Part 11:Malam Berdua

3025 Kata
Di dalam perjalanan, Jessi sibuk merias wajahnya secantik mungkin walau dia tadi sempat merias sebentar tetap saja ingin memperbaiki riasan wajahnya lagi. "Pak sopir, Jessi sudah cantik belum?" tanya Jessi pada seorang sopir taksi. "Cantik, Neng." Sopir taksi menjawab sambil mengangguk. "Beneran lhoh?" "Iya, Neng emang sudah cantik." Sopir taksi itu terkekeh pelan mendapatkan penumpang seorang gadis remaja dan sangat begitu centil sekali. "Aku harus cantik malam ini." "Mau ketemuan sama pacar kah, Neng?" tanya sopir taksi itu berbasa-basi. "Bukan pacar, Pak. Cuman temen doang hehe." Jessi menyengir kuda. "Oalah tak kira sama pacar." "Sama temen, Pak. Tapi tetep harus tampil cantik di depan." "Oh si eneng ini suka sama temennya?" tebak dang sopir taksi. "Enggak kok Pak." Jessi bingung akan menjawab apa sebab tiba-tiba dari keinginannya sendiri ingin merias wajahnya dan tampil cantik di depan Abra. "Semoga lancar bertemu temannya." "Amin, Pak. Terima kasih." Jessi tersenyum lebar dan merasa nyaman sekali mendapatkan sopir taksi yang sangat ramah kepadanya. Saat pejalanan hampir sampai menuju rumahnya Abra, Jessi tak sengaja melihat sosok laki-laki yang dikenalinya tengah duduk di warung kopi. Meski banyak orang disana tak membuat Jessi tak mengenali lelaki itu justru semakin penasaran dan ia agak syok pula lelaki itu menatap ke arah mobilnya. Jessi membuang muka ke arah lain dan menatap lurus kedepan seolah-olah tidak mengetahui keberadaan lelaki itu disana. "Benar itu Abra." Kemudian Jessi memperintahkan ke sopir itu untuk menghentikan taksinya ditempat yang agak jauh dari warung. Jessi membayar terlebih dahulu sebelum turun dari mobip taksi lalu memberikan senyuman yang penuh tanda terima kasih kepada sang sopir. Jessi membalikkan tubuhnya dan seketika tersenyum lebar saat tatapan mereka bertemu. Namun saat Jessi akan menghampirinya, lelaki itu malah berlari pergi menjauhinya dan Jessi bergegas menyusul larinya Abra dari belakang sambil meneriaki Abra berulang kali. "Abra!" "Abra jangan lari!" Jessi terus mengejar Abra dan tak menyerah begitu saja sebelum menangkap lelaki itu yang berani-berani kabur. Disisi lain, Felix begitu panik sekali dan berusaha melarikan diri dari gadis itu dan sengaja mengulur-ulur waktu supaya Jessi segera pulang dari daerag rumahnya. Mata Felix menyapu ke sekitar jalanan yang dilewatinya sekarang dan ia melihat sebuah mobil pick up yang berisikan perkakas rumah misalnya seperti timba, perkakas dapur dan sebagainya. Disana juga ada beberapa ibu-ibu yang tengah membeli perkakas tersebut. Felix pun ikut nrimbung ke ibu-ibu meski ditatap aneh oleh ibu-ibu yang sedang membeli perkakas dan Felix mengabaikan tatapan mereka kepadanya. Felix berpura-pura akan membeli salah satu barang dagangan itu dan saling tawar ke pedagang itu. Felix mendelik melihat Jessi yang berhenti berlari disana dan segera pandangannya difokuskan melihat barang-barang dagangan di depannya. 'Semoga dia gak lihat gue disini'--batin Felix berdoa di dalam hatinya. "Sudah belum belinya? Saya mau pindah ibu-ibu." "Sudah." "Tunggu Pak, jangan dulu!" Felix menggelengkan kepalanya panik mendengar ucapan pedagang itu yang akan pindah berjualan di tempat yang lain. "Lho mas mau beli?" "Iya, Pak. Jangan pergi dulu!" Pinta Felix pada pedagang itu. "Baiklah saya tunggu beberapa menit ya soalnya mau pindah ini." Pedagang itu melirik jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangannya dan terpaksa menunda pergi. "Iya, Pak. Tolong tunggu bentar ya Pak." Felix bingung akan membeli apa dan asal saja mengambil barang sambil menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan Jessi tidak ada di sekitarnya. Dirasa sudah aman barulah Felix mengembalikan barang-barang yang diambil dan membuat si pedagang menghembuskan napasnya kasar. "Gimana sih kamu? Jadi beli gak?" tanya pedagang itu pada Felix sedangkan para ibu-ibu sudah membubarkan diri masing-masing. "Emm enggak." Felix menggelengkan kepalanya cepat dan memundurkan langkahnya secara perlahan sambil menoleh ke kanan ke kiri meski ia kena omelan dari si pedagang tersebut. Felix bernapas lega mengetahui sudah tidak ada Jessi di sekitarnya dan dia berniat pulang ke rumah saja lalu mengurung diri. Namun dugaannya ternyata salah, dari arah belakang seseorang mengagetkannya. "Hayoo mau pergi kemana?" Si pelaku yang mengagetkannya tidak lain adalah Jessi. Jessi memang sengaja menunggu lelaki itu disini karena ia sudah menebak kalau Abra itu bersembunyi. "Ck." Abra berdecak kesal seraya melepaskan tangan Jessi yang bergelayut manja di lengannya. "Eh malah dilepas. Ingat sama hukuman lo ya!" Jessi kembali mengingatkan soal hukuman Abra membuat Abra tak bisa lepas dari Jessi. "Besok gue bisa bebas kan?" "Emm enggak." "Kok enggak?" Seketika Abra menghentikan langkah kakinya dan menatap bingung ke Jessi. "Karena lo melarikan diri lagian gue hitung juga belum ada 24 jam kita bareng." Jessi mengingat-ingat berapa jam dirinya bersama Abra. Abra memejamkan matanya dan berteriak di dalam hatinya mendengar ucapan Jessi baru saja. 'Apa katanya? Dia sampai menghitung jam segala astaga' "Harus kah 24 jam?" "Kan satu hari 24 jam, hukuman lo kan satu hari. Apa lo pura-pura gak tau ya? Eitss gue gak sebodoh itu wle." Jessi menjulurkan lidahnya dan memasang raut wajah meledek ke Abra. Raut wajah Abra berubah menjadi pasrah ditambah sekarang digeret oleh Jessi entah kemana. "Oh ya gue tadi waktu perjalanan ke rumah lo, ternyata ada alun-alun ya. Emm gimana kalau kita kesana?" Jessi tersenyum lebar menatap Abra yang enggan sekali menatapnya balik. "Enggak. Lo pulang aja gih, sudah malam." Abra malah menyuruhnya pulang. "Ini masih jam delapan kali, ntar gue pulangnya lagian baru juga datang. Salah sendiri pakai lari-larian segala hayoo." Jessi cekikikan sedangkan Abra memutar bola matanya malas. Rumah Abra berada di daerah kabupaten sefangkan Jessi berasa di pusat kota dan membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk sampai ke daerah rumahnya Abra tentu Jessi tidak mengabaikan sekitar rumahnya Abra begitu saja. Ia sempat melihat alun-alun kabupaten yang tak kalah bagusnya dengan kota dan ingin dirinya kesana karen belum pernah ke tempat itu sama sekali. Kebetulan jaraknya juga tidak jauh jadi mereka hanya berjalan kaki saja. "Huh ternyata lumayan capek juga." Jessi masih sempat-sempatnya tersenyum sambil sesekali memegang kakinya yang terasa kaku sekali. "Ya sudah pulang aja, ngapain ke sana sih?" Abra malas sekali ke alun-alun dan lebih menyukai di warung tadi. "Gue bilangnya capek ya bukan mau pulang lagian gue strong girl dan anti menyerah." Jessi tetap melanjutkan jalannya sambil agak menggeret Abra yang berjalan ogah-ogahan di sampingnya. Abra tak bisa membantah apa-apa lagi karena Jessi begitu keras sekali. Setiba di taman, Jessi tak menemukan tempat duduk yang kosong karena banyaknya orang di alun-alun tersebut. "Kok gak ada tempat duduk sih." Gumam Jessi. Jessi melirik Abra yang duduk begitu saja di pinggiran batasan taman. "Kotor itu, jangan duduk disana!" Jessi menarik tangan Abra agar kembali berdiri. "Bersih." "Kotor, Abra." "Bersih, setiap hari ini tempat dibersihkan. Duduk aja susah amat." Abra menarik tangan Jessi dan memaksa gadis itu ikut duduk bersamanya di sebelahnya karena risih saja mendengar Jessi mengomel terus masalah kotor atau tidaknya. "Kasar amat sih, sakit tau." Rintih Jessi sambil memegangi pergelangan tangannya. Suara Jessi yang menandakan merasa sakit membuat Abra merasa bersalah dan panik. "Eh maaf." Abra menarik tangan Jessi begitu lembut lalu memijit perlahan sambil meniupnya. Jessi tertegun memandang wajah Abra begitu dekat sekali dan lelaki itu sangatlah merasa bersalah setelah dirinya mengatakan sakit padahal tak begitu sakit dan rasa sakitnya juga hilang dalam sekejap mata saja karena diperlakukan seperti itu oleh Abra. 'Dia ganteng banget sih padahal tampilannya sederhana kayak gitu'--ucap Jessi yang tak berhenti menganggumi Abra tapi ia sadar kalau lelaki itu sangat menyebalkannya. Jessi menarik tangannya kembali dan memasang wajah kesalnya. "Maafin gue, gue bener-bener reflek doang tadi." Abra memiringkan tubuhnya sehingga di depannya kini bisa menatap Jessi secara jelas walau dari samping. "Gue maafin lo." "Thank's." "Asal..." "Anj-eh sorry." Abra menutup mulutnya sendiri yang berani berbicara kasar di depan Jessi. "Nah lho, lo ngatain gue anjing kan?" Mata Jessi melotot dan berkacak pinggang menatap ke arah Abra. "Reflek doang." "Enggak, gue malah makin marah aja. Lo nyebelin banget." Jessi beranjak berdiri dan matanya juga mengamati sekitar karena ia butuh tempat duduk yang nyaman sekarang. "Jessi." Panggil Abra dan Jessi agak merinding mendengar namanya disebut oleh Abra dengan suaranya yang deep sekali. "A-apa?" Jessi gugup karena tubuhnya diputar lembut ke belakang sehingga mereka sekarang saling berhadapan. "Gue minta maaf, sumpah tadi gue reflek." Abra sedikit membungkukan tubuhnya dan kedua tangannya berada di pundak Jessi. Otomatis Jessi mendongak wajahnya dan mata mereka bertemu pandang. Mendadak pikirannya tertuju ke masa lalunya, wajah Abra berubah menjadi wajah teman masa kecilnya yaitu Felix. Jessi pun melepaskan kedua tangan Abra yang memegang pundaknya dan napasnya mulai memburu jikalau mengingat teman masa kecilnya yang sangat dirinya rindukan. 'Wajahnya kok bisa langsung berubah jadi wajahnya Felix? Ini aneh atau karena gue terlalu rindu sama itu bocah ya' Melihat Jessi yang mendadak terdiam dan membelakanginya membuat Abra kebingungan sendiri. 'Dia kenapa?'--pikir Abra. "Jessi." "Gue sudah gak papa kok hehe kita cari tempat duduk yuk!" Ajak Jessi yang berusaha bersikap biasa saja walau dilanda rasa keanehan mendadak teringat sosok teman masa kecilnya. Jessi berjalan mendahului Abra dan Abra merasa aneh terhadap Jessi yang sikapnya malah canggung kepadanya. Setelah mendapatkan tempat duduk, Abra membelilan Jessi air mineral dan jajanan di sekitar alun-alun ini. "Ini makanan apaan?" tanya Jessi pada Abra sambil menunjukkan plastik berisikan makanan yang dibelikan oleh Abra dan Jessi telah memakannya separuh. "Batagor." "Oh batagor, gue baru kali ini makan batagor dimasukkin plastik." Jessi menyengir kuda sambil melahap sampai habis makanan itu. "Iya kalau belinya di pinggir jalan." "Gue jarang sih makan makanan di pinggir jalan karena papa gak bolehin jajan sembarangan." Kalimat yang dilontarkan dari mulut Jessi itu membuatnya kembali teringat masa kecilnya dulu dimana Felix kecil dilarang keras makan makanan di luar dan harus makan di rumah saja. "Heh malah ngelamun." Jessi menyikut pelan lengan Abra karena merasa lelaki itu tengah melamun. Abra sadar dan ia melanjutkan memakan makanan yang dibelinya yang juga sama seperti apa yang dimakan oleh Jessi. "Lo laper gak? Makan nasi?" tawar Abra yang tanpa sadar begitu perhatian sekali kepada Jessi. Abra tak ingin membuat gadis itu merasa kelaparan. "Emm entar deh, gue mau menikmati suasana di malam ini." Jessi menggelengkan kepalanya pelan dan menikmati kebebasan di malam ini bersam Abra. "Lo kayak gak pernah keluar malam aja." "Emang gak pernah." Jessi terkekeh pelan dan menoleh sekilas ke lelaki itu. "Beneran?" "Iya." "Ouh." "Lo gak nanya kenapa gitu?" Jessi mencebikkan bibirnya kesal. Abra mengedikkan bahunya tak acuh. "Hadeh gak ingat ya sama hukumannya." Jessi menghembuskan napasnya kesal. "Apalagi sih?" "Ya deh ya gue gak nanya-nanya lagi dan bentar lagi gue pulang." "Syukurlah." "Tapi besok tetap berlaku hukumannya." Jessi menjetikkan jarinya. Abra mengangguk pasrah. "Oh ya kenapa lo pindah sekolah?" tanya Jessi penasaran pada Abra. "Urusan gue mau pindah atau enggaknya." "Gue tanya, gue pengen tau alasan dari lo." "Gak ada." Abra menggeleng. "Pelit banget gak dikasih tau alasannya. Tenang aja gue gak cepu kok, gue bisa jaga rahasia. Janji?" Jessi menyodorkan jari kelingkingnya di hadapan Abra. "Gue bilang gak ada ya gak ada alasannya," jawab Abra yang tengah menahan emosinya. "Pastinya ada lah." "Keras kepala banget sih lo dibilangin." "Kepala gue emang keras kalau gak keras jadi lembek nanti kepala gue bisa melumer kalau kepentok tembok." "Terserah lo gimana." Abra memijit keningnya, mendengar ucapan Jessi baru saja membuat kepalanya pening. "Ayo dong jawab yang tadi." "Gak ada alasannya dan gak penting gue. Yang terpenting gue sekolah." "Hadeh susah amat sih, tinggl jawab gitu aja kok." Jessi berdecak kesal lalu beranjak berdiri. "Mau kemana?" tanya Abra yang juga ikut beranjak berdiri. "Gak usah ikut, gue cuman jalan-jalan doang!" Suruh Jessi lada Abra. Bukan Abra namanya yang tetap melawan perintah dan masih membuntuti Jessi dari belakang. Jessi yang merasa ada orang yang terus mengikutinya dari belakang, segera menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. "Gak isa ngikutin gue!" "Lo mau ninggalin gue sendirian gitu setelah lo ajak gue main jauh-jauh ke sini?" tanya Abra dengan pertanyaan jebakan. Jessi merasa terjebak dengan pertanyaan Abra. Akhirnya Jessi tidak membantah lagi dan mereka berjalan beriringan 'Ini cewek moodnya gak bisa ditebak deh. Ada aja ulahnya yang bikin gue elus dadaa tiap lihat dirinya'--ucap Abra di dalam hatinya. "Mau itu." Jessi menunjuk salah satu pedagang yang menjual sebuah mainan pistol yang mengeluarkan gelembung dari sabun. "Lo udah gede, mainan gak jelas--ck sulit sekali." Abra yang mencoba menasehati Jessi pun percuma sebab gadis itu langsung berlari ke penjual mainan anak-anak. "Waahh mau." Mata Jessi berbinar-binar sambil bertepuk tangan menatap penjual yang sedang menunjukkan mainan yang ingin dibelinya. "Mau yang mana, Neng?" Penjual itu tersenyum menatap Jessi sembari menunjukkan beberapa pistol mainan yang mengeluarkan gelembung kepada gadis itu. "Warna pink." "Oke pink." Penjual itu memberikan pistol warna merah muda itu kepada Jessi. Abra pun membayar mainan Jessi sedangkan Jessi sudah berlari menjauh dari tempat orang-orang yang sedang berjualan aneka jenis dimulai dari mainan, minuman, makanan dan sebagainya. Selesai membayar, Abra menyusul Jessi dan sekarang malah bergabung bersama anak-anak kecil bermain gelembung dari pistol. "Wihhh!" Jessi memekik kegirangan dan seperti baru memainkan mainan ini padahal dari kecil gadis itu pernah memainkan mainan ini. Abra hanya duduk saja sambil mengawasi Jessi yang sedang asyik bermain. 'Kayak anak kecil tapi emang dia itu anak kecil sih'--ucap Abra di dalam hatinya. Antara sadar dan tidak sadar Abra ikut melengkungkan bibirnya membentuk senyuman lebar memandangi Jessi si gadis murah senyum tersebut. Setengah jam lebih sudah Jessi bermain bersama anak kecil dan gadis itu memutuskan menyelesaikan bermainnya karena beberapa anak kecil berpamitan pulang kepadanya. "Sudah puas mainnya?" tanya Abra pada Jessi yang berdiri di hadapannya. "Hehe sudah." Jessi mengangguk beberapa kali. "Pulang?" "Laper." Jessi mengusap perutnya yang sudah berbunyi, menandakan di dalam perutnya itu meronta-ronta ingin secepatnya diisi makanan. "Cari makan kalau gitu." Abra beranjak berdiri dan keduanya berjalan beriringan menjauhi alun-alun tersebut. "Pengen burger king." Jessi menarik jari telunjuk Abra dan benar-benar tingkahnya seperti anak kecil yang menggemaskan. "Mana ada disini?" Abra mengusap wajahnya pelan, ada saja keinginan gadis itu. "Ada." "Gak ada." "Ssttttt diam!" Dan bodohnya lagi Abra terdiam, nurut perintah dari Jessi. "Itu burger king." Jessi tersenyum lebar dan bernapas lega bisa menemukan makanan yang disukainya. "Itu bukan burger king, itu cuman burger doang." Abra melarat ucapan Jessi. "Yang penting burger." "Gak ada king-nya." "Iya ya." Jessi mendengus sebal. Kemudian mereka berdua menyeberang jalan karena tempat makan itu ada di seberang jalan. ... "Gimana enak kan?" tanya Jessi pada Abra. Abra sendiri sudah lama tidak memakan makanan seperti ini. Memakan burger ini seperti mengingatkan masa kecilnya yang seringkali dibuatkan oleh pembantunya yang memang chef dari luar negeri. "Kok malah diam?" Jessi menendang pelan kaki Abra. "Eh enak." Abra mengangguk samar. "Ngelamun." "Lo juga." "Ih." Jessi memasang wajah kesalnya. "Dihabiskan!" Titah Abra pada Jessi sedangkan Abra sudah menghabiskan makanannya. "Santai aja sih, masih pengen sama lo." "Kenapa?" tanya Abra heran pada gadis itu. "Bete di rumah terus." "Nanti lo kena marah dan pasti orang tua lo khawatir sama lo." "Iya sih tapi malas, kan gue sudah besar, lagian ini masih jam sembilan." "Sudah malam ini." "Iya tau ih, nanti pulangnya." Jessi menghentakkan kedua kakinya seperti anak kecil padahal masih di dalam rumah makan. "Sudah." Abra menyenggol kaki Jessi bermaksud menegur gadis itu supaya tidak merengek. Akhirnya Abra pasrah saja dan membiarkan gadis itu bersantai ria. Selanjutnya Abra mengajak Jessi ke rumahnya namun Jessi menolak dan ingin duduk santai di pinggir jalan sambil melanjutkan memakan burgernya yang belum habis. Jessi memesan banyak porsi dan sangat menguras dompetnya Abra. Abra tidak mempermasalahkannya sebab memang keinginan dirinya sendiri membayar apa yang ingin Jessi beli dan tak ingin Jessi mengeluarkan uang sepeser pun jika dirinya masih mampu membelikan apapun untuk Jessi. Abra menoleh, menatap Jessi tak percaya. Badan sekecil Jessi bisa menampung banyak makanan, Abra yang sudah makan satu porsi merasa kenyang sedangkan Jessi sampai porsi ketiga sekarang. "Lo masih lapar?" tanya Abra. "Enggak, ini sudah cukup." Jessi merasa tidak enak kepada Abra yang telah membelikan ini dan itu padahal ia tadi niatnya ingin membeli sendiri tapi Abra langsung membayar semuanya. Jessi saja tidak percaya kalah Abra sekaya itu sebenarnya walau tampilannya sangat begitu sederhana tapi saat dirinya tak sengaja melihat isi dompet Abra pun membuat Jessi merinding. "Abra." "Hmm?" "Karena gue gak dikasih alasan lo pindah sekolah ya sudah gue tanya yang lain, kenapa lo pilih sekolah gue padahal sekolah gue itu sangat jauh sekali dari rumah lo." "Bukan sangat cuman lumayan jauh aja. Yang pilih sekolah itu Balder bukan gue." "Ouh gue kira lo yang pilih sekolah gue secara kan sekolah gue itu banyak murid berprestasi dan banyak selebgram juga termasuk gue haha." Jessi tertawa kecil. "Gue gak tau begitu, yang penting sekolah," balas Abra yang sangat acuh terhadap hal-hal berbau sosial media. "Jadi lo gak punya sosmed?" "Enggak." Abra menggeleng. "Astaga kalau lo punya sosmed dijamin ramai deh terus lo bisa dapat uang banyak lewat diendors orang-orang. Lumayan itu." "Gak tertarik." "Ya ampun, sayang banget kalau gak tertarik sih eh ya ya lo sudah tajir." "Gue cuman anak tani biasa," ucap Abra yang benar-benar tak ingin memamerkan harta milik ayahnya. "Bukan tani biasa malah pemiliknya, mana luas banget itu kalau panen dapat banyak deh hehe." "Itu harta milik bokap bukan harta gue." "Iya sih tapi lo juga berhak karena anaknya." " Iya." Abra mengangguk samar dan bingung mau merespon apa sebab hati kecilnya sensitif jika membahas anak. Abra sadar dirinya hanyalah anak angkat bukan kandung. "Gue juga sama, bokap punya banyak aset jadi gue tinggal gunain saja. Tapi tetep sih lebih enak pakai harta sendiri nantinya, kalau campur tangan orang tua tetap masih diatur sama orang tua terutama papa sih. Suka ngatur terus, capek deh gue." 'Tapi lo beruntung Jessi, masih diperhatikan sama orang tua kandung lo walau mereka berpisah. Mama tiri lo baik banget dan menikahi papa lo juga bukan hasil rebut papa lo. Kelihatan keluarga lo itu tulus semua, sedangkan gue?'-- Abra langsung teringat keluarganya sendiri saat mendengar keluh kesahnya Jessi yang tidak suka diatur oleh papanya. "Iya lebih enak pakai uang sendiri." "Hebat sih lo bisa kerja, makanya lo gak mikir keluarin banyak duit buat diri sendiri. Sedangkan gue harus mikir-mikir entar keluar duit banyak eh dimarahin sama bokap." "Gue tetep mikir." "Mikir apa lagi? Kan sudah enak punya uang sendiri dan gak bakalan bokap lo ngatur duit lo." "Mikir kalau duit bisa habis, kalau habis waktu butuh itu juga bakal nyusahin bokap gue semisal disuruh sekolah beli buku dan lain-lain. Disaat itu juga bokap lagi gak ada duit, gue sama bokap anti sama hutang." "Oh jadi lo kerja buat uang cadangan gitu ya?" "Iya, paham kan?" "Paham. Jadi pengen kerja deh, tapi uang gue bukan buat bokap. Tapi buat gue sendiri, bokap sudah kaya." "Terserah lo bilang apa." "Hehe." ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN