‘Tak ada yang gratis di dunia ini. Semuanya memiliki harga yang harus dibayar’.
Aku tak ingat, di mana tepatnya pernah mendengar ungkapan itu. Seingatku, selain mendengar, aku juga pernah membacanya pada sebuah buku. Buku yang mana? Entahlah, aku tak ingat. Sebab, ada begitu banyak buku yang sudah k****a. Hanya saja, tak pernah kupikirkan makna ungkapan itu secara mendalam. Bagiku selama ini, kata-kata tersebut tak lebih istimewa dari kata mutiara lainnya. Buah dari pemikiran orang-orang yang gemar merenung dan bermain-main dengan bahasa. Para filsuf, penulis, pujangga, dan sejenisnya.
Petang ini, setelah pembicaraan serius dengan Mas Bram baru saja terjadi, kata-kata itu terngiang-ngiang kembali di telinga. Benar, apa yang dikatakan oleh ungkapan tersebut. Tidak ada yang gratis, semuanya mempunyai harga yang harus dibayar. Makna harga, sudah barang tentu tidak melulu perihal nominal uang, dan harga dari apa yang pernah kulakukan sekian tahun lalu, harus segera aku bayar sekarang. Tidak tanggung-tanggung, harganya sangat mahal!
Kata demi kata yang diucapkan Mas Bram beberapa saat lalu, yaitu tentang fakta bahwa dia tengah jatuh cinta, tidak hanya mengiang-ngiang di telinga, tetapi juga riwa-riwi di dalam benakku. Oh, alangkah ngilu rasanya hati ini menerima kenyataan itu.
Suamiku sedang kasmaran dengan perempuan lain. Apakah ini cinta pertamanya? Entahlah. Dia tidak pernah menceritakan apa-apa perihal masa lalunya. Sebab, selama ini, aku dan dia memang tidak pernah saling mengobrol santai layaknya pasangan yang lain. Hidup kami berjalan kaku dan monoton, sebatas hak dan kewajiban semata. Hufth! Semua itu gara-gara opening yang tidak menyenangkan di malam pengantin kami!
Orang seperti apa sebenarnya perempuan bernama Kartika itu? Seistimewa itukah dia, sehingga mampu menundukkan hati Mas Bram yang selama ini begitu dingin?
Tetapi, tunggu! Sepertinya, ada yang tidak benar? Ya, ada yang tidak sesuai dengan kesepakatan! Tak ingin berlama-lama bermain-main dengan pikiran sendiri, kuputuskan untuk langsung menanyakannya kepada Mas Bram.
“Tetapi, Mas, kenapa harus Kartika?”
Pertanyaanku yang terlontar tiba-tiba dan memecah sunyi tersebut berhasil merebut perhatian Mas Bram. Sontak, pandangan suamiku itu beranjak dari kertas-kertas kerjanya dan beralih kepadaku. Kami saling menatap. Sorot mata Mas Bram tajam dan penuh tanya. Jantungku berdetak lebih kencang karenanya. Adakah yang salah dengan pertanyaanku itu? Salahkah jika aku, istri yang dinikahi secara sah mempertanyakan perihal perempuan yang hendak dijadikan istri muda oleh suamiku?
Seingatku, kesepakatan yang kutawarkan dulu adalah, dia boleh menikahi gadis mana pun yang dia sukai. Ya, gadis! Bukannya janda! Karena, hal yang dia persoalkan adalah kegadisan yang tak bisa kuberikan padanya. Lalu, mengapa sekarang perempuan yang dipilihnya justru berstatus janda? Telah memiliki anak pula. Bukankah itu berarti, kondisinya tidak lebih baik, bahkan lebih parah dariku dulu? Entah mengapa, ada semacam ketidakrelaan di hati ini, jika perempuan yang hendak dihadirkan sebagai maduku tersebut adalah janda.
Aku menyadari betul tentang kesalahan besar yang telah kulakukan di masa lalu. Jika harus jujur, aku akan mengakuinya, bahwa itu adalah sebuah kebodohan. Ya, kebodohan terbesar dalam hidupku. Bisa-bisanya aku dulu percaya saja dengan kata-kata si Malik, bahkan menyerahkan kehormatan sebagai bukti keseriusan hubungan. Oh My God! i***t sekali! Kemana sebenarnya perginya akal sehatku?
Nyatanya, setelah kehormatan telah kuserahkan, tidak menjadikan Malik merasa terikat tanggung jawab. b******n itu pulang ke kampung halamannya tanpa beban dan tak kembali. Meninggalkanku sendiri dengan buntut masalah yang juga harus kutanggung sendiri. Ah … terkutuklah kau, Malik!
Andai saja Bapak dan Ibu tahu, pastilah aku sudah tidak diakuinya sebagai anak. Sebab, telah mengkhianati kepercayaan mereka dan mencoreng nama baik keluarga. Padahal, sejak awal menginjak masa remaja, mereka berdua selalu wanti-wanti, bahwa hal yang satu itu harus benar-benar dijaga. Karena, bukan hanya kehormatan bagi diriku sendiri sebagai seorang perempuan, melainkan juga merupakan kehormatan keluarga.
Malik tidak hanya tampan, dia juga pandai bersyair. Selama beberapa periode, pemuda berambut gondrong itu menjabat sebagai ketua organisasi seni di kampus. Teman-teman seangkatannya menjulukinya sebagai Pujangga Andalas, dan sialnya, dia begitu mempesona di mataku.
Entah, bagaimana awalnya, tiba-tiba saja kami berdua menjadi akrab. Barangkali juga, karena kesamaan minat pada dunia yang sama, yaitu sastra. Fakta bahwa aku adalah gadis kuper dan polos karena dibesarkan di lingkungan yang sangat feodal dan konservatif, kukira turut memiliki andil menjadikan diriku begitu naif, sehingga mudah ditakhlukkan olehnya. Seperti layaknya kisah Romeo and Juliet, aku pun jatuh dan masuk ke dalam perangkap cintanya.
Sedangkan Mas Bram, setali tiga uang denganku. Dia juga dibesarkan di lingkungan yang konservatif, di mana nilai-nilai ketimuran masih sangat kuat dipegang teguh. Sebagai sesama keturunan ‘ningrat’, orangtua kami bersahabat. Karena itulah ide menjodohkan kami berdua bisa tercetus. Mas Bram masih ada di bangku SMA waktu itu, sedangkan aku di SMP. Sebagai anak yang selalu patuh dan pantang membangkang orangtua, kami menurut saja, meskipun sama sekali tidak saling cinta.
‘Trisno jalaran soko kulino’, cinta akan datang karena kebiasaan, itu yang dikatakan oleh Ibu dan Bapak, saat aku mempertanyakan, mengapa harus menjalani perjodohan dengan orang yang sama sekali tak kucintai. Sangat sulit diterima oleh nalarku saat itu, namun aku tak punya keberanian untuk menentang.
Kukira, apa yang dikatakan orangtua Mas Bram kepadanya pun tidak akan jauh berbeda. Hanya saja, aku tidak tahu, apakah ketika keputusan perjodohan dibuat, dia sempat mempertanyakan kepada orangtuanya seperti aku mempertanyakan kepada Ibu-Bapak atau tidak.
Ketika tibalah hari H pernikahan, dan kami telah berada di kamar pengantin, barulah aku tahu, bahwa Mas Bram benar-benar memegang teguh dan menjaga keputusan perjodohan itu. Dia memang seseorang dengan kepribadian kuat. Tidak berusaha dekat dengan siapa pun, dan tidak menjalin hubungan dengan gadis lain mana pun. Berbeda denganku yang malah berani coba-coba menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan pujangga picisan pula!
Aku sangat bisa mengerti, jika Mas Bram merasakan kecewa yang luar biasa, bahkan terpukul di malam pengantin kami. Sebab, pastinya bukanlah sesuatu yang mudah baginya untuk bisa berhasil bertahan, menjaga diri dan hatinya di tengah pergaulan era modern ini, di mana godaan dan pengaruh dari teman dan lingkungan begitu kuat.
Tidaklah berlebihan, jika dia berharap akan memetik buah yang manis dari perjuangan dan pengorbanannya itu. Paling tidak, mendapatkan istri yang sama terjaganya seperti dirinya. Akan tetapi, kenyataan yang ada di depannya sangat jauh panggang dari api. Istri yang didapatkannya ternyata adalah perempuan yang sudah terenggut kegadisannya oleh laki-laki lain. Mas Bram, merasa dipecundangi.
Karena sadar diri itulah, aku berusaha menebusnya selama ini. Terlebih karena Mas Bram konsekuen dengan janjinya. Hingga detik ini, tidak ada satu orang pun yang mengetahui, tentang apa yang terjadi di malam pengantin, lebih dari lima tahun silam. Kenyataan tentang rumah tangga kami tetap tertutup tabir yang tak tersibak hingga sekarang. Baik kedua orangtuaku maupun orangtua Mas Bram, tetap bisa tersenyum bangga atas pernikahan itu. Orang-orang di sekitar pun memandang kami berdua sebagai pasangan ideal yang layak menjadi panutan.
Segala hal kulakukan, demi untuk membuat Mas Bram senang, meski tak ada sedikit pun kehangangatan di dalam rumah tangga kami. Aku tetap berusaha memberikan pengabdian yang paripurna sebagai seorang istri.
Selama lima tahun menjadi pasangan, belum pernah sekali pun terjadi percekcokan ataupun pertengkaran hebat di antara aku dan dia. Sebab aku yang tahu diri, memutuskan untuk selalu mengalah. Membuang jauh-jauh ego dan keinginan diri sendiri. Apa pun kemauan Mas Bram, aku turuti. Apa pun yang dikatakannya, aku patuhi. Semua yang keluar dari mulutnya, tak ubahnya ‘sabdo pandito ratu’, walaupun mungkin tak sesuai dengan kemauan hatiku.
Apakah aku tidak tersiksa dengan semua itu? Tentu saja tersiksa. Terlebih di awal-awal dulu. Sebab, bagaimanapun aku adalah manusia biasa, seperti halnya manusia lain yang merupakan makhluk egois. Akan tetapi, aku berjuang menundukkan siksaan itu. Kukalahkan diriku sendiri, dengan menekan ego serendah-rendahnya. Semua itu agar seiring watu, Mas Bram bisa luluh dan tersentuh, sehingga tergugah hatinya untuk ridha dan menerimaku dengan ikhlas, bahkan mencintaiku. Agar Tuhan pun memberikan ampunan atas dosa teramat besar yang pernah kulakukan tersebut.
Walau hubungan berjalan kaku dan Mas Bram belum juga bisa bersikap hangat selama ini, namun aku bersyukur, sebab dia tak kunjung menunjukkan tanda-tanda hendak menagih janji, yaitu menikah lagi. Kukira, selama ini Mas Bram telah melupakannya. Tetapi ternyata …?
“Apa di matamu dia kurang pantas?” Alih-alih kudapatkan jawaban, Mas Bram malah balik bertanya. Bernada dingin, sedingin sorot matanya yang membuatku bergidik. “Apa menurutmu, dia lebih buruk darimu?”
“Bu… bukan begitu!” sanggahku cepat. Aku menelan ludah sebelum meneruskan, “Mengapa tak kau cari yang masih gadis saja, yang masih perawan? Bukankah ketika itu, kau kecewa karena aku tak perawan lagi? Sebab ada orang lain yang mendahuluimu, mengambil kegadisanku. Lantas, apa bedanya sekarang, jika kau menikahi Kartika? Dia juga tak perawan, sudah pernah melahirkan dua orang anak pula.”
Mata Mas Bram membeliak lebar. Laki-laki itu naik pitam. Setelah sekian detik hanya memelototiku, dia pun bersuara.
“Bedanya? Kau bertanya apa bedanya, Imbi?” Terdengar gusar, nada suara itu, membuatku kembali tercekat dan dirundung ketakutan.
“Kau mau tahu bedanya? Kartika tidak menipuku sepertimu, Arimbi! Tidak pernah!” tandas Mas Bram, lantang. Aku terkesiap. “Sejak awal, dia berterus terang, apa adanya, dan tidak menutupi ataupun menyembunyikan tentang dirinya padaku! Perlu kau ingat lagi, Imbi, bukankah dulu sudah pernah kutegaskan, bahwa bukan semata karena setetes darah perawan yang membuatku marah malam itu!” lanjutnya dengan sorot mata yang tak ubahnya api, menyala-nyala. “Bukan semata karena setetes darah!” ulangnya, lebih tegas. “Apa kau sudah lupa itu?!”
Hening. Kugigit bibir kuat-kuat. Aku merasa seperti ditampar bertubi-tubi. Rasa panas dan pedihnya bukan terasa pada pipi dan wajah, melainkan pada sesuatu yang ada di dalam rongga d**a, yaitu hati. Aku kian merasa tak punya arti dan tak berharga di hadapan suami sendiri. Refleks, kutundukkan pandangan dalam-dalam.
“Apa di matamu, seorang janda itu buruk, hina, dan murahan, Imbi?!” tanya Mas Bram kemudian. Lagi, aku tercekat dan hanya bisa menelan ludah sendiri. “Begitukah, Imbi?” kejarnya, menuntut jawaban.
“Bu… bukan begitu, Mas. Te… te… tetapi …
“Tapi apa?!”
“Aku … aku hanya … hanya …”
“Hanya apa? Apa kau juga berpikir, bahwa janda itu adalah golongan orang yang tak punya harga diri? Jika seperti itu yang ada di dalam pikiranmu, ckckck … alangkah memprihatinkannya!”
Tak bisa kutahan, air mata kembali bergulir satu demi satu dari sudut mata. Sama sekali tak kusangka, jika rasa ingin tahu yang kukemukakan, bakal berbuntut menyakitkan. Andai saja, kata-kata itu diucapkan oleh orang lain, barangkali efeknya tak semenyakitkan ini. Namun, karena diucapkan oleh Mas Bram, orang yang kini kucintai dan sangat kudambakan kasih sayangnya, maka ngilunya terasa luar biasa.
“Ada satu hal yang perlu kau tahu dan camkan baik-baik, Imbi. Seorang janda itu tidak lebih buruk daripada seorang gadis yang rela menyerahkan kehormatannya sebelum terikat pernikahan. Apa pun alasannya! Seorang gadis, namun tidak perawan, itu yang tidak ada harganya!”
Aku terhenyak. Sebilah belati seakan ditancapkan Mas Bram tepat di ulu hatiku. Dicabut, ditancapkan lagi. Dicabut lagi dan ditancapkan lagi, begitu terus hingga berkali-kali. Darah segar mengucur deras dari bekas tusukannya. Kutadah cucuran itu dengan tanganku yang gemetar. Sakit dan memilukan memang, namun apa mau dikata? Ini adalah bagian dari konsekuensi yang harus kutanggung atas beban dosa masa lalu.