"Menjadi istrimu lagi?" Aku menatap laki-laki di hadapanku setengah tidak percaya. Bagaimana ia bisa begitu percaya diri mengatakan hal itu?
"Iya." Laki-laki itu mengangguk, "Maisa juga pasti tidak akan suka jika kita berpisah. Dia masih kecil, butuh kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya," ujarnya dengan nada melembut.
"Sekarang kamu bawa-bawa Maisa, Mas?" Aku bertanya sinis. Sebelumnya ia bahkan seperti tidak menganggap Maisa ada.
"Iya, Ke. Apa kamu tidak memikirkan dia?"
"Justru aku memikirkan anakku, makanya aku memilih pergi."
"Maisa anakku juga, Ke. Dia putri kita. Jika kamu memang memikirkan dia, pasti kamu tidak akan memilih pergi."
Aku tertawa sinis. Sekarang dia mengatakan Maisa juga putrinya. Tadi-tadi kemana?
"Maisa pasti juga senang punya ibu dua. Aku yakin, Devia bisa menjadi ibu yang baik untuk Maisa. Dia bisa membantumu menjaganya kalau kamu sedang lelah."
"Maaf, Mas. Aku ikhlas berlelah-lelah menjaga anakku. Aku masih sanggup menjaganya sendiri, tidak butuh bantuan perempuan lain."
Meskipun di dunia ini hanya Mas Reksa satu-satunya laki-laki yang tersisa, aku tidak mau menjadi istrinya lagi. Lebih baik aku sendiri.
Apa yang telah dia lakukan teramat menyakitkan.
Setiap bayangan ketika dia berpacu dengan Devia di atas tempat tidurku melintas, rasa sakit itu kembali nyata menggores setiap inchi tubuhku.
Perih benar-benar perih.
Aku tidak bisa hidup dan membesarkan anakku dalam bayang kesakitan.
"Jadi maaf. Aku enggak bisa," lanjutku tegas, "keputusanku sudah bulat. Kita berpisah."
"Kamu tidak bisa menolak kata rujuk dariku, Kemala. Kata cerai dan rujuk, sepenuhnya ada padaku sebagai suami."
"Iya. Benar. Tapi, sebagai istri aku bisa menggugat cerai."
"Kamu harus ingat, Kemala. Tidak akan mencium wangi surga seorang istri yang menggugat cerai suaminya tanpa alasan yang jelas."
Aku ingin tertawa rasanya mendengar apa yang baru saja Mas Reksa sampaikan. Demi menutupi kebobrokan dirinya, dia bahkan membawa dalil-dalil. Boleh saja jika dia telah melakukan semuanya sesuai syariat. Akan tetapi, dia melakukan itu hanya untuk keuntungan pribadi.
"Jangan membawa-bawa surga dan neraka, Mas. Jika kamu sendiri tidak tahu jalan mana yang mengarah ke surga, dan jalan mana yang mengarah ke neraka."
"Bukankah laki-laki itu diperbolehkan beristri hingga empat orang. Sementara aku hanya dua. Berarti apa yang aku lakukan itu tidak salah."
"Mungkin. Tapi, cara kamu menempuhnya yang salah. Kamu bermain diam-diam di belakang, menipuku seolah hanya aku satu-satunya. Itu kesalahannya."
"Sekarang kamu sudah tahu, Kemala. Kita bisa memulai semuanya dari awal."
"Terserah apa katamu, Mas. Tapi maaf, aku tidak mau menjadi istrimu lagi."
"Ke ...."
"Permisi!"
Aku segera mengajak Bapak pulang, tidak ingin berlama-lama bicara dengan Mas Reksa. Bicara dengannya hanya akan menambah rasa sakit semakin dalam.
"Kamu tidak bisa merendahkanku dengan cara seperti ini, Kemala! Kamu akan menyesal karena aku akan membalasnya!"
Aku masih bisa mendengar kemarahan Mas Reksa. Akan tetapi, aku tidak peduli.
Poligami memang tidak dilarang. Itu syariat dan aku tidak pernah menentangnya, selama yang melakukanya bukan suamiku.
Sebab aku perempuan pencemburu. Aku takut tidak bisa berbakti dan menjalankan peran sebagai istri dengan baik jika di hati terselip rasa cemburu.
Apalagi jika poligami yang diusung Mas Reksa berawal dari rasa sakit.
Sebenarnya, aku tidak tertarik sepenuhnya dengan harta peninggalan Ayah Hermawan. Terlebih jika diperoleh dengan cara sengketa seperti ini. Aku lebih suka dengan harta yang kuperoleh dengan hasil jerih payah sendiri. Walaupun sedikit, akan terasa lebih manis dan puas.
Akan tetapi, ini dapat menjadi pembelajaran dan syok terapi untuk Mas Reksa agar tidak sesuka hati dalam berbuat.
"Apa rencana kamu sekarang, Ke?" tanya Bapak ketika kami dalam perjalanan.
Aku terdiam beberapa jenak sebelum menjawab pertanyaan Bapak. Semua yang terjadi begitu cepat, sehingga aku tidak sempat memikirkan rencana selanjutnya.
"Apakah surat-surat aset atas nama Kemala itu benar-benar ada sama Bapak?" tanyaku ingin tahu. Bukan bermaksud meragukan Bapak, tetapi memang aku butuh kepastian.
"Ya, ada, Ke. Untuk apa Bapak bohong."
"Kalau begitu kita pulang ke rumah saja dulu, Pak. Ambil salinan surat-surat atas nama Kemala itu. Setelah itu Kemala akan ke toko, bertemu dengan para pekerja dan menata ulang manajemen toko. Yang terpenting, mengatur keluar masuk keuangan, pemindahan kuasa penyimpanan keuangan toko, dan memeriksa inventaris barang."
"Perlu Bapak temani?"
"Bukankah Bapak harus bekerja?"
"Iya."
Bapak bukan merupakan wirausaha. Beliau bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang pertanian dan perkebunan di daerah ini sebagai staf administrasi.
"Kalau begitu biar Kemala sendiri saja."
"Kamu yakin?"
"Insya Allah."
"Ya, sudah. Hati-hati."
Setelah mengambil berkas yang diperlukan, aku segera meluncur ke toko bangunan yang selama ini dikelola Mas Reksa.
Toko ternyata sudah buka. Sepertinya tadi sebelum pulang ke rumah, Mas Reksa membuka toko terlebih dahulu kemudian meninggalkannya bersama para pegawainya.
Jujur, selama lima tahun menjadi istri Mas Reksa, tidak sekalipun aku menginjakkan kaki ke sini. Sekat tugas antara aku dan Mas Reksa sangat jelas, dia bekerja di luar, aku mengurus rumah.
"Mau cari apa, Bu?" Seorang pekerja langsung menyambut ramah ketika aku datang. Mereka sama sekali tidak mengenaliku sebagai (mantan) istri Mas Reksa, mengira aku datang untuk berbelanja.
"Saya Kemala, pemilik baru toko ini. Saya mau bertemu dengan semua pekerja di sini," jawabku tenang.
Pegawai itu menatap ragu. Dari ekspresinya, aku paham jika dia tidak percaya. Pasti yang dia tahu, pemilik toko ini adalah Mas Reksa.
"Panggil saja semua karyawan. Saya perlu bicara sebentar," ucapku.
"Baik, Bu." Karyawan itu mengangguk, lalu mulai memanggil dua orang rekannya. Sementara aku melangkah menuju meja kasir. Di sana terdapat beberapa kursi, aku bisa bicara dengan leluasa di sana.
Di meja kasir, duduk dua orang yang menatap bingung. Aku hanya terdiam, menunggu karyawan yang tadi aku minta untuk berkumpul. Setelah semua lengkap, aku memulai pembicaraan. Masih pagi, toko masih sepi sehingga kami dapat melakukan pembicaraan dengan aman.
"Saya Kemala, pemilik baru toko ini," ucapku sambil menunjukkan salinan surat kepemilikan kepada mereka. Aku sudah meng-copy beberapa, dan membiarkan mereka membacanya terlebih dahulu.
"Jadi mulai hari ini, apapun yang berkaitan dengan toko ini, pertanggung jawabannya tidak lagi ke Pak Reksa, melainkan ke saya," lanjutku.
Mereka semua bergeming. Aku tidak tahu apa yang ada di benak mereka. Biarkan saja.
"Kalau teman-teman sudah paham, bisa kembali bekerja. Kecuali yang bertanggung jawab dalam pembukuan toko, baik keuangan, mau pun administrasi keluar masuk barang, tetap di sini."
"Baik, Bu."
Karyawan yang membantu melayani konsumen kembali ke posisi masing-masing, kecuali dua orang yang tadi berada di meja kasir.
"Kalian yang bertanggung jawab dalam pembukuan toko?" tanyaku memastikan.
"Iya, Bu," jawab keduanya kompak. Aku mengangguk paham.
Pembukuan toko, baik keuangan dan administrasi dirangkap oleh mereka berdua. Mungkin Mas Reksa tidak mau mempekerjakan lebih banyak tangan, jadi cukup dilingkaran orang-orang itu saja. Toko ini memang bukan perusahaan dagang besar, jadi tidak memerlukan banyak pegawai.
Kepada mereka, aku bertanya dengan banyak hal tentang intern toko.
"Selama ini, pemasukan toko disimpan di mana?" tanyaku sambil mempelajari salinan laporan keuangan yang ditunjukkan.
"Omset toko per hari langsung diatur oleh Pak Reksa, Bu," terang salah satu dari mereka.
"Kami hanya mencatat dan melaporkan keuangan sesuai jumlah yang masuk dan keluar. Sementara keuangannya sendiri dipegang oleh Pak Reksa."
Aku kembali mengangguk paham.
"Yang biasa melakukan pemesanan barang kepada supplier siapa?"
"Pak Reksa juga, Bu. Kami biasanya mencatat barang yang habis, barang yang banyak diminati dan dicari, lalu melaporkannya kepada Pak Reksa."
Lagi-lagi aku mengangguk sebagai tanda paham atas apa yang mereka sampaikan.
"Selama ini pangsa pasar kita itu konsumen rumah pribadi, pabrik, proyek, atau semuanya?" Aku kembali mengajukan pertanyaan
"Kita masih fokus ke konsumen rumah pribadi, sih, Bu. Sebab untuk pabrik atau proyek, biasanya mereka minta bayar di belakang. Pak Reksa menolak melayani yang seperti itu."
"Untuk pemasaran, apakah sudah melakukan promosi misalnya di sosial media, halaman blog, spanduk atau sejenisnya?"
"Belum, Bu."
"Oke."
Sedikit banyak, aku mulai paham seluk beluk toko dan mulai memikirkan langkah apa yang perlu diambil dalam pengelolaan toko.
"Terima kasih atas penjelasan kalian. Saya kira untuk sementara ini, keterangan yang kalian berikan cukup untuk saya mengambil keputusan apa yang harus saya lakukan. Kalian sudah tahu, bahwa mulai hari ini saya adalah pemilik baru toko ini. Segala laporan, baik keuangan, persediaan atau inventarisasi barang, laporkan ke saya. Pak Reksa tidak ada hubungannya lagi dengan toko ini. Jika beliau datang dan mengambil uang omset harian, tolong jangan dilayani. Jika kalian melakukan itu, saya bisa menuntut kalian telah bersekongkol dengan pencuri."
"Baik, Bu." Keduanya mengangguk patuh.
"Saya percayakan semua pada kalian berdua."
"Iya, Bu."
"Ini nomor kontak saya. Silakan hubungi jika ada yang perlu disampaikan." Aku mencatatkan nomor ponselku pada kertas yang ada di meja.
"Siap, Bu."
"Saya permisi dulu. Ada keperluan sebentar. Nanti siang ke sini."
"Baik, Bu."
Aku kemudian beranjak, meninggalkan kedua pegawai itu untuk pulang ke rumah. Mereka sepertinya orang-orang kepercayaan Mas Reksa. Dalam beberapa hari ke depan, aku akan mengamati mereka. Jika tampak mencurigakan, mungkin aku butuh pegawai pilihan sendiri.
Jika langsung mengganti mereka, rasanya tidak tega, sebab mereka pun pasti butuh pekerjaan ini.
Aku memacu sepeda motor menuju rumah Bapak dan Ibu kembali. Suasana jalan mulai lengang. Jam kantor sudah lewat. Anak-anak sekolah sudah masuk.
Apa yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 24 jam ini rasanya bagai mimpi. Aku sebenarnya butuh waktu untuk merenungi. Akan tetapi, aku juga harus bergerak cepat.
Sepeda motorku melaju dengan pelan, ketika kemudian ....
Brak!
Aku merasa oleng. Sepertinya ada yang membentur kuda besiku itu dari belakang. Entah apa, aku tidak bisa mencerna. Aku berusaha menjaga keseimbangan, tetapi akhirnya jatuh juga di belakang. Aku meringis. Telapak tangan dan lutut terasa perih tergores aspal.
"Makanya, kalau jadi perempuan itu, bertindak harus dengan pertimbangan." Satu suara berat terdengar di belakangku.