Part 26: Amarah Alden

3037 Kata
Setiba di kediaman keluarga Barnard, ternyata orang tua Jessi telah menunggu di latar rumah dan disana juga ada beberapa bodyguard bersenjata. Delmon keluar lebih dulu karena mobilnya berada di urutan pertama, ia meminta maaf atas kejadian yang menimpa Jessi dan Dipta di jalan sehingga banyak yang mengkhawatirkan keadaannya kapada Alden. Alden tidak bisa marah karena keponakan dari temannya sendiri dan yang terpenting kondisi putrinya baik-baik saja. "Papa!" teriak Jessi yang kondisinya sudah tak selemas tadi dan sekarang bisa berlari menghampiri papanya yang tengah mencemaskan keadaannya. Energi Jessi kembali seperti biasanya dan itu berkat adanya Abra di sisinya. Abra terpaksa ikut turun karena perintah dari Delmon yang akan memperkenalkannya ke orang tuanya Jessi karena telah menyelamatkan Dipta dan Jessi di waktu yang tepat. "Kamu tidak apa kan sayang?" Alden memeluk erat tubuh mungil anaknya. "Baik-baik aja karena ada yang nolongin aku, Pa." "Siapa orangnya?" tanya Alden penasaran. Pasti orang yang menyelamatkan putrinya bukan orang biasa saja. "Ini orangnya, Al." Delmon merangkul pundak Abra saat mereka melangkah bersama. Alden mengernyitkan dahinya menatap pria remaja yang usianya sama dengan putrinya. "Ini?" tanya Alden ragu sambil menunjuk Abra. "Iya." Delmon mengangguk dan ia memundurkan tubuhnya membiarkan mereka mengobrol sebentar. "Kakak selamat?" tanya Arumi seraya menepuk tubuh kakaknya dan memastikan kedua kaki Jessi berada di atas lantai latar rumahnya. "Lo kira gue hantu apa?" Jessi menjauhkan tangan adiknya dari tubuhnya. "Heh sudah-sudah jangan berantem." Amanda menjadi penengah antara dua putrinya yang seringkali bertengkar. Alden memperhatikan tampilan Abra dari atas ke bawah berulang kali. Ia terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu menyelamatkan Dipta dan Jessi?" Alden masih kurang percaya pada Abra yang berhasil menyelamatkan Dipta dan Jessi. "Iya, Om." Abra mengangguk meski jantungnya berdegup kencang sekali dan merasa tidak nyaman pula menjadi sorotan orang-orang di sekitar ini. "Kamu pikir saya senang begitu?" "Papa!" Jessi menatap Alden tak percaya karena mengatakan hal yang pasti akan membuat Abra sakit hati. "Alden, kamu--" Delmon juga begitu, tak menyangka Abra mendapatkan respon dari Alde yang tidak sesuai harapannya. "Maksud Om?" "Anak berandalan kayak begini mau dibanggakan di depanku? Mungkin preman itu sengaja dikirim oleh dia dan dia menjadi sok jagoan di depan putriku. Aku tau maksud kamu ya." Alden menepuk pundak Abra dan menatap laki-laki remaja itu tajam. Delmon tidak bisa berkata apa-apa lagi, temannya itu suka sekali menyimpulkan masalah sendiri padahal tidak tau apa yang sebenernya terjadi. "Papa kenapa begitu sih? Jelas-jelas Abra menolongku bahkan tubuhnya juga telah terluka. Kenapa papa berpikir buruk soal Abra?" Jessi memprotes ucapan papanya yang tidak benar adanya. "Amanda, bawa Jessi masuk ke dalam!" Suruh Alden pada Amanda. Amanda sebenernya tidak tega tapi terpaksa melakukannya karena perintah dari suaminya sendiri. "Ayo kita masuk ke dalam Amanda!" Ajak Amanda sembari menarik tangan Jessi. Jessi memberontak tentu para pembantu langsung ikut memegangi tubuh Jessi karena jika Amanda melakukannya sendiri pasti akan kesulitan. Jessi masih menoleh, menatap Abra tak tega dan tangannya juga mengarah ke laki-laki itu. "Kakak kasihan, Ma." Arumi ikut masuk ke dalam karena ia sendiri tau siapa itu Abra dan Abra memang anak baik bukan berandalan seperti apa yang dikatakan papanya. Arumi menghampiri mamanya dan kakaknya yang sudah berada di dalam rumah. Jujur Abra sakit hati dibilang buruk oleh Alden. Tapi ia sadar sekarang posisinya bukan sosok Felix jadi ia harus menahan rasa amarahnya kepada papanya Jessi. Seorang sopir menghampiri asisten Alden dan membisikkan sesuatu. Setelah mendapat respon anggukan dari asisten Alden lalu asisten Alden tersebut, ia membisikkan apa yang disampaikan oleh sopir pribadinya Jessi pada Alden. "Abra, namamu. Kamu sudah berani mengajak Jessi menaiki angkutan umum." Abra memilih diam dan mendengar semua perkataan Alden meski itu salah. "Kamu tidak tau latar belakang keluarga Jessi seperti apa, kamu tidak tau orang tua Jessi kerjanya apa? Anak CEO terkenal dan namanya sudah tidak asing lagi bagi warga sekitar. Kamu tau bahayanya dia berada di tempat umum? Banyak yang mengincar posisiku dan berusaha menyakiti anakku. Aku membiarkan Jessi sementara tanpa ada pengawalan tapi nyatanya malah main sama anak biasa saja yang tidak tau apa itu bahaya?" Alden merasa marah sekali mendengar putrinya keluyuran bersama seseorang tanpa ada pengawalan dan putrinya bebas pergi kemana saja. Padahal menurutnya itu bisa membahayakan Jessi sendiri jika ada yang tau betul Jessi itu siapa. Alden memiliki rasa trauma semenjak putranya, calon pewaris perusahaannya dan sudah ditentukan arah tujuannya untuk masa depannya telah meninggal dunia. "Alden, bukankah Jessi juga pergi bersama ponakanku dan juga tidak pengawalan ketat." "Ada ponakanmu yang juga dikenal banyak orang bukan? Aku peecaya sekali kalau Dipta bisa menjaga dengan baik dan dia tau siapa saja orang yang akan menyakiti Jessi. Dia tau banyak hal dibanding bocah ini. Dia anak biasa aja mana tau musuh kita?" "Iya, aku paham. Tapi tidak bisakah itu dibicarkaan di saat suasana kembali tenang. Bagaimanapun Abra telah menolong ponakanku dan putrimu." Lalu Delmon menoleh, menatap Abra yang sedari tadi menundukkan kepalanya. "Kamu menyebutnya anak berandalan padahal tidak semua anak yang pintar bela diri itu anak berandalan, aku yakin tidak asa catatan pelanggaran di sekolah." "Karena dia murid baru, dia masih bersih. Tapi kita tidak tau nanti bagaimana kan?" Sela Alden. "Iya, Alden. Aku hanya tidak suka saja kalau kamu mengatakan dia ini anak berandalan, dia sendiri juga pasti syok mendengarnya. Dia habis berantem dan kalau meleset sedikit pun, dia juga tidak selamat karena preman tadi juga bawa benda tajam." "Kamu tau sendiri, aku sangat anti dengan anak-anak berandalan seperti ini." "Iya, Alden. Ya sudah istirahat lah dirimu malam ini, aku yang mengurusnya." Setelah selesai berdebat bersama temannya, Delmon menyuruh Abra kembali masuk ke dalam mobil dan akan diantarkan pulang ke rumah. "Lalu temanku?" Abra baru ingat kalau tadi tidak sendirian dan dia bersama temannya. "Temanmu, aku pinjam dulu ya Nak. Dia juga pintar berantem kan?" tanya Delmon dan mereka berdua masih berada di depan mobil. "Iya." Abra mengangguk dan memang Balder masih ikut bela diri di suatu tempat padepokan. "Aku pinjam buat nemani Dipta di rumah sakit, kalau sama-sama usianya nanti Dipta tidak bakalan mengusir Balder sedangkan kalau yang menemani bodyguardku nanti bisa diusir. Anak itu sedikit keras kepala." Delmon tersenyum simpul, Abra tidak kaget dengan sikapnya Delmon. Delmon sangat ramah walau wajahnya menunjukkan dirinya itu garang. Delmon pula tidak sembarangan menyuruh orang berada di dekat keluargaya karena dia pintar membaca karakter orang melalui wajahnya. "Tapi temanku juga sedikit--" Abra meras tidak enak kalau Delmon tau sikap aslinya Balder. 'Semoga dia gak berbuat seenaknya sama orang apalagi orang seperti om Delmon' "Tidak apa, Nak. Kamu pulanglah, sopirku akan mengantarkanmu pulang." "Baik, Om dan terima kasih." "Aku yang seharusnya berterima kasih dan oh ya jangan masukkin hati ucapan papanya Jessi. Dia memang begitu tapi aslinya baik." "Siap Om." Abra mengangguk mengerti. ... "Mengapa papa jahat sekali sama Abra?" Jessi menghampiri Alden yang baru saja memasuki rumahnya. "Bukannya jahat, tapi ini demi keamanan kamu. Kamu juga sangat sulit diatur Jessi. Sudah papa bilang jangan keluyuran di tempat yang membahayakanmu, laki-laki itu membawamu ke tempat mana pun dan dia tidak tau apa kalau kamu ini anak dari pemilik perusahaan yang sudah terkenal. Kamu bikin khawatir papa, papa itu takut kalau ada musuh papa tiba-tiba saja menangkapmu. Dia anak biasa saja dan dia tidak tau apa-apa." Alden berusaha tidak meninggikan suaranya saat menjelaskan betapa khawatirnya Jessi mengetahui putrinya sering bermain ke tempat asal dan bisa membahayakannya. "Rumahnya Abra jauh sama daerah tempat tinggal kita dan aku selalu yakin kalau Abra bisa melindungiku." "Kamu menyepelekan ucapan papa, Jessi." "Jessi, ini sudah malam. Tidurlah." Amanda merangkul Jessi dan ia melihat gurat wajahnya yang kelelahan. "Mama juga sama jahatnya kayak papa." Jessi menghempaskan tangannya Amanda yang merangkulnya. Lalu gadis itu pergi menuju kamarnya sambil menangis. "Jessi--" "Biarlah." Alden menarik tangan Amanda supaya tidak menyusul Jessi. "Tapi, Mas." "Jangan membelanya terus, Manda. Dia bersalah." Jessi kini berada di dalam kamarnya dan mengunci kamarnya supaya tidak ada masuk ke dalam kamarnya. Suasana hatinya dipenuhi rasa emosi yang meluap dan hanya bisa menangis yang dirinya lakukan sekarang. "Hiks hiks kenapa sih papa gak mau ngertiin Jessi? Papa selalu suka seenaknya." Beberapa menit menangis dan terus menggerutu soal kejadian tadi. Tangisannya perlahan mereda dengan sendirinya, Jessi langsung meraih ponselnya dan menelepon seseorang. "Abra." "Abra kok diam sih hiks." Jessi kembali menangis dan suaranya terdengar bergetar. "Abra." 'Gue gak papa, ini sudah malam dan jangan nangis terus. Mata lo bengkak nanti.' Akhirnya Abra membuka suaranya dan mengurangi rasa khawatirnya Jessi. "Maafin gue sama papa gue." 'Sudah gak papa, gue kan sudah bilang tadi. Sekarang tidur gih, cuci muka dulu yang bersih. Gue lagi dalam perjalanan mau pulang.' Di seberang sana, Abra menghela napasnya pelan dan berusaha tidak memikirkan ucapan papanya Jessi. Ia tidak tega mendengar Jessi yang terus saja menangis dan Abra tau pasti Jessi mengkhawatirkannya. "Gue masih ingin denger suara lo, marahi gue aja hiks. Gegara gue kan, lo jadi kena marah papa gue. Kenapa lo gak bilang aja kalau gue yang salah, kenapa lo malah diam saja?" 'Ini salah gue semua, lo gak salah.' "Jangan bilang begitu, gue juga salah. Maafin ucapan papa gue yang bilang kalau lo itu anak berandalan." 'Gue emang anak berandalan.' "Enggak, lo bohong." 'Iya, gue jawab jujur kalau gue emang anak berandalan makanya gue pindah sekolah biar gak makin parah keadaannya.' "Maksud lo apa?" 'Gue bukan orang baik, gue gak bisa cerita ke lo.' "Abra, ceritalah biar gue tau. Please, gue mohon." Pinta Jessi yang sudah tidak menangis tapi suara sesenggukkannya masih terdengar jelas dan nada suaranya begitu memohon sekali kepada Abra supaya menjelaskan alasan kenapa lelaki itu pindah sekolah. Dari dulu Jessi sudah merasa penasaran sekali. 'Gue bikin anak orang koma di rumah sakit, entah dia sekarang sadar atau mati,' ujar Abra dalam satu tarikan napasnya. "Gue yakin, lo pasti ada alasan mengapa bisa melakukan itu kan? Gak mungkin lo jahat ke orang." 'Segitu percayanya lo ke gue dan mengira gue ini orang baik.' Di seberang sana, Abra tersenyum. Senyumannya menandakan rasa harunya karena Jessi sangat mempercayainya. "Gue terus percaya sama lo, Abra. Lo korbanin diri lo buat selametin gue sama temen gue, gue jadi gak enak sama lo karena bokap gue responnya begitu." 'Gue gak papa, Jes. Lo jangan terlalu mikirin gue. Pikir diri lo sekarang aja.' "Jelas gue mikir lo lah, pasti lo gak mau lagi main sama gue hiks ya kan? Gak mau main sama gue karena ucapan bokap gue hiks." Jessi malah kembali lagi menangis. Wajahnya saat ini memerah sekali bahkan sudah hampir menghabiskan satu kotak tisu dan banyaknya tisu berceceran di atas lantai kamarnya. 'Gue tetep mau main sama lo, sudah jangan nangis terus. Wajah lo pasti merah banget kan?' Jessi menoleh ke samping dimana ada lemarinya yang terdapat cermin besar. Jessi memegang wajahnya dan benar apa yang dikatakan oleh Abra, wajahnya memerah saat ini. "Lo beneran masih mau temanan sama gue?" 'Iya, sekarang cuci muka dan tidur. Besok kita kerja kelompok kan?' "Huum, tapi gue takut---" 'Gue hadapi, lo gak usah terlalu mikirin soal itu. Sekarang berdiri, letakkan hp lo dan pergi ke kamar mandi.' "Tapi jangan matiin teleponnya." 'Iya.' Tak lama menunggu Jessi balik lagi ke kamarnya dan sudah berganti pakaian juga. Jessi meraih ponselnya dan melanjutkan obrolan mereka. "Gue sudah selesai sama ganti baju juga." 'Sekarang tiduran dan letakkan hp lo di atas meja.' "Jadi dimatiin teleponnya dong?" 'Iya, waktunya lo tidur. Ini sudah malam banget.' "Huft, iya deh." 'Sudah tenang kan?' "Huum." 'Good night, nice dream.' Belum sampai menjawab, teleponnya mati secara sepihak dan Jessi menghembuskan napasnya kesal. " Padahal belum rela ditinggal." Jessi menarik selimutnya sampai ke dagunya. Lengkungan senyuman indah terbit dibibir mungilnya saat tiba-tiba mendengar suara Abra yang terakhir sebelum teleponnya dimatikan oleh lelaki itu. "Kenapa dia so sweet sekali?" ... "Buset ini kamar rumah sakit khusus? Wah wah ruangan rawat inap lo kayak seruangan rumah gue." Balder berdecak kagum saat masuk ke dalam ruang inap yang akan menjadi tempat penyembuhan luka-luka pada tubuh Dipta. Sedari tadi Balder memang tak berhenti memuji kekayaan keluarga Dipta, ia berada di rumah sakit milik pamannya Dipta dan sekarang berada di ruangan inap khusus Dipta. Walau sebenarnya Dipta tidak butuh ini karena terlalu berlebihan saja. Ia merasa luka yang dirasakannya saat ini tak terlalu parah dan bisa diobati di rumah. Pamannya itu suka sekali membuang-buang uangnya hanya masalah kecil saja. Dipta sudah berganti pakaian dibantu oleh seorang perawat dan sekarang tidur di atas kasur rumah sakit. "Bisa berhenti bicaranya?" tanya Dipta pada Balder dan hanya mereka berdua saja di dalam ruang inap ini. "Gak bisa gue, saking senengnya." Padahal Balder baru saja keluar dari rumah dan sekarang kembali ke rumah sakit namun di tempat yang berbeda. Dipta berdecak kesal karena Balder sangatlah keras kepala sekali dan susah diusir berulang kali. "Capek banget lihatnya." Dipta melihat Balder yang tidak bisa diam, lelaki itu berkeliling di ruangannya sambil mengusap benda apa saja yang menarik dimatanya. Dipta berusaha memejamkan matanya tapi ia teringat Jessi dan ia pun mengirimkan pesan kepada Jessi untuk menanyakan kondisi gadis itu sekarang. "Gue tanya." "Apa?" Balder menoleh sekilas ke Dipta. "Abra satu mobil sama Jessi?" tanya Dipta memastikan karena ia hanya mendengar samar-samar saja kalau Jessi bersama Abra dalam satu mobil. "Iya, satu mobil mereka dan memang sudah jodohnya kali." Balder terkekeh pelan. "Bukankah yang gue tau tadi kalau kalian pulang duluan naik motor, kok tiba-tiba balik lagi?" tanya Dipta lagi yang penasaran sekali. "Oh itu, entah sih sama Abra. Dia tiba-tiba berubah pikiran dan cari Jessi di tempat tadi eh malah nemu Jessi pingsan sebelum naik ke mobil," jawab Balder seraya tiduran di atas kasur tamu yang begitu empuk sekali membuat Balder beberapa kali melonjak-lonjakan tubuhnya karena baru merasakan tiduran di atas kasur yang harganya terbilang tidak murah. "Pingsan?" Dipta terkejut mendengar berita baru tenrang yang kondisi Jessi. "Iya, terus akhirnya mereka satu mobil. Paman lo yang nyuruh juga tapi gue tadi dapat kabar, kalau Jessi sudah sadar dari pingsanya." Tanpa menatap ke Dipta, Balder membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh Abra. "Tapi Jessi gak kenapa-napa?" Raut wajah Dipta menunjukkan betapa khawatirnya lelaki itu kepada Jessi. "Enggak, cuman pingsan doang dan sekarang temen gue itu juga otw pulang ke rumah." "Syukurlah tapi kenapa lo gak ikutan pulang ke rumah?" "Enggak, gue mau disini dulu. Merasakan enaknya jadi orang kaya." Balder menguap lebar dan menelentangkan tubuhnya sambil kedua katanya mengusap kasur yang begitu nyaman sekali. Beda seperti di kamarnya, ia tidur di atas kasur yang sangat tipis sekali seperti karpet dan memang sudah tidak layak dipakai. "Cuman gitu doang aja seneng." "Seneng lah, coba kita tukar posisi. Lo pasti tau rasanya jadi gue." "Gue meski hidup di keluarga yang seperti ini, gue tetep mandiri." "Mandiri lo sama gue beda, okay?" "Hmm hidup orang berbeda-beda." Dipta mengangguk paham. "Nah itu lo tau, harusnya sih lebih ke bersyukur karena lo punya segalanya." Balder memejamkan matanya dan sepertinya sebentar lagi akan tidur nyenyak sekali. "Gue gak ada orang tua maksud gue orang tua gue meninggal sejak waktu gue baru 5 tahun." Sela Dipta. Seketika Balder kembali membuka matanya dan menoleh, menatap Dipta yang tengah memandang langit-langit ruangan ini. "Ha?" "Gue gak punya orang tua, orang tua gue sudah meninggal sejak gue masih baru aja berusia 5 tahun." Dipta mengulangi ucapannya. "Ouh sorry-sorrry gue gak tau soalnya dan baru sadar, lo dari tadi sama om lo bukan bokap lo." Balder merasa syok sendiri, barusan menasejati Dipta tentang rasa bersyukur tapi dirinya lah sekarang yang lebih bersyukur hidupnya masih ditemani oleh kedua orang tuanya walau ayahnya sering merasakan sakit-sakitan. "Hmm gak masalah. Gue mau tidur dulu." "Selamat tidur, Tuan Muda." Setelah mengatakan itu Balder cekikikan karena merasa geli mendengar ucapannya sendiri. Mereka berdua pun sama-sama terlelap tidur karena di satu sisi mereka merasa kelelahan. Waktu semakin berlalu dan mereka sama-sama terbangun saat mendengar musik yang terputar dengan volume suaranya yang terdengar keras. "Eh eh siapa sih ini?" Balder memegangi kepalanya dan menguap mulutnya begitu lebar. Dipta juga membuka matanya secara perlahan dan dari suara yang dirinya dengar membuatnya tak kaget lagi siapa yang berbuat ulah di pagi--pagi buta ini. "Dipta, Dipta huuu lo sakit apa? Eh bukan sakin deh, habis dipukulin sama preman. Hadeh lupa gue." "Cuman luka-luka kecil doang sih, gak perlu terlalu khawatirin gue Nya." Dipta berusaha bangun, memposisikan tubuhnya untuk duduk dan dibantu oleh Anya. "Ya pasti khawatir lha gue sebagai temen masak gak ada rasa khawatirnya melihat temen sendiri terluka kayak gitu. Jadi pengen gue hajar deh para preman itu yang nyakitin lo." Anya ikut kesal mengetahui temannya disiksa oleh orang dan suaranya juga terdengar menggebu-gebu. "Mana bisa?" Itu bukan suara Dipta yang menyahut ucapan Anya melainkan sosok laki-laki yang tengah duduk sekarang di tempat tidur sana dan sepertinya baru saja tirai yang menjadi pembatasan kamar di ruangan ini. "Oh ya tadi denger suara cowok dan ternyata itu orang. Hmm bukakah dia temennya Abra?" Anya menyipitkan matanya dan menatap lurus ke depan. Mengarah ke kasur khusus tamu atau tempat istirahat untuk orang yang menemani pasien. "Iya, gue temennya Abra." Walau dalam keadaan setengah mengantuk, Balder masih bisa mendengar jelas suara Anya. "Kenapa dia bisa ada disini?" tanya Anya seraya menoleh ke Dipta. Ia menoleh lagi menayap Balder dengan raut wajahnya yang kebingungan. "Ouh itu ceritanya panjang, besok gue ceritain. Kenapa lo pagi buta datang kemari? Siapa yang kasih tau lo kalau gue ada di sini?" tanya Dipta heran pada Anya sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat pagi. "Jessi lah, siapa lagi kalau bukan tuh bocah." "Jangan ramai-ramai lah, gue mau bobo!" teriak Balder kesal, merasa tidurnya terganggu karena mendengar suara Anya yang menggelegar sekali meski berbicara santai. "Emang ini ruangan milik lo? Enak banget lo ngatur gue." Anya menatap laki-laki itu sinis. "Iya emang ini ruangan gue juga, mau apa lo?" "Idih sok-sokan ngaku-ngaku." Anya beranjak berdiri dan berjalan cepat mendekati kasur sebelah. Ia membuka tirai yang menjadi penutup kamar tamu itu begitu lebar. "Apaan sih malah kesini, tutup lagi t***l!" teriak Balder kesal dan matanya dalam kondisi sangat berat untuk dibuka karena masih mengantuk sekali. "Tidur ya tidur kebanyakan bacot mulu ya lo." Anya berkacak pinggang. "Heh sudahlah kalian berhenti berdebat, ini masih pagi buta dan lo Anya, lo bisa pakai kasur lain. Disini ada lima kasur bukan pasien." Dipta sudah lelah dan ditambah lagi masalah mereka berdua yang sedang memperdebatkan hal yang menurutnya tidak penting. "Diam lo!" teriak Anya dan Balder kompak menjawab. "Lha lok kalian gak terima, ini ruangan gue." "Lo gak diajak!" Dipta memejamkan matanya sambil tangannya menepuk dahinya. Sungguh berat sekali hari ini padahal masih pagi buta. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN