6. Jadi Istriku Lagi

1169 Kata
Aku mulai mengerti, bahwa Bapak terpaksa ketika memintaku untuk menikah dengan Mas Reksa lima tahun lalu. Beliau menuntut kepastian dari Ayah Hermawan dan Mas Reksa, bahwa aku akan bahagia dan diperlakukan dengan baik sepanjang usia pernikahan. Kemudian demi menjamin hal itu, Bapak mengajukan syarat kalau aku disakiti dan dikhianati, maka seluruh harta Ayah Hermawan yang seharusnya diwariskan kepada Mas Reksa, akan jatuh ke tanganku. Tidak kusangka ternyata Bapak telah memikirkan semuanya dengan sempurna. Aku menatap Mas Reksa sambil tersenyum sinis, teringat bagaimana sebelumnya dia begitu jumawa dengan harta yang dia miliki. Bagaimana dia merendahkanku yang tidak bekerja, menyebut aku tidak akan bisa memberi makan anakku tanpa dirinya. Lihatlah, hanya dalam waktu singkat kurang dari 12 jam, keadaan menjadi berbalik 180 derajat. "Karena ternyata ini merupakan rumahku, berarti kamu yang harus pergi dari sini, Mas," ucapku sambil tersenyum manis. Menyaksikan raut Mas Reksa yang panik dan kelabakan, rasanya hatiku puas. Dia memang pantas mendapatkan semua ini atas apa yang telah dilakukan terhadapku. Bahkan kalau boleh dibandingkan, rasa sakit yang aku rasakan tidak sepadan walaupun semua harta itu jatuh ke tanganku. Intonasi bicara sengaja kubuat sedikit mengejek, menertawakan dia yang sekarang tidak punya apa-apa. "Jadi kamu yang harus mengemas barang-barangmu, bukan aku. Sekarang kamu yang tidak punya apa-apa, Mas. Semoga wanita yang sangat kamu cintai dan tetap kamu maafkan walau sebesar apapun kesalahannya itu, masih mau menemanimu," lanjutku sambil melirik penuh kemenangan pada Devia. Perempuan itu menatapku geram. "Jangan sombong kamu, Kemala. Apa yang bapakmu itu katakan, belum tentu benar," balas Devia sambil menatapku nyalang. "Masa, sih, belum tentu benar?" balasku sambil terkekeh mengejek. Dia menatapku semakin geram, tetapi tidak bisa berkata apa-apa. Mas Reksa juga memusatkan pandangannya ke arahku. Matanya pun menatap tidak kalah geram. "Aku tidak akan pergi dari rumah ini, Kemala! Ini rumahku! Jangan asal bicara kamu mengatakan bahwa ini rumahmu!" ucapnya garang. Suaranya menggelegar. Aku bahkan sampai berjengit karena tidak menyangka dia berucap dengan suaranya yang begitu kencang secara tiba-tiba. Mas Reksa yang kukenal memang pribadi yang agak temperamen dalam menghadapi setiap masalah. Hanya saja selama ini tidak pernah dia berkata sekasar itu. Sepertinya saat ini dia benar-benar berada di puncak amarah. Pasti dia sangat sakit menerima kenyataan yang tidak terduga ini. Rasakanlah! Begitu pun sakitnya tidak sebanding dengan apa yang aku rasakan. "Menapa begitu marah, Mas? Apa kamu sangat begitu takut miskin?" tanyaku kalem. Aku sengaja menunjukkan ketenangan padanya, agar dia bertambah emosi karena merasa marah tidak berlawan. "Aku saja tidak apa-apa saat kamu mengatakan kita berpisah tanpa nafkah atau harta gono gini. Lalu kenapa kamu begitu panik?" "Diam kamu, Kemala!" Mas Reksa kembali berucap kencang sambil matanya terus menatap garang. "Kamu yang diam, Mas! Sudah kukatakan sejak semalam, jangan membentakku! Aku tidak takut padamu. Kamu bukan siapa-siapaku lagi." Kali ini aku tidak tinggal diam lagi Akhirnya suaraku meninggi. Aku tidak suka dia seenaknya mengintimidasi. "O .... Jadi sekarang kamu sudah berani? Mentang-mentang sudah mendapatkan aset yang diinginkan. Tidak kusangka ternyata kamu perempuan matre. Jadi tujuan kamu menikah denganku hanya karena ingin mengincar harta ayahku? Anak dan Bapak sama saja." Mas Reksa menatapku sinis. "Apa maksud kamu, Mas?" tanyaku dengan kening mengernyit. Bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu. "Sudah jelas maksudku apa 'kan? Kamu setuju menikah denganku karena mengincar warisan ayahku saja?" ucapnya seperti sengaja memancing emosiku. "Jangan sembarangan menuduh kamu, Mas!" "Aku tidak menuduh. Buktinya sudah sangat jelas. Kalian sengaja menyiapkan rencana untuk menguasai seluruh harta ayahku!" "Semua itu tidak akan terjadi kalau kamu tidak berulah! Kalau kamu tidak berkhianat dan diam-diam menikah lagi di belakangku!" ujarku geram. "Aku mencintai Devia! Apa salahnya aku menikahi dia? Kamu tidak berhak melarangku!" "Aku tidak melarangmu, Mas! Kamu pergilah dengannya. Hidup sesukamu. Aku tidak peduli." "Tapi bukan berarti kamu harus merampas semua hartaku, Ke!" "Siapa yang merampas hartamu! Semua ini sudah kesepakatan di antara kalian. Aku bahkan tidak ikut dalam kesepakatan itu! Kamu yang menandatanganinya secara sadar." "Ini bukan kesepakatan. Aku tidak pernah sepakat untuk menyerahkan semua aset Bapak kepadamu! Ini pasti hanya akal-akalan bapakmu saja Dasar curang!" "Terserah apa katamu, Reksa! Mau kamu katakan kami bermain curang atau sekadar akal-akalan saja, terserah. Yang jelas, hitam di atas putih ini asli. Bukan tiruan," timpal Bapak cepat. Beliau pun tampak cukup geram dengan ucapan Mas Reksa. "Aku tidak akan membiarkan kalian menguasai seluruh asetku. Sepeser pun tidak akan aku berikan!" "Sudahlah, Mas. Tidak perlu berlagak seolah, Mas, paling menjadi korban di sini. Lebih baik, Mas, terima saja kenyataan dan segera bersiap untuk meninggalkan rumah ini," ucapku sedikit menurunkan ritme obrolan. "Kalian tidak bisa mengusirku dari rumahku sendiri!" Mas Reksa masih tidak terima. "Tentu saja bisa, Mas. Aku beri kamu waktu sampai besok pagi. Silakan angkut semua barang-barangmu dan kosongkan rumah ini. Sekarang aku akan mengambil beberapa pakaianku." Aku memungkas pembicaraan dengan Mas Reksa, tidak ingin bicara lebih panjang lagi. Dengan sikapnya yang bersikeras seperti itu, terus bicara tidak akan sampai pada titik temu. Hanya buang-buang waktu dan energi saja. Setelah itu, tidak memedulikan lagi kemarahannya, aku masuk dan langsung menuju kamar yang biasa kami tempati. Aku membuka pintu kamar secara perlahan. Begitu pintu terbuka, seketika rasa sakit kembali mendera. Kilas balik kejadian semalam, dimana Mas Reksa tengah beradu dengan Devia di atas tempat tidur kami terputar kembali. Bayangan itu masih melekat nyata di penglihatanku, berkelebat erat dalam benak. Aku meremas d**a, mengurangi rasa sakit yang demikian menyesak. Kondisi kamar dan tempat tidur begitu berantakan, belum dikemaskan sisa pergumulan mereka tadi malam. Bahkan pakaian dalam Devia masih terserak di lantai. Aku menganjur napas, membuang gumpalan dan rasa sakit dalam d**a. Mereka sungguh tidak punya hati. Bermain gila di kamarku. Namun, biarlah. Jika tidak bermain di kamar ini, mungkin aku tidak akan pernah tahu pengkhianatan yang dilakukan Mas Reksa. Aku melangkah jinjit menghindari pakaian yang terserak itu, lalu mengarahkan kaki menuju lemari. Aku mengambil beberapa potong pakaian yang diperkirakan cukup hingga aku kembali ke rumah ini lagi. Tidak lupa pula, aku mengambil barang-barang perawatan diri. Mengurus rumah sebesar ini sendiri, aku tidak punya waktu untuk ke salon. Jangankan ke salon, untuk perawatan diri sendiri di rumah pun terasa sulit. Oleh karena itu, aku hanya mempunyai beberapa skincare seadanya, hanya serum, booster serum, dan sun screen dari B-erl. Namun, itu cukup bagiku untuk menjaga agar kulit wajah tetap bersih, cerah alami, mengilap, dan tidak ada flek hitam. Setelah merasa cukup, aku meninggalkan kamar dan kembali ke teras di mana Bapak menunggu. "Kami pulang dulu, Mas. Ingat besok pagi rumah ini harus sudah kosong. Pindahkan barang-barangmu dan ibumu, tapi jangan mengganggu barang-barangku," ucapku pada Mas Reksa, "aku bisa mencatatnya sebagai tindakan penjarahan." "Berapa kali harus kukatakan, aku tidak akan meninggalkan rumah ini, Kemala! Ini rumahku! Kau tidak berhak mengusirku!" Mas Reksa bersikeras dengan ucapannya. "Terserah. Kalau, Mas, tidak mau meninggalkan rumah ini secara sukarela, mungkin kami perlu melakukannya secara paksa." "Kurang ajar kamu, Kemala! Berani kamu memerlakukan suamimu seperti ini! Istri durhaka kamu!" ucap Mas Reksa berang. "Sudahlah, Mas. Jangan bersembunyi di balik status suami, padahal kamu bukan suamiku lagi." "Aku masih suamimu, Kemala! Aku tidak akan pernah menceraikanmu." "Kukira talakmu sudah jatuh, Mas." "Kalau begitu aku akan merujukmu. Kau jadi istriku lagi, Kemala!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN