Part 12: Belia

3032 Kata
"Kayaknya sudah malam." Jessi mendongakkan wajahnya ke atas, menatap langit tanpa adanya bintang namun bulan purnama yang terang benderang yang tampak indah sekali. "Memang malam." Sahut Abra yang membenarkan lagi ucapan Jessi. "Eh maksudnya makin malam." Jessi menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan merasa sedikit malu karena seringnya mengucapkan kalimat yang salah. "Pulang gih!" Suruh Abra pada Jessi. "Sebenernya males tapi harus pulang." Jessi menggurutu kesal, kenapa waktu sangat cepat malam ini. "Besok hukuman gue sampai sore doang, setelah itu jangan ganggu gue," ujar Abra. "Emm iya deh." Jessi mengangguk malas. "Gue antar pulang." "Gak usah, gue bisa naik taksi." "Emang ada?" "Ada sih, taksi khusus." "Sampai ke perbatasan?" "Antar gue ke perbatasan kota deh, waktu tadi emang taksinya yang baik jadi diantar sampai lebih dari batas kota. Mungkin karena beliau tau gue anaknya Pak Alden, pengusaha yang sudah terkenal dan makin maju jadinya dispesialin." Jessi tersenyum lebar. "Hadeh." "Baru ingat hehe harus ke kota dulu baru cari taksi." Jessi menepuk jidatnya pelan. "Ya sudah tunggu disini, gue cari motor dulu." Abra beranjak berdiri dan merapikan bajunya yang agak berantakkan. "Mau nyolong motor lo?" Jessi melototkan matanya. "Enggak, mau mandi." "Lo belum mandi?" Jessi menatap Abra tak percaya. "Belum." Abra menggeleng. "Ya bener?" "Heem." Abra mengangguk samar dan mulai melangkah menjauh dari Jessi. Tanpa Jessi ketahui, Abra tersenyum lebar karena berhasil membohongi Jessi yang langsung percaya begitu saja terhadap ucapannya. "Ih jorok!" Teriak Jessi dari arah belakangnya Abra sehingga Jessi tidak tau ekspresi Abra sebenarnya. "Tapi jangan mandi dulu! Anterin gue dulu! Pasti lama deh nungguin lo selesai mandi!" teriak Jessi sekuat tenaganya dan tatapannya masih tertuju pada punggung Abra yang semakin tak terlihat dari pandangannya. Sedangkan disisi lain... "Hadeh tuh cewek percaya dengan mudahnya sama ucapan gue. Polos banget sih Jessi." Abra menggelengkan kepalanya pelan. "Apa muka gue kayak belum mandi kah?" Felix memegang wajahnya sendiri dan ia sempat mengaca sebentar ketika ada mobil terparkir di sampingnya. "Ck, gue udah ganteng gini tapi dia percaya gitu aja gue belum mandi." Felix mengusap dagunya dengan lembut. Lelaki itu melanjutkan langkahnya menuju warung dan seketika Felix menghembuskan napasnya kasar melihat temannya siapa lagi kalau bukan Balder tengah tidur dengan posisi telentang di atas karpet. Memang di warung ada tempat duduk yang cukup luas dan biasanya dilampisi karpet agar lebih nyaman sewaktu tiduran. Felix melihat keadaan meja yang berantakan dan bau minuman menyengat ke indera penciumannya. Ia juga melihat ke sekitar yang sama-sama berantakannya dan ada beberapa orang yang tepar sama seperti Balder. "Dia mabuk?" Felix mengernyitkan dahinya dan tak biasanya temannya kacau seperti ini. "Ini pasti terpengaruh sama orang lain deh." Balder adalah tipe orang yang ingin tau segala hal, mudah berbaur dan jeleknya mudah bergaul itu adalah tidak bisa memfilter pertemanan jadinya selalu terkena pengaruh buruk dari orang sekitar. "Bu, ini Balder lagi mabuk kah?" tanya Felix kepasa si pemilik warung tersebut. "Iya, Nak. Mereka baru aja selesai pesta miras, ini ibu lagi beres-beres satu per satu barang terlebih dahulu." "Oh iya bu, saya titip Balder sebentar soalnya mau nganter temen dulu." "Oke, Nak." "Bu, ada motor nganggur gak? Saya mau pinjam kalau ada." "Ada, pakai motornya ibu saja itu yang beat." "Iya, Bu. Saya pinjam dulu ya bu nanti saya kembalikan kalau sudah nganterin temen." "Iya, pinjam saja." Si pemilik warung itu tersenyum menatap Abra yang sudah ia kenali sejak lama dan memang Abra sangat sopan sekali dan dapat dipercaya. Maka dari itu tidak pernah dirinya meragukan Abra justru sangat senang bisa membantu laki-laki remaja itu. Sebab dia sendiri memiliki anak namun anaknya telah merantau jauh sehingga dirinya hidup sendirian di rumah ditambah lagi suaminya baru saja meninggal dunia. "Terima kasih, Bu." "Sama-sama." Felix bergegas kembali ke tempat dimana Jessi sedang menunggunya dan tidak lama dirinya sampai ke tempat tadi. "Sudah mandi belum?" Pertanyaan pertama terlontar dari mulut Jessi. "Sudah mandi apaan?" Abra masih bingung dan melupakan sesuatu. "Katanya lo belum mandi tadi?" Abra yang baru ingat pun mengangguk paham. "Sudah mandi?" tanya Jessi memastikan sambil hidupnya ditutupi oleh kedua tangannya. "Lo percaya kalau gue belum mandi?" Malah Abra bertanya balik. "Ah gimana sih? Beneran sudah mandi belum?" "Jawab pertanyaan gue tadi!" Suruh Abra yang tidak ingin mengalihkan topik pembicaraan yang lain. "Ya agak-agak percaya sih." Jessi bingung mau menjawab apa sambil menggaruk rambutnya jika dirinya merasa sangat begitu gugup sekali. "Hadeh segitu buruknya gue di depan lo." "Buruk gimana?" Jessi tidak paham apa yang dikatakan oleh Abra. "Sudah lah lupakan saja, sekarang naiklah!" "Iya ya." Jessi mengangguk kemudian menaiki motor yang dibawakan oleh Abra. "Dipake helmnya." Abra memberikam helm kepada Jessi demi keamanan gadis itu dan untung saja tadi ada dua helm di warung sehingga Abra membawa untuk dipinjamkan ke Jessi. Tanpa menjawab, Jessi mengenakan helmnya sendiri. Setelah itu barulah Abra menjalankan motornya dengan kecepatan sedang menuju perbatasan kota yang tidak jauh pula perjalanannya sampai ke sana. Ketika sudah sampai di tempat yang mereka tuju, Jessi pun turun dari motor begitu juga dengan Abra yang pastinya dirinya akan benar-benar pergi kalau Jessi sudah dijemput oleh sopir taksi. "Alah susah." Jeesi berdecak kesal karena tidak bisa melapaskan pengait helm yang dikenakannya. Abra menoleh ke Jessi lalu reflek menarik tangan Jessi agar mendekat ke arahnya tentu Jessi menurut saja supaya kaitan helmnya terlepas dan Abra perlahan melapaskan kaitan itu dengan penuh kesabaran karena memang sangatlah sudah. "Akhirnua lepas juga, hadeh menyusahkan sekali." Jessi bernapas lega kemudian memesan taksi. Setelah memesan taksi, Jessi menoleh ke Abra yang masih setia menemaninya disini. "Lo pulang aja, gue gak papa disini." Abra hanya mengangguk saja tapi tidak kunjung pergi. "Keras kepala." Cibir Jessi walau dihatinya merasa senang sekali terhadap apa yang dilakukan oleh Abra. Abra tidak ingin membuatnya menunggu sendirian disini. 'Ah kenapa sama hati gue sih? Kayak seneng banget gitu'---pikir Jessi sambil memegang dadanya yang berdebar tak karuan. Tidak butuh wakru yang lama, taksi yang mereka tunggu telah datang dan Abra pun membukakan pintu taksi untuk Jessi. Jessi diam-diam tersenyum lebar atas, perlakuan Abra kepadanya sangatlah manis sekali sehingga ia tak bisa berkata apa-apa lagi. "Gue pulang dulu ya, sampai ketemu besok." Jessi menurunkan jendela mobil taksi yang ditumpanginya lalu melambaikan tangannya ke arah Abra. Abra hanya mengangguk saja sebagai respon dan mengetahui mobi taksi sudah menghilang dari penglihatannya kemudian Abra memutuskan untuk pulang. Tak lupa juga memudahkan Balder terlebih dahulu. Besok pasti ia akan memarahi Balder yang berani-beraninya mabuk disaat besok masih masuk sekolah. Sebenernya tidak kaget lagi melihat sikap temannya seperti itu tapi ia ingin temannya bisa berubah lebih baik lagi tanpa paksaan dan dari keniatan dirinya sendiri. ... Jessi berguling-guling ria di atas kasurnya setelah membersihkan tubuhnya karena sehabis keluar semalaman tadi. Ia sangat merasa senang bisa bermain puas malam ini dan tepat sekali papanya sedang lembur bekerja jadinya bisa merasakan kebebasan tanpa khawatir. Jessi merebahkan tubuhnya di atas kasur lalu meraih ponselnya. "Mau lihat foto-foto gue tadi sama Abra." Jessi bergumam sambil tangannya menari-nari di atas layar ponselnya. "Aaa kiyowo sekali." Jessi memekik kegirangan sambip menggigit ujung kukunya saat melihat kembali foto-fotonya sewaktu bermain di taman bersama Abra dan anak-anak lain. Meski wajah Abra menunjukkan ekspresi datar karena ia paksa foto bersamanya tapi tidak membuay ketampanan Abra luntur justri semakin menambah kegantengannya. "Laki-laki sederhana tapi entah kenapa gue bisa tertarik cuman lihat ekspresinya gini doang, aneh kan? Gue sendiri aja aneh ke diri gue ini. Bisa-bisanya suka sama cowok yang enggan banget lirik gue." Jessi menertawai dirinya sendiri sambil menggelengkan kepalanya. "Tapi emang gue akui sih dia itu ganteng, gagah badannya, ugh apalagi tangannya itu jelas banget uratnya. Astaga bikin gue klepek-klepek gilaaa." Jessi meraih gulingnya yang berada di atas kepalanya dan ia pun memeluk gulingnya sambil membayangkan kebersamaannya dengan Abra. "Dia juga kelihatannya gak cuek-cuek amat eh tapi emang lagi jalani hukuman dari gue makanya dia gak cuek, hadeuh seketika gue lupa dia peduli cuman karena hukumannya bukan dari inisiatif dari dirinya sendiri." "Sangat menyedihkan huh." Raut wajah Jessi berubah menjadi sedih dan bibirnya maju ke depan seperti bebek. Tangannya tidak bisa diam dan kini mencubiti gulingnya sendiri. "Besok sore terakhirnya dia punya rasa peduli sama gue deh dan selanjutnya sifatnya yang cuek kembali lagi. Aaa gue benci sama sifat cueknya dia." "Gemes deh kalau keinget sifatnya yang nyebelin itu." "Belum siap buat besok, gue masih pengen hari-hari gue kedepannya kayak malam ini biar gak flat banget." Jessi ingin menangis rasanya kali ini jika malam ini begitu cepat berganti esok pagi. "Aaa jangan ngantuk dulu." Jessi memijit keningnya secara perlahan. Lalu merasa ponselnya bergetar, awalnya mengira orang yang mennghubunginya adalah Abra ternyata bukan melainkan Dipta. Dipta: Lo gak diapa-apain kan sama Abra dan temennya yang songong itu tadi? Me: Enggak, mereka baik. Gue mainnya sama Abra doang, gak sama temennya karena dia langsung pulang Dipta: Syukurlah kalau baik-baik saja Me: Iya Dipta Dipta: Tidur gih, sudah malam Me: Haha iya, bentar lagi tidur Dipta: Oke, jangan begadang ya. Kalau ada tugas kabarin gue aja, gue yang ngerjain biar lo gak kecapekan terus Me: Siap, pasti gue kabarin kok Dipta: Baguslah, see you Me: See you too Jessi meletakkan kembali ponselnya di meja nakas samping kasurnya lalu merebahkan tubuhnya dengan posisi yang membuatnya nyaman. Entah mengapa rasanya berbeda ketika dirinya bersama Dipta dan Abra padahal keduanya sama-sama dianggap temannya olehnya. Kepribadian mereka berdua juga jauh bertolak belakang sekali. Secara sifat dirinya lebih menyukai Dipta namun ada hal yang membuatnya lebih tertarik pada Abra yaitu pesonanya yang begitu kuat sekali memikatnya. "Mereka sama-sama ganteng sih, kalau Dipta itu agak-agak culun, tampilannya sangat rapi semuanya, manjain gue banget, selalu gak bisa marah sama gue juga sedangkan Abra ya cuek kebangetan, mungkin baru kenal sih, dia juga peduli kok tapi karena hukuman aja coba saja dia peduli dan memang punya sifat peduli, gantengnya bakal nambah. Abra lebih ke badboy tampilannya tapi diliat dia anak baik, otaknya lebih pintar daripada Dipta sih, dia juga gak bisa marah gitu ke gue dan sabar banget gue gangguin dia selama ini. Bahkan nurut gue beri hukuman haha lucu sekali sih dia gemes gitu." Jessi lagi-lagi merasa geregetan sendiri membayangkan Abra yang begitu keren di matanya. Jessi menatap layar ponselnya, ia tadi memaksa Abra untuk menyimpan nomer ponselnya dan berharap setelah itu Abra menghubunginya hanya sekedar menanyakan keadaanya apakah dirinya pulang selamat atau tidak. Nyatanya sampai sekarang dan hampir tengah malam Abra tidak menghubunginya. "Kayaknya beneran deh, dia peduli cuman karena hukuman doang. Aslinya bener-bener bodo amatan." "Hadeh gue bingung sama sikap dia huu." Jessi memiringkan posisinya tidur sembari memeluk gulingnya erat. Sedangkan di tempat lain... "Hadeh nyusahin emang." Abra menggurutu saat membantu temannya yang tengah dalam kondisi mabuk di warung. Abra terpaksa menggendong Balder yang tubuhnya juga sama-sama besar sepertinya dan ditambah lagi jarak warung ke rumahnya Balder lumayan jauh sehingga Abra menguatkan dirinya membawa Balder pulang ke rumahnya temannya itu sendiri. Hampir saja Abra menjatuhkan Balder di tengah jalan dan untung saja ada seseorang membantunya membawa Balder ke pinggir jalan. Bayangkan saja jika tidak ada yang membantunya pasti akan dihadiahi klakson kendaraan yang melintasi jalan raya tersebut. Abra menemukan tempat duduk di pinggir jalan lalu meletakkan Balder disana saat terdengar suara ponselnya Balder yang berdering lantas Abra menerima panggilan dari seseorang yang diduga saudaranya Balder. "Halo? Abang, halo?" "Halo," jawab Abra. "Ini bang Abra ya?" "Iya." Abra melirik Balder juga dan memastikan temannya dalam keadaan baik-baik saja. "Gue Belia, adeknya Abang Balder." "Oh lo, ini abang lo lagi mabuk dan gue masih otw ke rumah lo." "Abang mabuk?" "Iya." "Gue jemput aja ya, tunggu disana." Terdengar suara gadis berusia 15 tahun itu tengah mengkhawatirkan kondisi kakaknya yang sedang mabuk. Gadis itu berlarian sembari meneriaki letak kunci motor. "Gak usah dijemput, kakak lo gak papa." Abra berusaha menenangkan rasa kepanikan Belia. Namun Belia kekeuh ingin menjemput kakaknya sebab ia rasa sangat menyusahkan jika dibawa ke rumahnya dalam kondisi mabuk dan tidak mengendarai apa-apa alias jalan kaki. Sambungan telepon terputus, Abra tidak menghubungi gadis itu lagi dan hanya mengirimkan pesan memberitahukan posisinya sekarang ada dimana. Sembari menunggu, Abra mengecek gadis itu apakah sudah pulang atau belum tapi ketika akan mengetik pesan mendadak niatnya itu diurungkan. "Ngapain gue tanya keadaannya, dia lagi online itu berarti tandanya baik-baik saja." Abra mencoba berpikir positif saja. "Kayaknya baik-baik saja." Beberapa menit menunggu jemputan dari adiknya Balder, sosok ditunggunya akhirnya tiba dan berhenti di depannya. "Astaga abang, abang mabuk." Gadis itu seketika panik dan turun dari motornya setelah memarkikan motornya ke tempat yang aman. "Masuk abang lo, katanya ikut pesta bapak-bapak di warung." "Haduh nyusahin ini orang." Gadis bernama Belia segera membantu menggotong abangnya yang lemas tak berdaya. "Gegara gue tinggal sih ini, coba kalau gue tadi gak ada urusan pasti gak bakal begini." "Makasih ya bang Abra." Belia tersenyum manis menatap sosok laki-laki tampan melebihi ketampanan kakaknya itu. "Hm iya," jawab Abra singkat dan menatap sekilas ke Belia. "Lo yang nyopirin aja, gue di belakang megangin kakak lo. Lewat jalur tikus ya." Saran Abra diberikan kepada Belia tentu gadis itu tidak menolaknya bahkan sangat senang sekali Abra ikut mengantarkan Balder pulang ke rumah. "Oke." Belia sedikit salah tingkah mendengar suara lembut Abra walau raut wajahnya yang jutek tetap saja dirinya tak bisa untuk tidak menyukainya. Sejak duli Belia sudah tertarik pada pesonanya Abra dan jarang sekali menemukan lelaki berwajah jutek dan berhati baik seperti dia. Belia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang dan sangat berhati-hati karena membawa orang tak sadarkan diri di belakang. Saat sudah sampai, Belia memanggil ayahnya dan ayahnya menonyor dahi Balder sebelum dibawa masuk ke dalam kamar. "Nak Abra mau mampir dulu?" tawar ayahnya Balder dan Belia kepada Abra. "Emm saya mau pulang karena ini sudah malam, Om. Maaf." Abra merasa tidak enak menolak tawaran mampir mungkin jika tidak di malam hari, dirinya bisa mampir sejenak ke rumahnya Balder. "Oh iya tidak apa, Nak. Bapak masuk duluan ke dalam." Pamit ayahnya Balder kepada Abra. "Iya, Om." Abra tersenyum sambil mengangguk. "Gue pamit pulang dulu." Pamit Abra pada Belia dan hanya mereka berdua yang tengah berdiri di depan rumah. "Iya Bang, eh tapi." Belia mencegah Abra yang akan beranjak pergi dari sini. "Napa?" tanya Abra singkat. "Gue boleh minta nomer hp lo gak, Bang?" tanya Belia sambil memegang ponselnya dan disodorkan di depan Abra. Abra menatap ponsel milik Belia laku menatap gadis itu heran. "Buat apa?" "Emm buat kabarin hal penting kalau ada apa-apa sama abang gue sih." "Sorry, gue gak bisa kasih nomer sembarangan." Tolak Abra secara lembut dan berusaha menjaga ucapannya agar tidak menyakiti hatinya Belia. "Oh gitu, abang Abra privat ya orangnya?" "Lo sudah tau dari dulu, kenapa masih tanya lagi?" Abra benar-benar tidak ingin berbasa-basi namun karena di depannya ini adalah adik dari temannya membuat Abra terpaksa merespob gadis itu. "Iya gue kan memastikan sapa tau sikap lo berubah, Bang." Belia makin gugup sebab respon Abra tak ada perubahan kepadanya sama sekali dan selalu acuh seperti ini. "Kenapa kalau gue berubah? Apakah penting bagi hidup lo?" taya Abra heran. Ia tau gadis di depannya ini menyukainya, dilihat dari gelagatnya juga sudah dapat ditebak dengan jelas dan mungkin jika Belia bukan adik dari temannya pastinya dirinya tidak akan merespon gadis itu sama sekali. "Emm gimana ya hehe?" " Gue gak ada waktu ngobrol malam-malam begini, lo masuk gih nanti bisa sakit kena angin malam yang kencang sekali." Titah Abra pada Belia. 'Argh, Abra perhatian banget sama gue. Makin jatuh cinta aja sama dia hihi, astaga jantung gue gak aman kali ini'--Belia memekik kegirangan di dalam hatinya. "I-iya gue masuk ke dalam dulu." Belia melangkahkan kakinya gontai memasuki rumahnya walau sebenernya ingin lebih lama mengobrol dengan lelaki yang disukainya sedari dulu tersebut. Tanpa menoleh ke arah gadis itu, Abra berjalan cepat keluar dari perkarangan rumah Balder sembari meletakkan kedua tangannya masuk ke dalam sakunya. Tanpa Abra sadari, Belia masih memperhatikannya di balik jendela seraya tersenyum lebar menatap punggung laki-laki semakin menjauh. "Sulit banget yang dideketin, tapi makin menantang." ... Felix benar-benar lelah malam ini, Jessi sangat aktif sekali dan tidak jauh beda dari masa kecil mereka dulu. Felix mengira Jessi telah berubah banyak ternyata Jessi makin hiperaktif sekali. Selesai membersihkan tubuhnya, Felix merebahkan tubuhnya di atas kasur dan ia juga sudah mengganti bajunya dengan mengenakan kaos oblongnya serta celana pendek berwarna hitam polos berbahan kain katun. "Kenapa pikiran gue jadi Jessi mulu sih? Enyahlah." Felix mengacak-acak rambutnya dan merasa kesal karena wajah Jessi yang begitu ceria masih terbayang dibenaknya. "Oh tidak." Felix memeluk gulingnya dan menutupi wajahnya dengan selimut tebalnya. Tetap saja pikirannya tertuju pada gadis itu padahal ia benar-benar tidak ingin memikirkan Jessi walau gadis itu adalah temannya dari kecil. Namun ia tak ingin berlarut-larut memikirkan Jessi yang bisa membuat pikirannya kacau balau. Felix baru teringat sesuatu dan ia memposisikan tubuhnya duduk. "Dia masih ingat gue gak ya? Maksudnya ingat Felix." Felix merasa aneh pada dirinya sendiri, ia tak ingin terus-menerus memikirkan Jessi namun disisi lain dirinya tidak ingin kalau Jessi melupakan Felix kecil. "Gue bener-bener gak paham sama perasaan sendiri, terkadang gue kangen banget sama Jessi terutama kebersamaan kita dari kecil tapi gue terkadang juga risih kalau pikiran gue tertuju ke dia terus." Felix menghembuskan napasnya pelan lalu meraih gelas yang sudah berisikan air mineral dan meneguknya hingga tandas. "Jadi bingung." Felix memijitkan keningnya perlahan. Felix kembali merebahkan lagi tubuhnya di atas kasurnya dan mencoba menenangkan pikirannya supaya bisa tidur tenang malam ini. Lagi-lagi tangannya tak bisa diam, meraih ponselnya yang diletakkan di meja samping kasurnya lalu memeriksa keterangan online Jessi di aplikasi pesan. "Dia online malam-malam begini? Gak tidur kah?" Felix mengernyitkan dahinya, mengetahui Jessi masih dalam keadaan aktif pesannya di tengah malam ini. Felix menggigit bibir bagian bawahnya sebentar, jari-jarinya terasa berat mengetikkan pesan pada Jessi dan rasa gengsinya menguasai pikirannya sehingga memilih memendam rasa keinginannya yang ingin sekali menghubungi Jessi walau hanya sekedar menanyakan keadaannya. Apakah tadi pulang dalam keadaan selamat ataukah ada kendala yang lain. "Mungkin lancar-lancar aja dia pulangnya." Bohong jika dirinya mengatakan tidak memperdulikan gadis itu. Nyatanya menahan rasa kepeduliannya sangatlah begitu sulit namun memang ada alasan lain Felix harus terus menyembunyikan identitasnya. Ia tak ingin sembrono memberitahukan hal ini kepada Jessi sebab ia sudah mengenal Jessi dari kecil dan jelas sifat polosnya Jessi sangat begitu bahaya sekali jikalau tau. "Sampai kapan batin gue tersiksa terus, antara mau dan tidak mau." Felix benar-benar tidak tau bisa satu sekolah dengan Jessi karena semuanya diatur oleh Baldee berserta keluarganya saja dan soal dirinya ingin sebangku dengan Jessi itu karena hatinya yang mendorongnya sendiri. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN