Aku tersentak hebat. Tak ubahnya petir yang menyambar pendengaran, apa yang baru saja dikatakan oleh Mas Bram itu. Langit-langit kamar serasa ambruk menimpaku. Bumi yang kupijak berguncang, lalu retak dan menganga. Ranjang pengantinku turut bergetar, sebelum akhirnya ambles, masuk ke dalam perut bumi. Kemudian, bumi menutup kembali, menguburku hidup-hidup bersama ranjang pengantin dalam gelap tanpa cahaya.
Dadaku terasa sesak. Seketika, terbayang sosok Bapak dan Ibu. Raut wajahnya, sorot matanya, juga kenangan-kenangan bersamanya. Aku adalah anak semata wayang, satu-satunya kebanggaan dan tumpuan harapan. Kuingat betul, seperti apa perjuangan mereka berdua, terutama Bapak, untuk membuat hidupku tak kekurangan apa-apa, sedari masih kanak-kanak dulu. Apa jadinya, andai mereka mengetahui semuanya esok pagi? Pastilah keduanya akan sangat terpukul.
Orang-orang akan menggunjingkan pernikahanku yang hanya berumur semalam. Lalu berbagai spekulasi tentang sebab-musabab perceraian itu bakal bergulir liar di masyarakat. Bukan hanya aku, tapi juga orangtuaku, yang akan menjadi bahan pembicaraan. Celakanya, tidak semua orang bakal merasa prihatin dan berempati. Mereka yang mencibir, mencemooh, dan berkata buruk, kemungkinan besar justru lebih banyak. Pastinya Bapak dan Ibu akan merasa sangat malu seumur hidupnya. Ya, seumur hidup. Oh tidak, itu tidak boleh terjadi!
Spontan, aku turun dari ranjang dan menghambur, menjatuhkan diri ke kaki Mas Bram. Bersimpuh dan bersujud.
“Ampun, Mas. Ampuni aku. Jangan lakukan itu, Mas, kumohon.” Kuciumi telapak kaki suamiku dengan air mata yang berderaian, berharap hatinya akan tersentuh dan bisa menaruh belas hasihan.
“Bukan semata karena setetes darah perawan, Imbi! Ingat baik-baik itu! Bukan hanya karena setetes darah perawan!” tegas Mas Bram, penuh penekanan. “Tetapi, karena kau telah berbuat curang dan menipuku!” imbuhnya. “Kesalahan apa yang telah kami lakukan pada keluargamu, sehingga harus mendapatkan ini dari kalian?”
Kata demi kata yang terucap dari mulut Mas Bram, tak ubahnya godam yang menghantam-hantam. Kian remuk hatiku mendengarnya, hancur menjadi serpihan. Semakin kueratkan dekapan tanganku pada kakinya.
“Kasihanilah kami, Mas, jangan ceraikan aku,” mohonku, di antara sedu-sedan. Tak kuhiraukan lagi soal harga diri dan gengsi. Aku sudah layaknya pengemis yang menghiba-hiba, minta dikasihani. Andai saja yang dipertaruhkan bukan perasaan dan kehormatan orangtuaku, tak akan mungkin aku melakukan hal menyedihkan seperti ini.
“Sudahlah, Arimbi, bangunlah! Kau tak perlu seperti itu! Kau orang berpendidikan, terpelajar, pasti sudah mengerti, bahwa segala sesuatu itu memiliki konsekuensi. Maka, terimalah ini sebagai konsekuensi atas semua perbuatanmu!”
“Tapi, Mas …”
“Kau jangan egois, Imbi! Bukan hanya orangtuamu yang akan kecewa. Apa kau tidak berpikir, bahwa orangtuaku pun juga akan terpukul?”
Aku terdiam. Wajah Pak Budiman dan Bu Ariyati, orangtuanya Mas Bram, seketika berkelebat dalam pandangan. Ya, Mas Bram benar, mereka berdua pun pasti akan terluka, jika mengetahui semuanya. Aku, calon menantu yang selama ini dibanggakan ke mana-mana, ternyata hanyalah seorang gadis yang tak bisa menjaga dirinya dan memberikan sisa orang lain kepada anak lelaki mereka. Padahal, mereka juga orang baik dan terhormat.
“Semuanya memang sudah terjadi, Imbi. Apa yang sudah hilang memang sudah tidak bisa kembali. Harusnya, dulu, sebelum melakukan semua itu, kau sudah memperhitungkan segala konsekuensinya. Jadi, apa pun keputusanku kini, kau harus mau menerimanya!”
“Tidak, Mas, kumohon. Aku memang salah, untuk itu kau boleh menghukumku apa saja. Aku akan menerima dan bersedia menanggungnya, asal jangan kau ceraikan aku. Kumohon, jangan beritahu Bapak dan Ibu tentang apa yang sudah terjadi.”
Bisu. Mas Bram tak menyahut lagi. Detik demi detik berlalu dalam hening. Diam-diam, di dalam hati, tak henti-hentinya kusebut nama Tuhan dan memohon pada-Nya agar melunakkan hati suamiku itu. Aku sungguh berharap, Dia bersedia menyelamatkanku kali ini.
Entah, berapa menit sudah kami terjebak dalam sunyi. Karena tak kunjung kudengar suara Mas Bram, kuberanikan diri untuk mengangkat wajah, melihat kepadanya. Ternyata, laki-laki yang sedang kunantikan kebijaksanaannya itu pun tengah memandangiku dengan sorot mata yang tak bisa kuterjemahkan maknanya. Mungkin percampuran antara kecewa, jengah dan juga jijik. Ah, entahlah ….
Berada di dalam situasi yang tak menentu, yaitu situasi yang belum jelas akan seperti apa nasibku, sebuah ide tiba-tiba hinggap di benak. Ide yang gila dan ekstrim. Andai saja situasinya tidak seperti ini, barangkali memikirkannya saja aku tak akan sudi. Namun, jika memang hanya itu yang bisa menyelamatkanku sekarang, biarlah sudah itu menjadi alternatif pilihan.
Beberapa kali kutarik napas panjang, sebelum akhirnya kuputuskan untuk nekat.
“Begini saja, Mas. Kau boleh menikah lagi, terserah dengan gadis mana pun yang kau sukai. Asal, jangan kau ceraikan aku!”
Mas Bram tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sorot mata yang semula tak kumengerti maknanya itu berubah. Kini, laki-laki itu menatapku dalam-dalam, penuh telisik. Sebenarnya aku ingin membuang muka, agar Mas Bram tak bisa melihat mataku. Agar, dia tak membaca, bahwa sebuah kompensasi yang kutawarkan itu pun sebenarnya membuatku takut. Akan tetapi, karena aku butuh untuk segera tahu akan nasibku kedepannya, maka kukuatkan hati untuk menyambut tatapannya.
Mas Bram tak langsung menyahut. Bibirnya terkatup rapat, hanya embusan napas berat yang berkali-kali terdengar. Keheningan kembali berlangsung.
“Apa kau gila, Imbi?” Suara berat Mas Bram tiba-tiba terdengar. Aku tertegun. Mataku kembali menghangat. Namun, segera kugelengkan kepalaku tegas, sebelum hatiku kembali melemah.
“Apa kau ingin membalik keadaan? Menyelamatkan dirimu sendiri dan menempatkanku pada posisi yang akan dipandang buruk oleh orang-orang?”
Aku tersentak. Sama sekali tak kuduga, Mas Bram akan berpikir ke arah sana.
“Ti … tidak! Bukan seperti itu!” sergahku segera, sebelum kesalahpahaman semakin berkembang.
“Lalu?”
“Anggap saja itu adalah penebusan atas rasa kecewa yang telah kuberikan padamu. Kompensasi, agar kita impas.”
Mas Bram kembali terdiam. Tatapannya tak lagi kepadaku, melainkan menerawang jauh, entah ke mana.
“Baiklah, Imbi,” gumamnya kemudian, “kita sepakat. Kuterima penawaranmu!”
***
“Aku sudah melakukan apa yang menjadi bagianku. Tak membuka aibmu, baik kepada kedua orangtuamu maupun kepada siapa pun. Kurahasiakan semuanya bertahun-tahun lamanya. Sehingga semua orang berpikir, rumah tangga kita baik-baik saja. Tidak juga aku menceraikanmu, meski rasa kecewa itu tidak kunjung hilang hingga detik ini. Sekarang, giliranmu menunaikan apa yang menjadi bagianmu, Imbi.”
Aku terhenyak. Layar tak kasatmata yang menayangkan kejadian lima tahun silam itu pun tergulung dengan serta-merta. Tak ada lagi kamar pengantin berhiaskan aneka bunga yang telah menjadi saksi dari pahitnya malam pengantin kami .
“Te ...tentu, Mas,” kataku lirih dengan berat hati.
“Baguslah!” pungkas Mas Bram dengan sesungging senyum tipis. Sorot matanya mengisyaratkan kelegaan. Tangannya meraih kembali kertas-kertas kerja dari atas meja dan menekuninya.