10. Kartu Debit

1188 Kata
"Katakan saja kalau Mas Rashad sedang melobiku untuk mengembalikan aset itu kepada Mas Reksa. Iya 'kan?" ucapku sambil tersenyum sinis. Tentu saja! Mas Reksa adiknya. Aset itu peninggalan orang tuanya. Aku tahu dia tidak akan rela semua itu jatuh ke tanganku begitu saja. Laki-laki itu tersenyum tidak kalah sinis. "Tidak ada untungnya bagi saya melakukan itu. Jika mau, saya bisa membangun tiga toko seperti itu sekaligus saat ini," sahutnya jumawa. Aku mengetahui usaha Mas Rashad memang lebih berkembang pesat dari pada Mas Reksa. Jika Mas Reksa mengembangkan satu toko itu dengan baik, maka Mas Rashad justru sudah membuka dua cabang baru yang dia letakkan di sudut berbeda kota ini. Bahkan yang kudengar, dia sudah merambah pada bidang lain, cafe and resto, dan penginapan. Namun, tetap saja tidak menutup kemungkinan jika dia ingin aku mengembalikan semuanya pada Mas Reksa, atas nama saudara. "Lalu kenapa memangnya aku mengambil alih aset itu? Semua itu legal. Aku tidak mengambilnya dengan cara curang!" balasku kukuh, "Ayah Hermawan sendiri yang menghibahkannya. Mas Reksa sendiri yang menanda-tanganinya." "Dan kamu merasa bangga? Hatimu puas karena berhasil membuat Reksa menjadi pecundang?" "Sebenarnya apa mau Mas Rashad?" Aku mulai emosi. "Mengajarimu untuk tidak terus-menerus menjadi perempuan bodoh!" "Maksud Mas Rashad apa?" "Kamu memang harus bangkit, Kemala. Tapi tidak dengan menggunakan kaki Reksa. Jika masih berdiri di atas kaki Reksa, maka kamu tidak akan bisa lepas dari bayang-bayang dia. Suatu saat, dia bisa mengungkit atas keberhasilanmu, lalu menjatuhkanmu dengan mengatakan bahwa semua yang kamu miliki adalah hasil rampasan dari miliknya." Laki-laki itu menatap tegas ke arahku. "Jika kamu bangkit dengan kaki sendiri, kemudian bisa lebih tinggi, maka dia tidak akan pernah bisa menjatuhkanmu hingga kapan pun," lanjutnya. Aku terdiam. Namun, jujur hatiku membenarkan apa yang dia ucapkan. Mas Reksa pasti tidak akan melepaskan asetnya untuk aku kuasai begitu saja. Bisa jadi dia akan melakukan berbagai cara untuk memilikinya kembali. Kemudian, keberhasilanku dengan memanfaatkan aset ini bisa saja menjadi sandungan ke depannya. Bisa saja dia menuntut keberhasilan itu sebagai bagian dari dirinya. Akan tetapi, aku tidak bisa melepaskan semua itu begitu saja. Di samping butuh, aku pun ingin melihatnya jatuh dan terpuruk. Aku ingin melihat, bagaimana dia bisa hidup tanpa hartanya. Apakah perempuan itu akan mau terus bersamanya jika dia tidak memiliki apa-apa. Aku ingin melihat apakah dia masih bisa menyombongkan diri setelah semuanya menjadi milikku. Aku hancur dan sakit atas pengkhianatan yang dia lakukan. Maka, dia pun harus hancur meskipun dengan cara yang berbeda. Mobil yang Mas Rashad kendarai akhirnya sampai di depan rumah kedua orang tuaku. Ibu dan Maisa sedang berada di teras. Ibu tampak menemani Maisa bermain boneka. Mas Rashad turun lebih dulu dariku, sebab memang aku sedikit kepayahan karena luka di kaki dan tangan mulai lebih nyeri. "Ayah ...!" Maisa berteriak semringah ketika melihat kedatangan laki-laki itu. Seketika ia berlari antusias menghampirinya. "Halo, Sayang." Suara berat dan dingin Mas Rashad seketika berubah lembut. Ia lantas menyambut tubuh mungil Maisa dan mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum membawanya ke dalam gendongannya. Di saat bersama Maisa merupakan satu-satunya moment aku melihat laki-laki itu tersenyum bahkan tertawa lepas. Maisa memanggil Papa pada Mas Reksa dan Ayah pada Mas Rashad. Aku tidak tahu siapa yang mempunyai ide asal mula Maisa memanggil seperti itu pada laki-laki itu. Yang jelas, semua orang membiasakan sebutan itu. "Ayah bawa mainan?" Pertanyaan itu selalu diajukan Maisa setiap bertemu Mas Rashad, sebab laki-laki itu yang selalu membelikannya mainan. Sementara Mas Reksa tidak pernah sama sekali. "Tidak ada, Sayang. Tapi kalau mau kita bisa beli," sahutnya. "Mau," balas Maisa cepat dengan logat kanak-kanaknya. "Tidak usah," cegahku. Dulu ketika Mas Rashad masih berstatus abang iparku, aku membiarkan saja dia memberi apapun pada Maisa. Toh, Maisa keponakannya dan dia pun tidak punya anak. Akan tetapi, sekarang kondisi berbeda. "Nanti Maisa pergi sama Mama saja, ya," ucapnya pada Maisa setelah melirik ke arahku terlebih dahulu. "Iya," sahut Maisa menurut. "Sekarang Maisa main sama Nenek lagi." "Iya." Setelah menurunkan Maisa, laki-laki itu melangkah mendekatiku. "Pikirkan apa yang saya katakan," ucapnya sambil menatapku tegas. Aku menggeleng cepat. "Maaf, Mas. Aku enggak akan mundur," balasku yakin. Laki-laki itu tersenyum miring. "Ini kartu debit. Isinya setara dengan harga toko dan rumah milik Reksa, bahkan mungkin lebih," ucapnya setelah mengeluarkan sebuah kartu debit dari dompetnya dan mengulurkannya padaku. Aku menatap benda tipis itu tidak mengerti. Untuk apa dia memberikannya padaku? "Mas Rashad hendak membeli toko dan rumah itu?" tebakku. "Tidak!" "Lalu?" "Hanya memberimu pilihan, kelola aset Reksa atau mulai usaha baru tanpa melibatkannya." "Maksud, Mas Rashad?" "Jika kamu sukses dengan merampas aset Reksa ...." "Sudah kukatakan, aku enggak merampas, Mas. Itu hakku sebagai kompensasi atas apa yang dilakukan Mas Reksa!" Aku memotong cepat ucapan laki-laki itu. "Apapun namanya, terserah!" tanggap laki-laki itu datar, "jika kamu sukses dengan aset Reksa, maka bisa jadi sebagian orang akan memandangmu seperti cara saya memandangmu. Bahwa kamu sukses karena harta rampasan. Reksa bisa saja menyebarkan informasi itu kepada semua orang." "Aku enggak peduli dengan tanggapan orang tentangku. Mereka tidak tahu apa-apa." "Saya juga tidak memaksamu untuk peduli. Hanya memberimu pilihan. Jika kamu gunakan uang yang ada di ATM ini, hanya saya dan kamu yang tahu dari mana sumbernya. Bahkan kalau perlu, orang tuamu pun tidak perlu tahu." "Aku tidak bisa hidup dari pemberian dan belas kasih orang lain." "Saya sama sekali tidak kasihan padamu. Masalah ini merupakan pemberian, apa bedanya dengan toko itu, kamu juga diberi oleh ayahku." "Mas Rashad tidak akan mengerti bedanya." "Anggap saja begitu." Laki-laki itu kemudian melangkah lebih dekat. Ia kembali menyodorkan kartu debit itu padaku, "PINnya ulang tahun Maisa. Jika kamu mau, gunakan seperti saran saya. Jika tidak, biarkan saja." Ia meraih tanganku paksa dan meletakkan benda itu di sana. Setelah itu, dia pergi berlalu begitu saja. *** "Kamu sama sekali tidak ingat ciri-ciri sepeda motor atau pengendara yang menabrakmu itu, Ke?" tanya Bapak ketika aku mengobati lukaku saat malam sebelum tidur. Kami sedang berkumpul di ruang keluarga. Ini merupakan pertanyaan serupa yang entah sudah ke berapa kali beliau ajukan. "Enggak, Pak. Motornya langsung mengebut setelah menabrak," sahutku sambil mendesis menahan perih. "Andai saja kota kita ini kota besar, bisa dilacak melalui CCTV jalan," ucap Bapak seolah bergumam sendiri, "ini sudah masuk ke ranah kriminal. Mencelakai orang, lalu pergi begitu saja. Sama sekali tidak ada itikat baik." "Iya, Pak. Kemala juga syok pas jatuh itu. Jadi tidak sempat mengingat dengan baik," terangku. "Tidak apa-apa. Bangkai yang disembunyikan, suatu saat juga pasti akan tercium busuknya. Suatu saat Insya Allah kita akan menemukan pelakunya." "Aamiin." "Ya, sudah. Kamu setelah ini istirahat. Bapak juga sudah mengantuk." "Iya. Bapak tidur saja." "Hmm." Bapak segera beranjak menuju kamar. Sementara aku menyelesaikan mengoles semua luka dengan antiseptik. "Ibu ke dapur dulu, ya, Ke. Mau cuci piring bekas makan kita tadi." Ibu yang sejak tadi menyimak obrolanku bersama Bapak, beranjak dari duduknya. "Iya, Bu. Maaf Kemala enggak bisa bantu," ucapku tidak enak. "Enggak apa-apa. Yang penting lukamu sembuh dulu." "Iya, Bu. Terima kasih." "Tidak perlu berterima kasih. Kayak sama siapa saja." Aku tersenyum tenteram sambil memerhatikan langkah Ibu menuju dapur. Tadi pun Maisa beliau yang menidurkan. Usai mengobati luka, aku mengemas peralatan dan menyimpannya di kotak obat. Aku hendak melangkah menuju kamar ketika terdengar ketukan pintu. "Mas Reksa?" Sosok laki-laki itu muncul begitu pintu kubuka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN