Nasihat Pernikahan yang Terlupakan

2109 Kata
    Mas Bram bangkit dari tempat duduk, lalu beranjak pergi dengan membawa serta setumpuk kertas-kerta kerja yang tadi diperiksanya. Entah karena memang pekerjaannya itu sudah selesai, ataukah karena dia merasa jengah berada di dekatku. Pastinya, hatinya sedang kesal sekarang. Lihat saja tadi, bagaimana dia membentak-bentak. Padahal, apa susahnya bicara dengan baik-baik? Toh, tadi, aku hanya bertanya.     Aku tidak berusaha menahan atau menyusulnya. Sebab, tak ingin membuatnya semakin emosi. Ibuku dulu pernah berpesan, saat suami sedang marah atau kesal, berilah ruang dan waktu baginya untuk sendiri. Jangan dipaksa terus meladeni kemauan kita. Itu hanya akan membuat emosinya kian tak terkontrol. Karenanya, hanya kutatap nanar kepergian Mas Bram tanpa berkedip. Sampai akhirnya, punggung kokoh itu menghilang di balik pintu kamar.      Sepeninggal Mas Bram, suasana ruang tengah rumah kami yang cukup luas, terasa kian lengang dan hampa, melebihi kehampaan yang selama ini kurasakan. Belum pernah aku merasa sesunyi ini, padahal hari-hari yang kujalani sudah cukup sepi, tak ubahnya orang yang hidup sendiri.       “Hah …?!” pekikku tertahan. Sebab, saat kuedarkan pandangan, menyapu seluruh bagian ruangan, tiba-tiba, mataku bersirobok dengan  seseorang di dalam cermin besar yang tergantung di dinding tak jauh dari tempatku duduk.  Seseorang yang segala-galanya serupa denganku. Rasanya, sulit sekali percaya, bahwa perempuan dalam cermin itu adalah aku sendiri.     Benarkah seperti itu penampakanku kini? Seorang perempuan berusia 32 tahun yang terlihat memprihatinkan. Bukan hanya baju daster batik berbahan katun rami yang tengah dikenakannya saja yang tampak kucel karena terlalu banyak diremas sepanjang obrolan tadi, tetapi juga wajahnya. Matanya yang tidak terlalu lebar—standar orang Indonesia—terlihat merah dan bengkak. Pipi yang biasanya terlihat segar berisi pun tampak kuyu. Dengan hidung kemerahan akibat terlalu banyak menangis, wajah perempuan itu, yang juga adalah wajahku, terlihat sangat mirip dengan wajah badut. Ke manakah perginya sisa-sia daya tarik yang pernah kumiliki semasa remaja dulu, saat di mana beberapa orang teman lelakiku sempat jatuh hati dan mengejar?     Melihat pemandangan pada cermin itu, tiba-tiba aku mengasihani diri sendiri. Tanpa disuruh oleh siapa pun, mesin otak di dalam kepala berputar cepat, berusaha mengingat, kapan kali terakhir, aku merias diri dan terlihat menarik.     Sepertinya, sudah cukup lama. Beberapa minggu yang lalu. Ya, benar, sudah hampir  satu bulan. Ketika itu, aku hendak pergi arisan bersama teman-teman sekomunitas. Jadwal pertemuan arisan memang ada di awal bulan, dan sekarang sudah ada di minggu terakhir bulan ini.      Agar tampil mengesankan dan tak memalukan di hadapan mereka, sekaligus untuk menjaga nama baik Mas Bram sebagai suami, aku mengenakan dress hijau tosca yang belum lama kubeli. Bebahan satin premium, dengan hiasan renda pada bagian lengan dan leher. Aku juga menambahkan sedikit riasan di wajah ketika itu.       Sebenarnya, aku bukan tipikal sosialita yang keranjingan hanging out setiap harinya. Satu-satunya kegiatan di luar rumah yang kuikuti, ya hanya arisan itu. Itu pun karena anggotanya adalah para istri karyawan manajerial di perusahaan tempat Mas Bram bekerja.  Tak enak rasanya, jika  tak ikut serta. Takutnya, secara tidak langsung, Mas Bram akan terkena imbas.      Selebihnya, waktuku hanya kuhabiskan di rumah saja. Menjalani rutinitas harian yang monoton. Mengurus rumah, memasak, dan menjalankan tugas sebagai istri di atas ranjang. Hanya itu, dari hari ke hari.  Membosankan, memang. Tetapi, biarlah. Semakin jarang aku keluar rumah, semakin aman rahasia perihal rumah tanggaku tersimpan.     Selama ini, pada saat hanya di rumah saja, aku memang tak pernah memerhatikan penampilan. Sehari-harinya, hanya mengenakan baju sekadarnya saja. Rata-rata daster atau babydoll dengan bahan yang nyaman. Wajah pun kubiarkan apa adanya. Minus riasan.  Bahkan hanya menyapukan bedak pun tidak. Apalagi bergincu atau menambahkan ini-itu di wajah. Padahal aku punya cukup banyak pakaian bagus dan perangkat rias.  Uang jatah bulanan yang diberikan Mas Bram memang tidak sedikit. Lebih dari cukup, bahkan lebih-lebih, kalau hanya untuk meng-cover kebutuhan rumah tangga sehari-hari.     “Trisno kui jalaran soko kulino, Nduk. Cinta akan datang dengan sendirinya karena telah terbiasa. Sekarang, mungkin kamu memang belum punya perasaan cinta kepada Bram, begitu juga dengan Bram. Tetapi, nanti, saat kalian sudah menikah dan menjalani hari-hari bersama, benih-benih itu akan mulai tumbuh dan berkembang dengan subur. Hati kalian akan saling terikat dan merasa tidak bisa berjauhan satu sama lain.”     Entahlah, bagaimana kaitannya, tiba-tiba saja, kata-kata Ibu lebih dari lima tahun yang lalu itu terngiang-ngiang kembali. Padahal, sebelum ini, aku tak pernah teringat. Sontak, sebuah layar tergelar di depan mata. Sebuah slide dari masa lalu terputar.     Hari telah sore, di ambang senja. Warna jingga, tipis-tipis sudah bersemburat di wajah langit. Berkali-kali kuubah posisi dudukku, namun tetap saja aku tak merasa nyaman. Itu sungguh di luar kebiasaan, sebab kursi yang sedang kukuduki, adalah kursi paling nyaman dan menjadi tempat favoritku untuk sekedar bermalas-malasan atau membaca buku selama ini.     “Mikir opo, Nduk?” Ibu yang kulihat sibuk menyirami tanaman di halaman belakang tiba-tiba bertanya. Rupanya dia memperhatikan dan menangkap kegelisahanku.     Aku tak menjawab. Hanya mendengkus dan membuang napas berat.     “Kok, malah ngunjal ambegan?” tanya ibu lagi, mengomentari napas berat yang berkali-kali kuhempas.     “Bagaimana besok, Bu?” tanyaku, padanya. Sekaligus Mengisyaratkan, bahwa hal yang sedang merenggut ketenangan dan kenyamananku itu adalah perihal peristiwa penting yang akan kujalani besok.     Ibu tersenyum. Lalu mematikan keran air dan menggulung pipa panjang yang dipakainya menyirami tanaman. Setelah mengeringkan tangannya, Ibu mengambil duduk si seberangku.     “Semuanya akan baik-baik saja, Imbi.”     Kutatap Ibu tepat pada matanya, untuk memastikan bahwa perempuan itu tak sekadar menyampaikan isapan jempol belaka. Bahwa yang akan terjadi esok hari, di hari pernikahanku, adalah hal-hal yang baik-baik saja. Akan tetapi …”     “Sebenarnya, wajar, sih, Imbi, jika setiap perempuan yang akan menikah selalu gelisah. Tetapi, jangan terlalu-lalu. Takutnya, besok malah jatuh sakit pada hari H-nya.”     “Tetapi … aku dan Mas Bram, kan tak saling cinta, Bu. Bagaimana nantinya?”     “Kan Ibu sudah bilang kemarin-kemarin, bahkan berulang kali, bahwa trisno itu jalaran soko kulino!”      “Apa iya begitu, Bu?” Aku tak yakin.      “Iya, Nduk. Coba lihat saja Ibu dan Bapak. Dulu, kami juga sama seperti kalian, menikah karena perjodohan. Bapaknya Ibu dan Bapaknya bapakmu adalah teman seperjuangan semasa perang kemerdekaan. Keduanya adalah Jong Java dari karesidenan Blitar. Karena hubungan baik mereka, maka kami dijodohkan. Tidak seperti kau dan Bram, yang telah kenal dan saling tahu sejak lama, Bapak dan Ibu dulu tidak kenal sama sekali.”     “Tidak kenal sama sekali?” Aku terperanjat. “Kenapa bisa begitu, Bu? Katanya Bapaknya Ibu dan Bapaknya Bapak adalah teman seperjuangan?”     “Iya, Imbi, Kami memang tidak saling kenal sebelumnya. Sebab bapakmu  sejak SMA sudah merantau, ikut pamannya yang ada di pulau seberang. Dia  sekolah dan kuliah di pulau itu. Bahkan, setelah lulus sarjana pun mendapatkan pekerjaan di sana.”     “Lalu, bagaimana perjodohan itu bisa terjadi?”     “Bisa saja, Imbi. Yang merantau, kan, bapakmu saja. Orangtuanya tidak. Kakek dan nenekmu dari Bapak, masih tinggal di Blitar dan sering ke Malang karena urusan perdagangannya. Ketika harus datang ke Malang, mereka selalu singgah di rumah kami. Pada saat singgah itulah, mereka melihat Ibu. Maka, dari sanalah rencana perjodohan mereka bicarakan.”     “Lalu, kalian menerimanya begitu saja?” tanyaku, tak habis pikir.     Ibu mengangguk, “Ya, Nduk. Sebab, Ibu yakin, pilihan orangtua untuk anaknya pastilah pilihan yang terbaik.”     Aku tercenung. Sebenarnya ingin sekali aku menyanggah,  namun kuurungkan.      “Apa Bapak juga langsung bersedia?” tanyaku kemudian.     “Ya. Sebab bapakmu pun berprinsip sama seperti Ibu.”     “Apakah Bapak atau Ibu tidak pernah jatuh cinta kepada orang lain, sebelum datangnya hari H pernikahan?”     Ibu tersenyum dan menggeleng. “Ibu tidak pernah. Bapakmu adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhir bagi Ibu.”     “Lalu, Bapak? Apakah juga tidak pernah jatuh cinta sebelumnya dengan gadis lain?”     “Pernah!” Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah lain. Kutoleh, Bapak sudah berdiri di ambang pintu dengan sebuah handuk tersampir di bahunya.     “Pernah?” tanyaku antusias.     “Iya.” Bapak mengangguk.     “Lalu, bagaimana, Pak? Mengapa Bapak tetap menikah dengan Ibu, padahal jatuh cinta kepada gadis lain?”     Bapak dan Ibu saling berpandangan dan tersenyum. Seolah, keduanya sedang berbicara dengan bahasa isyarat yang hanya mereka berdua yang mengerti.     “Cinta tidak berarti harus berakhir di hadapan penghulu, Imbi. Bapak memang jatuh cinta kepadanya, tetapi Bapak mengerti, cinta itu tidak boleh dipupuk. Sebab, orangtua sudah mempersiapkan gadis lain sebagai istri Bapak.”     “Bapak menyerah begitu saja? Tidak berusaha memperjuangkan gadis itu?” tanyaku, keheranan.     “Tidak! Bapak tidak memperjuangkannya. Sebab Bapak mengerti, bahwa orangtua pastilah tidak sembarangan memilihkan jodoh untuk anaknya.”     Aku terdiam. Dalam hati, sedikit kecewa. Apa yang dituturkan oleh Bapak itu kian membuatku merasa bersalah. Sebab, pada kenyataannya, tanpa sepengetahuan mereka, aku pernah menjalin hubungan dengan pemuda lain. Bahkan, dari hubungan itu, sesuatu yang penting dalam diriku telah hilang.     “Sudah mau Magrib, Pak. Sana, buruan mandi. Nanti kemalaman, encoknya kumat!” tukas Ibu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Bapak berbalik badan dan melangkah pergi. Setelah itu, terdengar suara kran air yang menyala dari kamar mandi yang berada tepat di balik dinding.     “Bu, bagaimana Bapak dan Ibu dulu kalau mau bertemu? Apakah Bapak yang datang ke Malang setiap beberapa bulan sekali, begitu?”     “Tidak, Imbi! Kami tidak pernah bertemu. Meski dijodohkan sejak lama, namun baru dipertemukan satu bulan sebelum hari pernikahan. Sebelum-sebelumnya hanya saling tahu nama dan wajah saja. Itu pun lewat foto.”     “Jadi, sebelumnya, Ibu dan Bapak tidak tahu karakter masing-masing?”     “Tidak, Nduk. Eyang Kakungmu hanya mengatakan, bahwa bapakmu adalah pemuda yang baik dan bertanggung jawab.”     “Tidakkah ada sedikit saja kekhawatiran di hati Ibu, akan seperti apa kehidupan setelah pernikahan nantinya? Bukankah Bapak ketika itu hanyalah orang asing bagi Ibu?”     “Kekhawatiran pasti ada, Imbi.”     “Kalau rasa takut, ada jugakah?”     “Tentu!” Ibu mengangguk.     “Apa yang Ibu takutkan ketika itu?”     “Ya banyak hal, Imbi. Ibu rasa, semua gadis akan seperti itu, menjelang hari pernikahannya. Tetapi nanti, setelah dijalani, semua tidak sama seperti yang ditakutkan semula.”     Aku terdiam. Andai saja kondisiku seperti Ibu saat itu, barangkali kegelisahanku tak sehebat ini. Sayangnya, keadaanku saat ini berbeda.     “Pesan ibu, pandai-pandailah melayani suami. Jangan jadi istri yang menyebalkan dan membosankan! Jaga penampilan, agar enak dipandang oleh suamimu, sehingga dia betah di rumah dan selalu merasa rindu saat tidak berada di dekatmu.”       Napas berat kuhela. Slide berhenti. Layar tak kasatmata tergulung. Suasana teras belakang rumah orangtuaku hilang dari pandangan. Berganti dengan ruang tengah rumah yang kutinggali selama lima tahun ini bersama Mas Bram.     Rupanya, selama ini aku telah melewatkan beberapa bagian penting dari nasihat Ibu. Memberikan pelayanan yang baik sebagai istri, kurasa itu sudah kulakukan. Telah jungkir balik, aku mengusahakannya. Tidak pernah kubiarkan keinginan Mas Bram tak terpenuhi, apa pun itu.     Menjadi istri yang menyebalkan dan membosankan? Apakah selama ini aku termasuk yang demikian? Entahlah, Mas Bram tak pernah mengatakannya. Selama ini, kami hanya membicarakan hal yang penting-penting saja dan selalu to the point. Tak pernah saling mengungkapkan apa yang dirasakan masing-masing. Mungkin saja, bagi Mas Bram selama ini, aku adalah istri yang menyebalkan. Sejak awal pernikahan, bahkan. Ya, sejak awal!     Enak dipandang suami? Ya Tuhan, bukankah itu berkaitan dengan penampilan? Kurasa, poin ini yang mungkin telah kulalaikan. Semenjak mendapatkan malam pengantin yang memilukan, aku seolah tak bersemangat menjalani hari-hari. Semuanya berjalan sebagai rutinitas yang bergulir secara otomatis. Aku melakukan semua tugas-tugasku, patuh kepada semua kata-kata Mas Bram, setelah itu sudah. Semua kulakukan dengan penuh kehati-hatian, karena takut melakukan kesalahan. Akan tetapi, rupanya aku lupa bahwa mata laki-laki juga perlu dimanjakan.     Bayangan Ibu kembali hadir di pelupuk mata. Segala yang ada padanya jadi kuingat lagi. Matanya yang teduh, sosoknya yang anggun, dan penampilannya yang selalu rapi dan cantik. Ya, seingatku, Ibu dulu memang  selalu menjaga penampilannya, meski tidak hendak pergi ke mana-mana. Mungkinkah itu dilakukannya untuk memanjakan pandangan Bapak? Alangkah berbedanya dengan diriku selama ini. Karena itu pulakah, hingga kini, Mas Bram belum juga menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta padaku, seperti aku jatuh cinta padanya? Bahkan sekarang, dia justru tertarik pada perempuan lain di luar sana dan ingin menikahinya.     Tiba-tiba saja, aku merasa telah melakukan keteledoran. Ah, benar-benar bodoh! Kutepuk kening, berkali-kali. Menyesal sekali rasanya, baru menyadari kelalaian setelah semuanya telah terlambat. Ya, terlambat! Sebab perempuan lain telah berhasil menyabet kesempatanku. Mas Bram terlanjur memberikan hatinya kepada orang lain.     Perempuan bernama Kartika itu pastilah sangat cantik dan menarik. Sexy, pandai berdandan, dan memiliki kemampuan menggoda laki-laki di atas rata-rata. Kalau tidak, mana mungkin, Mas Bram yang berkepribadian kuat  bisa tergila-gila, bahkan berniat menjadikannya istri? Tak peduli pula, bahwa perempuan itu telah memiliki dua orang anak dari laki-laki lain sekalipun.  Lihat saja tadi, bagaimana suamiku itu sedemikian membelanya. Hingga begitu marah, saat aku menyinggung soal statusnya yang janda. Bahkan tanpa memedulikan perasaanku, menegaskan, bahwa janda dengan dua orang anak  itu jauh lebih baik dan lebih punya harga diri dibandingkan aku.  Oh, it’s hell!  ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN