Part 6: Ingatan

3025 Kata
Setelah pelajaran matematika berakhir, Abra sempat dikerubungi oleh para siswi yang langsung jatuh cinta kepadanya berkat kepintaran yang dimiliki olehnya dan itu tak berlangsung lama karena Jessi mengusir para siswi itu yang menurutnya terlalu mengganggunya. "Aih berisik kalian semua!" teriak Jessi sebal dan mengibaskan tangannya mengarah ke depan. "Huuu." Para siswi yang diusir oleh Jessi kompak bersorak ke Jessi dan Jessi menjulurkan lidahnya, meledek mereka yang tidak bisa berada didekat Abra. "Meresahkan sekali mereka." Jessi berkacak pinggang kemudian kembali duduk dibangkunya. Ia melirik Abra yang begitu santai sekali padahal Jessi sempat melihat raut wajah Abra yang tidak nyaman ketika dikerubungi banyak siswi di sekitarnya. "Heh!" Sentak Jessi membuat Abra lagi-lagi terkejut. Abra merasa jantungnya tidak aman berada didekat Jessi karena gadis itu selalu berteriak tiba-tiba. Abra melirik gadis itu sekilas dan berusaha mengabaikan Jessi yang mencoba melakukan sesuatu demi menarik perhatiannya. "Bisa gak sih lo, gak usah bikin kerumunan kayak tadi bikin gue tambah pening." Jessi memijit keningnya perlahan dan benar-benar kepalanya sedang pusing kali ini. Abra pun beranjak berdiri dan membuat Jessi bingung ditambah lagi Abra mulai merapikan buku lalu dimasukkan ke dalam tas. "Eh eh lo mau pindah bangku?" Jessi jelas langsung panik dan menarik tangannya Abra. Abra yang berusaha menghindar dari tangan Jessi malah tak sengaja tangan Jessi ketarik olehnya dan Jessi yang hampir jatub itu reflek memeluk tubuh Abra sedangkan Abra memegang erat tubuh Jessi supaya tidak jatuh ke bawah. Sontak hal itu menimbulkan perhatian dari beberapa murid yang menyadarinya. Kejadian itu tak berlangsung lama karena mereka mendengar jelas suara teriakan hampir seluruh murid di kelas ini yang merasa melihat mereka seperti sedang menonton drama korea atau biasa disebur drakor. "Buset romantis sekali atau jangan-jangan mereka jadian diam-diam ya." "Kayaknya sih, Jessi aja gak mau lihat kita deket-deket sama Abra." Beberapa murid juga ada yang berbisik-bisik setelah menonton adegang mesra antara Abra dan Jessi. Tentunya banyak yang membicarakan tentang kedekatan mereka dan ada yang berusaha menjodoh-jodokan mereka meski ada juga yang tidak menyukai hubungan mereka karena ada yang tertarik pada Abra. "Ihh jauh-jauh sana." Jessi melepaskan pelukan dari Abra dengan mendorong laki-laki itu supaya memberikan jarak mereka berdiri berhadapan sekarang. Tanpa berbicara, Abra meraih tasnya dan matanya melirik ke kanan dan ke kiri. "Lo mau pindah?" Jessi memekik kesal melihat Abra yang mulai berjalan menjauh darinya dan disisi lain banyak siswi yang menawrkan duduk sebangku kepada Abra. "Eh enggak-enggak, gak bisa dia pindah gitu aja dari bangku gue." Jessi berlari kecil menghampiri Abra lalu meraih tas Abra dan kini tas Abra berada di dalam pelukan Jessi. Abra menoleh ke gadis itu lalu menghela napasnya pelan. Bingung apa yang diinginkan oleh Jessi dan Abra pasrah saja karena tak bisa melawan Jessi. Ia melihat tasnya dibawa kembali ke bangkunya dan Jessi kembali duduk juga. Abra memutar tubuhnya dan kembali duduk dibangkunya. Mengetahui itu banyak yang merasa kesal karena gagal sebangku dengan Abra. Abra perlahan mengeluarkan buku mata pelajaran selanjutnya begitu juga dengan Jessi dan gadis itu sesekali melirik ke arah Abra. "Ah capek gue lama-lama berusaha bikin dia gak irit berbicara." Jessi sengaja mengeraskan suaranya supaya Abra mendengarkan suara hatinya. Abra tentu mendengar ucapan gadis itu dan tersenyum di dalam hatinya melihat usaha Jessi mengajaknya berbasa-basi kepadanya. Padahal percuma saja Jessi melakukan semua itu karena tidak membuat Abra mengubah sikapnya ini. Saat pulang sekolah tiba, Jessi tidak langsung pulang begitu saja dan dia menghampiri Abra dan Balder yang sedang melangkah gontai di koridor kelas. "Eh Jessi, napa Jessi?" Balder menyapa Jessi dan tersenyum ramah. Jessi memilih berdiri di samping Balder dan sebelumnya berada di tengah-tengah mereka. "Gini nih gue mau tanya sesuatu sama lo." Bisik Jessi namun matanya juga melirik ke arah Abra yang masih fokus berjalan dan menghiraukan kehadirannya. Demi menuruti permintaan Jessi, Balder memperlambat jalannya dan menyuruh Abra jalan lebih dulu darinya. "Tanya apa Jes?" "Emm jadi begini, Abra sifatnya memang begitu kah?" tanya Jessi penasaran. "Haha lo tadi tanya ini dan sekarang tanya lagi." Balder tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Ya gue kayak belum yakin sih." Jessi menggaruk tekuknya yang terasa tidak gatal. "Ada alasan Abra bersikap dingin kepada siapapun orang dan dia begitu sudah sejak SD sih. Gue gak mau ceritain lo soal Abra secara mendetail karena gue sudah berjanji sama Abra buat jaga ceritanya. Kalau lo pengen tau lebih baik tanya langsung ke orangnya." Balder merasa bersalah kepada Jessi sebab tidak bisa membantu banyak. Balder hanya ingin menjaga apapun soal Abra. "Oh jadi ada alasannya begitu." "Iya, tapi tenang aja. Dia itu baik kok." "Enggak deh, dia jahat dan nyebelin." "Haha emang begitu sifatnya, kalau dia dingin ke lo ya dicairkan sifatnya. Emang lo suka ya sama Abra?" "Enggak kok." Jessi menggeleng cepat dan mengelak pernyataan tersebut. "Dari awal aja lo sudah semangat gitu ngajak duduk sebangku ke dia. Hayoloh." Balder malah menggoda Jessi. "Itu bukan karena gue suka sama dia tapi gue pernah ketemu sekilas di supermarket. Jadi gue pikir dia bakal ramah dan enak diajak berteman. Kebetulan temen gue cuman dua dan kalau nambah lagi kan bisa genap jadi berempat. Eh ternyata Abra sifatnya tidak sesuai sama apa yang gue harapin." Jessi mengerutu kesal. "Sabar ya, menghadapi sifat kerasnya Abra itu memerlukan kesabaran yang tinggi jadi sabar dan sabar hehe." Balder menepuk pundak Jessi. "Capek sih disuruh sabar mulu, gue aja rasanya mau mencabik-cabik dia dan mukulin dia sepuasnya." "Haha gue tadi lihat kok, betapa geregetnya lo ke dia." Balder tertawa lagi mengingat kejadian tadi. Mereka berdua tidak sadar sudah hampir tiba di gerbang sekolah dan otomatis Jessi menghentikan langkahnya karena dirinya dijemput oleh seorang sopir pribadi. "Wah lo sudah dijemput tuh." Balder tau, mobil yang berhenti tepat di depan gerbang adalah mobil jemputannya Jessi karena sang sopir memangili Jessi beberapa kali. "Eh iya. Ya sudah, gue pamit dulu." Jessi buru-buru masuk ke dalam mobilnya. Balder mengangkat tangannya ketika Jessi mengeluarkan tangannya keluar dari jendela lalu dilambaikan sejenak. "Cewek itu lucu sekali, hadeh bisa-bisanya Felix mengabaikan Jessi yang seimut itu." ... "Argh bener-bener ya itu cowok ngeselin banget." Baru saja keluar dari mobil, Jessi sudah mencak-mencak tidak jelas di latar rumahnya. Gadis itu masuk ke dalam rumah setelah melepaskan sepatunya dan caea berjalannya juga agak menghentakkan kakinya ke lantai. Raut wajahnya menunjukkan betapa emosinya mengingat hal tadi dimana dirinya terus saja diabaikan oleh Abra. "Ah tapi semisal gue gak deket sama dia dan gak ngajak ngobrol dia pasti gue gak sekesal ini. Tapi ini sudah menusuk ke hati gue," ucap Jessi dramatis. "Sakit tau hati gue itu sakit." Jessi berusaha mengeluarkan air matanya tapi tak ada satu tetes air matanya. "Ck, gak bisa nangis gue karena gue lagi emosi banget bukan sedih. Tapi gue sekarang juga lagi sedih, uang gue habis." Jessi menepuk jidatnya dan baru ingat jikalau uangnya yang biasa buat jajan telah habis. "Minta ke papa deh nanti, sekarang waktunya bersih-bersihin badan." Seketika Jessi melupaka amarahnya soal Abra. Gadis itu buru-buru pergi ke kamarnya. Sedangkan di tempat lain... "Abra." Panggil Balder pada Abra yang sedang duduk santai, menunggu customer datang ke tempat bengkel. Di waktu begini dimanfaatkan mereka mengobrol ah bukan mereka lebih tepatnya Balder. "Hmm?" Abra berdehem lalu ia meneguk botol air mineral hingga tandas. "Lo yakin mau cuekin Jessi terus-terusan?" Suara Balder agak dipelankan karena membahas hal yang serius dan sangat sensitif bagi Abra. Abra mengangguk. "Kenapa lo cuekin dia? Bukankah dia teman istimewa lo waktu kecil dan kenapa gak terus terang aja kalau lo itu Felix. Gak capek emang pakai identitas palsu?" Balder menghembuskan napasnya begitu berat. "Berisik." Hanya satu kata yang terlontar dari mulut Felix dan membuat Balder sedikit merasa kesal. 'Harus pakai cara apalagi ya?'--pikir Balder dan dia memang ada niat membantu Jessi. "Hadeh susahnya mengajak Abra yang kayak es batu ini." Balder menghela napasnya dan sudah menyerah duluan membujuk es batu tersebut bisa berbincang-bincang sejenak. "Lagian kasian juga si Jessi, sudah kiyowo dan cantik malah dianggurin." "Diem!" "Gak bisa." Balder menggelengkan kepalanya. Felix mendengus sebal karena temannya terus membahas Jessi padahal Jessi hanyalah teman masa kecil yang belum tentu bisa dekat dengannya lagi setelah usia mereka remaja. "Lo gak mau temanan sama Jessi karena takut indentitas lo kebongkar gitu? Lagian kan lo dari kecil sudah menyembunyikan identitas jadi gak mungkin ketahuan. Wajah lo waktu masih kecil sama sudah remaja gini beda." Felix memikiran ucapan Balder, Balder tidak sepenuhnya tentangnya walau mereka sudah dekat sejak kecil. Balder hanya tau dirinya selalu bercerita tentang Jessi saja dan Balder tidak tau orang tuanya. ''Wajah gue mirip nyokap'--jawab Felix dalam hati. Berita kehilangan tentangnya begitu viral dan kemungkinan tidak lama lagi Jessi mengetahuinya jika Felix berada didekat Jessi. Felix merasa cukup jadi teman sebangkunya saja dibanding teman biasa. "Apa ada yang lo sembunyikan lagi dari gue?" tanya Balder heran dan merasa janggal saja. "Sudah lah jangan bahas dia." Felix beranak berdiri dan mulai melakukan pekerjaan lagi ketika sudah ada beberapa customer yang datang di tempat bengkel ini. "Aneh, pasti ada yang disembunyikan. Dia kayak lagi mikir keras gitu." Gumam Balder yang mulai mencurigai Felix. Selesai bekerja, Balder pamit pergi lebih dulu ke Felix sedangkan Felix akan pergi ke tempat biasa Seno berjualan. Tidak butuh waktu yang lama Felix kini berada di depan kampus dan lebih tepatnya ada di seberang kampus, depan toko yang masih kosong yang dimanfaatkan untuk tempat Seno bergadang bakso. Tampaknya Seno agak kewalahan karena banyaknya pembeli hari ini dan Felix tentu tidak tinggal diam. "Bapak." Felix tersenyum kecil menghampiri sosok yang sudah dianggap ayahnya sendiri dan lebih menyayanginya daripada ayah kandungnya. Ia merasa kehidupannya lebih menenangkan semenjak kabur dari rumah. "Eh tumben ke tempat bapak." "Iya tadi, tempat bengkelnya tutup lebih awal karena orangnya besok mau persiapan anaknya nikah." "Wah cepet banget." "Gak hari h besok itu, Pak. Tapi beberapa hari lagi mau nikah." Felix mencuci kedua tangannya di tempat kran yang kebetulan disini ada kran air yang berada di depan toko kosong tersebut. "Oalah berarti besok kamu libur ya, Nak?" tanya Seno sambil melayani pembeli dan ada juga pembeli yang memilih makan di tempat. Pembeli kebanyakan dari anak kuliahan karena letaknya yang dekat dengan kampus. "Iya, Pak. Libur pertama kalinya." Hanya bersama Seno, sifat Felix berubah seratus delapan puluh derajat dan lebih banyak bicaranya. "Libur berapa?" "Empat harian tapi kalau aku hitung, ya sama aja seminggu." "Baguslah, bisa bantu bapak berdagang." Seno tersenyum dan senang ada yang membantunya berdagang. "Hehe iya, Pak. Akhirnya ada libur juga." Felix ikut senang juga bisa membantu ayahnya yang kewalahan karena banyak pembelinya. Ia akui Seno sangat pandai sekali membuat bakso, dulu sebelum menemukan tempat ini selalu keliling dimana pun dan semenjak menemukan tempat ini akhirnya bisa lebih nyaman. "Kamu tidak akan pergi ninggalin bapak lagi kan?" tanya Seno yang cemas putranya hidup jauh darinya meski Felix bersama temannya. "Enggak Pak, mungkin Felix sekolah di kampus itu dan semoga aja kita bisa beli ruko belakang biar pembeli kalau makan di dalam sana." "Semoga saja bisa beli, bapak masih nabung." "Felix juga nabung." "Kamu nabung buat masa depanmu juga, Nak. Jangan mikirin bapak." Seno menepuk pundak Felix. "Enggak, Pak. Aku memang ingin banget bantu bapak." Felix pun mulai mengantar pesanan dari para pembeli yang memilih makan ditempat. "Bapak istirahat dulu aja biar Felix yang melakukan semuanya." "Tapi--" "Sudah, bapak duduk aja." Akhirnya Seno pun duduk sambil memperhatikan Felix yang sedang mengambil alih pekerjaannya. Seno tiba-tiba teringat masa lalunya dan selalu menghantuinya. 'Mengapa Felix tidak mau tinggal bersama orang tuanya? Keluarga Abraham adalah orang kaya raya di kota ini dan pasti dia tidak kekurangan sedikit pun selama hidupnya bahkan saat aku menemukannya dilihat penampilannya juga bukan seperti anak yang dilantarkan lantas alasan apa yang disembunyikan Felix? Tapi aku sepertinya pernah bertemu dengan ayahnya tapi dimana ya? Aku benar-benar lupa'--Seno duduk merenung dan masih mencoba mengingat-ingat kembali, ia agak kesulitan karena benar-benar sangat lupa. Seno hanya mengingat sekilas pernah bertemu dengan seseorang yang wajahnya sekilas ayahnya Felix di tempat yang gelap. "Pusing." Seno memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Ini karena mencoba mengingat-ingat hal lalu yang sudah lama terlupakan. Entahlah mengapa setiap mencoba mengingat-ingat hal tentang seseorang yang sekilas mirip dengan ayahnya Felix pasti akan pusing seperti ini. "Bapak pusing? Minum obat ya Pak." Felix panik melihat ayahnya mengeluh pusing. Felix mencari obat yang biasa disimpan di dalam tas milik Seno lalu memberikan obat dan segelas air putih kepada ayahnya. "Bapak kecapean? Periksa ke dokter ya, Pak." "Tidak usah, bapak baik-baik saja." Seno menggelengkan kepalanya pelan. " Baiklah, Pak." Felix yang merasa sudah sepi pun ikut duduk di samping ayahnya. "Bapak tadi dapat pesan dari sekolahmu." "Pesan apa Pak?" "Ya sama seperti sekolahanmu dulu, kamu ditawari ikut olimpiade matematika." "Enggak, enggak mau." Felix langsung menolak. "Bapak tidak memaksamu untuk ikut karena itu hakmu asal kamu tidak nakal di sekolah, bapak lega." Seno tersenyum. "Iya, Pak. Aku mengerti." Felix mengangguk. Seseorang datang menghampiri mereka dan wajahnya berubah saat menatap Felix. "Pak Seno mau beli bakso--eh kayak kenal." "Iya Dipta." Seno tersenyum sembari beranjak berdiri melihat pelanggannya datang dan dirinya mengenal betul siapa Dipta. "Ini bapak sama Abra." Seno menepuk pundak Felix dan memperkenalkannya kepada Dipta. "Aku mengenalnya." gumam Abra yang masih terdengar jelas oleh Seno. "Kita satu sekolah, Pak. Saya kenal Abra." Dipta tersenyum ramah. "Wah baguslah kalau saling kenal kebetulan juga Abra ini anak bapak, jadi ini Dipta langganan bapak dari dulu." Seno pun menceritakan sosok Dipta kepada Felix. "Iya, Pak." Felix mengangguk. "Bapak senang kalau kalian bisa berteman juga, kalian sama-sama anak baik dan oh ya kamu mau pesan bakso berapa Dip?" tanya Seno pada Dipta. "Dua Pak." 'Gue berusaha menghindari mereka tapi seolah takdir berkata lain dan ada aja hal yang membuat keadaan menjadi lebih dekat dengan mereka. Mereka yakni Dipta dan Jessi'--pikir Felix. Abra duduk di sebelah Felix lalu melirik Felix yang diam saja sembari menatap jalanan. "Gue baru tau kalau lo anaknya Pak Seno." Dipta sebenernya agak gugup saja berada di dekat Abra sebab dirinya tak terlalu mengenal laki-laki itu. Ia berusaha mencairkan suasana canggung yang terjadi diantara mereka. 'Benar kata Jessi, ini cowok diem mulu diajak ngobrol. Pantesan Jessi marah-marah setiap cerita tentang dia. Ngeselin juga nih'--batin Dipta yang ikutan kesal karena diabaikan oleh Abra. "Gue kira Pak Seno tidak punya anak dan setau gue mendiang istri Pak Seno itu mandul." Sontak ucapan Dipta membuat tubuh Felix menegang seketika. 'Kenapa dia tau hal gituan, ck merepotkan kalau dia tau banyak hal tentang bapak'--Felix sangat cemas sekali kalau Dipta mengetahui tentang Pak Seno yang sebenernya tidak memiliki anak. Dipta merasakan keanehan melihat gelagat Abra setelah dirinya bercerita tentang Pak Seno. "Dulu sih Pak Seno sebelum jualan bakso, beliau pernah jualan telur gulung di depan sekolah ah jadi ingat temen gue tapi entah dia menghilang kemana dan sampai saat ini belum ditemukan." Dipta menggaruk rambutnya dan teringat masa kecilnya semasih berseragam merah putih terutama temannya. Tentu Felix juga ikut teringat sesuatu semasa kecilnya. 'Jadi Pak Seno pernah jualan di sekolah SD gue dulu?'--Felix baru tau soal ini sebab ia tak pernah membeli jajanan di luar sekolah dan pasti kena marah oleh kedua orang tuanya. Flashback on "Jessi mau main sama temen-temen Jessi yang cewek." Sosok gadis berseragam merah dan putih itu menghampiri sosok laki-laki berusia sama tengah duduk di depan kelasnya. "Iya, gak papa Jessi." "Tapi Felix sendirian dong disini?" Jessi menatap tidak tega kepada laki-laki itu yang akan ditinggal bermain bersama temannya yang lain. "Gak papa Jessi, sudah sana pergilah!" "Andai Felix mau main kucing-kucing sama yang lain kan Jessi bisa ajak." "Aku gak papa." "Ih yaudah kalau gitu." Jessi pun pergi berlari dan bergabung dengan anak-anak lain yang akan bermain. Tidak lama kemudian seseorang datang menghampiri Felix mengetahui Felix duduk sendirian di sana. "Hey, kamu sudah lama temenan sama Jessi?" tanyanya kepada Felix, dialah Dipta. "Iya." Felix mengangguk dan menatap sekilas saja ke Dipta. Ia memperhatikan Jessi dari kejauhan. "Kamu mau nyobain jajanku?" Dipta menawarkan makanan yang baru dibeli. "Kamu beli diluar itu jajannya?" tanya Felix heran karena tidak melihat makanan sepet itu di kantin guru. "Iya, aku selalu beli makanan di luar karena enak terus tadi dapat bonus dua hehe." "Namanya apa?" "Telur gulung." "Telur gulung?" Felix semakin penasaran terhadap makanan tersebut karena baru saja mendengar makanan bernama telur gulung. "Iya, enak lhoh. Mau nyoba?" Felix mengangguk ragu. "Nih." Dipta memberikan makanannya kepada Felix "Enak." Komentar Felix setelah memakanan telur gulung pemberian dari Dipta. "Kalau lo suka, aku beli lagi. Itu buat kamu aja." "Emang gak papa?" "Gak papa." Dipta menggelengkan kepalanya. Dari kejauhan sana Jessi melihat keakraban Felix dengan Dipta. Sebenernya Jessi yang meminta Dipta untuk menemani Felix karena teman Felix hanya dirinya saja dan kebetulan Dipta sedang tidak bermain dengan teman-temannya akhirnya menuruti permintaan Jessi. Flashback off "Ya itulah ceritanya." Dipta baru selesai bercerita tentang masa kecilnya. 'Jadi karena Jessi'--Felix tidak menyangka segitu pedulinya Jessi kepadanya. "Ini baksonya, maaf ya nak tadi diajak ngobrol jadi lama." Seno memberikan sekantong plastik berwarna hitam kepada Dipta. "Oh tidak apa Pak Seno." "Hehe bapak mau lanjut melayani pembeli lagi." Pamit Seno kepada mereka. "Iya, Pak." Mereka berdua mengangguk. "Terus lo dulu sekolah SD dimana?" tanya Dipta penasaran kepada Abra. "Kepo." "Bener ya kata Jessi, lo ngeselin banget." Dipta berdecak kesal. "Tapi lo juga yang nolongin gue dari bullyan Faisal. Hadeh sebenarnya lo baik apa jahat sih. Jahat juga kayaknya enggak cuman ngeselin." Dipta bingung terhadap sikapnya Abra. "Jangan tau tentang gue," ucap Abra tak sadar dan sungguh ia tidak ingin Dipta mengenalnya. "Idih siapa juga yang mau tau tentang lo, lo kira gue suka sama lo. Gue normal kali." "Siapa juga yang bilang dia gak normal." Gumam Abra. "Padahal gue cuman ngajak ngobrol, ngobrolin bokap lo. Bapaknya aja ramah begitu tapi anaknya gak ramah sama sekali." Dipta bermaksud mengajak mengobrol karena tidak ingin ada raaa kecanggungan disini dan dia juga merasa tidak enak kepada Seno yang sepertinya Seno melihat mereka ini berteman dekat padahal hanya saling kenal saja bukan berarti kenal dekat. "Dan satu lagi, cuman mau bilang jangan sakiti Jessi. Gue pergi dulu." Pamit Abra. "Siapa juga yang mau nyakitin dia." Felix berbicara sendiri sembari menatap sekilas kepergian Dipta dari tempat ini. Secuek-cueknya dirinya kepada Jessi, tetap saja ia tak ingin menyakiti hati gadis itu dan berusaha mengabaikan Jessi supaya Jessi tidak betah dengannya. "Untung aja waktu itu masih kecil dan kemungkinan Dipta belum tau betul tentang Pak Seno. Tapi tetap saja gue cemas, gimana kalau dia tau kalau gue ini bukan anak kandung melainkan anak yang ditemukan di jalan?" ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN