Hantu di Siang Bolong

2056 Kata
    Satu bulan sudah berlalu, semenjak pembicaraan menegangkan perihal keinginan  Mas Bram untuk menikah lagi. Namun demikian, belum ada sedikit pun perubahan yang terjadi pada hubungan kami. Semuanya tetap sama seperti sebelum-sebelumnya. Dingin dan kaku. Padahal, aku sudah setuju untuk menepati janji, membiarkannya menikah lagi dengan perempuan yang dia pilih, siapa pun itu. Walaupun sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati ini, ada semacam perasaan tidak rela.     Jangankan menjadi lebih hangat dan mesra, layaknya suami-suami lain di luar sana saat mendapatkan izin untuk menikah lagi dari istrinya, bersikap lebih lunak saja tidak dilakukannya.  Seolah, sikap sportif dan konsekuen yang kutunjukkan itu, tak layak mendapat apresiasi dan nilai plus.       “Aku berangkat dulu,” kata Mas Bram, acuh tak acuh, sembari berdiri. Tak peduli, di hadapannya, aku belum selesai dengan makananku. Padahal, hari belum terlalu siang. Jarum jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh. Dia bahkan tidak akan terlambat sampai di kantor, andai menungguku menyelesaikan sarapan sekalipun.       Cepat-cepat, aku bangkit dari kursi. Hampir saja tersedak, sebab masih ada makanan di dalam mulut yang belum tertelan. Sambil terus mengunyah, aku melangkah di belakang Mas Bram.     “Tidak kepagian, Mas?” tanyaku, seraya meraih tangannya dan menyaliminya.     “Aku mau mampir ke suatu tempat dulu!” jawabnya tanpa ekspresi. Sengaja, kucium tangan itu lebih lama, tak ubahnya slow motion pada film-film drama di tivi. Berharap, dia akan melihat wajahku dengan lebih teliti dan mengatakan sesuatu. Akan tetapi, hingga aku melepaskan tangannya dan suamiku itu masuk ke dalam mobil, tak ada sepatah kata pun yang kudengar.     Karena penasaran, setelah mobil yang dikendarai Mas Bram telah bergerak menjauh, cepat-cepat aku kembali masuk rumah. Langsung menuju kamar dan menghampiri cermin meja rias. Kuamati dengan seksama, bayangan wajahku sendiri. Benarkah, lipstick warna soft pink dan bedak yang kuulaskan seusai mandi pagi tadi tak membuat wajahku tampak berbeda?         Setelah yakin dengan apa yang terlihat, aku terduduk lemas di kursi meja rias. Kutangkup kedua pipiku dengan telapak tangan. Tak ubahnya dedaunan pohon jati yang meranggas di musim kemarau, seperti itu pulalah gugurnya harapan yang sempat kusemai di dalam hati. Kurasa, acuh tak acuhnya Mas Bram terhadap perubahan penampilanku, bukan karena dia tidak menyadarinya. Melainkan, memang sudah tidak ada  lagi minat di hatinya untuk melihatnya.       Kukira, setiap perempuan yang hendak dimadu, pasti dihantui oleh perasaan khawatir dan takut. Akan ada saja yang tiba-tiba menyelinap di dalam pikirannya. Perihal kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja bakal  terjadi nantinya, ketika pernikahan itu sudah terjadi dan dirinya bukan lagi satu-satunya perempuan yang ada di dalam hidup suaminya.      Bayangan-bayangan tak menyenangkan, perihal waktu yang akan datang, terus saja berdatangan. Mengganggu dan menakuti, seperti hantu. Jika selama ini saja keberadaanku tidak terlalu penting bagi Mas Bram, apalagi nanti, saat sudah ada perempuan lain bernama Kartika itu di rumah ini. Pastilah, aku akan semakin tersisih dan tak mempunyai arti. Apalagi, perempuan itu lebih segalanya dariku, dicintai pula oleh Mas Bram. Oh, demi Tuhan, membayangkannya saja sudah membuatku merasa ngeri dan kehilangan ketenangan hidup. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.     Aku bukannya tak berusaha menghalau bayangan-bayangan liar menakutkan yang terus saja mengganggu itu. Aku sudah melakukannya. Selalu!  Akan tetapi, pikiran-pikiran tersebut tidak benar-benar mau pergi. Hanya menghilang sesaat, namun kembali lagi pada kesempatan lain. Benar-benar seperti hantu yang bergentayangan. Ya, hantu paling mengerikan yang pernah ada di jagad raya ini! ****       “Kau semestinya pergi dari rumah ini!” Dingin dan tajam kata-kata itu keluar dari mulut perempuan dengan bibir sensual terpulas gincu warna merah cabe menyala di hadapanku. Usianya masih belia, kutaksir beberapa tahun di bawahku. Kedua tangannya bersedekap, matanya yang dihiasi soft lens kebiruan dan bulu mata palsu menatapku dengan sorot mata angkuh.      Aku tersentak. Sama sekali tak menyangka, bahwa dia akan seberani itu. Padahal, dia hanyalah pendatang baru. Baru sepeminuman teh diboyong Mas Bram kemari. Sedangkan aku, telah jauh lebih dulu menghuni rumah ini. Tak hanya menempati, tetapi juga merawat dan memeliharanya sepenuh jiwa raga.     “Kau mengusirku?” tanyaku, dingin. “Apa hakmu?” tandasku, menantang.     “Ha ha ha ….” Perempuan berwajah cantik dengan kulit putih mulus seperti boneka lilin itu tertawa terbahak-bahak. Sampai-sampai, uvula—anak  lidah—yang tergantung di ujung tenggorokannya terlihat jelas olehku. “Kau masih bertanya apa hakku?” Dia bertanya, di sela-sela gelaknya.      “Aku terdiam, tak kujawab pertanyaan sarkasnya itu. Karena kutahu, dia mengantongi sesuatu yang bisa mematahkan apa pun jawabanku. Meskipun di atas kertas, aku adalah perempuan yang dinikahi secara sah oleh Mas Bram, memiliki surat nikah, dan diakui oleh Negara, namun sebenarnya,  posisiku tidaklah benar-benar kuat.     Sementara perempuan di hadapanku itu, walau dia adalah istri muda yang dinikahi di bawah tangan, namun kedudukannya jauh lebih kuat. Sebab, hati Mas Bram ada dalam genggamannya.     “Semestinya kau tahu diri, perempuan murahan!” kata perempuan cantik di hadapanku  itu lagi, sinis.     “Jaga mulutmu!” hardikku, spontan. Mendengar dia mengata-ngataiku sebagai perempuan murahan, emosi di dalam dadaku bagai api yang tersiram bensin.     “Ha ha ha … kenapa? Kau tidak terima?”     “Seharusnya kau bisa bersikap hormat kepada orang lain, apalagi yang usianya lebih tua darimu. Apa orangtuamu tidak pernah mengajarkannya?” sergahku, ketus.     “Apa maksudmu, perempuan murahan tak tahu diri?” Tawa perempuan muda di hadapanku itu berhenti sekektika. Matanya melotot dan menatapku penuh kemarahan.     “Apa? Kau tidak tahu maksudku? Heh, perempuan tak tahu diri, bagaimanapun juga, aku adalah istrinya Mas Bram juga. Istri pertama! Kami memiliki buku nikah yang disahkan oleh Negara! Jadi, tak seharusnya kau yang hanya istri muda dan dinikahi secara siri, berbuat mentang-mentang dan mengusirku!”      “Apa kau pikir kau lebih terhormat karena dinikahi lebih dulu oleh Mas Bram? Ha ha ha ha ….” Perempuan itu mengurai tawa di ujung sanggahannya. Tawa yang terdengar mengejek dan menghina dalam pendengaranku. “Apakah kau seorang yang buta? Apa kau tidak lihat, Mas Bram sedikit pun tak mencintaimu? Kalian menikah karena perjodohan orangtua, bukan karena Mas Bram memang menginginkanmu. Jadi, apa kau masih merasa berkuasa dan lebih pantas tinggal di rumah ini daripada aku? Mengacalah sana!” lanjutnyanya, seraya menyambar lenganku dan menyeretnya menuju ruang tengah.     “Aduh!” pekikku, spontan. Bukan karena rasa sakit, tetapi karena terkejut, sebab sama sekali tidak mengira, dia akan melakukannya.     “Tuh! Mengacalah!” hardiknya sambil menghempaskan lenganku dengan kasar, tepat di depan cermin besar berukir yang terpasang di dinding ruang tengah.     “Kurang ajar sekali kau! Dasar perempuan tak terdidik!” semburku, emosional.     “Ha ha ha ….” Tawa perempuan itu kembali pecah menggelegar. Sambil berkacak pinggang dan melotot, dia kembali berkata, “Sebelum kau menuduh orang lain tak terdidik, lihatlah dirimu sendiri, perempuan murahan!”      “Tutup mulutmu! Hanya perempuan murahan yang sanggup merebut suami perempuan lain!” makiku sambil menunjuk wajahnya.     ‘Plak!’     Perempuan berhidung mancung dengan tahi lalat di bawah bibir itu menamparku. Wajahnya merah padam. Matanya melotot, menyorotkan api.  Refleks kupegangi pipiku yang  terasa panas dan pedih karena tamparannya.     “Bagaimana? Sakit? Kau pantas mendapatkannya! Sebab kau sudah menuduhku merebut suamimu. Dengar baik-baik, perempuan tak tahu diuntung! Aku tak pernah merebut suamimu! Sebab, kau memang tak pernah memilikinya!”      Belum benar-benar hilang rasa sakit di pipi ini, perempuan itu sudah beraksi kembali. Dia meraih rambutku dan menjambaknya dengan kuat. “Rasakan ini perempuan murahan!”     “Aargh!” pekikku kesakitan, “Lepaskan! Lepaskan perempuan j*****m!” Tanganku menggapai-gapai, berusaha meraih tangannya yang sedang menarik rambutku.     “Hanya perempuan murahan yang tidur dengan laki-laki tanpa ikatan pernikahan!” makinya. “Kalau saja bukan karena kebaikan hati Mas Bram, kau sudah ditendangnya sejak malam pertama! Jadi, mengertilah! Kau ada di rumah ini hanya karena  belas kasihannya! Sebab kau yang sudah memohon-mohon dengan hina di kakinya waktu itu. Apa kau telah lupa?”     “Lepaskan! Lepaskan!” Aku terus meronta. Di tengah perjuangan melepaskan diri dari jambakannya, sebuah ide tiba-tiba melintas. Tanpa berpikir panjang lagi, kutendang perut maduku itu sekuat tenaga.     “Aaarrgh!” jeritnya yang langsung jatuh terjengkang ke lantai. Wajahnya meringis kesakitan dan hampir menangis.     “Kenapa? Sakit? Rasakan! Itu ganjaran yang paling pantas untuk perempuan liar sepertimu! Perebut! Penggoda suami orang!”     “Arimbi!”     Aku tersentak. Suara yang sangat kukenali berteriak menghardik dari arah belakangku. Seketika, tubuh ini panas-dingin dan menggigil.     Aku memang telah berhasil melepaskan diri dari jambakan perempuan tengil maduku itu, namun rupanya, hal tersebut justru membuatku masuk ke dalam masalah lain yang jauh lebih besar dan menakutkan.     “Ma … Mas Bram?” gumamku, gemetar. Belum sempat kubalikkan badan, lelaki yang kucintai tersebut sudah lebih dulu menghampiri perempuan itu di tempatnya terjengkang.     “Ayo, bangunlah, Sayang, kau tidak apa-apa, kan?” tanyanya, seraya  membantu perempuan itu bangun.     “Sakit sekali, Mas.” Perempuan itu merengek manja, sambil melihatku dengan tatapan mengejek. Suaranya terdengar dibuat-buat, membuat perutku terasa mual dan ingin muntah.     “Bagian mana yang sakit?” Mas Bram mengusap-usap perutnya yang tadi kutendang. Dia terlihat sayang kepada istri mudanya itu.     “Di bagian belakang sini, Mas,” tunjuk perempuan itu pada bagian belakang tubuhnya. “Bagaimana kalau sampai terjadi patah tulang atau retak tulang?” imbuhnya, semakin dibuat-buat. “Istri tuamu itu menendangku dengan keras.”     “Halah!” sergahku, ketus. “Berlebihan! Drama banget, sih?”     “Imbi!” hardik Mas Bram. Pandangannya beralih padaku. Sorot matanya tajam, menguliti. Sungguh jauh berbeda, bagaikan bumi dan langit, jika dibandingkan dengan tatapan yang diberikannya pada perempuan jahat itu. Seketika, hatiku ngilu hingga ke relung hati paling dalam.     “Tapi, Mas, dia yang lebih dulu memulai!” kilahku, membela diri. “Bohong! Dia bohong, Mas! Dia yang jahat padaku, sebab tidak suka aku tinggal di rumah ini bersama kalian. Dia ingin, aku pergi.”     “Bohong!” bantahku. “Dia tadi yang mengusir dan mengata-ngataiku perempuan murahan.”     “Arimbi!” bentak Mas Bram lagi. “Aku melihat sendiri, kau yang menendang perutnya hingga jatuh!”     “Tapi, Mas, itu karena aku membela diri. Dia yang lebih dulu menampar dan menjambakku.”     “Dan aku juga melihatnya sendiri, kau yang mengata-ngatainya dengan kasar setelah dia terjatuh!”     “Aku tidak bohong, Mas. Tadi, aku memang membentaknya, tapi itu karena dia yang memulainya lebih dulu. Kalau tidak, mana mungkin aku melakukannya?”     “Halah! Sudahlah! Tak usah lagi kau karang-karang cerita! Aku lebih percaya pada mataku daripada telingaku! Kau tahu, apa sebabnya, Imbi?”     Aku tak menjawab. Hanya menelan ludah dan menggigit bibir kuat-kuat.     “Sebab telinga hanya mendengar ucapan yang dilakukan oleh lidah.  Lidah bisa berbohong, Imbi! Sedangkan mata, menyaksikan apa yang terjadi sebenarnya!”     “Maaas …!” jeritku, sedih, seraya kuraih lengannya. Mas Bram menepisnya dengan kasar, hingga aku terdorong ke belakang.     “Mas Bram …,” jeritku lagi, nelangsa.     “Imbi … Arimbi ….”     Sayup-sayup, kudengar suara Mas Bram.     “Arimbi, bangun!” Terdengar lagi, kali ini disertai guncangan pada lengan. Mataku terbuka. Napasku terengah-engah. Kuedarkan pandangan untuk memindai. Sepertinya, aku berada di ruangan yang berbeda. Kukerjap-kerjapkan mata, menatap petak-petak langit-langit berwarna peach yang lembut. Lalu pandanganku turun, bersirobok dengan sebuah almari besar berplitur dari kayu jati. Ternyata, aku berada di kamar tidur dan sedang berbaring di atas ranjang ber-sprei bunga-bunga yang baru kuganti, bukannya di ruang tengah seperti yang kualami sesaat lalu. Untuk lebih memastikan, kulihat lagi sekeliling. Tak ada cermin besar dengan bingkai ukiran yang dibeli Mas Bram dari Jepara. Tak ada pula perempuan jahat yang tadi menyerangku dengan liar dan brutal. Yang ada hanya  Mas Bram seorang, tengah berdiri di samping ranjang, dengan baju kerja yang belum diganti.       “Mas Bram? Sudah pulang? Jam berapa sekarang?” tanyaku beruntun, sambil berusaha untuk bangkit dan duduk.     “Masih siang. Aku pulang, karena ada yang harus kuambil,” kata Mas Bram sambil menunjukkan sebuah map di tangan. “Setelah ini aku akan kembali ke kantor.”     “Di mana perempuan itu?” tanyaku lagi.     “Siapa? Perempuan? Perempuan siapa?” tanya Mas Bram, tak mengerti.     Aku tertegun, berusaha mengembalikan seluruh kesadaran, “Ooo … jadi tadi hanya mimpi?” gumamku, pada diri sendiri. Lega sekali rasanya, seperti baru saja terbebas dari himpitan. Ternyata, kejadian menyeramkan itu bukanlah kenyataan, melainkan mimpi di siang hari. Hanya bunga tidur yang tak ubahnya hantu di siang bolong.     “Mimpi apa?” Mas Bram bertanya. “Tadi, kudengar kau teriak-teriak sambil sesenggukan menangis. Mangkanya kulihat kemari,” lanjutnya,  sembari berbalik badan dan beranjak pergi. Tak peduli, aku belum menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarnya. Sembari menatap punggungnya yang semakin menjauh, aku menghela napas berat. Dia tak benar-benar ingin tahu. Ya, Mas Bram tak benar-benar peduli! ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN