Part 10: Ke Rumah Abra 2

3055 Kata
"Gue nyuruh lo pergi bukan maksud gue ngusir lo, lo paham gak sih?" Jessi melongo, mendengar suara Abra yang panjang dan lebar padahal sebelumnya selalu mengucapkan kalimat singkat yang membuat Jessi sering tidak paham. "Abra baterai suaranya full ya kalau di rumah?" Jessi malah bertanya dengan pertanyaan yang konyol sekali membuat Abra menghembuskan napasnya kasar. Entahlah mengapa ia tak bisa berteriak di hadapan Jessi dan stok kesabarannya benar-benar bamyak sekali sehingga Abra memilih menghela napas adalah jalan terbaiki menenangkan emosinya yang makin naik saja. "Iya, full." Abra menjawab sambil mengangguk. Terpaksa ia harus menjawab ucapan Jessi agar Jessi tidak berteriak lagi hanya ingin mendengar jawaban darinya. "Ya sudah, gue sering-sering ke rumah lo deh biar setiap gue ngomong, lo jawab hehe dan gue gak dikira orang gila." Jessi merebahkan tubuhnya di atas sofanya Abra dan kedua kakinya di taruh di atas pahanya. "Emang lo gila." Ingin rasanya memukul kaki mungil Jessi yang seenak jidatnya menaruh kakinya di atas pahanya. "Ngatain gue gila lo?" Jessi mengubah posisinya menjadi duduk dan otomatis tubuh mereka jaraknya dekat sekali. "Iya." Jawaban Abra bikin Jessi emosi dan memukuli lelaki itu. Namun tak berlangsung lama, Abra menarik pergerlangan tangan Jessi sehingga wajah mereka kini dekat dan saling menatap tajam satu sama lain. Hembusan napas pun juga sama-sama merasakannya dan tatapan Abra jatuh ke bibir mungil Jessi berwarna merah muda yang sungguh menggoda imannya. Tak sadar kini malah hidung mereka sudah menempel dan kurang sedikit lagi Abra hampir mengecup bibirnya Jessi jikalau Abra tak bisa menahan godaan dibenaknya tersebut. Abra menjauhkan tubuhnya dari Jessi dan berpindah tempat duduk sehingga ada jarak di antara mereka berdua. Jantung keduanya sama-sama berdebar tidak karuan dan menyadari tindakan mereka yang tadi begitu intim sekali. "Emm." Mereka sama-sama gugup dan hanya menatap satu sama lain sekilas saja. "Dimana kamar mandi lo? Gue pengen ke kamar mandi." Jessi pun memilih menenangkan dirinya dari rasa gugupnya yang makin menjdi-jadi. "Gue anterin." "Gak usah, gue bisa sendiri." "Gue anterin. Lo bisa tersesat." Abra kekeuh mengantarkan Jessi dan mengabaikan penolakan Jessi. Akhirnya mau tidak mau Jessi membuntuti Abra dari belakang dan Jessi diam-diam memasang wajah meledek di belakangnya Abra. "Nih." Abra membukakan kamar mandinya dan menyuruh gadis itu masuk ke dalam. "Ya sudah lo pergi sana!" Usir Jessi sambil mengibaskan kedua tangannya ke depan. "Gak sopan." "Biarin wle!" Jessi menjulurkan lidahnya lalu menutup pintu kamar mandinya Abra. Abra mendengus sebal dan masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. "Ah sial banget hari ini, ada aja tingkah Jessi bikin gue ingin hajar orang aja." Abea melepaskan kancing seragamnya satu persatu lalu melepaskannya dan menaruh baju seragamnya ke keranjang baju kotor. Felix biasa pula mengenakan baju dalaman berwarna hitam dan putih meski memiliki warna lain tapi Felix lebih menyukai dua warna itu. Selesai melepaskan atasam seragamnya kini gantian melepaskan celananya dan sekarang Felix hanya mengenakan celana pendeknya atau biasa disebit boxer. Felix seketika lupa kalau ada Jessi yang masih di rumahnya dan dia tak sadar masih belum mengenakan atasan dan masih mengenakan boxernya saja. Felix keluar begitu santainya membuang beberapa kertas coretan yang tidak berguna lagi di tong sampah depan rumahnya. Saat Felix kembali masuk ke dalam rumah, bertepatan Jessi kembali ke ruang tamu dan dia seketika berteriak terkejut melihat penampilan Abra saat ini. Reflek Abra membekap bibirnya Jessi supaya suaranya tidak sampai meluas. "Aaa--emmh!" "Diem, jangan teriak-teriak!" Peringat Abra yang panik dan tangannya masih tetap membekap bibirnya Jessi. Merasa Jessi sudah tenang, barulah Abra melepaskan bekapannya dibibir Jessi dan Jessi pun menghirup udaranya sampai dalam. Jessi merasa seperti kehabisan oksigen dan jantungnya terus senam di dalam dadanya. "Aaa tidak-tidak, tutupin itunya!" Jessi menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan gadis menggelengkan kepalanya begiru cepat. "Eh?" Abra baru ingat penampilannya saat ini dan bergegas masuk ke dalam kamarnya kembali untuk berganti pakaian rumahannya. Setelah itu Abra keluar dengan mengenakan pakaian setelan berwarna hitam dan berlengan pendek serta celananya juga pendek. Jessi menghembuskan napasnya lega melihat penampilannya Abra yang begitu keren sekali. Menurutnya laki-laki yang mengenakan pakaian berwarna hitam, damagenya lebih kerasa sekali. "Salah lagi kah penampilan gue?" tanya Abra sambil menunjuk dirinya sendiri dan Abra sangat bingung sekali melihat Jessi yang sangat serius sekali memandanginya dari atas hingga bawah beberapa kali. "Enggak woe justru kece sekali outfit lo ini, damagenya parah." Jessi juga agak menahan tawanya karena teringat boxernya Abra yang gambarnya beruang sedang menggendong gadis kecil dan siapa tau ada yang namanya "Damage? Apaan?" tanya Abra yang sangat tidak paham apa-apa. "Hadeh bahasa mudahnya itu keren, cakep gitu." Jessi merasa kesal saja mengapa tidak ada yang membuatkan trend seperti kepadaku. "Terlalu berlebihan," jawab Abra. "Ck kaku amat deh lo jadi cowok, bukannya bilang berterima kasih karena dipuji malah bilang kayak gitu." Jessi menatap Abra tajam dan mereka juga masih duduk agak jauhan supaya kejadian tadi tak terulangi lagi. "Gue gak suka pujian." "Iya deh iya, yang gak suka dipuji-puji tapi kan gue bilang sesuai nyatanya kalau lo ganteng." "Terserah." Tiba-tiba suasana menjadi hening karena tak ada salah satu di antara mereka memulai obrolan. Jessi fokus pada ponselnya sedangkan Abra pun begitu. Lama-lama Jessi merasa bosan sekali lalu menatap Abra yang sepertinya asyik sendiri dengan ponselnya. "Lo gak bosen?" tanya Jessi pada Abra. "Abra." Panggil Jessi lagi karena Abra masih saja fokus pada ponselnya. Abra yang merasa namanya dipanggil pun mendongak dan menatap gadis itu dengan salah satu alisnya yang terangkat. "Lo gak bosen?"tanya Jessi heran kepada Abra. "Enggak," jawab Abra singkat dan kembali menatap layar ponselnya. "Ck, hp mulu yang dilihat." "Terus mau lo apa?" Abra mendongakkan wajahnya lagi, menatap Jessi. Jessi malah bingung mau menjawab apa. Dia sebenernya juga tidak tau akan melakukan apa karena hanya gini-gini saja tapi ia senang karena tidak diabaikan oleh Abra dan hanya hari ini saja Abra merespon berulang kali apa yang diucapkannya. "Emm harus ya sehari ini doang lo gak cuekin gue, besok-besok lo bisa gak bersikap kayak begini juga. Gak cuekin gue dan kita berteman? Mau gak jadi teman gue?" Jessi mengulum senyumannya simpul dan berharap Abra mau berteman dengannya. Nyatanya Abra menggelengkan kepalanya dan itu tandanya menolak pertemanan dari Jessi. "Jahat banget sih, kenapa lo gak bisa berteman sama gue?" tanya Jessi yang tidak terima terhadap jawaban yang diberikan oleh Abra. "Males." Abra menggelengkan kepalanya. "Gue gak malesan orangnya." "Enggak. Cukup hari ini saja gue respon dan selanjutnya gak usah gangguin gue lagi." "Terus kenapa lo mau sebangku sama gue?" "Lo tawari kan?" "Nah lo sendiri aja mau jadi gue gak salah gue gangguin lo wle!" jessi menjulurkan lidahnya lagi. "Ouh ya sudah gue pindah ke bangku yang lain," ucap Abra begitu santainya. "Ck, iya deh iya." Jessi tidak ingin sebangku dengan murid lain sebab Abra bisa dijadikan untuk tempat berjaga-jaganya jika sewaktu-waktu ada tugas mendadak. 'Hadeh padahal baru saja seneng mau pindah ke bangku lain, nyesel deh sebangku sama Jessi. Bikin gue jantungan terus'--- batin Abra. "Karena hari makin sore, gue pengen pulang." Jessi menatap jam di pergelangan tangannya dan juga jam dinding di ruang tamu rumahnya Abra. "Gue anterin." "Naik bus kan?" "Ada motor." "Oh lo punya motor?" Jessi baru mengetahui hal itu dan mengira Abra tak mempunyai motor karena tak pernah mengendarai motor ke sekolah. Abra tak menjawab dan beranjak pergi dari ruangan tamu menuju belakang rumahnya. Jessi membututi Abra dari belakang karena penasaran juga belakangnya rumahnya Abra seperti apa. Seketika Jessi terkejut melihat pemandangan sawah yang namanya cantik itu jelas dilihat dari belakang rumahnya Abra. "Luas banget sawahnya." "Ini sawah milik siapa?" tanya Jessi penasaran kepada Abra. "Bokap gue." "Sawah seluas ini?" Jessi tak percaya dan syok sekali mengetahyi sawah seluas ini adalah milik ayahnya Abra. Jessi mengira Abra memanglah orang sederhana ternyata dibalik kesederhanaan lelaki itu, memiliki harta kekayaan yang melimpah pula. "Iya," jawab Abra sembari memanasi mesin motornya. "Wow sultan ya aslinya lo, jadi itu buruh tani bokap lo dong?" "Iya." "Wahh gila gue gak nyangka, lo ternyata kaya beneran ya." Jessi pernah mendapat cerita dari mamanya kalau orang yang memiliki sawah bahkan memperkerjakan banyak orang termasuk juga orang yang berpenghasilan besar. Jessi menoleh ke Abra dan melihat motoe seperti apa yang akan dikendarai lelaki itu. "Weh motor supra." Jessi tersenyum lalu naik ke belakang Abra. "Gak suka kan?" tebak Abra. "Suka aja, gue malah gak suka naik motor besar gitu bikin capek dipunggung. Terus gak enak lah intinya, kalau naik motor biasa kan enak." Jessi langsung melingkarkan kedua tangannya ke perutnya Abra. Abra menatap tangannya Jessi yang memeluknya dari belakang bahkan Jessi menyenderkan kepalanya ke punggungnya. Disisi lain Jessi melakukan itu seperti antara sadar dan tidak sebab ia pasti begini karena dibonceng oleh papanya sendiri. Jessi merasa motor yang dinaikinya tak kunjung melaju, Jessi menegakkan tubuhnya dan matanya tiba-tiba melotot sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Eh gue tadi peluk lo ya?" tanya Jessi yang baru sadar tadi memeluk Abra begitu yang erat. Jessi tadi membayangkan dirinya dibonceng papanya sebab senyaman itu memeluk seseorang yang disayanginya. "Gak." "Beneran lhoh." "Sudahlah diam." "Gak bisa diajak bercanda." Jessi memukul punggung Abra. Abra diam saja dan mulai melajukan motornya ke halaman depan rumahnya. Setelah itu ia mengunci rumahnya dan pergi menuju rumahnya Jessi. Butuh waktu dua puluh menit menuju rumahnya Jessi dan sesampainya di depan gerbang rumahnya Jessi, ternyata gerbang rumah gadis itu dalam kondisi terbuka. "Kayaknya papa habis pulang." Gumam Jessi dan menyuruh Abra langsung masuk ke dalam rumah dan berhenti di depan latar rumahnya Jessi. Abra memperhatikan sekitar rumah Jessi dan rumah Jessi ini sangatlah baru. Abra ingat, rumahnya Jessi tak sebesar ini dulu dan ingin menanyakan mengapa Jessi pindah rumah tapi ia sadar kalau dirinya saat ini bukanlah Felix. "Masuk yuk!" ajak Jessi pada Abra namun Abra menggeleng cepat. "Gue ada kerjaan." "Katanya libur." Jessi mengernyitkan dahinya. "Bantu bokap jualan." "Ya sudah deh. Besok lo tetep berangkat naik bus ya?" "Iya," jawab Abra yang bersiap pergi lagi. "Kenapa gak naik motor aja?" tanya Jessi lagi. "Gak papa." "Ouh gitu." 'Gak peka ih'--Jessi berteriak di dalam hatinya padahal maksudnya bertanya tadi supaya ia bisa barengan dengan Abra ketika pulang sekolah. "Gue pulang." "Hati-hati." Jessi melambaikan tangannya ke arah Abra dan Abra hanya mengangguk saja sebagai jawabannya. Jessi merasa Abra sudah menghilang dari pandangannya lalu masuk ke dalam rumah dan melihat papanya berjalan ke arahnya. "Kok baru pulang?" tanya Alden pada putrinya yang kini mencium punggung tangannya. "Tadi pulang sekolah ke rumah temen." "Ouh gitu, terus mana temannya?" "Sudah pergi, Pa." "Gak disuruh mampir dulu?" tanya Alden penasaran dan menyuruh Jessi duduk di ruang tamu. Jessi sudah menebak pasti akan diwawancarai oleh papanya dan jika tidak ada papanya tadi pasti aman-aman saja. Beda dengan Amanda, yang tak terlalu banyak bertanya dan hanya memastikan kondisi tubuhnya selalu dalam keadaan baik-baik saja. "Sudah tapi dia mau kerja, Pa." "Kerja? Masih sekolah kok bisa kerja." Alden mengkerutkan dahinya, menatap bingung ke putrinya. "Bantuin ayahnya yang lagi jualan." "Ouh gitu, cewek apa cowok temenmu itu?" "Cowok, Pa." "Kamu main ke rumahnya ada orang keluarganya juga kan?" "Ada Pa, ayahnya." "Bukannya kerja?" "Iya Pa, aku main bentar doang kok." "Tetap saja gak baik berduaan sama cowok di rumah. Jangan langsung percaya sama orang, kamu ini cewek dan harus bisa jaga dirimu. Lain kali gak boleh begitu." Tegur Alden yang tidak suka kalau anaknya menjadi perempuan yang gampangan. "Iya, Pa." Jessi ketar-ketir sendiri jikalau papanya tau sebenernya hampir ada kejadian intim dirinya dengan Abra di rumah Abra. "Ya sudah, papa mau berangkay kerja dulu." "Hati-hati, Pa. Nanti malam papa lembur?" "Iya, lembur." "Oke." Jessi tersenyum lebar. "Tapi kamu gak boleh keluyuran malam-malam. Di rumah saja mana mau hujan juga, lihat itu langit gelap sekali dan anginnya lumayan kencang." "Iya Pa." Seketika senyuman Jessi luntur mendengar ucapan papanya yang melarangnya keluar malam padahal niatnya nanti Jessi ingin mengajak Abra keluar malam sebab ini kesempatan terakhirnya Abra meresponnya terus-menerus. "Daaa." "Daaa, Pa." 'Duh gimana ya? Gue pengen keluar nanti, tapi papa ngelarang'--batin Jessi yang kebingungan sendiri. ... Nyatanya malam ini tidak ada hujan sama sekali walau cuaca mendung. Jessi berada di balkon kamarnya dan memandangi langit dan angin malam berhembus menyelimuti kulitnya. Merasa kedinginan akhirnya Jessi mengenakan jaketnya dan dibalik jaket tebalnya masih mengenakan piyama. "Gue pengen keluar malam ini." Jessi mengirim pesan kepada Abra dan menelepon lelaki itu tapi balasannya beralasan kerja. Jessi merasa galau sekali, tidak ada tugas membuatnya tidak belajar itulah prinsipnya Jessi. Jessi pun keluar dari kamarnya dan raut wajahnya juga tampak bete sekali. Gadis itu melihat mamanya yang tengah berkutat di dapur membuat Jessj segera menghampiri Amanda. "Mama buat apa?" tanya Jessi penasaran. "Arumi lagi gak enak badan jadi mama buatin teh jahe, kamu mau juga?" tawar Amanda kepada Jessi. "Oh lagi sakit pantesan gak denger lagu t****k biasanya dia stel lagu t****k kenceng banget." "Haha iya ini, jadi sepi Arumi lagi sakit." "Sayang mama." Jessi tiba-tiba memeluk Amanda dan mencium pipinya. "Sayang kakak juga." Amanda mencium kening putrinya. "Jadi gimana ini Jessi mau gak dibuatin teh jahe?" tanya Amanda lagi. "Enggak suka ma gak suka jahe." Jessi menggelengkan kepalanya. "Mau dibuatin cemilan?" "Enggak, Ma." "Terus kamu mau apa?" tanya Amanda heran dan pasti Jessi sedang menginginkan sesuatu. "Pengen keluar, Ma." "Keluar malam?" Dan benar dugaan bahwa Jessi ingin keluar main malam ini. "Iya, please ma bolehin Jessi main keluar malam ini ya." Jessi meminta izin kepada mamanya bahkan kedua tangannya ditangkup di depan dadanya. Sorotan mata Jessi menandakan ingin sekali keluar malam ini. "Emang kamu gak ada tugas kah?" tanya Amanda. "Gak ada Ma, santai aja aku malam ini. Bolehin ya ma keluar malam ini please." Jessi menarik tangan Amanda dan menciumi tangan Amanda beberapa kali. "Ya sudah, boleh tapi pulangnya jangan malam-malam ya." "Iya Ma." "Emang mau main kemana? Sama Dipta kah?" "Enggak Ma, aku mau main sama temen baru," jawab Jessi. "Oalah, bawa ke rumah gitu kenalin ke mama biar mama tau orangnya gimana." Amanda mengulum senyumnya. "Kalau dia gak sibuk, Jessi suruh mampir." Jessi mengangguk. "Dia sibuk apa emangnya?" Alis Amanda terangkat satu. "Kerja, Ma. Bantuin ayahnya hehe, ya sudah ma aku mau siap-siap pergi." Pamit Jessi kepada Amanda. "Oke, hati-hati ya nak." "Pasti, Ma." Jessi tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Jessi buru-buru balik ke kamarnya dan berganti baju terlebih dahulu. Ia juga merias dirinya tapi tak terlalu tebal, menguncir rambutnya serapih mungkin dan menyemprotkan parfum aroma bunga daisy ke pakaian dan tubuhnya. Jessi mengenakan kaos oplong berwarna putih bertuliskan I'm Happy berwarna merah muda dan celana jeans panjang berwarna merah muda. Ia meraih jaket, topi dan mengalungkan tasnya ke pundak. Sebelum keluar dari kamar, Jessi bercemin terlebih dahulu guna memastikan penampilannya malam ini dan setelah itu dirinya keluar dari rumahnya. Jessi berjalan cepat sambil menelepon Abra dan berharap laki-laki itu bisa diajak main malam ini. Akan tetapi, laki-laki itu tak kunjung menerima teleponnya membuat Jessi semakin kesal dan untungnya Jessi hafal nama nama daerah tempat tinggalnya Abra. Selanjutnya Jessi memesan taksi dan nekat pergi ke rumah Abra tanpa memberitahukan lelaki itu. "Salah sendiri, gue hubungi gak diangkat-angkat dan pesan juga cuman dibaca doang." Sedangkan disisi lain, Abra alias Felix sedang membantu ayahnya yang tengah membereskan dagangannya dan kebetulan hari ini pulang sampai malam karena penjualan bakso hari ini hasilnya naik drastis bahkan sampai habis gak tersisa. Hari ini benar-benar dagangan ayahnya telah habis padahal biasanya menyisahkan beberapa bakso saja dan tak henti-hentinya mereka berucap kata syukur sekarang. "Alhamdulillah bakso bapak habis." Seno tersenyum dan menatap haru pada gerobaknya. "Alhamdulillah Pak, aku ikut senang banget." Felix tersenyum dan menatap Seno yang tengah merasa bahagia sekali. "Makasih ya, Nak. Sudah bantuin bapak." Seno menoleh ke putranya, merasa ditatap oleh Felix. "Iya, Pak." Felix mengangguk. "Kamu gak main kah?" "Mungkin nongkrong ke warung kopi deket rumah." "Ya sudah ayo kita bergegas pulang, kamu juga mau nongkrong." "Aku santai aja kok Pak." Felix mengangguk mengerti dan melanjutkan berberes dagangan ayahnya. Setelah berberes, mereka pun pulang ke rumah dengan mengendarai motor dan gerobak bakso pun juga digeret di belakang. Motor itu melaju dengan kecepatan yang lambat menuju rumah mereka. Sesampainya di rumah, Seno kembali lagi untuk mengambil barang yang tersisa beberapa saja di tempatnya berdagang sedangkan Felix pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badannya dan berganti pakaian. Selesai sudah Felix berpamitan kepada Seno yang tengah membenarkan televisi milik tetangga yang rusak. Felix menatap heran ayahnya yang tak kenal rasa capek padahal habis bekerja seharian. Walau sebenarnya tanpa bekerja pun, uang Seno tetap mengalir dari usahanya menjadi pemilik sawah padi dan buah-buahan ketika panen juga dijual oleh Seno. "Bapak gak capek kah?" tanya Felix sembari mengenakan sepatunya. "Enggak, uang sakumu ada di meja dan jangan lupa beliin bapak kue putu kalau lewat di depan warung." "Siap, Pak." Felix tersenyum lalu menghampiri Seno dan mencium tangannya. Felix merasa bersyukur sekali diberikan sosok ayah yang sangat peduli dan memberikan kasih sayang begitu tulus kepadanya sejak kecil. Diajarkan hidup sederhana dan mengenalkannya dunia kerja tanpa paksaan sehingga Felix paham gimana rasanya susahnya bekerja serta menikmati hasil kerja kerasnya sendiri. Di situlah Felix selalu menghargai uang dan tak ingin begitu saja menghamburkan uang padahal semasa kecil hidupnya penuh bergelimang harta tapi ia tak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari orang tua kandungnya sendiri. Felix tidak menyesal sama sekali kabur dari rumah dan sudah enggan lagi bertemu kedua orang tuanya yang sama-sama tidak memperdulikannya. Felix menghampiri Balder terlebih dahulu barulah mereka berdua nongkrong di warung dan ada pertandingan bola hari ini tentu Balder begitu semangat menonton bola bersama warga sekitar. Felix pun juga ikut menonton karena dia menyukai bola. "Keren cara mainnya Timnas sekarang sih apalagi semenjak pelatihnya diganti oppa-oppa korea." Balder bertepuk tangan dan berteriak heboh ketika salah satu pemain Timnas mencetak golnya. "Bukan oppa tapi ahjussi." Seorang wanita paruh baya si penjaga warung membenarkan ucapan Balder yang salah menyebutkan panggilan orang korea yang sudah berumur. "Iya iya mak." Felix menggelengkan kepalanya melihat tingkah kocak temannya itu yang sangat antusias sekali menonton bola. Lelaki itu melirik ke sekitar warung yang lumayan ramai sekali dan tak sengaja tatapannya tertuju pada sebuah mobil taksi yang melaju begitu pelan memasuki gang yang menuju jalan rumahnya. Kebetulan letak warung ini berada di perempatan gangnya. "Siapa?" Mata Felix menyipit memperhatikan mobil taksi itu yang tiba-tiba berhenti tak jauh dari warung ini. Entahlah mendadak seperti mengenai penumpang mobil taksi tersebut. Benar saja, Felix mengenali seseorang yang duduk dibagian penumpang di mobil taksi tersebut yang kini keluar dari mobil taksi itu. Gadis itu tersenyum ke seorang sopir taksi dan menutup mobil taksi itu. Selanjutnya pandangan mereka pun saling bertemu. "Abra!" teriak gadis itu sambil melambaikan tangannya ke arah Felix. Tentu Felix langsung panik dan beranjak pergi dari warung kopi tersebut bahkan membuat Balder heran. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN