Part 23: Diskusi

3035 Kata
Part 23: "Berani banget kalian diam-diam ngatain bos kita," ujar Javas sambil tangannya mendorong beberapa murid berpenampilan culun itu yang sedang duduk di pinggir lapangan basket ke tengah-tengah lapangan basket dan kejadian itu ditonton banyak murid di sekitar sini. "Maaf, maafkan kita." Murid-murid yang disiksa oleh teman-temannya Faisal itu berada di tengah-tengah lapangan basket dengan posisi melingkar dan berjongkok. "Maaf? Semudah itu bilang maaf? Rasanya kurang kalau belum diberi pelajaran." Pipin tersenyum miring dan kakinya menendangi mereka satu per satu. Tidak ada guru dan penjaga sekolah sehingga mereka seperti bebas bisa melakukan hal ini yang menurut mereka menyenangkan padahal mereka tidak tau bahwa betapa sakitnya dibully seperti ini. Sekitar sepuluh orang yang mereka bertiga usili bahkan mereka mengambil uang saku sepuluh orang tersebut sedangkan Iqmal bertugas memeriksa dan mengamati sekitar sambil berjalan gontai berjaga-jaga kalau ada yang merekam lalu tindakannya bersama teman-temannya bisa dilaporkan ke kepala sekolah. Iqmal mendelik seketika melihat ada sosok murid baru berdiri di sana menatap ke arah teman-temannya dan lelaki itu berbalik, melaporkan ke teman-temannya. "Guys sudah guys, si murid baru itu ngelihatin kita." Iqmal memberitahukan ke mereka dan murid-murid yang terbully itu bisa bernapas lega karena mereka tau kalau teman-temannya Faisal kalah bertarung dengan Abra. "Cih, gak ada kata takut bagi gue. Dia cuman melihat doang kan?" Javas tersenyum miring penuh arti dan menatap ke arah sosok murid baru itu yang berdiri disana dan sepertinya juga sedang tidak sendiri. "Iya sih, eh kenapa gak nolongin mereka kayak waktu dia nolongin Dipta?" Pipin merasa heran dan tatapannya juga tertuju ke arah Abra yang malah menatap ke arah lain. "Noh lihat kan, gak usah sok sokan berani. Kalian menganggap dia jadi pelindung, nyatanya? Dia mengabaikan kalian." Walau Javas tak paham mengapa Abra bisa berubah dan tidak membela murid culun, Javas tetap menyiksa mereka. Para murid berpenampilan culun itu sedih hatinya bahkan ada yang nekat memanggil Abra supaya Abra menolong mereka tapi Abra malah pura-pura tidak mendengar suara mereka. Abra mengabaikan mereka semuanya padahal beberapa hari belakangan ini mereka tidak jadi dibully karena membawa embel-embel nama Abra sehingga teman-temannya Faisal tak berani dan memilih kabur. "Mana tadi helaan napas lega dan senyuman lebar? Haha ngakak gue ingat tadi." Iqmal tertawa terbahak-bahak. "t***l, t***l, t***l sekali." Pipin menonyor kepala mereka para murid berpenampilan culun secara bergantian. "Abra sama Dipta hmm mencurigakan sih." Bisik Iqmal ke Javas dan Pipin. "Iya ya, mereka barengan itu sekarang. Kita atur rencana yang lain juga nih kayaknya." Disisi lain... "Lo kok malah diam saja sih, sana bantu. Kasian tau." Jessi menepuk tangan Abra yang tengah bersedekap sekarang. "Jangan dipaksa Jes, kalau dia gak mau. Nolongin orang kan terserah dia sendiri lagian juga lebih baik gak usah dibantu, Abra bisa jadi ikut dalam bahaya." Dipta menurunkan tangannya Jessi dan entah setan apa yang merasukinya membuatnya membela Abra. Ia hanya tak ingin ada orang yang terlibat masalah besar dengan Faisal. Abra sendiri terkejut mendengar ucapan Dipta yang malah membelanya padahal Dipta tidak suka melihatnya yang terusa menerus bersama Jessi. "Bener juga sih ucapan Dipta, semisal Abra malah lebih bahaya gimana? Lo kan tau kalau Abra habis dihajar mereka juga." "Tapi yang babak belur itu mereka, luka Abra lebih sedikit juga dan Abra memang sudah ahlinya bertarung." Jessi tetep kekeuh menyuruh Abra untuk menolong murid-murid yang menjadi korban bullying teman-temannya Faisal. "Emang lo tega Jes kalau Abra celaka?" tanya Anya tidak yakin pada Jessi. "Enggak." Jessi menggeleng lalu melirik Abra yang diam saja sedari tadi. "Gue juga nebak aja sih, kalau Abra ini diincar sama mereka," ujar Dipta yang seperti sudah paham apa yang akan terjadi kedepannya. "Diincar kenapa?" Anya dan Jessi saling pandang. "Faisal orangnya gak mau dirinya itu kelihatan lemah dan kalah. Dia bakal cari cara terus supaya dirinya itu menang melawan Abra." "Gak usah khawatirin gue," ujar Abra dan langsung pergi meninggalkan mereka yang masih betah berdiri disini. Abra hanya malas sana membahas sosok laki-laki berusia setahun lebih muda darinya dan tak menyangka juga sifatnya sangatlah jauh dari kata baik. Jessi menatap kepergiaan Abra dengan perasaan penuh kekhawatiran dan takut juga kalau Abra kenapa-napa setelah mendengar penjelasan dari teman-temannya. "Sebenernya lo ada hubungan apa sama Abra, kelihatan banget makin deket nih." Anya memincingkan matanya curiga menatap Jessi dan Dipta pun juga ikut penasaran. "Kita berteman saja," jawab Jessi seadanya. "Beneran itu temanan doang? Yakin nih, kok gue gak yakin karena selama ini yang gue lihat juga lo terus mencoba deketin Abra dan lo larang Abra cuekin lo." "Yakin lah, dia asyik kok aslinya dan baik cuman kayaknya tergantung mood dia deh atau emang sifatnya ya suka acuh gitu." Jessi menggaruk tekuknya yang tidak gatal. "Dia juga acuhin gue terus, jadi males gue ngobrol sama dia dan sorry Jessi, gue gak bisa berteman sama orang yang punya sifat kayak gitu. Gue menyerah dan capek sendiri." Dipta angkat tangan sambil menggelengkan kepalanya. "Nah ini nih yang jadi daya tarik sendiri, gue mencoba berteman sama orang yang sikapnya kayak Abra gitu dan akhirnya nemu juga. Entahlah tiba-tiba dari awal gue tau dia, gue langsung tertarik ngajak dia berteman hehe." Jessi terkekeh pelan namun raut wajahnya seperti ada sesuatu yang disembunyikan dan Anya bisa merasakannya karena mereka telah berteman lama sejak kecil. Jadi hal sekecil apapun selalu Anya perhatikan dengan baik. "Selain itu ada hal lain yang menjadi alasan lo deketin Abra kan?" Tebak Anya. "Emang apa alasannya?" Dipta menoleh seketika ke Anya dan kening berkerut bingung. "Enggak, gak ada kok." Jessi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Bilang aja sejujurnya mumpung gak ada Abra dan di sekitar kita ini juga gak ada murid lain. Ingat ya Jessi, selalu cerita apapun ke kita karena kita berteman juga sudah lama. Lo sembunyiin apapun, gue bisa baca." Anya meraih tangan Jessi dan menggenggam tangan temannya itu. "Kalau gak kuat cerita, bisa nanti-nanti ceritanya juga gak masalah Jes." Dipta membelai rambutnya Jessi. Jessi terdiam beberapa saat kemudian mengungkapkan hal yang selama ini menghantui pikirannya. "Gue kalau melihat dia lebih lama, gue kayak ngelihat Felix dulu." Jessi menghembuskan napasnya berat dan baru bisa menceritakan masalah yang selalu terngiang-ngiang dipikirannya kepada teman-temannya. "Maksud lo melihat Abra?" "Iya, gue kayak merasa Abra itu Felix karena banyak persamaan juga." "Tapi sayangnya dia bukan Felix kan, lo kangen banget ya sama Felix?" tanya Dipta yang sudah tidak kaget lagi kalau Jessi selaku memikirkan Felix karena Felix lebih dekat dengan Jessi dan Jessi selalu memperhatikan Felix yang tak pernah memiliki teman berbeda dengannya, Dipta kecil selalu memiliki banyak teman sehingga Jessi tak pernah khawatir kepadanya. "Kangen." Suara Jessi bergetar dan juga dengan cepat mengeluarkan air matanya membasahi pipi chubbynya. . "Eh eh jangan nangis, cup cup." Anya langsung memeluk Jessi dan paham apa yang dirasakan oleh Jessi. Merindukan seseorang yang kemana-mana selalu bersama dan begitu dekat sekali. Pasti berat bagi Jessi untuk menahan rasa rindunya pada teman masa kecilnya yang telah hilang entah kemana dan sampai sekarang Jessi masih setia menunggunya. "Kalian percaya gak sih kalau Felix masih hidup?" tanya Jessi sembari melepaskan pelukan dari temannya dan menatap dua temannya itu secara bergantian. Anya dan Dipta saling pandang sejenak. Mereka takut salah bicara dan memikirkan jawaban yang tidak menyakiti hatinya Jessi. "Tentu lah, masih percaya kalau dia bakalan balik juga tapi kalau dipikir-pikir pasti banyak perubahan dari segi fisik. Dia hilang semenjak dia masih kecil, masih unyu-unyu wajahnya nah kalau sekarang pasti dia lebih cakep banget. Duh jadi penasaran wajahnya kayak gimana kalau kita dipertemukan sama Felix kembali pasti ganteng." Anya menjawab dengan perasaan antusias dan sengaja tidak menyuarakan kesedihannya supaya Jessi tidak semakin sedih. "Pasti bakal ganteng kayak pangeran." Tanggapan Jessi sambil tersenyum malu-malu. Anya melirik Dipta, ia tau perasaan temannya karena Dipta sudah mulai menyukai Jessi sejak kecil hanya saja perasaan sewaktu mereka masih kecil itu menyukai dalam hal berteman namun setelah beranjak menjadi anak remaja perasaan Dipta tumbuh lagi melihat Jessi sebagai perempuan yang dicintainya bukan lagi teman. "Gue sampai sekarang masih penasaran, kenapa Felix segitu beraninya kabur dari rumah dan itu sendirian juga." "Sama banget, gue mikirnya begitu. Tapi semakin kita gede begini akhirnya kita sedikit paham juga, karena bokap gue karyawan perusahaan bokapnya Felix jadi gue gak sengaja denger percakapan bokap gue sama nyokap beberapa hari yang lalu dan sebenernya ini mau gue ceritain ke kalian tapi baru ingat hehe." "Apa Nya?" Jessi agak kesal pada temannya karena baru bercerita sesuatu yang berhubungan dengan Felix. "Faisal kan anak dari istri keduanya ayahnya Felix. Jadi kayaknya yang bermasalah itu bokapnya Felix deh, terus ada lagi nyokapnya Felix yang kandung ini alias istri pertamanya Om Asher itu mengidap penyakit bipolar. Kalian tau kan karena ini berita juga sudah menyebar dari dulu. Coba deh kalian bayangin kalau kalian ada di posisi Felix, apa kalian betah di rumah?" tanya Anya pada kedua temannya. "Gue gak bisa jawab karena dari kecil, orang tua gue udah gak ada." "Dark njir pertanyaan gue tadi." Anya menepuk bibirnya sendiri dan seketika lupa kalau ada Dipta yang tidak memiliki orang tua dikarenakan orang tuanya meninggal karena kecelakaan. "Haha santai aja kok." Dipta tertawa melihat raut wajah Anya yang panik. "Gue bakal ngambek sih sama papa kalau papa selingkuh dan punta istri lagi. Gue gak mau manggil papa juga dan semoga bokap setia karena bokap juga bucin tiap hari ke nyokap." "Lo mudah bilang gitu, Jes. Karena beda nasib sama Felix, gue pernah Felix dipukul gegara nilainya menurun padahal nilainya masih tinggi menurut gue." "Kok lo baru cerita sih." "Emang lo gak tau kah?" "Enggak, setahu gue sih Felix makin disayang sama orang tuanya karena Felix terus banggain kedua orang tuanya." Jessi benar-benar tidak tau apa-apa dan ia hanta tau kalau Felix disayang oleh kedua orang tuanya. "Aslinya kejam banget lho Om Asher, kalau didik anak bisa keras tapi herannya malah Faisal gak ada takut-takutnya ya sama Om Asher. Dia gak takut dimarahi orang tuanya waktu dia ada masalah di BK." Anya mengetuk dagunya dan berpikir keras. Seperti ada hal yang ganjal menurutnya. "Gue juga gak tau apapun soal Felix dan cuman beberapa doang. Wajar sih kan kita masih anak-anak dan belum tau masalah orang dewasa." Dipta ikut menyahut. "Kok gue merasa ada hal ganjal sih, Felix dulu juga gak nakal, gak pernah buat ulah dan cerdas banget. Sedangkan adiknya? Bikin istighfar tiap hari deh gue lihatnya sambil nepuk d**a dan gak kuat aja lihat tingkahnya Faisal ya ampun," ujae Anya yang gereget saat menceritakan tentang Faisal. "Iya mereka berbanding jauh tapi memang semuanya diciptakan berbeda-beda. Orang kembar juga sifatnya beda. Tapi kalau Felix sama Faisal kelewat jauh perbedaannya. Sampai sekarang gue gak tau bakatnya tuh bocah apa, dia main game aja noob banget." Dipta bersedekap d**a dan ucapannya ini hanya sepengetahuannya saja. "a***y ngakak gue dengernya, mungkin kalau Faisal denger lo bilang gini sudah dipukul sampai bonyok deh lo." Anya saking ngakaknya, berdiri tidak kuat dan tangannya memegangi tangannya Dipta. "Sampai sekarang gue juga gak tau kabarnya mama kandungnya Abra yang menghilang entah dimana sama kayak Abra tapi kata bokap, mamanya Abra memang gak mau publik lagi dan memilih privatin diri," ucap Jessi yang mendadak teringat keadaan ibunya Felix. "Kasian ya, kok bisa kena bipolar pasti ada penyebabnya beliau kena itu. Kata bokap yang pernah datang ke rumah Om Asher sih, penyakitnya makin parah waktu Om Asher memilih menikah lagi dan yang gue lihat sampai sekarang tapi ini waktu Om Asher sama Tante Naura lho ya, Om Asher kelihatan gak ada rasa cintanya ke Tante Naura. Kayak biasa gitu tatapannya soalnya gue sering memperhatikan juga apalagi orang tua gue kalau lagi saling tatapan ea ea jadi iri gue." Anya memekik kegirangan menceritakan keromantisan kedua orang tuanya. "Gue yang lebih iri, gimana mau lihat orang tua tatapan. Mereka ada di tanah." "Please dark banget, sorry gue lupa." Anya reflek memeluk Dipta dari samping sejenak dan menepuk punggung laki-laki itu. Jessi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka. "Bokap gue yang temanan sudah lama sama Om Asher gak tau perjalanan cintanya Om Asher karena tertutup orangnya. Herannya kenapa berita hilangnya Felix tidak dilanjutkan sih? Dia bapaknya apa bukan gitu lho, masak anak sendiri hilang tapi orangnya santai aja dan menyibukan diri sama kerjaannya." Jessi sangat heran pada orang tuanya Felix yang membiarkan anaknya menghilang begitu saja dan saat melihat berita kala itu, wajah mereka tidak menunjukkan rasa cemas dan kekhawatiran. "Nah ini yang mau gue bahas juga, gue waktu lihat berita juga mikir kok mereka bisa santai begitu. Gue malah tanya ke orang tua gue kalau gue kayak Felix gimana dan mereka lansung peluk gue, berharap keluarga terus utuh dan jangan sampai ada yang kabur-kaburan kayak begitu. Kalau gak mau tinggal bareng sama keluarga, nanti bakal dicarikan kontrakan atau apartemen buat tinggal." "Tante gue juga begitu karena gue sendiri gak nyaman saja tinggal bareng sama keluarganya Tante Freya. Pengennya tinggal sendiri saja deh." "Gue gak dibolehin sama sekali buat tinggal sendiri, bokap posesif sama gue entah kalau gue kuliah nanti pasti nyewa bodyguard buat jagain gue." Jessi menghela napasnya pelan. "Iya sih bokap lo begitu karena beliau takut lo kenapa-napa. Eh ini istirahatnya mau habis lho." Anya tak mau membuat Jessi sedih mengingat adiknya yang meninggal dan juga Felix yang masih menghilang. "Gue jalan duluan ya soalnya mau ke kamar mandi." Pamit Jessi yang pergi duluan untuk mencuci mukanya terlebih dahulu sebelum memasuki kelasnya. "Iya Jess, hati-hati." Anya dan Dipta mengangguk mengerti dan membiarkan Jessi pergi lebih dulu. "Segitu rindunya Jessi ke Felix sampai Abra dikira Felix," ucap Anya. "Emang lo yakin banget kalau Felix masih hidup?" tanya Dipta bingung pada Anya. "Antara yakin dan tidak yakin tapi sebelum ada berita meninggalnya Felix berarti tandanya Felix masih hidup. Andai aja waktu itu kita sudah gede gini jadi kita bisa tau permasalahannya gimana. Waktu itu kita masih belum tau apa-apa dan menghilangnya Felix, gue kira dia bakal balik ke rumah eh nyatanya sudah beberapa tahun ini gak pulang-pulang." "Kalau masalahnya karena dia gak betah di rumah gegara orang tuanya, sangat kecil kemungkinan dia gak balik ke rumahnya dan dia bisa saja tinggal sama orang lain tapi bukan keluarganya. Orang kalau merawat Felix juga gak ada ruginya sih, dia anak yang cerdas banget dan mampu paham cepet padahal baru aja dijelasin." "Bener juga ya, gue baru kepikiran sih. Emang kayaknya si Felix gak balik ke rumahnya tapi dia tinggal sama orang lain dan ini kalau Felix masih hidup." "Ada rumor juga pernah gue denger kalau Felix diculik gegara anak dari keluarga kaya raya tapi nyatanya rumor itu lenyap juga. Kalau memang ada pasti langsung ketangkep itu penculik dan kalau ada orang yang merawat Felix pasti tau Felix ini dari keluarga apa. Felix sering muncul di televisi." "Jadi menurut lo, Felix gak tinggal di kota ini tapi jauh dari kota ini dong?" "Mungkin saja, kalau tau Felix itu anaknya siapa kan pasti Felix anter pulang kan waktu itu ada sayembara juga. Siapa yang bisa menemukan Felix akan mendapatkan uang, gue lupa totalnya berapa tapi jumlah besar banget uang yang didapat. Kalau semisal Felix masih tinggal disini pasti Felix yang nyuruh ke orang yang merawatnya buat gak bilang siapa-siapa. "Iya juga sih, buset dah lo teliti banget. Kenapa kita gak dari dulu diskusi soal ini dan kenapa jadi seru juga ya memecahkan misteri hilangnya Felix." Anya menepuk tangan Dipta. ... "Abra." Jessi langsung duduk di sebelah Abra dan Abra ternyata sudah berada di dalam kelas. "Lo dari tadi sudah di kelas ya?" "Huum." Abra mengangguk dan sepertinya baru selesai membaca buku. "Lo baca materi ekonomi? Astaga gak modyar apa otak lo itu buat mikir pelajaran ini di siang-siang hari?" Jessi melongo saat baru tau kalau apa yang dibaca oleh Abra adalah materi ekonomi. "Candu belajar," jawab Abra santai seraya menyiapkan mata pelajaran yang sebentar lagi akan dimulai dan bertepatan dengan itu bel masuk telah berbunyi. "Lemes gue dengernya, disaat banyak anak yang kecanduan game dan lo malah kecanduan belajar? Lo manusia apa bukan sih? Curiga deh gue, jangan-jangan lo hih ngeri lah." Jessi langsung mengusap kedua tangannya sendiri sambil bergidik ngeri. Abra menatap Jessi dengan salah satu alisnya terangkat. Bingung melihat tingkah Jessi, ada saja kelakuannya yang membuatnya harus lebih banyak sabarnya. Untung ia sudah memahami sifat gadis itu seperti apa dan memilih membiarkannya saja. 'Cewek sinting'--batin Abra. "Lo hina gue kan?" Abra menoleh lagi, menatap gadis itu dan syok mendengarnya karena ucapan Jessi seperti bisa membaca pikirannya. "Enggak," jawab Abra sambil menggelengkan kepalanya. Tentu jawabannya adalah jawaban kebohongan dan yang benar itu, seperti apa yang dipertanyakan Jessi tadi. "Gue cuman ya bercanda doang bilang tadi tapi disisi lain gue baru nemu orang kayak lo yang kecanduan belajar. Sepinter-pinter Dipta, temen gue itu dia juga mual kalau baca materi buku terlalu lama sih. Lha lo, bisa-bisa bentah banget dan gue gak denger sama sekali keluhan lo juga. Lo bener-bener hebat dan keren banget sumpah." Jessi mengacungkan kedua jempolnya ke arah Abra yang masih menatapnya. "Gue juga bisa jenuh." "Ouh gitu, baru kali ini denger lo ngeluh haha." Jessi tertawa sambil bertepuk tangan. "Gue bukan orang seperti itu." Abra menggeleng. "Lo gak suka mengeluh?" "Ke publik." "Jadi lo kalau ada apa-apa memilih menyembunyikannya?" "Gue gak terlalu suka bercerita." "Ah paham-paham memang sih rata-ratanya cowok cuek ya begini. Tapi gue berharap lo cerita ke gue kalau ada apa-apa, siapa tau gue bisa bantu lo." Jessi meraih tangan Abra dan menggenggamnya. "Lo juga." Abra tersenyum tipis membalas ucapan Jessi. "Ah itu ya pasti lah." Jessi salah tingkah dan melepaskan tangannya yang menggenggam tangannya Abra. Balasan Abra itu mengejutkan sekali dan tidak ia pikirkan kalau Abra langsung menjawab ucapannya tersebut yang menenangkan hatinya. "Emm btw lo kalau waktu jenuh belajar, ngapain?" "Tidur." "Lo gak main gitu?" tanya Jessi lagi yang masih penasaran dan waktu beginilah Jessi tunggu sebab disaat Abra tak sibuk belajar membuat Jessi tidak dicueki oleh Abra. "Main tapi bentar dan gak sering." "Gue juga pengen main bebas tapi nunggu bokap lembur baru deh bisa main bebas. Bokap gue posesif banget ya alasannya karena adik gue sih." "Tandanya bokap lo sayang banget sama lo." "Iya sih bener tapi rasanya risih juga lama-lama kalau diposesifin terus. Bagaikan hidup di dalam penjara. Kalau bokap lo gimana sama lo?" "Biasa saja. Tapi tetap peduli juga." "Enak ya." 'Andai saja bokap kandung gue kayak gini, meski bersikap biasa tapi peduli sama gue. Tetep bagaimana pun keadaannya enak tinggal bersama orang tua kandung tapi kalau mereka bukan kayak itu sifatnya yang suka menyiksa batin anaknya sendiri'---pikir Abra dan merasa sedih hatinya jika teringat perlakuan dari kedua orang tuanya dulu kepadanya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN