"Bukankah itu Jessi?" Balder menepuk pundak Felix tatkala melihat Jessi bersama seseorang melalui jendela bis yang ditumpanginya saat ini. Posisi tempat duduk Balder di samping kaca jendela sedangkan Felix berada di sebelahnya.
Felix melirik ke arah jendela dan melihat Jessi bersama Dipta menaiki sepeda dimana Jessi dibonceng oleh lelaki itu. Mereka berdua tampak sedang bersenda gurau.
Setelah itu Felix membuang mukanya ke arah lain dan Balder pun bingung karena Felix tidak merespon apa-apa.
"Gak cemburu lo?"
Felix menggeleng pelan.
"Lha gak ada rasa sama dia ya? Gue kira lo punya rada gitu secara dari kecil, lo sering ceritain tentang dia dan semangat banget." Balder merasa heran menatap temannya yang biasa saja setelah mengetahui Jessi bersama lelaki lain.
"Dia hanya teman kecil dan tidak lebih," jawab Felix.
"Oh gue kira lo ada rasa sama dia. Eh iya mana mungkin kan kalian masih anak-anak, masak sudah cinta-cintaan." Balder menggaruk tekukny yang tidak gatal dan merasa aneh terhadap ucapannya sendiri.
Bus yang mereka tumpangi kini telah sampai ke tempat tujuan yaitu sekolah mereka. Mereka berdua turun dari bus setelah meletakkan kartu sekolah mereka di tempat p********n. Bus sekolah ini masih campur dengan bus biasa yang juga mengantarkan orang lain bukan anak sekolahan. Jika memakai kartu sekolah tidak akan dikenakan biaya sebab pemerintahan yang sudah mengatur biaya transportasi secara gratis ke sekolah.
Felix melangkah begitu saja mengabaikan temannya yang masih berjalan menyusulnya dari belakang.
Balder tersenyum samar sambil menggeleng melihat temannya itu selalu acuh terhadap sekitar. Ia tidak sakit hati mengetahui sikap Felix begitu karena Balder tau penyebabnya Felix bersikap seperti itu.
'Andai dulu tidak anak yang mencemooh dia pasti Felix tidak seacuh ini sama sekitar'--Balder teringat masa kecilnya bersama Felix dimana Felix pernah mendapat bullying berupa hinaan dari orang-orang sekitar sehingga Felix menjadi pribadi yang lebih tertutup dan tidak suka bergaul dengan orang lain. Menganggap semuanya adalah orang jahat yang menganggu mentalnya. Tipe orang seperti Felix lebih menyukai ketenangan dan jika ada kebisingan Felix tidak bisa mengontrol dirinya.
"Gue ditinggal, jahat banget." Balder merangkul Felix namun Felix segera menarik tangan temannya agar tidak merangkulnya.
"Risih," ucap Felix yang tidak suka dirangkul.
Balder tersenyum lebar lalu mereka berdua melangkah bersama menuju kelas mereka di sekolah barunya.
Tiba di kelas, Felix duduk dan mulai menyiapkan mata pelajaran di jam pertama mengabaikan sosok gadis cantik di sebelahnya yang sedari tadi memperhatikannya.
"Kenapa sih lo irit banget eh maksudnya gak ngomong gitu. Lagian kan suara kita ini gak bakal habis jadi harus dimanfaatkan eh maksudnya bersyukur kita bisa berbicara panjang lebar." Jessi masih berusaha mengajak Abra mengobrol walau tidak direspon sama sekali oleh Abra sendiri.
"Lo kan normal dan gak bisu. Kenapa sih sukanya diam mulu, sesekali ajak gue ngobrol lah." Jessi menatap heran pada Abra yang sekarang fokus membaca buku.
Karena terus diabaikan akhirnya Jessi memikirkan sesuatu, sesuatu yang membuat Abra tidak akan mengabaikannya. Jessi menjetikkan jarinya saat sudah menemukan ide bagus diotaknya.
"Lo sudah ngerjain tugas matematika?" tanya Jessi pada Abra.
'Yahh'--pekik Jessi di dalam hatinya melihat Abra yang langsung menegang tubuhnya.
"Ada?" tanya Abra singkat.
"Ada. Eh iya kan lo murid baru tapi meski murid baru, harus sebisa mungkin mengerjakan tugas. Coba cek--" Jessi tidak melanjutkan ucapannya melihat Abra yang buru-buru menyiapkan buku matematikanya.
'Aih gue baru tau'--batin Abra yang baru mengecek pesan dari gurunya yang menyuruhnya untuk bertanya soal tugas karena tugas itu wajib dikerjakan meski statusnya masih murid baru.
"Lo bisa nyontek gue biar lebih cepat selesai." Jessi menyodorkan buku tugasnya kepada Abra tapi dihiraukan oleh lelaki itu yang masih ingin mengerjakannya sendiri.
"Hadeh emang bisa mengerjakan soal sebanyak itu dalam waktu yang cukup singkat? Gue aja kurang dua soal dan ini sulit banget kata temen gue." Jessi tidak percaya kalau Abra bisa mengerjakan tugas matematika yang menurutnya sangat sulit sekali dan heran saja mengapa lelaki itu lebih memilih mengerjakan sendiri daripada menerima tawarannya.
Jessi masih betah melihat Abra yang sedang fokus mengerjakan tugas matematika dan dia melongo melihat jawaban di nomer dua dimana nomer dua itu belum Jessi isi karena menurut Dipta kemarin soal nomor dua itu sangat lah sulit dipecahkan. Tapi ini? Abra bisa mengerjakan selancar itu.
"Emm lo keturuannya ilmuan apa gimana ya kok bisa sejago itu?" Jessi menutup mulutnya dengan tangannya mengetahui Abra hampir menyelesaikan tugas itu dalam waktu yang cukup singkat.
"Selesai." Satu kata terlontar dari mulut Abra ketika telah menyelesaikan semua soal matematika itu dalam waktu yang cukup singkat.
Jessi langsung meraih buku tugasnya Abra begitu saja dan masih tidak percaya Abra bisa menyelesaikan tugas tersebut secepatnya ini.
"Ah kayaknya lo sudah nyontek atau nulis duluan tapi ditipisin deh jadinya lo bisa ngerjain tugas mat secepat ini." Jessi terkekeh pelan sembari mengembalikan buku tugas itu kepada Abra. Jessi mencoba berpikir yang lain walau dirinya tidak menemukan coretan tipis disana.
Abra diam saja diremehkan oleh Jessi yang masih tidak mempercayainya bisa mengerjakan tugas matematika itu dalam waktu yang cukup singkat.
'Ah gak mungkin deh dia bisa mengerjakan tugas mat semudah itu'--Pikir Jessi sambil menggeleng.
Bel masuk telah berbunyi dan kini saatnya pelajaran di jam pertama dimulai.
...
"Eh kalian, gue punya cerita nih." Jessi baru saja duduk bersama dua temannya dan ingin menceritakan kejadian tadi kepada mereka berdua yaitu Anya dan Dipta. Saat ini waktunya istirahat jam pertama mereka tidak membeli makanan ringan terlalu banyak sebab nanti ada istirahat lagi di jam makan siang. Setiap bel berbunyi jika kelas mereka waktu istirahat tidak sama biasanya janjian di kantin supaya mereka mendapatkan tempat duduk dan bisa berbincang disana.
"Gue ada cerita tentang murid baru yang sebangku sama gue."
"Maksud lo si Abra?" tanya Dipta dan Anya kompak.
"Iya." Jessi mengangguk.
"Emang kenapa sama dia?" tanya Anya penasaran.
"Dia jenius banget orangnya." Jessi mulai menceritakan tentang Abra dengan antusias dan tanpa disadari olehnya, ada Dipta yang cemburu mendengar cerita Jessi itu. Dipta memilih diam saja meski hatinya sangat sakit
"Jenius?"
"Iya, tau gak? Dia itu bisa mengerjakan tugas matematika dalam waktu yang cukup singkat bahkan soal sulit menurut Dipta aja dia bisa ngerjainnya. Keren banget deh." Jessi bertepuk tangan.
"Wow hebat juga." Anya mengangguk-angguk lalu melirik Dipta yang diam saja dan dia sudah tau perasaan Dipta saat ini.
"Tapi gue masih belum yakin sama dia sih, ya gak percaya aja ada orang sepintar dia." Raut wajah Jessi berubah ketika ada ragu di hatinya dan belum percaya sepenuhnya bahwa Abra sepintar itu.
"Ya mungkin memang ada sih Jes, cuman kan jarang banget ada orang yang jenius dan kayak manusia langka. Emang lo tau dulunya dia sekolah dimana? Lo tau alasan dia pindah sekolah?"
"Eh iyaya, dia sekolah dimana? Apa dia dulu sekolahnya di favorit tapi kalau sudah difavorit kenapa bisa pindah?"
"Coba basa-basi ke dia." Saran dari Anya.
"Hadeh susah mau basa-basi ke dia, gue kayak lagi bicara sama hantu dan kelihatan kayak orang gila juga ngobrol sama dia. Dia bicara juga irit banget terus cuekin gue terus menerus. Kan gue capek ngomong terus dan dia malah asyik sama dunianya sendiri." Jessi menggebu-gebu menceritakan tentang Abra yang sangat sulit diajak mengobrol.
"Sombong kali dia," celetuk Dipta.
"Enggak deh, mungkin sifatnya memang begitu dan gak semua orang sifatnya seramah kayak kita-kita ini. Ada juga orang yang anti sifatnya kayak kita begini dan cenderung lebih suka menutup diri dari orang-orang." Timpal Anya.
Dipta melirik Anya dan Anya pun juga begitu.
"Jangan jelekin orang deh!" Bisik Anya menegur Dipta.
"Oh begitu ya, tapi kayak sombong sih." Jessi mencebikkan bibirnya.
"Betul tuh kayak orang sombong." Langsung diangguki oleh Dipta.
"Hadeh gini nih punya temen yang gak bisa ngertiin sifat orang lain. Kalau kita mau dingertiin orang lain ya kita harus ngertiin mereka. Jangan egois lah!" Anya menghembuskan napasnya pelan dan menegur kedua temannya yang suka berbicara seenaknya kepada orang lain.
"Iya deh enggak kayak gitu, tapi gue mikirnya begitu hehe." Jesai mengangkat dua jarinya.
"Emang kalau dia sombong, apa yang disombongkan ke lo? Dia nunjukin diri kalau dia pinter ke lo? Dan lainnya?" tanya Anya heran pada Jessi.
"Enggak sih, gue ambil bukunya aja dia gak marah sama sekali dan gue kemarin juga nyontek ke dia. Cuman syaratnya harus diam." Jessi teringat kemarin dimana dirinya langsung dibolehi mencontek tugasnya begitu saja oleh Abra. Abra juga tidak menyombongkan dirinya kalau dia murid yang pintar dan memang hanya diam saja di kelas.
"Tuh kan, terus atas dasar apa lo ngatain dia sombong? Ih harusnya lo berterima kasih ke dia karena mau nyontekin lo, bukannya malah jelekin dia. Rasanya gue pengen nampol lo sekarang juga deh." Anya mendengus sebal lalu melirik Dipta dan menepuk pundak temannya itu.
"Dan juga lo, lo kan kemarin habis ditolongin sama Abra. Eh malah jelekin Abra, gak tau diri ya kalian berdua." Anya geleng-geleng kepala terhadap sikap teman-temannya.
"Emang lo suka sama Abra ya sampai belain dia?" tanya Dipta heran.
"Astaga bukan begitu, gue gak belain sih tapi emang kalian aja yang salah makanya gue tegur. Tugas teman baik ya kayak begitu." Anya berdecak kesal karena mereka tidak paham yang dimaksudkannya.
"Hayoloh lo suka sama dia kan? Gue bisa bantu kok, tenang aja." Jessi malah ikut menggoda Anya.
"Hadeh terserah kalian pada dah."
Bel masuk kembali berdering menandakan jam istirahat mereka telah berakhir. Mereka bertiga pun kembali ke kelasnya masing-masing.
Jessi celingukan di ambang pintu dan sesekali meminggirkan tubuhnya karena teman-temannya satu per satu memasuki kelasnya.
Tentu ada alasan Jessi masih berdiri di ambang pintu dan dia sedang mencari keberadaan lelaki yang irit bicara belum juga ada di kelas.
"Dia ada dimana ya? Tadi di kantin juga gak kelihatan tuh bocah." Gumam Jessi.
"Dimana ya kira-kira?"
"Oit Jes, lo lagi ngapain?"
Seseorang memanggilnya dari arah samping dan Jessi terlonjak kaget bahkan sampai memundurkan langkahnya sambil mengusap dadanya pelan.
"Astaga."
"Haha wajah lo lucu juga." Orang itu menggelengkan kepalanya.
"Ck, kaget gue. Eh habis darimana kalian?" Jessi berdecak kesal dan melirik seseorang di sebelah si pelaku yang membuatnya kaget.
"Habis ngurusin seragam di koperasi, gila sih rame banget dan gue dapatnya gak lengkap. Ini si Abra dapatnya lengkap," jawab Balder sembari melirik Abra yang diam saja.
"Ouh gitu, kenapa gak minta tolong sama gue? Biar gue yang ngurus dan bisa cepat lhoh tanpa mengantri." Jessi tersenyum dan sesekali menatap Abra yang masih berdiri di sebelah Balder.
"Wah kok bisa?"
"Ya karena gue kenal ibu koperasi, sebenernya sih kemarin mau nawarin ini ke Abra tapi dia cuekin gue mulu." Raut wajah Jessi berubah kesal.
"Parah lo malah cuekin dia terus, kebiasan lo ya--eh malah kabur." Balder mendengus sebal melihat Abra or Felix ini nyelonong pergi ke bangkunya.
'Tuh kan, cuekin gue lagi. Kok gak tertarik sih sama pembahasan gue ini kan biar dia kalau ada apa-apa bisa bicara ke gue'--batin Jessi.
"Maafin temen gue yang agak-agak nyebelin ya."
"Bukan agak lagi tapi nyebelin pakai banget." Jessi menghentakkan kedua kakinya lalu duduk ke bangkunya.
"Duh." Balder melongo melihat Jessi sekesal itu kepada temannya.
Di bangku, mereka berdua saling diam namun Jessi terus saja melirik Abra yang fokus belajar materi matematika yang baru dan akan dipelajari nanti.
'Emm apa gue tanyain ya soal tadi?'--Tiba-tiba Jessi memikirkan ucapan Anya tentang Abra.
"Btw gue mau nanya sesuatu," ucap Jessi dan dihiraukan oleh Abra walau Abra masih dapat mendengar jelas ucapan Jessi.
"Emm lo itu emang beneran jenius kah? Ah pasti gak mau jawab." Jessi menggelengkan kepalanya sebentar lalu mencari pertanyaan yang tepat lagi untuk Abra.
"Lo asli asal orang ini kan?"
Abra pun menghentikan aktivitas belajarnya tapi tidak menoleh ke Jessi dan hanya menggelengkan kepalanya saja sebagai jawaban.
"Akhirnya direspon juga." Jessi bernapas lega tapi masih ada hal yang ingin dipertanyakan ke Abra.
"Kalau bukan asal ini berarti kepindahan sekolah lo memang pindah. Oh ya, kenapa lo pindah ke kota ini? Apa karena orang tua lo pindah kerjaan atau gimana?" Namun Jessi tidak yakin kalau Abra ini putra dari orang yang berpunya sebab Abra tidak mengendarai kendaraan pribadi ke sekolah.
Abra hanya diam saja.
"Yahh diam deh padahal gue kepo banget." Jessi mendesah kecewa karena Abra kembali diam dan hanya menjawab sekali saja.
"Ah kan bisa tanya Balder." Jessi beranjak berdiri dan berlari kecil menuju bangkunya Balder.
'Gadis yang kepo'--ucap Felix di dalam hatinya.
Setelah bertanya kepada Balder dan lelaki itu juga mau menjawab alasan kepindahan Abra ke kota ini.
"Oh kalian dulu menang mencoba merantau di kota lain, hidup sendirian tanpa orang tua dan pengen tau rasanya hidup sendiri. Itu cuman berapa lama?" tanya Jessi penasaran.
"Itu sih waktu SMP kelas 1 sampai SMA kelas 1 doang dan sekarang lebih memilih balik lagi ke kota ini setelah bokap gue meninggal dan otomatis gak ada yang bantu nyokap gue yang ngurusin adik-adik gue."
"Oalah, sedih dengernya. Turut berduka cita ya."
"Iya, Jessi. Makasih."
"Tapi memang tinggal berdua?"
"Iya, berdua saja dan di sekolah sebelumnya memang ada tempat asrama buat murid-murid rantau kayak kita. Seru sih."
"Ah begitu, gue nanti tinggal sendiri kalau sudah kuliah deh kayaknya hehe. Tapi hebat lo bisa tinggal sendiri meski berdua sama teman kan apa-apa juga sendiri." Jessi mengacungkan jempolnya dan merasa ikut keren mendengar cerita dari Balder.
"Banyak pengalamannya sih, nanti cobain aja karena kehidupan yang sebenernya nanti setelah menyelesaikan pendidikan. Nanti bakal tau rasanya berjuang hidup di dunia yang keras ini."
Setelah puas berbincang dengan Balder, selanjutnya Jessi kembali duduk dibangkunya dan Abra masih saja fokus belajar padahal yang lain kebanyakan bermain.
"Lo kan pintar hitung-hitungan, kenapa gak ambil jurusan IPA aja?"
Abra menggeleng.
"Kenapa?"
Abra tidak menjawab.
"Ih mesti ya gue tanyain alasannya gak dijawab-jawab."
Jessi frustasi dan tidak lagi bertanya kepada Abra. Ia memilih diam sambil menambahkan energi kesabarannya menghadapi manusia es di sebelahnya.
"Es tebu, kaku. Kaku." Gerutu Jessi.
'Apa katanya? Gue es tebu? Sialan, enak aja gue dikatain begitu'--ucap Felix kesal. Ia hanya malas berbicara jika pembahasannya tak begitu penting menurutnya.
Kemudian datanglah seorang guru matematika di kelas mereka dan langsung menyuruh mereka mengumpulkan tugas yang sudah diberikan dua hari yang lalu.
Abra melirik ke bangkunya Balder dan temannya itu mengacungkan jempolnya. Tentu Abra tidak lupa memberitahukan Balder karena teman satu-satunya yang dimilikinya dan paling paham sikapnya. Abra tidak berdiri sewaktu menumpuk tugas tersebut karena bukunya dibawa oleh Balder dan untung saja Balder telah menyelesaikannya meski hanya separuh saja karena disisi lain Balder tidak ingin disuruh maju kedepan yang biasanya para melakukan terutama matematika untuk mengetes murid. Apakah tugas itu dikerjakan sendiri atau tidak.
"Buku lo dicontek sama Balder ya?" tanya Jessi pada Abra dan Abra mengabaikannya.
"Cuekin terus." Jessi berdecak kesal bahkan posisi tangannya seperti akan mencabik-cabik wajah Abra. Abra menjauhkan wajahnya melihat Jessi yang menurutnya aneh.
"Argh terserah lo deh!" Jessi bersedekap d**a dan pandangannya kini lurus kedepan.
Abra menghembuskan napasnya pelan lalu memperbaiki letak kursinya yang hampir keluar dari batasannya.
"Lo marah-marah mulu Jes." Temannya yang duduk di belakang Jessi mengomentari gadis itu.
"Gimana gak marah, dia ini sulit banget diajak ngobrol. Berasa bicara sama hantu." Jessi menunjuk Abra yang sekarang baru saja duduk tenang kini dibuat kaget lagi. Abra mengusap dadanya sendiri dan melirik gadis itu sekilas yang tengah menunjukkan jarinya ke arahnya.
Ingin rasanya marah namun Abra tidak bisa memarahi Jessi karena Jessi adalah seseorang yang istimewa di masa lalunya.
"Hahaha sabar bestie, cowok cool mah gitu."
"Cowok cool?"
"Iya cowok cool, Abra itu cowok cool makanya sifatnya kayak begitu."
'Ada lagi sebutan buat gue, cowok cool? Apaan coba?'--Abra merasa heran sekali kepada mereka berdua lalu kembali fokus menatap buku pelajarannya.
"Perhatikan anak-anak, Bu Diyah mau memberitahukan nilai tertinggi di kelas bahkan ibu tidak menyangka ada murid yang mampu mengerjakan soal tersulit yang pernah Bu Diyah buat dan dia satu-satunya murid di kelas ini yang bisa memecahkan soal sulit tersebut. Bu Diyah tidak menyangka orang itu adalah murid baru," ucap Bu Diyah sembari tersenyum dan beranjak berdiri.
"Ha? Siapa yang dapat nilai tertinggi?"
"Balder kah? Atau Abra?"
"Wah benarkah ada yang bisa mengerjakan soal sulit yang gak bisa gue kerjain itu."
Di belakanang sana, Balder menggelengkan kepalanya ketika banyak murid yang bertanya apakah dirinya yang dimaksud oleh Bu Diyaj dan Balder mengatakan bahwa orangnya itu adalah Abra.
Sayup-sayup terdengar suara seluruh murid di dalam kelas ini yang ikut merasa heran setelah mendengar penjelasan dari guru matematika tersebut. Mereka semua kebingungan menebak antara Abra ataukah Balder yang dimaksud oleh Bu Diyah.
"Dia adalah Abra, kemarilah Nak. Ibu mau bertanya sesuatu kepadamu." Perintah Bu Diyah kepada Abra.
"Wah hebat dong."
"Ngeri nih anak, diam-diam menakjupkan."
"Keren banget si Abra."
Seluruh murid di dalam kelas ini kompak ada yang bertepuk tangan karena menurut mereka sosok Abra itu keren sebab mampu mengerjakan soal matematika tersulit yang diberikan oleh Bu Diyah padahal jarang ada murid yabg mampu mengerjakan dengan benar.
"Apakah kamu benar-benar mengerjakan tugas matematika ini sendirian?" tanya Bu Diyah kepada Abra dan guru itu masih tidak percaya Abra mampu mengerjakan soal yang menjebak sekaligus.
"Iya, Bu." Abra mengangguk.
"Coba kamu kerjakan soal yang ibu berikan ini dipapan ya, Nak." Bu Diyah ingin mengetes kemampuan Abra secara langsung dan disaksikan seluruh murid di kelas ini.
Abra mengangguk saja dan menunggu guru itu menulis soal di papan tulis.
"Nah sudah, silakan kerjakan." Bu Diyah memberikan tiga soal yang menurutnya sudah cukup untuk mengetahui seberapa mampunya Abra menyelesaikan soal di papan tulis.
"Kalian semua juga boleh mengerjakan soal ini dan bisa dapat poin tambahan kalau diantara kalian ada yang bisa menyelesaikan soal ini lebih dulu dibanding Abra. Silakan Abra." Bu Diyah menoleh ke Abra setelah menyuruh murid lain juga ikut mengerjakan soal tersebut.
"Enggak, gak ini sulit."
"Sulit banget sumpah."
"Gue aja pusing."
"Nyerah duluan gue."
"Sama woe, gue lihat soalnya aja udah capek."
Itulah beberapa ucapan para murid yang sudah menyerah duluan karena merasa tidak mampu mengerjakan soal matematika yang ada di papan tulis dan lebih memilih memperhatikan Abra yang saat ini begitu fokus mengerjakan soal-soal matematika tersebut.
"Woah." Bu Diyah baru saja melihat lagi papan tulis yang sekarang sudah dipenuhi banyak angka disana. Padahal waktunya sudah hampir setengah dan ini sudah hampir selesai.
Bu Diyah langsung berdiri dan syok sekali melihat jawaban Abra yang sangat benar.
"Sudah, Bu." Abra meletakkan spidol dan penghapus spidol si atas meja guru.
Jessi tercengang melihat Abra yang benar-benar jenius sekali. Sekarang baru sangat percaya sekali karena sudah terbukti jelas tepat di hadapannya langsung.
"Apa si Abra ini titisan ilmuan jaman dulu kah? Pinter banget." Gumam Jessi.
"Kamu ikut les? Oh ya anak-anak ini jawaban Abra benar semua." tanya Bu Diyah kepada Abra dan Abra mendapatkan tepul tangan dari teman-teman sekelasnya terutama Balder yang berteriak heboh meminta ditraktir.
"Tidak, Bu. Saya memang menyukai pelajaran matematika."
"Murid langka." Celetuk Bu Diyah tanpa sadar.
...