Part 25: Gang

3273 Kata
"Beneran kakek lo tadi, wah bismilah uang sekoper terbang ke rumah gue haha." Balder terkekeh pelan. Mereka tengah berada di pinggir jalan dan menikmati suasana malam yang cukup ramai karena ada bazar. Padahal Balder baru saja sembuh dari sakitnya, bukan malah istirahat tapi keluyuran terlebih dahulu. "Gue cuman bilang aja ke lo kalau manggil gue pakai nama asli itu hati-hati terutama juga di depan adik lo." "Siap, semoga gue bisa fokus." "Kalau bisa panggil gue Abra aja dah." "Bagusan Felix sih, nama asli lo itu." "Iya gue juga mengaku nama asli gue bagus tapi gue takut identitas gue itu terbongkar." Felix merasa cemas kalau identitasnya yang selama ini disembunyikan begitu rapih terbongkar dengan mudahnya. "Kalau lo takut, identitas lo terbongkar terus ngapain lo lari ngejar kakek lo tadi?" "Gue kangen sama kakek, orang yang sayang banget sama gue dan selalu belain kalau orang tua gue marahin gue." "Setajir itu lo waktu masih kecil, anak tunggal kaya raya pulang." "Gue punya adik tiri beda ibu." Felix meralat ucapan Balder. "Eh iya gue lupa si Faisal itu adik lo. Tapi adik lo kayak berbeda jauh sama lo." "Beda jauh gimana?" "Ya beda, lo cocok kalau jadi pewaris kekayaan orang tua lo sih dibanding adik lo itu. Apalagi lo pintar banget soal bisnis dan segala macam tentang perusahaan juga lo selalu pelajari sampai sekarang. Gue pusing lihat buku-buku koleksi lo yang isinya cuman bisnis, kantor dan lain sebagainya." "Karena dari kecil gue dipaksa akhirnya gue jadi suka dan terbiasa mempelajari ilmu-ilmu soal bisnis. Gue gak pengen harta mereka, gue pengen buat usaha dari hasil tangan gue sendiri dan tidak ada campur keluarga. Gue pengen jadi kayak bokap cuman pekerjaannya aja bukan orangnya," ujar Felix menjelaskan. "Lo hebat banget sih, sudah nentuin arah kemana lo nanti. Lah gue? Gue bingung nanti jadi apa." Balder menggaruk kepalanya dan sangat pening rasanya kalau sudah memikirkan masa depan. "Nanti lo pasti bisa nentuin masa depan lo sendiri." "Lo tau kan keluarga gue biasa saja, mana mungkin gue bisa kuliah setelah lulus. Mungkin gue bakal kerja terus kumpulin modal yang banyak dan mencoba buat usaha sendiri." "Ya bagus itu, sama aja kan lo punya arah dan tujuan kedepannya nanti." "Tapi gue juga pengen kuliah sih." "Nabung aja." "Nabung gimana, uang gue pas-pasan banget." "Kuliah sambil kerja, lo kejar kuliah nilai bagus dan siapa tau nanti dapat beasiswa gratis kuliah." "Berat cuy, selain uang pas-pasan, otak gue gak kuat." Balder angkat tangan sambil menggelengkan kepalanya. "Hadeh, jangan menyerah gitu aja." Felix menyesap kopi susunya kemudian beranjak berdiri. "Lo mau kemana?" "Pulang lah, ini makin malam." "Anak rumahan deh lo, laki mah bebas." "Itu lo bukan gue, gue malas pulang larut malam." "Malas ketemu preman-preman malam kan lo haha." Balder tertawa meledek Felix. Akhirnya mereka melanjutkan perjalanannya dan saat di tengah jalan, Felix tak sengaja melihat seseorang yang dikenalinya dan ia malah mendekati sosok tersebut. Sosok gadis cantik sedang berdiri sendirian di depan sebuah kedai kue dessert. "Lo mau kemana sih?" Balder pun menatap ke arah dimana Felix tuju. "Lha Jessi, ngapain sendirian disana?" Setelah memarkikan motornya tepat di depan Jessi. Felix turun dari motornya dan menghampiri gadis itu yang terkejut menatap ke arahnya. "Lo ngapain disini sendirian?" Tentu Felix khawatir sekali mengetahui gadis itu hanya sendirian disini. "Gue lagi nunggu Abra yang lagi beli ronde di gang sana." Gadis itu ialah Jessi, tangannya menunjuk ke arah gang di seberang jalan dan daerah ini lumayan sepi suasananya. "Terus lo kenapa gak ikut temen lo itu dan malah sendirian disini?" Balder ikut bertanya. "Eh Balder, baru pulang ya? Gue disini disuruh Dipta sambil nunggu taksi datang juga." "Harusnya dia gak biarin lo sendirian disini." Rahang Abra mengeras seketika dan kedua tangannya terkepal kuat. "Tenang, Bro." Balder menepuk pundam Abra yang mulai dilanda emosi. "Kata Dipta, disana banyak cowok-cowok nakal dan Dipta gak mau kalau gue digoda cowok-cowok disana." "Beli ronde kok di gang sih, di pinggir aja banyak kok. Gue aja sering beli kalau lagi masuk angin dan beliin keluarga juga." "Bukan masalah itu, tante Freya ngindam ronde yang dijual digang sana dan memang sudah langganan. Jadi Dipta langsung beliin aja mumpung masih di luar rumah dan belum pulang." "Ouh gitu, pantesan." Balder mengangguk paham. "Lo baru aja atau udah dari tadi nungguin temen lo disini?" tanya Abra penasaran. "Sudah dari tadi sih, tapi dia belum kembali dari tadi," jawab Jessi sambil menatap jam tangannya. "Kayaknya ada yang aneh deh." Mereka bertiga pun saling pandang. "Gue cek dulu." "Gue ikut!" "Gak usah, lo disini aja sama gue." Balder menahan tangan Jessi. "Gak mau, gue juga pengen ikut." Jessi melepaskan tangan Balder yang memeganginya padahal ia ingin mengetahui keadaan Dipta disana. "Jessi, biar gue aja." Abra menepuk pundak Jessi dan Jessi menggelengkan kepalanya. "Gue gak mau kalau lo juga kenapa-napa. ABRA! ABRA JANGAN PERGI!" teriak Jessi yang panik sekaligus cemas kalau ada sesuatu buruk terjadi pada dua orang itu ialah Dipta dan Abra. Abra segera berlari, menyeberang jalan yang tampak sepi dan mengabaikan suara Jessi yang memanggilnya beberapa kali. Setelah masuk ke dalam gang, ia terkejut melihat kondisi Dipta yang babak belur, terkapar tak berdaya di gang tersebut dan ada sekitar lima orang bertubuh besar berebutan mengambil barang berharga yang dimiliki oleh Dipta. "Woy hentikan!" Teriak Abra seraya berlari mendekati ke mereka. "Lo ngapain kesini?" Dengan suaramya yang lemah, Dipta terkejut melihat Abra berada disini. "Jangan nolongin gue! Gue gak papa, mereka cuman ngincar duit doang bentar lagi mereka pergi." Dipta memperingati Abra supaya tidak menolonginya. Abra diam saja dan menghajar para preman itu satu per satu. "Kurang ajar lo rebut itu tas!" teriak salah satu preman yang membawa tas selempang milik Dipta direbut oleh Abra dan Abra melemparkan tas itu kepada Dipta. "Itu bukan milik kalian," ujar Abra begitu santai. "Kalau tas itu sudah ada ditangan kita, itu milik kita." Mereka berlima membentuk posisi melingkari Abra. Sedangkan Dipta buru-buru mengambil tasnya dan mencari benda yang dibutuhkannya sekarang. Setelah menemukan benda yang dibutuhkan yaitu sebuah tombol berwarna merah dan Dipta menekan tombol itu berulang kali tapi tombol itu tidak menyalakan lampu yang berarti belum berfungsi. "Hadeh, kenapa masih tidak berfungsi? Ada yang salah kah?" Dipta mencoba membongkar tombol berukuran kecil itu dan sesekali melihat Abra yang tengah melawan kelima preman tersebut. Abra berusaha bersikap tenang saat salah satu preman itu mengeluarkan belati tajam dari sakunya. Ia tetap fokus supaya bisa menghindari sayatan dari belati tajam itu dan bisa merebut belati tajam itu dari tangan preman itu. Berulang kali Abra hampir saja kegores belati tajam itu dan Dipta yang mengetahui itu makin panik lalu segera membenarkan tombol berukuran kecil, hanya berjumlah satu saja tapi penting baginya. "Nah bisa." Dipta bernapas lega walau sesekali terbatuk-batuk karena pukulan mereka tadi mengenai dadanya sehingga dadanya terasa sesak sekali dan juga sempat mencekiknya. Ketika tombol itu sudah berfungsi meski harus di bongkar dulu dan segera Dipta klik tombol tersebut. "Sialan! Ini bocah jago berantem." Salah satu preman itu sudah lelah mencoba menghajar Abra dan berkacak pinggang. "Benar, Bang. Kita harus gimana?" Mereka pada berbisik-bisik. Abra meludah ke samping dan menyuruh mereka melawannya lagi. "Gue muak anj!" Teriak salah satu dari mereka yang membawa belati tajam berlari dan belati itu di arahkan ke depan. Ketika makin mendekat ke Abra, tiba-tiba preman itu terkena sesuatu didahinya dan pingsan tepat di depannya Abra. Puk' Bunyi keras mengenai dahi preman itu dan Abra tidak kaget lagi siapa pelakunya. "Abra!" teriak Balder dan Jessi menghampiri Abra. "Dipta!" Tapi seberapa detik kemudian Jessi sadar ada Dipta disana tengah mengerang kesakitan. Jessi pun menghampiri Dipta dan memeluk lelaki itu dengan raut wajahnya yang menandakan betapa khawatirnya gadis itu kepada temannya. Tepat saat itu juga, beberapa mobil mewah berwarna hitam datang memasuki gang yang luas ini dan orang-orang berpakaian hitam keluar dari mobil menghampiri mereka. "Itu om gue," ucap Dipta yang sudah beranjak berdiri dibantu oleh Jessi. "Dipta." Sosok pria dewasa berjalan cepat menghampiri Dipta dan memeriksa keadaan ponakannya tersebut. "Kita bawa ke rumah sakit. Kamu diantar sama pengawal itu." Dialah Delmon, sosok suami Freya dan sudah menganggap Dipta sebagai ponakannya sendiri. "Jessi, biarlah Dipta pergo sendirian ya." Delmon mencegah Jessi supaya tidak ikut satu mobil dengan Dipta. "Tapi Om, saya ingin temani Dipta." "Sudah ada pengawal khusus yang menemani Dipta." Jessi melepaskan tangannya yang memapah tubuh Dipta dan Dipta sekarang bersama orang suruhan omnya. Delmon menyuruh para bodyguardnya untuk membawa para preman yang beraninya menyakiti ponakannya ke dalam mobil khusus yang lain. "Kamu tidak sendiri?" tanya Delmon pada Jessi. "Tidak, aku bersama mereka juga." Jessi menyuruh Balder dan Abra menghampirinya. "Ini teman Jessi namanya Abra, Om dan dia yang menyelamatkan Dipta juga. Terus ini temennya Abra namanya Balder." "Senang bertemu denganmu." Delmon dan dua remaja itu saling berjabat tangan. "Kamu pandai bertarung?" tanya Delmon menatap Abra dari atas ke bawah berulang kali. Memperhatikan penampilan Abra yang lumayan berantakkan dan ada juga noda kotor dipakaiannya. "Tidak juga, Om. Saya melakukannya sesuai kemampuan saya sendiri," jawab Abra dan ia tak menyangka bisa bertemu Delmon. Sosok teman ayahnya dan sering juga berkunjung ke rumah walau tanpa Dipta. "Keren kamu ya, bagus." Delmon mengangguk sambi menepuk pundak Abra. "Kenapa Dipta tidak pakai motornya tadi? Kenapa harus pakai taksi?" tanya Delmon pada Jessi. "Tadi berangkat kita naik motor terus motornya bermasalah jadi dilanjut naik taksi," ujarnya menjelaskan kejadian tadi sewaktu berangkat. "Astaga motor Dipta rewel lagi?" "Mungkin, Om." "Anak itu, kusuruh beli baru aja tidak mau. Ini kalau Dipta telat klik tombol belnya pasti tamat riwayat kalian nih. Bahaya sekali malam-malam masih keluyuran juga." "Tante Freya ngindam ronde dan pengennya beli digang ini katanya." Jessi menyahut. "Ternyata istriku juga berulah." Delmon memijit keningnya pelan. "Tidak apa, Om. Kita dalam keadaan baik-baik saja itu rasanya lega." "Maksudnya tombol bel itu apa ya Om?" tanya Balder bingung. "Oh pasti ada yang belum tau, jadi saya ini kasih tombol ukuran mini ke Dipta dan kalau tombol itu ditekan otomatis bodyguard saya datang sesuai sama alat GPS yang terpaksa di dalam tombol itu. Biaaa dianggap sebagai tombol penyelamatan, karena saya tau Dipta seperti apa orangnya jadi om buatkan khusus untuk Dipta." "Wah keren banget." Balder berdecak kagum dan baru tau hal seperti itu. "Kalau soal teknik, om Delmon gak ada lawan sih. Baru aja tadi mau nanyain tombol itu." Jessi terkekeh pelan. "Om memang ahlinya dan kalian ikut naik mobil sana, ada banyak mobil disini milik om semua. Om mau mengurus para preman bandel itu." "Oke om." Jessi mengangguk sebagai perwakilan jawaban dari mereka. Jessi melirik Abra dan raut wajahnya berubah menjadi gelisah. Jessi langsung berhambur memeluk Abra. "Baju gue kotor." Abra menolak pelukan dari Jessi dengan menjauhkan tangan Jessi yang sudah melingkar ke pinggangnya. "Ekhem." Balder pura-pura tidak melihat kemesraan mereka di depannya. "Gak masalah baju lo kotor apa enggak, jantung gue mau berhenti berdetak tau gak lihat lo mau ditusuk sama pisau ih ngeri banget." "Tapi yang lo peluk duluan kan teman lo itu bukan gue, ngapain lo khawatirin gue?" Abra yang teringat kejadian tadi mendadak merasa kesal pada Jessi. "Oh tadi emm maaf, karena bagi gue itu yang diperhatikan pertama kali keadaan Dipta. Dipta yang gak bisa berantem dan pasrahan orangnya." "Ya sudah, jangan perhatikan gue. Gue bisa berantem dan gak pasrahan kayak temen lo itu." Tanpa sadar, Abra sedang dilanda terbakar rasa cemburu dan yang menyadari pertama kalinya ialah Balder. Balder menahan tawannya sebisa mungkin supaya tidak meledak. "Jangan bilang gitu lah, lo tetep gue perhatian. Lo gak lihat apa, gue lagi khawatir sama keadaan lo. Takutnya ada luka juga habis berantem." "Gak ada." Abra malah melangkah pergi meninggalkan Jessi dan Balder disana. "Seharusnya lo bisa nebak, dia kenapa sekarang." Bisik Balder tepat disisi telinga Jessi lalu menyusu kepergian temannya itu. "Emang Abra kenapa?" Sambil berjalan, Jessi berpikir keras setelah mendapat bisikan dari Balder tadi. Jessi menjetikkan jarinya dan tersenyum lebar penuh arti. "Apa jangan-jangan..." Namun raut wajah berubah, bibirnya menjadi cemberut dan dahinya berkerut. "Kayaknya gak mungkin deh." "Tapi coba deh tanya langsung haha, yah dia masih marah sih. Takutnya nanti tambah marah." Disisi lain... "Haha lo lagi cemburu kah?" Balder saat ini tertawa puas melihat wajah Abra yang tampak marah sekali tapi marahnya bukan seperti marah biasanya dan ada sesuatu di balik marahannya. "Cemburu?" "Iya cemburu, lihat Jessi sama Dipta. Ngaku deh, lo ada rasa sama Jessi kan?" Balder mulai menginterograsi temannya. "Enggak." Abra mengelak sambil menggelengkan kepalanya cepat. "Heleh mengelak terus, ngaku aja deh haha mulai ada benih-benih cinta." Goda Balder. "Kalau lo ngerocos mulu bahas hal itu, pulang sendiri sana!" Entahlah Abra bingung sendiri sama perasannya tadi yang tiba-tiba muncul rasa marah dan tidak terima mengetahui Jessi lebih memperhatikan Dipta dulu dibanding dirinya. 'Gue kenapa sih?' Abra menyalakan motornya dan akan pergi dari tempat ini. "Enak bareng itu mobil, mobil mewah." Balder mengerucutkan bibirnya menatap mobil mewah berwarna hitam yang masih bejejer rapih di depan gang. "Ya sudah lo bareng mereka aja itupun belun tentu lo di anter sampai pulang." "Emang mau dianter kemana?" "Mungkin ke tempat penginapan dan sebentar doang." "Terus kenapa kok gak dipulangin ke rumah?" Balder semakin bingung mendengar ucapan Abra. "Cuman insting gue doang." "Alah lo itu sengaja nakut-nakutin gue kayaknya." Balder tertawa dan tidak percaya terhadap apa yang dikatakan oleh Abra. "Terserah kalau gak percaya." "Lo yakin mau ninggalin Jessi gitu aja?" "Dia sama omnya temannya itu kan? Dia sudah aman, apalagi yang harus dikhawatirkan? Lo naik gak?" "Iya sih aman. Sabar elah." Selanjutnya Abra menjalankan motornga dengan kecepatan sedang. Saat sedang santainya mengendarai motornya, sekelebat teringat apa yang pernah diceritakan Jessi beberapa hari yang lalu. 'Adik gue meninggal karena dibunuh sama preman setelah pulang sekolah' "Lo kenapa sih?" Balder tentu saja kaget karena Abra begitu tiba-tiba sekali menghentikan laju motornya. ... Jessi berjalan gontai sendirian menuju salah satu mobil yang akan mengantarkannya pulang dan mobil itu disiapkan oleh Delmon sendiri. Jessi mendengar suara keributan berasal dari preman-preman tapi namun yang membuat Jessi tiba-tiba jatuh lemas di atas jalan itu saat melihat belati tajam disertai bercak darah sedang di amakan oleh bodyguard Delmon dengan dimasukkan ke dalam kantung plastik khusus. Melihat benda tajam itu seketika mengingatkannya tentang kematian adiknya kurang lebih setahun yang lalu dan di lokasi itu juga ditemukan sebuah belati tajamnya di samping adiknya yang tewas di tempat kejadian tersebut. Jessi menutupi telinganya dan matanya terpenjam kuat. Ketakutannya di masa lalu muncul kembali sehingga menghantui pikirannya yang saat ini makin kacau. "Nona Jessi." Beberapa bodyguard menghampiri Jessi namun Jessi menolaknya dan berusaha bida berdiri sendiri. Ketika berjalan Jessi sedikit oleng karena tubuhnya masih lemas sekali dan setiba di depan pintu mobil yang sudah dibukakan untuknya, Jessi hampir terjatuh kalau saja tidak didekap oleh seseorang. "Jessi. Sadarlah." Samar-samat terdengar suara seseorang yang dikenalinya dan juga pandangannya memburam lalu menggelap saat itu juga. ... Kedua pelupuk mata itu perlahan terbuka namun itu hanya sebentar saja, ia kembali menutup matanya sebab masih menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. "Jessi bangunlah Jes." Mendengar suara seseorang yang dikenalinya itu membuatnya semakin semangat untuk membuka kedua matanya. "Abra." "Jessi, syukurlah lo udah bangun." Lelaki itu tersenyum dan bernapas lega mengetahui gadis yang membuatnya panik sekarang ini telah sadar. "Ini di dalam mobil kah?" Jessi melihat sekitar yang tak asing lagi di matanya dan ia tidur dengan kepala yang dipangku oleh Abra. "Huum." Abra mengangguk sembari membantu Jessi meneguk air putih yang telah ia siapkan sewaktu-waktu Jessi dadar dari pingsanya. Setelah itu Jessi memeluk Abra membuat Abra terkejut dan gadis itu menangis di dalam pelukannya. "Hiks gue pikir lo bakal ninggalin gue sendirian." Jessi merasa sendirian meski banyaknya bodyguard yang tengah bertugas menemaninya dirinya. Tanpa menjawab, Abra mengusap punggung gadis itu supaya lebih tenang suasana hatinya sekarang. "Bukannya gue gak peduli soal tadi---" "Diamlah!" "Gue jelasin biar--" "Tenangkan diri lo dulu." Abra yang merasa gemas karena gadis itu masih saja berusaha menjelaskan kepadanya soal tadi dan jari telunjuknya kini tepat di depan bibirnya Jessi sehingga membuat gadis itu seketika terdiam. Mengetahui Jessi sudah terdiam, Abra menangkup wajah gadis itu dan mereka berdua saling bertatap muka. Namun Abra tak sanggup lama-lama menatap Jessi begitu lekat. "Gue seneng dan gak percaya kalau lo bener-bener datang di waktu yang tepat." Jessi tersenyum dan menahan tangan Abra yang akan diturunkan, membiarkan telapak tangan laki-laki itu masih tetap menangkup wajahnya. Abra memilih diam saja. "Kan diam mulu, emm lo suka sama gue?" Abra langsung menurunkan kedua tangannya dan menjauhkan wajah Jessi yang dekat dengan wajahnya. "Suka apaan?" "Iya suka, suka sama gue makanya lo tadi kelihatan marah waktu gue nolongin Dipta duluan," ujar Jessi yang sangat yakin kalau Abra mulai menyukainya dalam arti tertarik kepadanya. "Sudah gue bilang, jangan bahas hal tadi." Abra enggan menatap Jessi dan memilih menatap ke arah lain. "Lihatlah wajah lo itu, yang sangat khawatir sekali sama gue." Abra bingung sendiri sama perasannya yang tidak bisa ia tahan. "Lo sudah gak papa kan?" tanya Abra mencoba mencari pembahasan yang lain. "Emm sudah kok, tadi gue lemes karena keingat kejadian adik gue yang meninggal gara-gara preman." Benar dugaan Abra kalau Jessi bisa saja lemas dalam kondisi dirinya merasa sendirian di suatu tempat walau tempat itu suasananya ramai. "Sudah jangan diinget-inget lagi." "Enggak kok, eh btw temen lo dimana?" Sedangkan di sisi lain... "Wih begini rasanya jadi orang kaya, enak banget coy." Siapa lagi yang bersorak dengan hebohnya karena pertama kalinya menaiki mobil mewah keluaran terbaru saat ini kalau bukan Balder. Balder tidak sendiri, ia semobil dengan Dipta dan Delmon yang menyuruhnya untuk menemani Dipta meski Dipta sempat menolak. Dipta memutar bola matanya malas melihat tinhkah Balder yang duduk di sebelahnya. "Gila sih, lo kaya bener." Balder menepuk tempat duduk, jendela dan bagian atas mobil. "Yang kaya itu om gue bukan gue." Dipta memasukkan kaca matanya ke dalam tasnya yang masih dirinya bawa. "Tapi kan sama aja, lo kaya juga. Lo merasakan hidup mewah walau itu milik orang lain." Balder mendengus sebal tapi raut wajahnya berubah saat ada sesuatu yang baru dilihatnya. "Terserah lo ah, ngapain sih semobil sama gue." "Ya mana gue tau, om lo yang nyuruh gue buat nemenin lo." "Lo bisa diam gak? Berisik banget." Dipta menggaruk tekuknya dan benar-benar merasa sesak di dalam mobilnya sendiri saat Balder mulai berteriak begitu hebohnya. "Aaa bagi mobil om lo satu gue, baru gua bisa diam. Huee mobil impian gue." Balder mengusap lembut kaca jendela mobil yang ditumpanginya. "Beli sendiri malah minta." Dipta bersedekap dan sesekali mengaduh sakit saat ada bagian tubuhnya yang tiba-tiba linu. "Gak ada duit gue, jadi cuman pengen doang." "Gak punya malu." "Emang wle." Balder malah meledek Dipta. "Gue gak kenal lo ya, jangan sok akrab sama gue." Peringat Dipta yang merasa risih dengan tingkahnya Balder. "Siapa juga yang mau temanan lo." Mereka dua saling menatap sinis. "Kalai bisa gue keluar, gue keluar dari mobil ini dari tadi." Dipta menggerutu kesal. "Ya silakan kalau mau keluar, ingat ya harusnya lo berterima kasih sama temen gue yang sudah nolongin lo dan kalau dia gak ada waktu kejadian tadi, pasti luka lo itu tambah parah atau bisa mati di tempat itu juga," ujar Balder sambil tersenyum miring dan bersedekap d**a, menatapnya bingung Dipta sekilas. "Gue gak butuh pertolongan dari siapapun dan gue bisa sendiri." "Bisa sendiri? Lihat muka lo, badan lo luka semua. Jangan sepelein hal-hal yang terlihat biasa saja. Iya gue tau lo berpikir kalau lo serahin harta, lo bisa selamat. Justru salah, belum tentu nyawa lo selamat juga." "Bukan pertama kali gue berada di posisi ini dan kejadian tadi sebenernya tidak akan terjadi kalau tombol itu gak rusak." Dipta juga merasa emosi tiap mengingat tombolnya yang sempat tidak berfungsi di waktu darurat. "Mau sampai kapan lo pakai cara gituan buat nyelamatin diri? Lebih baik, belajarlah bela diri biar lo bisa melawan." "Itu bukan kemampuan gue." "Coba aja belajar, siapa tau tampilan lo yang cupu ini bisa keren. Orang kaya kayak kok tampilannya kurang asyik." "Rese' ya lo! Ngatain gue dari tadi." "Bodo amat. Wle!" ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN