman, bisa kuteruskan besok pagi.     Ada apa, Mas Bram meminta untuk bicara? Sepertinya ada yang penting? Meski tak pernah bisa santai bila bicara denganku, tetapi, tak biasanya dia meminta secara formal terlebih dahulu seperti itu. Biasanya, kalau mau bicara, ya bicara saja. Lalu, mengapa kali ini berbeda?      Semakin memikirkannya, dadaku kian berdebar-debar. Setelah mencuci tangan di wastafel dan mengeringkannya dengan kain handuk kecil yang tergantung di sampingnya, aku segera masuk ke dalam rumah, menyusul Mas Bram ke ruang tengah. Sepanjang jalan menuju ke ruang itu, tak henti-hentinya kupanjatkan doa. Semoga apa yang hendak dibicarakan oleh suamiku tersebut bukanlah sesuatu yang akan berakhir dengan pertengkaran di antara kami berdua.     “Duduklah, Imbi!” pinta Mas Bram, saat laki-laki itu menyadari kehadiranku dan menoleh. Aku mengangguk kecil dan menurut. Mengambil duduk di depannya. Lebih tepatnya, di tempat yang sama yang kududuki petang itu, saat dia menyampaikan keinginannya.     Hening. Kami saling berpandangan. Mas Bram mengatupkan bibirnya, rapat. Tak ada tanda-tanda, bahwa dia akan segera membuka mulut dan mulai berbicara. Ada apa? Aku kian bertanya-tanya. Sebagai istri yang telah menemaninya selama lima tahun lebih sedikit, aku sudah hafal dengan kebiasaannya. Gestur tubuhnya yang seperti itu, menunjukkan bahwa dia sedang fokus, memikirkan sesuatu yang serius.       “A … ada apa, Mas?” tanyaku, memulai percakapan. “Tampaknya, ada hal yang penting dan serius?”     Mas Bram tak langsung menjawab. Dia tetap geming, seolah tak mendengar suaraku. Tampaknya, dia benar-benar sedang berpikir keras.     “Ehem, Imbi …” panggilnya kemudian, setelah berdehem terlebih dahulu.     “I … iya, Mas?”     “Besok, aku akan mengajak Kartika kemari.”     Sontak, suara petir terdengar menggelegar dalam pendengaranku, menyambar-nyambar, memekakkan telinga. Sehingga, aku tak bisa mendengar suara apa-apa lagi setelahnya, kecuali kata-kata yang diucapkan oleh Mas Bram sesaat lalu itu. ‘Besok, aku akan mengajak Kartika kemari’. Hanya itu, berulang-ulang, mengiang-ngiang.     “Imbi? Apa kau mendengarnya? Arimbi?”     “E … e … i … iya, Mas,” sahutku, terbata.     “Apa kau mendengarku tadi?” tanya Mas Bram lagi, masih dengan tatapan lurus tepat ke wajahku.     “Me … mendengar? A … apa?”     “Besok, aku akan membawa Kartika kemari,” ulangnya dengan volum dan intonasi yang tak berubah. Sama seperti tadi.     “Ooh …,” gumamku, seraya menundukkan pandangan.     “Hanya, oh?”     “I … iya. Ti … tidak apa-apa, Mas Bram mengajaknya kemari,” kataku kemudian, sedikit gugup, sebab perasaan yang kacau-balau.     “Kurasa, kalian perlu berkenalan dulu. Sebab, nantinya dia juga akan menjadi istriku, sama sepertimu.”     Aku tercekat. Susah payah, kutelan ludah. Alangkah mengerikannya kata-kata Mas Bram itu. Sebab, setelah mendengarnya, bukan hanya telingaku yang seakan pekak, tersambar petir di petang hari ini. Namun, serasa ada puluhan, oh bukan puluhan, tetapi ratusan jarum, ditembakkan ke dadaku. Rasanya jangan ditanya, ngiluuu sekali.     “Kuharap, kau bisa bersikap baik padanya besok,” kata Mas Bram, penuh pengharapan. “Jangan emosional!” pesannya.     Aku tak menyahut. Bukan hanya karena tenggorokan yang tiba-tiba tercekat dikarenakan mendengar rencananya untuk esok hari. Akan tetapi, juga karena langsung sibuk dengan hatiku yang sedikit meronta. Aku berusaha menenangkan dan juga membujuk, agar sepotong hati milikku itu tidak melemah, apalagi menjadi hancur berkeping-keping.       “Arimbi, kau dengar, kan?” tanya Mas Bram lagi, seolah khawatir aku tak mengindahkan permintaannya itu.     “I … iya,” jawabku singkat, disertai anggukan kecil kepala ini.     “Syukurlah!” Suara Mas Bram terdengar lega.     “A… a… adakah hal lain ya… yang harus ku… kulakukan besok?” Terbata, aku balik bertanya.     Mas Bram tak langsung menjawab. Dengan tatapan yang masih tertuju padaku, dia bergerak mundur, menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Setelah itu, dia baru membuka mulutnya.     “Apakah kau ingin melakukan sesuatu, besok?” Mas Bram memicingkan mata, seolah mencurigai sesuatu.     “Eh, tidak, tidak begitu! Maksudku bukan begitu!” sergahku cepat-cepat, agar suamiku itu tidak salah paham.     “Lalu, apa maksudmu?”     “Apakah Mas ingin, besok aku memasak atau membuatkan sesuatu yang khusus untuk … nya?”     “Ooo … itu? Kalau soal itu, terserah kau saja. Pastinya kau sudah tahu, bagaimana adabnya menjamu tamu. Dan kurasa, kau pun tak akan rela  terlihat buruk di matanya.”     “Uhuk … uhuk ….”     Karena terhenyak, aku sampai tersedak ludah hingga terbatuk.       “Kau tidak apa-apa, Imbi?” tanya Mas Bram kemudian.     Aku yang masih juga terbatuk, hanya menggeleng.     “Lalu, kenapa tiba-tiba batuk?” tanyanya, lagi. Karena belum bisa berkata-kata karena batuk yang belum benar-benar berhenti, aku hanya menggeleng sambil memegangi d**a.     Mas Bram bangkit dari duduknya untuk pergi ke belakang. Tak lama kemudian, dia kembali dengan segelas air putih di tangan.     “Ini,” ucapnya, seraya mengangsurkan segelas air yang dibawanya itu kepadaku.     Aku tertegun dan tak langsung menerimanya. Sungguh di luar kebiasaan, apa yang dilakukannya itu.     “Minumlah!” kata Mas Bram lagi, bernada perintah. Aku menurut, menerima gelas itu dan langsung meminum isinya.     “Aku tahu, ini pasti berat bagimu.” Mas Bram kembali berkata, setelah batukku mulai reda. “Tetapi, kau harus siap menerimanya!”     Kugenggam kian erat, gelas di tangan yang isinya lebih dari separuh itu. Sekali lagi, petir menyambar pendengaran. Aku harus siap menerimanya? Ah ….                                                                                 ****       Aku mengubah posisi tubuhku, menjadi miring ke kiri, membelakangi Mas Bram. Pandanganku jatuh kepada jam beker yang berdiri mematung di atas nakas. Jarumnya menunjukkan pukul satu lebih seperempat.     Sudah pagi! Namun sedari awal naik ke tempat tidur, mataku belum terpejam barang sekejap pun. Sementara Mas Bram, tampaknya dia baik-baik saja. Tidak gelisah ataupun merasa tegang seperti yang kurasakan. Buktinya, dia langsung bisa tidur. Dengkuran halusnya sudah langsung kudengar, tak lama setelah dia naik ke pembaringan. Menandakan, bahwa tidurnya begitu pulas, seperti bayi.     Apa yang akan terjadi besok? Apakah semuanya akan baik-baik saja? Tidakkah akan berakhir dengan keributan seperti yang terjadi pada Bu Hanin? Sekonyong-konyong, kisah tentang kedatangan janda yang menjadi kekasih Pak Herlambang tayang kembali di dalam benak. Suara Bu Hanin saat menuturkannya terngiang lagi, runut, tak terlewatkan barang satu kata pun.     Atau, apakah kejadiannya akan lebih mengerikan dari cerita Bu Hanin? Seperti yang ada dalam mimpiku sendiri, misalnya? Ah! Kutarik selimutku ke atas, hingga menutup sampai kepala. Gelap memang, namun kuharap bisa menghentikan reka ulang adegan yang ada dalam mimpi di siang bolong  itu.                                                                              ****       Suara air dari keran yang dinyalakan terdengar sayup-sayup. Perlahan, mataku terbuka. Refleks, kulihat ke samping, Mas Bram sudah tidak ada. Bahkan selimutnya sudah terlipat rapi. Suara nyala air dari arah kamar mandi, cukup menjelaskan, di mana keberadaan suamiku itu.     Kutoleh ke arah nakas di samping kiri. Jam beker menunjukkan pukul setengah enam. Oh My God! Aku kesiangan. Padahal, banyak yang harus kulakukan pagi ini. Serta-merta, aku bangkit duduk. Saat hendak turun dari tempat tidur, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Mas Bram keluar dari dalamnya dengan bertelanjang d**a. Selembar handuk menutupi bagian bawah tubuhnya hingga lutut.     “Kenapa tak membangunkanku?” tanyaku padanya. Mas Bram hanya melihat sekilas padaku, kemudian langsung menuju ke depan lemari, memilih pakaian.     “Kau tak biasa bangun siang. Kalau tiba-tiba di jam bangun tidur masih mendengkur, itu artinya, tidurmu masih belum cukup. Kemungkinannya hanya dua. Pertama, semalam kau tak langsung bisa tidur cepat. Bisa jadi, karena ada hal yang menggelisahkan dan mengganggu pikiranmu. Kedua, mungkin juga kau berangkat tidur dengan perut lapar. Sehingga kau sibuk dengan rasa perut yang melilit-lilit. Jadi, kubiarkan saja kau tidur dulu.”     Aku menghela napas berat.  Lihatlah, meski tak menyaksikan sendiri, bagaimana gelisahnya aku semalaman, suamiku itu bisa mereka-reka apa yang terjadi. Secermat itu memang dia.     “Tetapi, kan …  ada yang harus kukerjakan pagi ini sebelum …”     Kata-kataku tak berlanjut. Mas Bram menoleh ke arahku,  Buru-buru aku membuang pandangan.     “Ya, sudah, kalau memang akan sibuk, lekaslah bangun!”     “Memangnya, jam berapa dia akan datang?” tanyaku, sedikit bersungut-sungut.     “Aku akan menjemputnya jam sepuluh nanti. Sebab, ada yang harus diselesaikannya dulu pagi ini, jadi tak bisa lebih pagi.”     Kulihat sekali lagi jam beker di atas nakas. Akan dijemput jam sepuluh pagi? Itu artinya, dia akan tiba di rumah ini di atas jam itu. Sebab, penjemputannya sendiri sudah pasti akan memakan waktu. Belum lagi, jika ternyata dia belum siap saat Mas Bram tiba di sana. Tabiat perempuan, kan, seperti itu. Dia membutuhkan waktu berjam-jam untuk mematut diri di depan cermin. Terlebih, yang hendak dikunjunginya adalah aku, istri calon suaminya. Calon saingannya! Tentu, dia akan berberdandan habis-habisan.     Otakku mulai melakukan perhitungan. Mengestimasi waktu yang tersisa bagiku untuk melakukan persiapan. Maka, tanpa membuang waktu lagi, segera kusibak selimut. Seperti yang dikatakan Mas Bram beberapa saat lalu, aku mesti segera bangun dan memulai semuanya.     Usai membersihkan dan merapikan rumah, aku bergegas menuju dapur. Sebelumnya memang belum ada rencana atau gambaran hendak memasak apa, terlebih untuk menyambut calon maduku itu. Akan tetapi, setelah membuka kulkas dan memeriksa bahan makanan yang masih ada di sana, sebuah ide segera bisa kutemukan. Ya, aku tahu, mesti menghidangkan apa.     Seperti apa perempuan itu? tanyaku dalam hati. Napas berat selalu kuhela, setiap kali pertanyaan tersebut terlontar. Apakah sama persis seperti perempuan yang kulihat di dalam mimpi, siang itu? Masih muda, cantik, tinggi semampai, berhidung mancung, kulit putih mulus, bibir sensual, ada tahi lalatnya di bawah bibir, memakai soft lens, dan juga …     “Auw!” pekikku tertahan. Refleks, kulepaskan pisau dapur yang tergenggam di tangan kanan. Dengan langkah lebar, aku menuju tempat pencucuian piring. Menyalakan keran air dan meletakkan jariku yang terluka di bawah guyurannya.      Pertanyaan-pertanyaan tentang Kartika, perempuan yang akan segera kulihat beberapa jam ke depan, membuatku kehilangan konsentrasi. Tak ayal, pisau dapur  yang kugunakan untuk mengiris bawang bombai itu pun turut mengiris jari kiriku. Darah segar mengucur.      Aku sedikit meringis. Sebab, rasanya memang perih sekali. Setelah kurasa cukup, segera kumatikan keran. Namun ternyata, darah masih terus merembes keluar. Cepat-cepat, kuhampiri kotak obat-obatan dan mengambil sebuah plester. Inikah yang akan kurasakan selanjut-selanjutnya? Terluka, berdarah, dan sakit? Tidak hanya pada jariku, tetapi juga pada yang lainnya, yaitu hati.     “Pertanda apa ini?” celetuk Ibu spontan. Aku yang sedang membantunya di dapur langsung mendekat. Kulihat ujung jari Ibu mengeluarkan darah.     “Ibu, berdarah? Kenapa itu?”     “Teriris pisau, Imbi.”     Cepat-cepat, aku berlari menuju ke ruang tengah, mengambil plester dari kotak obat. Segera kubalut ujung jari ibuku itu dengan plester.     “Pertanda apa ini?” gumamnya, bahkan sebelum aku selesai melekatkan plester tersebut.     “Pertanda? Pertanda apa, Bu?” tanyaku, tak mengerti.     “Nenekmu dulu bilang, jika tiba-tiba ujung jari teriris  pisau atau tertusuk jarum, itu pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi, Imbi.”     Aku tertegun, mencerna kata-kata itu. Benarkah demikian? Kemudian kulihat wajah Ibu. Perempuan berwajah teduh itu tampak cemas sekali.     “Imbi, aku berangkat sekarang.”     Aku tersentak. Suara Mas Bram. Seketika, slide yang memutar adegan masa lalu itu pun berhenti. Tak ada lagi Ibu yang tengah terluka jarinya dan juga dapur mungil rumah kami dulu. Berganti dengan ruang dapur rumah yang kutempati selama lima tahun ini bersama Mas Bram.     “Imbi, aku berangkat.”     Terdengar lagi. Aku langsung berbalik badan. Suamiku itu terlihat sudah rapi dan tampan sekali dengan outfit casualnya.     “Ja … jam berapa sekarang?” tanyaku, gugup, sembari kusembunyikan jariku yang terluka di balik tubuh.     “Jam sembilan.”     “Ooo …,” sahutku singkat.     Mas Bram tak langsung berbalik badan seperti yang selalu dilakukannya bila selesai bicara padaku. Dia masih berdiri di tempatnya, sembari menatap penuh tanya.     “Ada apa dengan jarimu, Imbi?” tanynya kemudian.     “Ee … e … ti … tidak kenapa-napa,” jawabku, berbohong. Mas Bram masih geming, sebelum kemudian berbalik badan seraya berkata, “Lain kali, berhati-hatilah! Jangan memasak sambil berpikir yang tidak-tidak!”     Aku tertegun. Kutatap kepergiannya dengan perasaan terluka. Tak lama kemudian, kurasakan panas pada bola mata ini. Lalu, sesuatu yang hangat  meleleh, menyusuri dua belah pipiku.                                                                                 ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN