Part 4: Teman

3005 Kata
"Assalamualaikum, Pak." "Waalaikumsalam, sudah pulang Lix?" "Sudah." Felix mengangguk setelah mencium tangannya bapaknya yang telah merawatnya sejak dirinya nekat kabur sewaktu dirinya masih kecil. Beliau bernama Seno Setyawan, sosok yang menemukan Felix yang sedang mencari makanan di tong sampah dan waktu itu Seno sedang keliling mencari barang bekas yang tak jauh dari rumahnya. Kebetulan Seno tinggal sendiri semenjak istrinya meninggal dan juga tidak memiliki seorang anak. Seno yang menyukai anak kecil akhirnya mengangkat Felix menjadi anaknya dan waktu itu Felix mengaku namanya bukan Felix melainkan Abra supaya warga tidak tau. Felix sendiri juga tidak tau tempat yang dirinya jajahi sebab Felix pergi begitu jauh-sejauhnya dari kota asalnya dengan mengikuti beberapa kendaraan yang membuatnya bisa keluar dari kotanya. Felix menceritakan tentang dirinya setelah usianya sudah memasuki 12 tahun dan tentu Seno hampir tidak percaya karena telah merawat seorang anak dari pengusaha tajir melintir namun Seno tak mendapatkan jawaban alasan Felix kabur dari rumah. Seno juga tidak memaksa Felix pulang ke rumahnya sendiri sebab dilihat dari sorotan matanya, Felix menginginkan tinggal bersamanya dan sampai sekarang Seno tetap merawat Felix seperti anaknya sendiri bahkan ia tidak mau kehilangan sosok anak yang sangat berbakti sekali kepadanya padahal dirinya bukanlah bapak kandungnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, Felix melepaskan sepatu dan kaos kakinya yang kemudian dibawa ke kamarnya. "Bapak pergi jualan dulu ya, Nak." Pamit Seno yang akan mendorong gerobal baksonya. "Iya, Pak." Suara Felix agak meninggi karena berada di dalam kamar sedangkan Seno ada di luar rumah supaya suaranya dapat didengar jelas oleh bapaknya. Felix juga akan bersiap pergi bekerja dan sengaja bekerja supaya mendapatkan uang jajan tambahan. Ia sudah izin dari lama kepada Seno dan disetujui asal nilai sekolahnya tidak turun. Tentu Felix senang dan dia mendapatkan berbagai kerjaan juga dari Balder yang memiliki banyak sekali kenalan orang-orang yang memiliki lapangan pekerjaan. Bahkan sekarang Balder mendapatkan kepercayaan bosnya di restoran mewah, dia ditugaskan sebagai mengatur keuangan dan bertugas juga menggaji karyawan-karyawan restoran disana. Walau tampangnya seperti anak berandalan, Balder hanya nakal untuk dirinya sendiri bukan ke orang lain dan kenakalannya juga tidak merugikan orang lain. Oleh karena itu Felix lebih memilih satu teman yang pintar dan dapat diandalkan daripada memiliki banyak teman yang dipastikan memiliki banyak muka. Felix sangat selektif memilih pergaulannya. "Woee lama!" teriak Balder dari luar rumahnya dan ada suara motor supra berhenti di depan rumahnya. Felix buru-buru menyiapkan dirinya padahal baru saja selesai mandi dan Felix mendengus sebal karena Balder terlalu rajin sekali berangkat kerja di jam yang masih jauh dimulainya bekerja. "Sabar!" teriak Felix dari dalam rumah. Balder turun dari motornya dan memasuki rumahnya Felix. Rumah Balder tidak jauh dari rumahnya Felix dan hanya berjarak lima rumah saja dari sisi kanan rumahnya Felix. Balder menggedor-gedor pintu kamar Felix. "Cepetan!" "Anj jangan digedor-gedor, rusak pintu gue!" Teriak Felix yang mulai kesal terhadap Balder yang kebiasan menggedor-gedor pintu kamarnya. "Habisnya lo lama kayak cewek." "Lihat jam asu." "Tetap saja harus berangkat lebih awal." Kekeuh Balder yang mengabaikan sekarang masih jam berapa dan tidak sabaran sama sekali. Felix membiarkan temannya terus mengomelinya dan berupaya berpenampilan rapi meski nantinya juga akan merusuh. Setelah pintu kamar Felix terbuka barulah Balder berhenti mengomel. "Seragam gak ketinggalan?" tanya Balder pada Felix yang sering kali melupakan tidak membawa seragam kerja. Felix menggeleng saja dan keluar dari rumahnya. Tidak lupa mengunci rumahnya dan menyimpan kunci rumahnya. Rumah tak begitu besar, hanya asa dua kamar walau sebenernya kamar Felix dulu bekas gudang dan ada dua ruangan lagi yaitu dapur serta ruang tamu saja. Rumahnya bercat biru tua dan memiliki beberapa tanaman rempah-rempah di belakang rumah. Biasanya Seno yang secara rutin merawat tanaman tersebut sedangkan Felix sangat malas sekali berurusan soal tanaman bahkan kamarnya rapih pun yang membersihkan kamarnya itu ialah Seno. "Cuss berangkat." Mereka membawa motor sendiri-sendiri dan motor mereka juga sama-sama supra. Motor yang terkenal kuat dan tangguh. Tempat bengkel dimana mereka kerja juga tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka dan tempat bengkel tersebut terletak di pinggir jalan raya yang besar sedangkan ketika akan menuju rumah mereka berdua harus melewati banyak gang sempit. Itu pun banyak jalan yang tidak rapi atau masih bebatuan dan ada juga yang rusak. "Kerja, kerja semangat." Setelah kerja nanti, Balder langsung berangkat ke tempat kerjaan lain sedangkan Felix pulang ke rumah dan menunggu Seno pulang berjualan bakso keliling. Mereka berdua pun mulai melakukan pekerjaannya, mulai fokus dan serius supaya customer tidak kecewa terhadap hasil kerja mereka. Tempat bengkel bukan sembarangan tempat bengkel biasa maka dari itu mereka juga membawakan nama baik nama tempat kerja mereka yang sudah lumayan terkenal. ... "Jessi, turun! Dicariin sama Dipta di bawah." Amanda menghampiri Jessi yang sedang berada di dalam kamar. Disana terlihat Jessi sedang serius belajar namun yang membuat Amanda langsung terkekeh pelan adalah melihat rambut Jessi dalam keadaan berantakkan. "Apa Ma?" Jessi tidak mendengar jelas suara mamanya sehingga Amanda harus mengulanginya lagi. "Haduh, males ketemu Dipta." Jessi menghembuskan napasnya begitu berat sedangkan Amanda bergegas menyisir rambut Jessi supaya terlihat tampak rapih dan enak dipandang. "Lho kok gak mau?" "Dipta gak asyik, gak mau dengerin Jessi lagi cerita dan gak antusias dengernya padahal kalau dia lagi cerita, Jessi antusias banget. Dipta tidak menghargai Jessi, Ma." Jessi memayunkan bibirnya dan masih kesal soal tadi di sekolah. "Oalah begitu pantesan kakak cantik ini ngambek ya." Amanda tersenyum sembari tangannya membelai pipi chubby Jessi. "Iya, Ma." "Mungkin kalau dari pandangan mama ini, bisa jadi Dipta lagi dalam kondisi gak baik-baik saja jadi belum siap dengerin cerita Jessi." "Kok gitu sih, Ma?" Jessi mengernyitkan dahinya dan kurang setuju mendengar ucapan Amanda. "Iya bisa begitu, coba bayangin deh kalau kita sendiri lagi dalam keasaan suasana hati yang tidak baik-baik saja terus ada seseorang mau mengajak kita mengobrol kan rasanya juga gak enak dan kayak terpaksa banget mendengarkan ucapan mereka padahal kita lagi pengen merenung atau menyendiri. Kita harus punya pemikiran bahwa kita harus menempatkan diri di suatu kondisi yang baik terlebih dahulu. Kalau kondisinya lagi gak baik kan kitanya jadi gak nyaman kayak Jessi bilang kan lagi sebel sama Dipta karena Dipta gak seru diajak ngobrol kayak biasanya. Ya kita jangan langsung menangkap sifat Dipta ini itu padahal kamu sudah tau sidat Dipta seperti apa harus lebih mengerti dong. Gak semua orang harus mengerti dirimu dan ada kalanya kita sendiri yang harus peka atau memahami situasi tertentu." Amanda menjelaskan panjang lebar dan menasehati putrinya supaya lebih paham apa yang sedang dirasakan oleh seseorang serta pentingnya menghargai sesama. "Iya sih Ma, bener. Tapi aku masih kesel aja gitu. Kalau memang lagi suasana hati yang tidak bagus kenapa harus responnya gak enak dihatiku kan bisa bilang kalau lagi gak mood." Jessi masih sebal sambil melipat kedua tangannya di depan perutnya. "Ya mungkin dianya juga gak enak sama kamu mau bilang begitu. Sudah ya ngambeknya, kasihan Dipta yang nungguin kamu sedari tadi." "Emang kenapa dia datang kesini sih?" "Kan biasanya kalian berdua belajar bareng, gimana sih Jessi? Lupa ya sama kebiasaan sehari-harinya seperti apa?" Amanda membelai rambut Jessi yang sudah rapih dan tidak seberantakan tadi. "Iya ya Ma, kan cuman mau ingat-ingat lagi." Jessi beranjak berdiri begitu pula dengan Amanda. "Alasan ya, lagian kamu habis bentrok sama pikiran juga kan?" "Enggak Ma." Jessi menggeleng sambil tangannya bergerak meraih beberapa buku pelajaran yang ada tugasnya dan akan dipelajarinya bersama Dipta. "Heleh, bohong. Dikira mama gak hapal betul sama sikapmu yang kadang aneh. Kan lebih baiknya belajar sama Dipta atau mau di les-in biar enak aja?" tawar Amanda. Amanda tau betul putrinya itu tidak sanggup belajar sendirian dan seringkali kesusahan memecahkan soal-soal beberapa mata pelajarannya. "Gak mau les Ma." "Kalau Jessi gak suka kebisingan, bisa privat lesnya." "Gak mau, Jessi gak suka les." Jessi menggeleng kuat dan enggan sekali mengikuti les. "Ya sudah kalau kamu gak mau." Amanda menghela napasnya pelan lalu membukakan pintu kamar Jessi kemudian Jessi keluar dari kamarnya bersama Amanda. "Mama mau ngurusin Arum dulu ya, gantian adeknya." Amanda pamit pergi terlebih dahulu kepada Jessi ketika mereka berada di anak tangga. Jessi melangkah gontai menuju ruang keluarganya dan disana telah ada Dipta yang sudah mulai mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Mungkin lelaki itu sedang belajar lebih dahulu atau mengerjakan tugasnya. "Jessi." Dipta meletakkan alat tulisnya dan mendongakkan wajahnya melihat Jessi berdiri menjulang di hadapannya. "Iya." Jessi pun duduk di samping Dipta membuat Dipta tersenyum karena merasa senang sekali Jessi sepertinya tidak seemosi tadi di sekolah. "Maafin gue." Dipta mengulurkan tangannya di hadapan Jessi. "Hmm gak usah minta maaf, guenya aja yang gak bisa ngertiin lo dan terlalu egois." Jessi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia sadar dirinya juga salah terlalu membesar-besarkan suatu masalah. "Enggak kok, gue yang gak menghargai lo." "Haduh jadi salah-salahan begini hehe." Keduanya saling melepae tawa kecilnya. "Ya sudah sok dilanjut belajarnya. Ada yang buat lo kurang ngerti?" tanya Dipta pada Jessi yang tengah menata buku-bukunya di atas meja. "Ada, banyak sekali." "Biasa aja kali wajahnya." Dipta tertawa melihat ekspresi Jessi yabg seperti malas-malasan belajar. "Gue benci mat sumpah gue benci mapel ini!" teriak Jessi frustasi sembari menunjukkan tugas mata pelajaran matematika kepada temannya. "Ya ampun, mudah begini kok dikira sulit." Dipta berdecak pelan saat membaca soal-soal dari tugas matematikanya Jessi. "Mudah apaan, sulir njir." "Mudah kali, bentar gue pahami cara-caranya dulu." "Oke deh." Jessi mengangguk. Hampir satu jam lamanya mengerjakan tugas matematikanya Jessi akhienya selesai sudah walau ada beberapa soal masih belum dipahami oleh Dipta. "Hadeh gak nemu-nemu jawabannya." Dipta geregetan sendiri dan masih terus berusaha ingin menemukan jawaban dari soal yang menurutnya bagian tersulit dari keseluruhan soal tersebut. "Sudah lah nyerah aja, gue pusing malahan lihat banyak angka gitu." Jessi memijit keningnya secara perlahan. "Gue gak bisa nyerah sih, besok pasti deh gue dapat tugas yang sama secara guru mat kita sama kan." "Lo gak tau trik guru aja, mereka juga bisa mengacak soal biar gak saling contek antar kelas." "Oh ya, gue gak kepikiran sampai kesana." Dipta tersenyum lebar dan kembali melanjutkan mengerjakan tugas matematikanya milik Jessi. "Hadeh." Jessi mulai menyalin jawaban Dipta ke buku tugasnya. Di tengah-tengah mereka disibukkan oleh tugas mereka. Dipta menghentikan aktivitas tulisnya saat teringat sesuatu. Namun suatu hal ini sangat berat diungkapkan dan harus berpikir berulang kali sebelum diucapkan. "Napa lo Dip?" tanya Jessi heran melihat Dipta yang sepertinya sedang melamun atau memikirkan sesuatu. "Eh enggak, enggak papa gue." Dipta menggeleng cepat dan sadar kalau dirinya terlalu lama berdiam. Padahal kerjaannya masih menumpuk dan hanya beberapa saja yang berhasil diselesaikan. 'Gue pengen nyatain perasaan gue tapi kenapa sulit?'--Itulah yang sedang Dipta rasakan sekarang. "Kalau ada masalah, cerita sama gue." "Enggak papa." "Eh iya, lo masih dimintain uang sama anaknya om Asher? Kalau masih dimintai uang sama Faisal, gue bisa ngadu ke om Asher lewat papa." "Halah gak usah. Gue gak papa." "Hmm oke." Bertepatan dengan itu terdengar suara ponsel milik Jessi bergetar di atas meja. Jessi pun meraih ponselnya dan membaca nama yang tertera di layar ponselnya. "Siapa Jes?" "Oh ini temen sekelas sih ngirimin gue foto, bentar gue mau lihat pesan darinya." Jessi langsung membuka pesannya dan melihat apa sesuatu yang dikirim oleh teman sekelasnya. Jessi mengkerutkan dahinya melihat sebuah foto yang menampilkan Dipta namun yang membuatnya salah fokus adalah ada Abra disana yang gerakannya seperti membantu Dipta yang dibully Faisal. "Lo tadi habis dibully Faisal kan?" Jessi menatap Dipta yang kebingungan menatapnya juga. "Iya kan kayak biasanya mereka minta uang ke gue tadi. Gue sudah jawab baru saja dan lo tanyakan lagi. Ada apa emang?" "Ada apa sama Abra yang ada disana juga?" "Ouh itu, dia yang nolongin gue mau dihajar sama Faisal." "Cih, dia jadi pahlawan kesiangan kan?" Jessi mendengus sebal apalagi disana juga banyak murid yang memandang kagum melihat Abra yang berkelahi dengan Faisal. Dipta terdiam san merasa heran kepada Jessi yang tiba-tiba seperti tidak menyukai Abra padahal gadis itu sebelumnya sangat antusias membicarakan cowok tersebut. "Sok tebar pesona lagi." Jessi masih sebal soal tadi dimana dirinya diabaikan terus-menerus oleh Abra. "Kata lo, dia ganteng kan?" tanya Dipta yang sengaja memancing Jessi. "Iya sih ganteng tapi cuekin gue terus dan anggap gue gak ada." "Ya sudah gantian lo abaikan. Kalian juga duduk sebangku, kok bisa?" "Ya gue mikirnya dia suka sama gue karena sebelumnya kita pernah ketemu emm maksudnya mau mengajak berteman begitu eh ternyata sifatnya ngeselin." Dipta pun mengangguk paham apa yang dimaksud oleh Jessi. 'Berarti gue masih ada kesempatan'---ucap Dipta di dalam hatinya. ... Hujan lebat di malam hari membangunkan seorang anak kecil berusia 6 tahun. Anak itu meraaa ketakutan karena ada suara gemuruh langit yang memekakan telinganya. Dia pun keluar dari kamar dan mencari orang tuanya di kamar mereka. Berlari sambil berteriak memanggil orang tuanya menuju kamar mereka. Namun saat tiba di depan kamar kedua orang tuanya, anak itu malah mendengar suara mereka yang sedang adu mulut di dalam kamar tersebut. Padahal anak itu sudah ketakutan mendengar suara gemuruh langit dan sekarang ditambah suara kedua orang tuanya yang sama-sama saling berteriak di dalam kamar. Dia menangis sesenggukan dan masih berdiri di depan kamar orang tuanya. Lalu ada salah satu pembantu menghampirinya dan mencoba membujuknya untuk kembali masuk ke dalam kamar. Cuaca hari itu sangat buruk sekali dan anak itu hanya mengingkan pelukan orang tuanya saja. "Gak mau, Bi. Felix masih ingin disini." "Jangan disini--" "Sebenarnya mommy sama daddy kenapa di dalam kamar sambil teriak-teriak begitu?" Sosok anak kecil itu ialah Felix. "Bukan apa-apa, Nak. Mungkin mereka lagi mengobrol kan anak kecil gak boleh tau jadi ayo nak kembali masuk ke dalam kamar. Bibi antar." "Enggak mau, Felix masih ingin disini." "Nak ayo---" Pintu kamar orang tua Felix akhirnya terbuka dan membuat Felix langsung memekik melihat daddynya berdiri di hadapannya sekarang. "Kenapa?" tanya Asher pada putranya yang berdiri di depan kamarnya. Lalu pembantu tadi pamit pergi karena tidak mau tau urusan rumah tangga majikannya. "Aku takut di kamar sendirian, Dad. Aku ingin tidur sambil dipeluk sama mommy dan daddy." "Tidak bisa, daddy bentar lagi mau pergi ke kantor." Asher menyilakan rambutnya ke belakang dan tangannya yang lain menghalagi putranya yang ingin masuk ke dalam kamarnya. "Tapi daddy tidak pakai baju kantor." Felix mendongak lalu matanya membulat melihat kening Asher terdapat goresan luka kecil disana. "Dad itu berdarah." "Apa?" "Kening Daddy berdarah." Tangan Felix mengarah ke keningnya sendiri bermaksud memberitahukan kalau keningnya Asher berdarah. "Oh tidak apa, ini mungkin kena kuku daddy." Asher tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Dad aku ingin masuk." "Gak usah, ngapain masuk segala sih?" "Pengen sama mommy." Felix kekeuh ingin masuk ke dalam kamar. "Mommy lagi tidur." "Enggak, aku denger suara mommy lagi nangis sekarang." "Ah astaga ini bocah." Asher kewalahan sendiri mencegah putranya supaya tidak masuk ke dalam kamar. Asher menatap keadaan di luar kamarnya sebelum menutup kamarnya kembali. "Mommy!" teriak Felix tapi ia bingung melihat yang kondisi kamar orang tuanya yang seperti kapal pecah. Sangat berantakkan sekali. Anak itu mengurungkan niatnya saat mommnya menatapnya begitu tajam dari arah balkon kamar. Felix baru tau balkon kamar orang tuanya di dalam keadaan tertutup lama. "Aku ingin keluar!" Teriak Naura sambil memukuli penutup balkon berbahan dasar dari kayu tersebut berulang kali. "Hentikan Naura!" Bentak Asher disertai decakan kesal. Asher melirik Felix yang sepertinya sedang ketakutan. "Tetaplah disini bahaya kalau dekat sama mommymu sekarang." Felix pun mengangguk dan badannya bergetar ketakutan melihat pertama kalinya mommynya sedang kacau. "Hiks hiks mommy." Felix melihat Naura memberontak di dalam pelukan Asher lalu semuanya menjadi menggelap. "Mommy!" Sosok laki-laki itu bangun dari tidurnya lalu memukul kepalanya sebentar dan napasnya memburu. Ia pun memposisikan tubuhnya duduk dan tubuhnya diguyur oleh keringat. "Argh mimpi itu lagi." Setelah itu dirinya meraih air minum di sebelah kasurnya dan meneguknya hingga tandas tak tersisa. Laki-laki itu adalah Felix yang baru saja mengalami mimpi buruk. Tidak hanya sekali melainkan berkali-kali dirinya mengalami mimpi buruk. Mimpi buruknya itu membuatnya mengkhawatirkan keadaan mommynya. Terkadang ada rasa takut pula menjalar dari tubuhnya teringat mommynya pernah melakukan sesuatu yang buruk kepadanya. Felix masih tidak paham mengapa mommynya seperti itu dan merasa aneh sekali. "Ah tidak, gue gak mau ingat-ingat yang lalu." Felix menggeleng kuat lalu menatap jam dinding di kamarnya ternyata sudah menunjukkan jam lima pagi. Selanjutnya Felix beranjak pergi daei kamarnya dan segera mandi. Setelah selesai mandi, Felix menyuruh Seno juga mandi dan laki-laki remaja berusia 17 tahun itu menyiapkan sarapan pagi untuk mereka berdua. Tidak hanya pintar memperbaiki mesin kendaraan, Felix juga pandai memasak sebab keadannya yang mendorong dirinya ingin bisa memasak dan tak perlu membeli makanan luar. Kalau memasak sendiri akan menghemat uang kebutuhan sehari-harinya. "Sudah matang?" tanya Seno yang baru selesai mandi langsung menuju ke dapur. "Sudah, Pak." Felix tersenyum tipis dan mulai menata makanannya di atas meja. Mereka makan di ruang tamu sambil menonton televisi. Tidak lama kemudian Balder sudah berada di dalam rumah Felix membuat Felix tidak bisa tenang karwna Balder mengomelinya. Seno pamit pergi bekerja kepada mereka. "Semoga dagangan Pak Seno laris manis." Balder mengangkat tangannya dan melambaikan tangannya saat melihat Seno mulai melangkahkan kakinya sambil mendorong gerobak baksonya. Balder melirik Felix yang tengah mengenakan sepatunya. "Eh iya, lo kemarin habis berantem kah?" Balder menjetikkan jarinya ketika baru teringat sesuatu. Felix mengangguk lalu beranjak berdiri dan bersiap berangkat sekolah. "Buset, lagi viral lo di sekolah dan banyak yang memuji lo. Jadi seleb ya lo di sekolah kita yang baru ini." Balder tertawa sambil menepuk pundak temannya itu beberapa kali. Felix menepis tangan temannya yang suka dan berjalan mendahuluinya. "Astaga dipuji, bukannya bilang makasih malah tangan gue ditepis." Balder mendengus sebal dan menyusul langkah kaki Felix. "Tumben gelud lo, ada apa emang? Mereka cari gara-gara ke lo kah?" tanya Balder penasaran kepada Felix sambil tangannya memegang ponselnya dan masih membaca viralnya Felix di berita sekolah mereka. Felix diam saja dan Balder tentu merasa kesal. "Nanti gue cari mereka dan hajar mereka deh." "Gak usah," jawab Felix singkat. "Gak papa, sesekali lah gelud hehe." Balder memasukkan ponselnya ke dalam sakunya. "Gak usah aneh-aneh." "Iya ya." Balder mendengus sebal. "Tapi kalau gelud lagi, ajak-ajak gue dong." Lanjut Balder. Felix memutar bola matanya malas lalu mereka berdua duduk di halte bus, menunggu bus sekolah datang. Felix merogoh ponselnya dirasa ada yang mengiriminya pesan dan dia membuka pesan dari Jessi. Ia tau pemilik nomer asing itu adalah Jessi dan juga hapal betul nomernya Jessi tanpa dirinya menghafal. 'Pagi wle' 'Heh' 'Pahlawan kesiangan' Felix mengacuhkan pesan dari Jessi karena gadis itu sengaja mengusiknya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN