9. Jangan Cari Perkara

864 Kata
Laki-laki itu bergeming. Tidak ada tanda-tanda dia berniat menjawab pertanyaanku. Pandangan tetap angkuh, terpusat hanya ke depan. Dengan perasaan was was, aku beringsut menjauh untuk lebih dekat dengan pintu. Tanganku siaga memegang handle, mengantisipasi jika dia berniat tidak baik maka aku akan melompat. Mas Rashad melirik ke arahku sebentar dengan raut dinginnya, mungkin dia menyadari gelagatku yang mendekati pintu. Sejenak kemudian dia kembali fokus pada stir. Pandangannya kembali satu arah, lurus ke depan. Mobil yang ia kendarai masih melintasi jalan poros kota, masih lokasi ramai penduduk. Jika nanti ada tanda-tanda dia membawaku ke tempat sepi, baru aku akan menjalankan rencanaku. "Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Kamu pikir saya akan menculikmu?" Akhirnya ia buka suara. "Tidak ada gunanya untuk saya. Hanya akan merepotkan saja," lanjutnya. "Sebenarnya Mas Rashad mau apa?" tanyaku masih belum percaya dengan ucapannya. Bisa saja dia memang ingin menculikku, bekerja sama dengan Mas Reksa agar aset yang sudah jatuh ke tanganku, bisa mereka kuasai kembali. Siapa yang menjamin dia tidak akan melakukannya? "Tidak ada yang saya mau dari kamu. Jadi tidak perlu ge-er dan merasa dirimu penting." Bicara dengan laki-laki ini benar-benar menguji kesabaran. Entah di mana dia saat pembagian senyum dan kelembutan hati. Dua sifat itu benar-benar tidak ia miliki sama sekali. Secuil pun tidak. Aku mulai mengendurkan pegangan pada handle pintu. Sepertinya dia bicara jujur, bahwa tidak ada yang diinginkan dariku. Entah kemana dia akan membawa, aku hanya bisa menunggu untuk tahu. Beberapa lama kemudian mobil yang ia kendarai melambat, kemudian berhenti tepat di depan sebuah klinik. "Turun. Kita obati lukamu!" titahnya. Dia sendiri segera turun dari kursi kemudi. Aku bergeming di tempat, masih belum bisa mencerna sikap laki-laki ini. "Kamu bisa turun sendiri 'kan? Apa perlu saya gendong?" tanyanya ketika aku hanya diam. Aku segera beringsut, turun dari mobil dengan tertatih menuruti titahnya. Terang saja aku tidak mau jika dia memang benar-benar menggendong. Terserahlah dia mau apa. Selama itu tidak merugikan, aku turuti saja. Seorang dokter segera datang dan menanganiku. Aku mendesis menahan perih ketika luka mulai dibersihkan untuk diobati. "Lukanya tidak ada yang parah 'kan, Dok?" tanyanya sambil memerhatikan ketika dokter tengah mengobatiku. "Enggak ada, Pak. Ini hanya lecet," sahut dokter hangat. "Enggak ada yang patah?" Aku mendelik ke arahnya. Ekstrim sekali pertanyaannya. "Enggak, Pak. Ini hanya luka bagian luar saja." "Apa enggak infeksi nanti itu?" Ia bertanya lagi. "Resiko infeksi tetap ada, Pak, kalau tidak diobati dengan baik. Tapi saya kira Ibu bisa menjaga agar lukanya tidak infeksi." Lukaku tidaklah parah. Hanya lecet walaupun cukup banyak pada bagian tangan dan kaki. Namun, tidak menimbulkan luka pada bagian dalam. Pengobatan hanya dilakukan dengan membersihkan luka dan diberi antiseptik serta terapi oral antibiotik dan pereda rasa nyeri. Setelah pengobatan selesai, aku hendak membereskan administrasi ketika laki-laki itu berjalan mendahului. "Kamu tunggu di mobil saja, biar saya yang bayar," ucapnya masih betah dengan nada datar dan sikap dinginnya. Heran. Kalau benci kenapa repot-repot membawaku berobat. "Saya saja yang bayar, Mas." Aku menolak tawarannya. Dia bukan kakak iparku lagi. Sekali lagi, aku tidak mau berutang budi dengan keluarga Mas Reksa. "Saya tahu uang kamu banyak, tapi saya yang membawa kamu ke sini," sahutnya ketus. Aku menghela napas dalam, mencoba tetap sabar. Toh, paling ini pertemuan kami yang terakhir. Sabar .... Sabar .... Sabar .... Aku mengurut d**a lalu segera melangkah lebih dulu menuju mobil. Oleh karena jalanku lambat, akhirnya dia yang berhasil menyusul dan mendahului. Ia bahkan sempat membukakan pintu untukku. "Motor kamu sudah diantar ke rumah orang tuamu," ucapnya memberitahu ketika kami sudah berada di dalam mobil. Sambil bicara, ia men-starter roda empatnya itu. "Iya. Terima kasih," ucapku singkat sambil mengangguk. Entah mau bagaimana menanggapi orang ini. Mau ramah, dia saja begitu ketus. Lagi pula, aku masih belum tahu apa motifnya menolongku. "Kalau kamu mau hidupmu tenang, damai saja dengan Reksa," ucapnya tiba-tiba yang sontak membuatku menoleh. Oh, ternyata ini motifnya? Ingin membujukku untuk berdamai dengan adiknya? "Damai?" Aku tertawa sumbang, "Maksud Mas Rashad?" "Tidak usah cari perkara dengannya," sahutnya sambil mulai menggerakkan kemudi. "Dia yang cari perkara denganku!" "Dan kamu tidak harus membalas." "Mas Rashad mau aku rujuk sama Mas Reksa?" "Itu urusan kamu! Mau pisah atau rujuk bukan urusan saya." "Lalu damai apa yang, Mas Rashad, maksud? Mas Rashad sudah tahu kalau Mas Reksa sudah menikah dengan Devia sejak lima tahun lalu?" "Tentu saja. Hanya orang bodoh yang tidak tahu." Aku menatap laki-laki itu tanpa berkedip. Jadi dia mengatai aku bodoh? "Jadi selama ini kalian semua sudah tahu? Termasuk Reva?" "Ya." "Mengapa kalian tidak memberitahuku?" "Mengapa kami harus memberitahumu? Kamu istrinya? Seharusnya kamu yang lebih tahu." "Bagaimana aku tahu jika kalian sengaja menyembunyikannya? Kalian semua bersekongkol menipuku!" "Tidak ada yang bersekongkol! Kamu saja yang terlalu bodoh!" "Mas!" Aku menatap laki-laki itu berang, tidak terima dia terus mengataiku bodoh. "Itu benar 'kan?" "Kalau kalian tidak bersekongkol, mengapa tidak ada yang memberitahuku?" "Apa kami harus mencampuri urusan keluargamu?" "Hah!" Aku mendengkus. Berdebat dengan laki-laki ini yang ada hanya memancing emosi. Sementara apa yang aku rasakan seperti tidak tersalurkan. Semua seperti menggumpal jadi satu, kesal, jengkel, dongkol, semua membentuk gumpalan keras yang membuatku ingin berteriak memecahkannya. "Reksa tidak akan tinggal diam asetnya kamu ambil alih. Saya bukan pendukung Reksa, tapi coba kamu pikirkan baik-baik, apa yang kamu banggakan dengan mengambil alih asetnya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN