"Mas Rashad?"
Sembari meringis karena menahan sakit, aku menoleh pada pemilik suara yang tengah melangkah cepat menghampiriku.
Mengapa tiba-tiba laki-laki itu ada di sini?
"Kalau belum bisa menjaga diri, minimal kemana-mana jangan sendiri!"
Belum sempat aku mencerna kalimat yang diucapkan sebelumnya, dia sudah melontarkan kalimat yang baru.
Mas Rashad, saudara sulung Mas Reksa itu merupakan orang yang tidak pernah bersikap ramah kepadaku selama ini, bahkan sekali pun tidak pernah.
Dia selalu bersikap judes dan bicara ketus. Kalimat yang keluar dari bibirnya seolah tidak ada filter, meluncur sesuka hati tanpa menimbang perasaanku sedikit pun. Tidak pernah sedikit pun ia mengulas senyum setiap kami bertemu, yang ada hanya wajah masam dan ditekuk.
Aku tidak tahu apa yang salah padaku. Sejak awal aku menjadi istri Mas Reksa, dia sudah menunjukkan ketidak-sukaannya. Mungkin dia tidak setuju aku menikah dengan adiknya itu. Atau mungkin dia memang tidak menyukai perempuan selain Ibu dan Reva? Lihat saja, di usianya yang sudah berkepala tiga, ia belum menikah.
"Saya sudah biasa kemana-mana sendiri. Sudah sering dan tidak terjadi apa-apa. Ini hanya kebetulan saja sedang dapat musibah," balasku ketus. Geram rasanya dengan sikap arogan dan sok mengaturnya.
Selama menjadi istri Mas Reksa, aku tidak pernah diantar jika ada keperluan. Kemana-mana selalu sendiri. Nyatanya tidak terjadi apa-apa. Aku baik-baik saja. Baru satu kali ini aku mengalami kecelakaan.
Lagi pula, apa pedulinya dia jika aku kecelakaan? Aku sudah berpisah dengan Mas Reksa. Berarti dia pun bukan siapa-siapaku lagi. Bukan abang iparku lagi. Mengapa masih mengurusiku dan marah-marah?
Adik dan abang sama saja, setali tiga uang, suka menyalahkan, angkuh, dan egois.
Jujur saja, aku sebenarnya sedang tidak ingin bertemu dengan salah satu dari keluarga Mas Reksa dalam waktu dekat ini. Entah siapa, baik Ibu, Mas Rashad, maupun Reva. Terlebih Mas Reksa sendiri.
Aku sedang tidak ingin berinteraksi dengan mereka, ingin menjauh dan menenangkan diri. Namun, justru dipertemukan dengan orang ini di sini.
Mas Rashad tidak memedulikan ucapanku. Dengan sikap dingin dan angkuhnya, dia mengangkat tubuhku dari aspal, menuntun dan membawaku ke bahu jalan.
"Aku bisa sendiri!" tolakku, tidak mau tercatat punya utang budi pada salah satu keluarga Mas Reksa. Aku mencoba melepaskan diri darinya, tetapi semakin aku mencoba lepas, semakin dia mengukuhkan pegangan.
"Jangan bandel! Tinggal jalan saja!" ucapnya selalu ketus. Setelah sampai di bahu jalan, ia lalu membantuku untuk duduk berselonjor. Setelah aku duduk, laki-laki itu juga memindahkan sepeda motorku yang sebelumnya tergeletak begitu saja di jalan dan membawanya ke luar aspal.
"Terima kasih."
Meskipun sebenarnya jengkel, aku merasa wajib mengucapkan terima kasih padanya. Bagaimana pun, ia orang satu-satunya yang sudah mau menolongku saat ini.
Agak aneh sebenarnya kenapa dia mau menolong. Dengan sikap tidak sukanya dia padaku selama ini, ditambah dengan masalahku dan Mas Reksa hingga pengalihan aset, seharusnya dia senang aku kecelakaan. Tidak mungkin dia belum tahu apa yang terjadi antara aku dan Mas Reksa. Laki-laki itu pasti sudah menceritakan apa yang terjadi kepada kedua saudaranya.
Tidak membalas ucapan terima kasih dariku, laki-laki itu berlalu begitu saja, meninggalkanku di tepi jalan dan menuju mobilnya.
Aku menghela napas panjang. Dongkol sekali rasanya dengan segala sikapnya. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
Mau emosi, tetapi dia sudah menolong. Tidak emosi, tetapi sikapnya sungguh menyebalkan. Semoga ini pertemuan terakhir dengannya juga anggota keluarganya yang lain.
Setelah laki-laki itu berlalu, aku memilih untuk tetap duduk dan menenangkan diri, belum mampu untuk langsung berkendara.
Telapak tanganku lecet tergores aspal, masih terasa sangat perih.
Demikian juga lututku, selain perih, rasanya juga gemetaran karena masih syok. Kemudian yang paling parah, aku masih merasa lemas. Jantungku masih berdegup kencang dan rasanya sangat tidak nyaman.
Pengendara aepeda motor yang tadi menubrukku berlalu begitu saja. Entah dia takut, atau memang tidak mau bertanggung jawab. Sayangnya aku tidak sempat melihat plat nomornya.
Aku berjengit ketika mobil Mas Rashad berhenti tepat di sampingku. Mataku sontak melihat ke arahnya. Mau apa lagi dia?
"Minum." Laki-laki itu kembali turun dari mobil, lalu menyerahkan sebotol air mineral padaku.
Aku menatap ragu, tidak serta merta menerima.
"Ini masih segel. Jadi enggak akan ada racunnya. Lagi pula saya tidak akan meracuni kamu. Tidak ada untungnya bagi saya," ucapnya sinis.
"Terima kasih."
Akhirnya aku menerima botol yang ia ulurkan, lalu meneguk isinya. Jika ada pilihan, aku pasti sudah menolak pemberiannya. Hanya saja, aku memang butuh air untuk menenangkan diri.
Andai saja dia menawarkan dengan wajah ramah, tentu saja aku akan tulus berterima kasih. Sementara yang terjadi, ia memberikan minuman itu dengan raut dingin dan angkuh, seperti tidak ikhlas.
Setelah meminum beberapa teguk, aku menyerahkan kembali botol itu padanya.
"Sudah kuat berdiri?" tanyanya masih dengan suara angkuhnya.
"Kalau Mas Rashad mau pergi, tidak apa-apa pergi saja. Aku bisa sendiri," sahutku.
"Sombong!" desisnya tanpa kusangka, "sudah tidak berdaya seperti itu masih saja berkata bisa sendiri."
Aku menghela napas lelah. Entah apa maunya laki-laki ini. Bicara sekalipun tidak pernah ada yang mengenakkan.
Ia kemudian membuka pintu mobil bagian depan samping kemudi, "Masuk!" ucapnya singkat. Aku menatap bingung.
"Masuk. Saya antar kamu!" Ia mengulangi ucapannya.
"Saya bawa motor," tolakku, enggan untuk ikut dengannya.
"Jangan ngeyel. Apa merasa mampu bawa motor dengan kondisi seperti itu? Nanti jatuh dan akibatnya lebih fatal bagaimana? Anak kamu masih kecil. Sudah kehilangan sosok bapaknya, apa perlu kehilangan ibunya juga?"
Ternyata benar, dia sudah tahu masalahku dengan Mas Reksa.
"Mas pikir aku akan mati!"
"Bisa jadi. Ini saja hampir."
Aku mendengkus dongkol. Benar-benar menyebalkan! Padahal hanya lecet, dia berkata aku hampir mati.
"Apa perlu saya gendong?" tanyanya lagi ketika aku belum beranjak dari posisiku. Lalu dia bergerak menuju ke arahku.
"Kalau saya ikut mobil Mas Rashad, motor saya bagaimana?"
"Kamu lebih memikirkan kondisi motormu dari pada kamu sendiri?"
"Bukan begitu ...."
"Bukankah sekarang kamu sudah banyak uang, jangankan beli motor baru, mobil baru pun bisa."
Dia pun sudah tahu jika aku menguasai aset Mas Reksa. Pantas saja ketusnya semakin menjadi. Sempurnalah ketidaksukaannya padaku.
Padahal aku belum punya uang banyak. Keuangan toko sebelumnya masih dalam kekuasaan Mas Reksa, tidak mungkin ia mau menyerahkannya. Aku hanya memiliki aset, buka uang cash.
"Naik sendiri atau saya gendong?!"
Mau tidak mau aku mencoba berdiri walau lutut masih terasa gemetar. Aku melangkah tertatih menuju mobilnya dan duduk pada kursi di sebelah kemudi.
Setelah aku duduk, dia kemudian mengambil posisi kemudi. Sambil men-starter, dia menelepon seseorang.
"Ambil motor di jalan poros. Saya kirimkan fotonya ke kamu. Cek kondisinya, kalau sudah bagus antarkan ke alamat yang sebentar lagi saya kirim."
Aku mencuri lirik laki-laki di sampingku itu.
Entah apa maunya? Apa tujuannya?
Membingungkan!
Mobil yang ia kendarai mulai berjalan, mengarah pada jalan berbeda dengan arah rumah orang tuaku. Hatiku seketika curiga.
"Kita mau kemana?" tanyaku was was.
Laki-laki itu bergeming. Perasaanku mulai tidak menentu. Apakah dia bermaksud jahat?
"Mas Rashad, kita mau kemana?" tanyaku sekali lagi. Laki-laki itu menoleh sebentar, lalu memandang lagi lurus ke depan.
"Apa harus terus diulang, bahwa saya akan mengantar kamu," sahutnya dingin.
"Tapi ini bukan jalan ke rumah orang tuaku."
"Siapa yang bilang kalau saya akan mengantar kamu ke rumah orang tuamu?"
"Lalu kita akan kemana?"