Part 24: Hal Yang Disembunyikan

3987 Kata
"Lo baik-baik kah lihat kedekatan Jessi sama Abra?" tanya Anya heran pada Dipta. Saat ini mereka berdua tengah berada di depan kelas. Dipta terdiam dan memikirkan kedekatan Jessi dengan Abra sekarang ini. "Jangan bohong, lo pasti cemburu." Anya tersenyum sambil menyenggol lengan Dipta dan menggoda temannya yang tengah merasa kecemburuan mengetahui hubungan Jessi dan Abra makin dekat. "Dibilang cemburu, gue gak ada hak. Jessi selalu anggap gue itu sahabatnya dari dulu sampai sekarang." "Lo menyerah? Kenapa gak bilang aja perasaan lo yang sebenernya ke Jessi, semisal ditolak juga gak masalah yang penting masih temanan." "Hadeh, lo gak mikir apa setelah itu pasti Jessi merasa canggung berteman sama gue dan gue sendiri gue begitu." "Iya juga sih, tapi sampai kapan Jessi gak tau kalau lo punya rasa sama dia?" "Sampai di waktu yang tepat aja gue ungkapinnya." "Keburu dislebew sama Abra duluan." "Lo juga kayaknya dukung banget sama kedekatan mereka." "Gue dukung siapapun yang deket sama Jessi asal Jessi gak sedih sih. Lagian lo disuruh menyatakan perasaan lo ke Jessi juga sampai sekarang gak jadi terus." "Kan gue sudah bilang, Anya." Dipta mengacak-acak rambutnya Anya. "Ih Dipta jangan gitu dong!" Anya memukuli pundak Dipta berulang kali. "Terus kalau lo gimana?" "Gimana apanya?" "Ada cowok yang lo suka?" tanya Dipta penasaran karena Anya tak pernah menceritakan masalah percintaannya sedari dulu. "Emm entah sih, gue bingung sama perasaan gue sendiri. Gue suka sama dia tapi dia suka sama yang lain. Ya gue nunggu aja dia sadar sama perasaan gue ini selama dekat sama gue. Konyol bukan harapan gue ini?" Anya menoleh, menatap Dipta sambil tersenyum. "Siapa tuh cowok yang lo suka? Kepo gue, masak gue hampir tiap hari ceritain Jessi dan lo enggak cerita tentang cowok yang lo suka sama sekali ke gue." 'Cowok yang gue suka itu lo, Dipta'--Ingin rasanya menjawab itu namun Anya memilih lebih baik perasaannya dipendam saja. Lucu sekali kan, dia yang menyuruh Dipta untuk segera mengungkapkan perasannya tapi dia sendiri juga tidak bisa mengungkapkan perasaannya kepada Dipta. "Cowok yang gue suka, tidak bersekolah disini dan dia deket sama rumah gue." "Gak ada niatan kasih tau namanya?" Dipta tersenyum lebar dan menggoda temannya supaya mau mengatakan nama siapa sosok lelaki yang disukai oleh Anya. "Enggak, ini rahasia wle." Anya menggeleng lalu menjulurkan lidahnya. "Main rahasia-rahasiaan nih lo, gak asyik ah." Dipta mendengus sebal dan membuang mukanya ke arah lain. "Insial nama depannya itu D." "D? Wah kok sama kayak nama gue, nama depannya D. Apa jangan-jangan gue hahaha." Dipta tertawa dan menganggap semua yang dikatakannya adalah candaannya saja. "Eh enggak lho ya." Anya mengelak walau dadanya berdebar tak karuan, takut dirinya salah ucap dan bisa mengatakan hal yang sebenarnya. "Iya ya gue percaya, mana ada lo suka sama gue. Tipe lo pasti lebih baik dari gue, gue tau lo kayak gimana." Dipta percaya begitu saja mendengar semua hal yang dikatakan oleh Anya. "Haha enggak, jangan merendah kayak gitu lah. Temen gue juga terbaik." Anya mengacungkan dua jempolnya ke arah Dipta. "Bentar lagi bel masuk nih, kuy masuk ke kelas!" Ajak Dipta seraya menggandeng tangan Anya dan masuk ke dalam kelas bersama. Disisi lain... "Jangan lupa, besok kita kerja kelompok." Abra menghembuskan napasnya berat dan matanya terpenjam sejenak. Sudah berulang kali Jessi mengatakan hal yang sama dan sangat membosankan sekali. Namun mau gimana lagi, larangan adalah perintah bagi Jessi. Abra mengangguk saja sebagai jawaban. "Lo nanti pulang tetap naik bus kah?" "Iya." Abra menjadi tidak terlalu fokus menjawab pertanyaan di buku tugasnya. Karena Jessi "Heran deh gue, kenapa gitu gak naik motor padahal punya dan motor juga gak kepake di rumah. Bokap lo sibuk bekerja itu pun gak pakai kendaraan kan?" "Bisa diam?" Abra sudah lelah sekali karena ada saja yang dipertanyakan oleh Jessi. "Hehe iya iya, habisnya gabut mu ngapain gue." "Tugas dikerjain." "Murid lain banyak yang main-main, ini tugas gak dikumpulkan di hari ini dan biasanya guru menyuruh dikumpulkan minggu depan. Biasalah sejarah itu enak gurunya." "Biasakan tugas itu dikerjakan di hari itu juga biar gak ada beban kalau semisal ada tambahan tugas lain." Saran Abra kepada Jessi supaya tidak menjadi orang yang pemalas dan suka menunda-nunda pekerjaan. "Hehe sudah kebiasannya begini." Jessi terkekeh pelan. "Kebiasaan jelek itu, harus dihilangkan. Lebih baik segera dikerjakan daripada menumpuk kerjaan yang bisa membuat diri kita makin malas mengerjakan. Coba dulu saran gue secara perlahan." Abra membuka kembali buku tugas Jessi dan menyiapkan alat tulis untuk Jessi diletakkan di atas buku gadis itu. Jessi memikirkan saran dari Abra dan sangat berat sekali dilakukannya meski ia mengakui kalau saran Abra itu ada benarnya. "Gue gak maksa lo buat ngerjain sekarang atau enggak itu hak lo sendiri." Abra fokus lagi mengerjakan tugasnya dan sedikit lagi akan selesai. Jessi masih diam saja sambil menatap bukunya, hatinya bimbang sekali antara ingin dan tidak ingin mengerjakan tugasnya sekarang. Abra merasa tidak ada pergerakan sama sekali dari Jessi, lantas menoleh memeriksa keadaan Jessi sekarang setelah dirinya menyelesaikan tugasnya. "Malah diam aja sama mainan hp." Abra menghela napasnya lalu merampas ponsel milik gadis itu. "Ck, kenapa diambil sih hp gue?" Jessi mendengus sebal dan berusaha mengambil ponselnya. "Kerjain itu tugasnya, soalnya cuman 10 doang." "Cuman kata lo? Itu jawabannya banyak dan bikin males. Nanti juga dinilai cuman A doang bukan dinilai pakai angka." "Lebih baik dinilai daripada tidak sama sekali, kerjain gih." "Katanya lo gak paksa gue, sekarang lo paksa gue. Gimana sih?" "Ya sudah nih gue kembalikan." Abra mengembalikan ponsel ditangannya kepada si pemilik ponsel tersebut. "Tapi awas saja, minta pulang bareng naik bus. Pulang sendiri sana." Abra merapikan buku-bukunya bertepatan jam sekarang adalah mata pelajaran terakhir. "Eh gue mau pulang bareng. Mau dianterin pakai motor jadul lo itu." Jessi mencebikkan bibirnya seraya memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. Tanpa menjawab, Abra menunjuk ke arah buku tegas melalui sorotan matanya dan Jessi dengan berat hatinya mengangguk mau. Bertanda ia mau mengerjakan tugasnya sekarang juga. 'Hadeh, kenapa gak dari tadi gue bilang ini?'--pikir Abra. "Susah-susah sih disuruh ringkas segala." "Gue ajarin." ... "Akhirnya lega juga tugas semua beres hehe." Jessi bernapas lega lalu merenggangkan otot-otot ditangannya yang terasa kaku sekali. Mereka keluar dari kelas setelah berpamitan kepada gurunya begitu juga dengan murid-murid lainnya. "Besok-besok lagi kayak gitu." "Hehe iya, gue mencoba hal baru deh dan makasih banget." Jessi memeluk Abra dari samping dan Abra segera menahan dahi Jessi agar tubuhnya tidak menempel ke tubuhnya. "Hih susah banget, cuman pengen meluk doang." Jessi mendengus sebal karena Abra menolak dipeluk. Abra baru sadar kalau dirinya tidak bersikap seperti biasanya yang acuh pada gadis itu dan sekarang malah dekat sekali dengan Jessi. 'Semakin gue menjauh malah dia semakin dekat sama gue, apa ini yang dinamakan benang takdir? Jika benar-benar Jessi itu takdir gue, gue juga bingung'--Abra belum siap sama sekali menunjukkan identitas aslinya sebab pasti dirinya akan dipulangkan ke tempat asal dan dikekang seperti dulu sewaktu masih kecil. Abra alias Felix merasakan trauma yang begitu mendalam jikalau pulang ke rumah aslinya dan bertemu orang tuanya membuat dadanya semakin sesak. Ingatan kenangan kelam di masa lalunya juga akan terlintas terus dan Abra juga akhir-akhir ini dihantui ingatannya sewaktu dituntut supaya menjadi orang serba bisa padahal umurnya masih kecil. "Eh Abra awas, mau nabrak lo!" Pekik Jessi yang reflek menggeret Abra lebih meminggirkan tubuhnya dan hampir bertubrukan dengan penjaga sekolah. Abra tersadar dari lamunannya dan kembali fokus pada jalannya. "Lo ngelamunin apa? Muka lo juga sedih gitu." Jessi mendongak supaya bisa melihat lebih jelas lagi ekspresi wajahnya Abra sehabis melamun. "Bukan apa-apa." "Lo orangnya misterius banget pasti ada banyak hal kan yang lo sembunyiin." Jessi sangat penasaran sekali pada Abra, sikapnya itu seperti ada sesuatu yang disembunyikan dan memang biasanya orang seperti Abra sangat menjaga sekali masalah pribadinya. "Gak perlu tau dan gak penting juga buat lo." "Iya deh kata lo bilangnya begitu. Gue cuman menawarkan diri sebagai teman, bisa menjadi pendengar yang baik dan jangan sungkan buat bercerita." Jessi tersenyum simpul. Saat turun ke bawah, Abra reflek menggandeng Jessi karena kondisi di tangga sangat ramai. "Katanya lo gak mau deket banget sama gue, gue peluk juga menghindar." Omel Jessi tapi seperti biasa, ia tidak menolak perlakuan Abra kepadanya. Walau sudah turun Abra tidak melepaskan genggamannya. Ia sekali melakukan ini, Abra sendiri merasa nyaman makanya ia sering menolak dipeluk, digandeng oleh Jessi dan biarlah dirinya sendiri yang berinsiatif melakukan itu di waktu yang tepat saja. "Bingung deh sama sikap lo." Jessi mulai cerewet lagi, untung saja Abra sudah terbiasa pasang telinganya mendengar ocehan-ocehan Jessi. "Kadang mau kadang enggak, mau kesel tapi gue seneng sama sikap lo." Jessi menyenderkan kepalanya ke bahu Abra saat mereka sudah berada di halte dan duduk disana. "Jessi, ups sorry ganggu." Seseorang datang sambil mendorong sepedanya menghampiri Jessi namun saat mengetahui Jessi sedang asyik bersama Abra bahkan posisi tubuh mereka begitu romantis membuatnya kesal. Jessi dan Abra sama-sama langsung melepaskan genggamannya. Jessi juga beranjak berdiri dan menahan sosok yang memanggilnya tadi akan pergi. "Dipta napa langsung mau pergi sih?" Jessi memegang stir sepeda Dipta. "Gue takutnya ganggu." Dipta melirik Abra yang tengah menikmati pemandangan di jalan raya yang sangat ramai sekali kondisinya dan lumayan mancet. "Kenapa lo ngerasa begitu sih? Santai aja kali, gue sama Abra cuman lagi bercandaan doang." Jessi menyuruh Dipta untuk berteduh di halte. "Habisnya kalian kelihatan mesra sekali." Dipta tersenyum meski dibalik senyumannya itu ada rasa sakit yang tidak bisa diutarakan. "Lo gak les kah?" tanya Jessi pada Dipta. "Iya nanti pulang sekolah langsung les dan gue ke sini juga karena mau ngomong sesuatu." "Wah apa tuh?" "Nanti kita malmingan yuk, keluar malam kayak biasanya." Ajak Dipta kepada Jessi. "Ayo aja, nanti kalau mau otw bilang lho ya." "Oke." Dipta melirik Abra, sorotan matanya juga bermaksud memamerkan bahwa dirinya akan keluar bersama Jessi. Sedangkan Abra merasa biasa saja mengetahui mereka nanti akan keluar bersama sebab ia juga nanti akan keluar malam, mengantarkan temannya yang sudah waktunya pulanh dari rumah sakit. "Ya sudah gih, entar telat masuk lesnya." "Iya, Jes. Gue duluan ya." Dipta mengangkat tangannya ke arah Jessi dan Jessi membalas dengan lambaian tangannya penuh semangat. "Oke Dip, hati-hati." Selanjutnya Jessi dan Abra masuk ke dalam bus bertepatan juga bus tiba berhenti di depan halte. Mereka hanya mendapat tempat duduk single dan Abra memilih berdiri saja di samping Jessi yang duduk di tempat duduk single tersebut. Walau begitu, Jessi tidak tega melihat Abra berdiri terlalu lama dan berusaha mencari tempat duduk yang kosong dan hasilnya nihil. "Gak usah khawatirin gue, yang terpenting gue ada di samping lo." Abra seperti paham apa yang sedang dipikirkan oleh Jessi sekarang. "Kalau capek bilang, biar kita gantian berdiri." Jessi memegangi ujung seragam Abra yang memang dalam kondisi dikeluarkan. Abra menahan bibirnya untuk tidak tersenyum walau rasanya campur aduk tatkala Jessi mulai memperhatikannya. Tapi ia teringat, bagaimana kedekatan Jessi dengan Dipta dan Abra merasa Jessi hanya menganggap Dipta berteman. Ya, Abra mencoba berpikir begitu kalau hanya Dipta saja yang memiliki rasa lebih dan bukan Jessi. "Lo ikut gak nanti gue keluar sama Dipta?" "Kan lo yang diajak, jadinya dia cuman pengen sama lo aja." "Enggak papa kalau gue reques, santai aja dan Dipta juga anaknya santai sama kayak gue." "Enggak usah, gue ada keperluan penting nanti malam." "Keperluan penting apa?" tanya Jessi penasaran. "Haruskah gue jelasin semuanya?" "Iya, harus." Jessi mengangguk cepat. "Enggak, enggak semuanya baik diceritakan." "Ck, katanya harus." Jessi memukul kaki Abra. "Aduh." "Eh sakit kah?" Jessi khawatir lalu mengusap paha Abra. "Eitss stop jangan dielus, diam aja tangan lo!" Abra panik sendiri ketika tangan Jessi merayap dipahanya dan sangat tidak aman untuk jantungnya yang mendadak berdebar tak karuan. Abra menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada yang melihat kejadian baru saja. Abra bernapas lega karena tidak ada yang tau hal tadi dan takutnya dirinya dikira pria remaja berbuat tidak senonoh di dalam bus. "Kenapa?" tanya Jessi dan masih mendongakkan wajahnya, menatapnya. "Gak papa, hadap depan atau ke jendela gih!" Abra mengarahkan kepalanya Jessi ke arah lain. "Kenapa sih?" Namun Jessi kekeuh masih mendongakkan wajahnya demi menatapnya dengan jelas. "Yang nurut." "Kaki lo gimana?" Jessi akan mengusap pahanya lagi tapi segera Abra tahan tangannya Jessi. 'Astaga ini cewek polos banget tapi herannya dia lihat gue telanjang d**a aja teriak-teriak kesetanan. Masak ginian aja gak paham'---ucap Abra di dalam hatinya. "Kalau lo diam, gue gak sakit." "Oh oke." Seketika Jessi langsung menurut mendengar penuturan dari Abra. Jessi pun menghadapkan tubuhnya ke arah depan walau sesekali melirik Abra. 'Bahaya banget ini cewek'--batin Abra. Sesampainya di rumah, seperti biasa Abra mengantarkan Jessi pulang dengan motornya. "Motor jadul yuhu." 'Gini-gini motornya kuat dan tangguh eh malah dikata motor jadul. Mau heran tapi Jessi'--ucap Abra yang pasrah sekali melihat tingkah Jessi yang sangat senang kalau dibonceng dengan motornya ini. Setelah selesai mengantarkan Jessi, barulah Abra melakukan aktivitas seperti biasa dilakukannya setiap hari. ... Malamnya sesuai janji, Dipta dan Jessi pergi jalan-jalan ke suatu tempat yang baru. "Wah bagus banget, tempat apa ini?" Jessi memekik kegirangan menatap rumah makan sederhana tapi sangat luas sekali dan ada taman juga. "Jangan lari-lari Jessi, nikmati saja pemandangan di sekitar sambil jalan santai." Dipta tertawa melihat Jessi yang hampir jatuh saking senangnya diajak ke tempat dimana gadis itu belum pernah kesini. "Wah ada rumah pohon juga." Jessi berdecak kagum saat menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. "Iya disini ada rumah pohon juga dan lumayan banyak." "Itu disewa apa gimana?" "Buat tempat makan, sama aja kayak tempat yang lainnya itu." Dipta menunjukan tempat makan yang lainnya di sekitar sini yang bukan berada di rumah pohon. "Oalah tempat makan juga tapi makin seru lo soalnya lihatin pemandangan di bawah dari atas." Jessi bertepuk tangan. "Lo mau itu gak?" tanya Dipta sambil menepuk pundak Jessi dan mengarahkan pandangan Jessi ke salah satu tempat yang sepertinya akan membuatnya lebih tertarik lagi. "Itu gembok cinta kah? Ayo kesana!" Ajak Jessi sambil menggandeng tangan Dipta. Dipta tersenyum lebar menatap tangan Jessi yang menggandeng tangannya begitu erat sekali. Ketika sudah berada di depan tempat tersebut, seseorang menjelaskan kepada mereka kalau sudah membeli gembok dan memberikan tulisan di gembok tersebut, mereka dapat meletakkan gembok di rumah pohon yang mereka pilih sendiri. Ada salah satu rumah pohon yang masih kosong, segera Dipta pesan supaya tidak ditempati oleh orang lain kemudian mendekati Jessi yang sedang memilih bentuk-bentuk gembok yang sangat begitu unik sekali. "Wah bagus-bagus semua jadi bingung mau pilih yang mana." Gumam Jessi ketika sedang sibuk memilih gembok yang akan mereka tulis bersama-sama. "Kak, ini gembok harapan kah?" tanya Dipta pada penjual gembol cinta itu. "Iya kalian kalau pengen hubungan langgeng juga bisa ditulis digembok itu. Rata-rata yang datang kesini juga harapannya sama." "Kalau kita langgeng berteman, Kak. Soalnya kita temanan sudah lama dan berharap bakal jadi selamanya." Jessi tersenyum lebar menyahut obrolan mereka. "Oh gitu." Sosok penjual itu melirik Dipta dan seolah seperti paham apa yang dirasakan oleh Dipta. "Yang ini aja deh, bagus ada lopenya wajahnya di bawah letaknya." Jessi menunjuk gembok yang ia pilih dan sudah disetujui oleh Dipta. Jessi dan Dipta bergantian menulis namanya digembok dengan bolpoint khusus. "Gue tambahi friend." Di atas gembok itu tertulis nama Jessi dan Dipta lalu Jessi menambahkan lagi tulisan friend. Sungguh hati Dipta saat ini tercabik-cabik, tercabik oleh kenyataan yang ada dimana Jessi selalu menatapnya sebagai teman laki-lakinya bukan cowoknya. "Oke," lirih Dipta yang tidak semangat dan Jessi tidak menyadari itu karena suasana hatinya sangat senang sekali hari ini. Setelah menulis tulisan di atas gembok yang mereka beli, sekarang mereka berada di rumah pohon yang dipesan oleh Dipta. Jessi memasangkan gembok itu sendirian di tempatnya sebab Dipta mendadak merasa malas ikut memasangkan gemboknya dan itu semua gegara tulisan friend yang ditambahkan oleh Jessi sendiri. "Yeay sudah selesai." Jessi bertepuk tangan lalu mengambil posisi duduk berada di seberang Dipta. "Seneng ya?" tanya Dipta sambil tersenyum, berpura-pura ikut senang itu adalah pilihannya asal Jessi senang kali ini. "Seneng banget dong." Jessi meraih buku menu makanan di rumah makan yang katanya istirahat ternyata di dalamnya sangatlah bagus sekali. "Lo mau pesan apa biar gue tulis." Dipta pun menyebutkan makanan dan minuman yang dipesannya kepada Jessi. Dipta turun ke tempat kasir, memesan sekaligus membeli makanan yang telah dipesannya. Tidak butuh wakti yang lama, Dipta kembali lagi naik ke atas rumah pohon. "Enak banget tempatnya buat healing." Jessi menarik napasnya dalam-dalam lalu dikeluarkan napasnya secara perlahan. "Suka sama tempatnya?" "Suka, suka banget. Best banget deh lo kalau cari tempat begini." Jessi berdiri di dekat pembatas begitu juga dengan Dipta. Mereka menikmati angin malam yang untung saja tak begitu kencang hari ini. Dipta melirik Jessi yang sepertinya sedang kedinginan. Terlihat Jessi mengusap kedua lengannya bergantian. "Dingin kah?" "Enggak kok--em." Jessi terkejut melihat Dipta memasangkan jaketnya ke tubuhnya. "Dipake." "Nanti lo jadi kedinginan." "Gue biasa saja kok." "Ah yang bener nih?" Jessi memasangkan jaket milik Dipta ke tubuhnya dan tak kuat dengan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya meski angin ya tidak terlalu kencang. "Gue boleh tanya gak?" "Tanya apa? Silahkan aja kalau mau bertanya." "Emm sebenernya lo suka sama Abra?" "Kan gue sudah bilang kalau kita berteman." "Iya sih." Dipta mengangguk paham namun masih kurang yakin kalau hubungan mereka hanya sekedar berteman saja. "Abra itu cowok baik walau kadang ngeselin banget. Tapi entah kenapa gue nyaman sama dia padahal baru aja kita kenal dan dia juga sering acuhin gue. Tapi, tapi lagi nih gue merasa kayak sudah kenal dia lama." "Itu yang lo rasain selama dekat sama Abra?" "Iya, aneh kan? Padahal kalau ada cowok yang mencoba deketin gue itu gue kayak gimana ya, gak nyaman saja dan perlu waktu buat nyaman dekat sama cowok yang baru dikenal. Sedangkan ke Abra, itu beda banget. Gue seketila langsung nyaman dan betah aja dekat sama dia kayak dia itu rumah bagi gue hehe." 'Segitu langsung nyamannya lo sama dia, Jes'---ucap Dipta di dalam hatinya dan bingung juga karena Jessi bisa langsung nyaman kepada orang lain yang baru dikenal. "Gue ingat percakapan kita tadi, kalau lo lihat dia kayak lihat Felix kan?" tanya Dipta dengan suara yang terdengar begitu berhati-hati sekali kalau membahas Felix. "Gue pernah lihat dia yang gak sadar tersenyum sendiri dan di saat itu juga, gue lihat Felix dengan jelas di mata gue sendiri kalau itu Felix kecil." Dipta langsung merangkul Jessi yang suara berubah terbata-bata. "Apa Abra itu Felix, Jes?" "Enggak mungkin, jangan bahas ini juga kalau ada Abra. Gue takutnya dia sakit hati kalau gue lihat dia kayak lihat temen masa kecil gue. Kan orang kalau disama-samakan terkadang ada yang gak terima." "Iya, Jes. Gue ngerti." ... Malamnya... "Udah bener-bener sehat kan lo?" tanya Abra memastikan kepada Balder, tepat malam ini temannya itu pulang dari rumah sakit. "Yaps, udah sehat gue." "Lo minum habis sebotol kan? Untung lambung lo gak bocor." Abra masih kesal kepada temannya yang bisa-bisa memaksa minum padahal tidak kuat meminum minuman keras. "Haha mungkin gak lagi." Balder terkekeh pelan sambil tangannya juga membereskan barang-barangnya dibantu oleh Abra. "Kenapa bukan orang tua lo yang nganterin pulang?" tanya Abra heran. "Mereka ngambek sama gue dan adik gue juga gitu. Ya sudah gue minta tolong lo aja." "Iya pasti kecewa karena baru tau lo mabuk. Ini sudah selesai gue masukin ke dalam tas lo." "Oke makasih, Bro." "Lo gak pesen taksi aja?" "Enggak, naik motor sama lo aja gak masalah." "Ya sudah." Mereka berdua beranjak keluar dari ruang inap Balder dirawat namun saat berada di persimpangan lorong rumah sakit, Abra reflek mengambil suatu benda yang jatuh tepat di hadapannya. Abra tersenyum tipis melihat mainan mobil-mobilan yang bentuknya sangat persis dengan mainan yang pernah ia miliki sewaktu kecil. "Cute." Gumamnya. Abra membalikkan badannya dan berniat memberikan kepada pemilik mainan yang dipegangnya ini. Seketika Abra syok melihat siapa yang berada tepat di hadapannya, seorang pria tua dan ornag itu duduk di kursi roda sambil tersenyum ke arahnya. "Terima kasih sudah mengambilkan mainan kesayangan cucuku." Tangan Abra bergetar memberikan mainan itu kepada si pria tua tersebut. 'Kakek' Beliau adalah kakeknya, orang tua dari ayahnya yang sangat menyayangi tapi sayang sekali kakek dan neneknya tak pernah mau tinggal di Indonesia sehingga Felix merasa sendirian tanpa adanya mereka disisinya. Abra terdiam membeku dan pria tua itu mengobrol sendiri bersama mainannya. Abra alias Felix merasa bahwa yang sedang dipegang oleh kakeknya adalah mainannya sewakfu kecil ketika berada di rumah kakek neneknya di Sydney, Australia. Mata Felix masih terpaku menatap kepergian sosok yang diduga itu adalah kakeknya. Ia tak salah lihat dan benar-benar yakin kalau itu adalah kakeknya. 'Tapi mengapa kakeknya ada di Indonesia dan ada di rumah sakit ini?' Felix memincingkan matanya, kalau kakeknya itu bukan seorang pasien sebab kakeknya adalah seorang dokter spesialis anak. Kakeknya mengenakan jas dokter sehingga membuat Felix makin penasaran. "Felix." "Jangan manggil gue Felix di depan kakek gue." Tegur Felix pada Balder. "Itu kakek lo?" Balder menutup mulutnya saking kagetnya mengetahui fakta baru tentang Felix. "Gue yakin kalau itu kakek gue." "Dilihat beliau itu bukan sembarangan orang yang berada di rumah sakit ini deh." "Maksud lo?" tanya Felix bingung. "Gue pernah nonton kakek itu di berita dan berita itu berisi penyerahan hak milik sih. Bedanya kakek itu dulu masih belum pakai kursi roda. Apa jangan-jangan kakek lo pemilik rumah sakit besar ini? Gila sih kalau bener, lo sultan deh sumpah." Balder berdecak kagum pada temannya yang terlahir bukan dari kalangan yang terbilang biasa bahkan sangat luar biasa sekali. "Yang gue tau waktu kecil, kakek gue itu dokter. Gue masih ingat, rumah kakek sama nenek gue di Sydney sangat mewah sekali. Gue sayang sama mereka, andai mereka memilih tinggal di Indonesia. Gue pasti selamat dari tekanan orang tua gue sendiri." Felix merasa sedih saat teringat betapa sayangnya kakek dan neneknya kepadanya dulu. "Terus mainan yang kakek bawa, gue yakin itu mainan gue." "Buset itu mainan yang gue pengeni tapi gue gak mampu beli. Masih ingat gue." Balder menggeleng kepalanya heran dan tidak menyangka memiliki teman yang sangat kaya raya sekali. "Gue pengen ngikutin kakek gue sebelum hilang." Balder belum sempat menjawab, Felix telah pergi dulu menyusul sosok yang diduga adalah kakeknya. Felix berlari kecil dan matanya fokus menatap kakeknya yang didorong oleh seorang perawat. Saat Felix mulai mendekat ke kakeknya, tiba-tiba perawat itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. 'Dia perawat pribadi'--ucap Felix di dalam hatinya. Perawat itu bukanlah perawat biasa, Felix mengetahui dari kalung yang dikenakan oleh perawat tersebut. Ia ingat sekali, hanya satu benda terpasang di tubuh orang itu sudah menandakan kalau orang itu adalah orang suruhan dari ayahnya dan bukan sembarang orang suruhan juga yang mendapatkan kalung tersebut. "Ada apa?" tanya perawat itu kepadanya. "Saya mau menanyakan sesuatu pada beliau." "Saya beri waktu 5 menit." Perawat itu mempersilahkan Felix yang ingin mengobrol bersama majikannya setelah mendapat izin dari kakek itu. "Ada apa Nak?" tanya kakek itu bernama Aksa. Kakek itu menatap bingung ke pria remaja yang menatapnya sendu. "Mau tanya sesuatu, Kakek." "Wah baru ini ada yang memanggil kakek biasanya pak hehe." Pria tua itu tak nampak terlalu tua, awet muda sekali diusianya yang sudah tua dan selalu murah senyum. "Apa mainannya tidak rusak sewaktu jatuh ke lantai tadi?" Felix bingung mau mengatakan apa karena ia hanya ingin berbasa-basi padahal dirinya sendiri sangat anti berbasa-basi ke seseorang. "Oh tidak, mainannya juga awet sekali." Aksa mengusap mainan itu dengan lembut. Mainan itu berbentuk sebuh robot membawa mobil ditanganmya. "Syukurlah kalau tidak rusak." "Terima kasih sekali lagi ya, kamu langsung mengambilnya tadi." "Iya, Kakek." "Mungkin cucuku sekarang sudah remaja usianya, sepantaran sama kamu." "Kalau boleh tau, nama cucu kakek siapa?" "Felix, ini foto waktu dia masih TK dan liburan di rumah kakek." Aksa menunjukkan selembar foto yang sudah usang pada Felix. Deg' 'Sudah gue duga, beliau ini adalah kakek gue dan foto ini sebagai buktinya'--pikir Felix dalam hatinya "Memang kenapa sama cucunya, Kakek?" "Dia menghilang selama beberapa tahun ini dan sangat susah ditemukan. Apalagi kalau sekarang dicari pakai foto sewaktu dia masih kecil juga tidak bisa, pasti sekarang dia sudah remaja dan aku berharap cucuku segera pulang. Mengapa betah sekali sampai sekarang tidak kembali?" Banyak hal yang ingin Felix tanyakan kepada kakeknya tapi waktu obrolan ini tak banyak dan kakek itu harus segera pergi. Felix menghembuskan napasnya menatap kakek itu yang sudah hilang dari pandangannya. Sedangkan disisi lain... "Kalau dilihat, bocah tadi mirip sama cucuku." Aksa masih memperhatikan foto cucunya. "Oh aku lupa menanyakan namanya, semoga bisa bertemu lagi." ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN