Part 43: Harta

2529 Kata
"Abra, Balder." Jessi menghampiri dua laki-laki itu yang nampak berjalan bersama menuju ke gerbang sekolah. "Ada apa Jes?" tanya Balder. "Ayo makan bareng di cafe baru dekat sekolah!" ajak Jessi pada mereka. "Emang ada cafe baru?" tanya Balder bingung. "Ada, bagus lho tempatnya buat nongkrong." Abra memperhatikan Jessi ketika membicarakan cafe baru bersama Balder dan matanya juga fokus pada tangan Jessi yang mengusap perutnya. Menandakan bahwa Jessi sedang merasakan lapar. "Tapi bus kita--" "Ayo!" Abra memotong ucapan Balder dan mengiyakan ajakan Jessi sehingga Balder tambah bingung. "Yeay!" Jessi meraih tangan Abra dan mereka berdua bergandengan tangan. "Lho ntar kalau ketinggalan bus, kita pulang gimana?" Balder berjalan cepat menyusul mereka. "Tenang, nanti gue anter kalian pulang." Jessi tersenyum lebar dan merasa senang sekali melihat tangan mungilnya digandeng erat oleh Abra. Balder melirik Abra yang berjalan di sebelahnya, ia masih tidak percaya Abra langsung mengiyakan ajakan dari Jessi padahal biasanya menghindari Jessi tapi ia juga merasa senang melihat Abra yang sudah tak menolak kehadiran Jessi disisinya. Siapa sih yang tidak ikut senang melihat temannya yang kini menjadi dekat bersama seseorang yang selalu diceritakan kepadanya. "Dianter pakai mobil mewah lo kah Jes?" tanya Balder yang ingin lagi menaiki mobil mewah seperti kemarin. "Haha segitu senengnya lo naik mobil padahal mobil gue biasa saja kok." Jessi tak mau dinilai sombong dan menganggap semuanya sama saja. "Iya bagi lo biasa saja, kalau bagi gue itu kebahagiaan. Pengen banget merasakan hidup mewah pasti enak. Apa-apa serba ada dan sudah siapin." Balder menggerutu dan sangat ingin hidup enak seperti Jessi dan teman-temannya. Tanpa harus merasakan beratnya bekerja demi uang untuk keluarga. "Syukuri apa yang ada, gak semuanya yang dilihat enak di dalamnya enak juga. Kalau lo pengen kehidupan yang mewah, ya lo harus berusaha." Abra paham apa yang dirasakan oleh Balder. Makanya temannya itu seringkali mengeluh kepadanya sejak dulu dan sebagai teman, Abra menyemangati Balder supaya tidak jadi orang yang putus asa. "Gue juga iri sama kehidupan orang lain. Andai aja orang tua kandung tidak cerai, gak pecah belah begini tapi gue gak menyesal juga karena gue sendiri gak tau permasalahan orang dewasa. Mungkin memang orang tua kandung gue gak berjodoh tapi lagi nih, gue gak mau nanti berpisah sama seseorang yang gue cintai. Gue gak mau kisah cinta gue sama kayak papa yang gak mulus." Jessi tersenyum meski rasanya berat menceritakan ini, mau bagaimana pun ia juga menginginkan hidup yang adil. Keluarga utuh dan tidak bercerai berai seperti ini. "Maaf, berarti lo ikut bokap lo?" Balder baru tau kalau orang tua kandung Jessi tidak bersama. Ia mengira itu hanyalah rumor ternyata benar. "Iya, gue ikut bokap dan nyokap kandung ada di Malaysia." "Tapi hubungan orang tua kandung lo baik kan?" "Syukurlah baik hehe." Jessi mengangguk samar. "Emm jadi gue harus bersyukur masih melihat keluarga gue yang utuh." Gumam Balder. Alih-alih mengeluh tentang ekonomi, bersyukur memiliki keluarga yang masih utuh dan tidak bercerai itu adalah yang diutamakan. Banyak sekali pula yang menginginkan keluarga lengkap dan suasananya yang nyaman dan damai di rumah. "Lebih bersyukur lagi kalau lo lihat Dipta. Dari kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya, dua-duanya langsung di umur yang masih kecil harus menjadi anak yatim piatu. Untung aja gue masih ada mama tiri yang baik banget, kasih perhatian yang adil juga. Bayangin aja lo jadi Dipta," ujar Jessi yang teringat Dipta menjadi anak yatim piatu di usianya yang masih kecil dan masih membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya. "Berat sih, untung aja soal ekonomi dia baik. Kalau enggak, tambah berat deh kehidupannya." Balder menggaruk tekuknya yang tidak gatal. "Cafe yang lo maksud ada dimana?" tanya Abra yang mengalihkan topik pembicaraan karena Abra sendiri tidak suka membahas orang tuanya. Keluarganya saja hancur berantakan dan tak bisa dibuat utuh lagi seperti kaca yang sudah dipecahkan berkeping-keping tak bisa disatukan kembali meski di beri lem tetap saja tak bisa nampak utuh seperti barang baru. "Oh ya, ada sebelah sana dan vak nyebrang jalan. Cuman jalan lagi beberapa langkah udah sampai." Balder melirik Abra, seketika melupakan sesuatu dimana Abra tak ingin yang membahas orang tua. Ia meruntuki dirinya sendiri yang tak bisa menjaga perasaan temannya itu. Seperti kata Jessi, tak butuh waktu yang lama mereka sampai di cafe baru yang lumayan ramai. "Ramai banget, ntar kita gak dapat tempat duduk." Balder menatap sekitar di dalam cafe itu yang sudah dipadati oleh pengunjung yang kebanyakan dari sekolahan mereka. "Kalian cari tempat duduk, gue yang ambil buku menu." Abra melangkah cepat menuju kasir untuk mengantri mengambil buku menu disana. Balder dan Jessi pun bergegas mencari bangku yang kosong. "Eh itu kayaknya mau pergi. Kita kesana." Jessi tak sengaja melihat seseorang yang baru selesai makan lalu mengajak Balder mendekati bangku tersebut. "Akhirnya dapar tempat duduk juga," ucap Balder yang merasa lega sekali. "Eh iya, maaf ya tadi gak jadi latihan basket ternyata semua kegiatan ekstrakulikuler sekolah di mulai minggu depan." "Iya gak papa Jes, santuy aja gue." "Disini!" Jessi mengangkat tangannya saat Abra kebingungan mencari keberadaan mereka. Setelah mereka menghabiskan makanannya, Jessi tengah mengobrol tentang basket denhan Balder sedangkan Abra masih menghabiskan cemilan kentang goreng milik Jessi dan kebetulan Jessi sudah kekenyangan. Selesai menghabiskan cemilan, mata Abra tak sengaja menatap sesuatu yang menarik perhatiannya. Di cafe ini terdapat mainan untuk anak-anak kecil jika bosan berada di cafe tentu saja tidak jauh dari pengawasan orang dewasa. Tempat bermain khusus untuk anak-anak kecil itu bisa membantu orang tua yang tengah menikmati makanannya sambil melihat anak-anak mereka puas bermain dan tidak mengganggu kenyamanan orang tua mereka yang masih sedang makan. Abra beranjak berdiri dan itu disadari oleh Jessi dan Balder menatap bingung ke Abra. "Abra, lo mau kemana?" tanya Balder heran begitu pula dengan Jessi. Balder dan Jessi menatap arah dimana tatapan Abra tertuju. Ternyata Abra menghampiri anak-anak kecil yang tengah bermain. Abra tersenyum lebar mengambil sebuah bola berbahan plastik yang menggelinding dan berhenti di depan kakinya. Lalu ia meraihnya dan memberikan kepada anak kecil kira-kira berusia 5 tahunan. Abra duduk di sebelah wahana mainan berukuran tak terlalu besar dan disana juga disediakan tempat duduk. Abra meraih beberapa bola yang keluar dari area wahana mainan anak-anak dan melempar bola itu masuk kembali ke dalam wahana tersebut. Disana ada jungkat-jungkit, ayunan, seluncuran dan pasir. Di sekitar tempat itu tidak ada orang yang merasa terganggu oleh kehadiran anak-anak ini sebab rata-rata yang duduk di dekat ini adalah orang tua dari anak-anak itu sendiri. Abra bergabung dengan anak-anak yang bermain pasir dan ikut bermain bersama anak-anak disana. Senyum lebar ia pancarkan merasakan begitu menyenangkannya bermain pasir yang bisa dibentuk menjadi beberapa bentuk sesuai cetakan yang telah disediakan tersebut. Jujur saja selama ini Abra ingin kembali ke masa kecil dimana ia bisa bebas bermain apapun yang dimau, mendapatkan teman banyak dan orang tua yang selalu ada disisinya mengawasinya. Tiba-tiba Abra teringat kakeknya yang membawa mainan favoritnya yang dibelikan oleh kakeknya sewaktu ia berusia sekitar 5 tahunan dimana Abra pernah liburan di rumah kakeknya yang berada di luar negeri. Abra sendiri memiliki mainan hanya di rumah kakek dan neneknya sedangkan di rumah, Abra dilarang bermain dan menghabiskan waktunya hanya belajar, belajar dan belajar. Les apapun ia ikuti karena tuntutan dari ayahnya jika Abra alias Felix akan menjadi penerus keluarganya. Masa-masa kecil yang harusnya menjadi masa terindah malah menjadi masa kelamnya yang tak ingin dirinya ulangi lagi. Rasa trauma yang begitu dalam membuatnya menjadi pribadi yang tertutup dari dulu. ‘Mau bilang kangen masa kecil, tapi masa kecil juga berantakkan’—ucap Abra di dalam hatinya. "Abra ikut main sama anak-anak." Jessi tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya begitupula Balder. "Lo ngapain disini? Gabut kah?" Balder terkekeh pelan meski ia tau apa yang Abra lakukan sekarang. Abra mengangguk saja dan tangannya masih menginginkan bermain. 'Abra kenapa ya? Tiba-tiba dia jadi seneng kayak gitu dekat sama anak-anak disini bahkan ikut main. Abra yang gue lihat sekarang malah kayak bocah yang seperti masa kecil kurang bahagia aja'---pikir Jessi sembari memandangi wajah Abra yang dan Abra dengan mudahnya tersenyum lebar melihat anak kecil yang menyapanya dan mengajaknya bermain. Jessi yang ingin ikut ditahan oleh Balder. "Biarkan aja Jes, Abra suka main sama anak kecil." "Gue kira dia gak suka sama anak kecil soalnya dia gak suka kebisingan." "No, dia kalau sama anak kecil sifatnya langsung berubah. Lo baru tau kan sekarang, lama-lama lo bakal tau sosok Abra yang sebenernya. Memang dari awal kelihatan cuek, acuh dan gak pedulian. Aslinya dia baik." Balder menjelaskan sifatnya Abra yang tidak diketahui oleh Jessi. 'Dan lo bakal tau suatu saat nanti, Abra itu Felix'---lanjutnya di dalam hati. "Kenapa lo baru cerita?" "Lebih baik lo tau di depan mata lo sendiri daripada cerita dari gue. Gue gak mau dikira pengarang handal." Balder tersenyum lebar. Jessi memperhatikan Abra yang kini asyik bermain bersama anak kecil dan para orang tua disini merasa ikut senang pula karena ada yang memberi hiburan kepada anak-anak mereka sehingga anak-anak mereka tidak merasa bosan terlalu lama menunggu orang tuanya selesai makan. Lama-lama selintas sebuah ide cemerlang melewati otaknya, Jessi menghubungi salah satu temannya yang berpengaruh di sekolahannya. "Halo Rosita." 'Halo Jes. Ada apa?' Balder menoleh, mendengar Jessi sedang menelepon seseorang. "Lo lagi sibuk gak?" 'Ini habis rapat OSIS, ada apa Jes? Kayaknya serius ini.' "Gue minta bantuan." ... "Kenapa dengan wajahmu dan kakimu sampai lemas gak bisa buat jalan?" tanya Asher melihat kondisi putranya dan teman-teman dari putranya itu babak belur semuanya. Asher baru pulang dari kantornya dan mendapati Faisal bersama teman-temannya itu duduk lemas di ruang tamu. Faisal tidak menjawab dan asyik menikmati cemilan yang telah disediakan oleh pembantunya. Sedangkan teman-temannya Faisal yakni Javas, Pipin dan Iqmal ingin menjawab namub takut kena semprot dari Faisal sehingga mereka bertiga sama-sama memilih diam. "Faisal!" Sentak Asher mengetahui putranya malah mengabaikannya. Disisi lain Asher nampak lelah sekali bekerja tapi asistennya mengabari bahwa putranya terlibat dalam perkelahian di sekolah tadi. "Ck, apa sih Dad? Gak lihat apa anaknya lagi makan begini malah diajak ngomong, nanti aku tersedak gimana?" Faisal menjawab begitu santai sekali. "Bisa dihentikan dulu makannya?" Asher mencoba bersabar meski gemuruh emosinya seperti akan meledak-ledak di dalamnya. "Gak bisa. Enak-enak lagi makan eh diganggu, menyebalkan." Faisal tersenyum miring dan begitu berani menjawab pertanyaan dari Asher. Ketiga temannya tidak kaget lagi melihat Faisal yang begitu berani dengan orang tuanya. Prang' Asher menarik piring plastik yang berisikan cemilan Faisal lalu dilempar asal sehingga makanan itu berserakan di atas lantai. Faisal geram pada Asher yang selalu mengganggu ketenangannya. "Daddy!" teriak Faisal lalu beranjak berdiri dibantu dua temannya yang duduk di sebelahnya kanan kirinya. "Bisa tidak kamu bersikap sopan ke daddymu ini? Daddymu ini orang tuamu bukan temanmu. Jangan seenaknya kamu bersikap kurang ajar ke orang tuamu." "Kurang ajar? Bukankah Daddy juga bersikap begitu ke kakek sama nenek? Aku mencontoh sikap Daddy." Faisal tertawa sumbang. "Kamu tidak usah ikut campur sama masalah orang dewasa. Kamu tidak tau apapun dan cukup diam saja." "Asal Daddy tidak memaksaku belajar, belajar dan belajar." "Belajar itu kewajibanmu, biar kamu pinter---" "Pintar atau tidaknya itu urusanku bukan urusan Daddy. Daddy egois suka ngatur-ngatur, tidak mau diurusi tapi seringkali ikut mencampuri urusan anaknya!" teriak Faisal kesal. Lalu datanglah Luna saat mendengar keributan di ruang tamu, siapa lagi kalau bukan suaminya dan anaknya yang tak pernah akur di rumah. Ada saja yang mereka ributkan tiap harinya. Luna lebih memilih menghampiri putranya meski kehadirannya ditolak oleh Faisal. "Dengar! Ini demi kebaikanmu, masa depanmu dan kamulah yang akan menjadi penerus perusahaan Daddy. Dadddy menaruh harapan besar kepadamu, Daddy tidak selamanya terus menjabat menjadi CEO pasti kelak kamu yang menggantikan posisi Daddy. Daddy menyuruhmu belajar juga ada alasannya. Biar kamu punya pegangan hidup karena pendidikan itu penting juga." "Aku sudah bilang berulang kali, aku tidak menginginkan itu semua. Ini hidupku dan aku yang berhak mengaturnya sendiri." "Lalu siapa yang menggantikan posisi Daddy nantinya kalau bukan kamu, Nak? Kamu anak Daddy satu-satunya dan pekerjaan ini menjamin masa depanmu. Banyak anak yang menginginkan posisi ini kenapa kamu tidak ingin sama sekali?" Suara Asher terdengar frustasi. Susah payah membangun perusahaan kecil menjadi besar dan terkenal, berharap putranya kelak menggantikan posisinya menjadi penerus perusahaannya namun putranya sama sekali tidak menginginkan posisi itu. "Anakmu bukan aku saja, Dad. Cari anakmu yang hilang itu. Lagian kalau aku ada diposisi itu, bukankah banyak orang yang bakalan menghujatku habis-habisan? Aku masih ingat dengan jelas, banyak orang yang menghinaku hanya karena aku adalah anak dari istri keduamu. Kenapa aku dilahirkan menjadi yang kedua? Posisiku ini juga sulit Dad! Mengertilah!" Mata Faisal berkaca-kaca, suaranya makin parau membuat Luna seketika menangis. Teman-temannya Faisal perlahan pamit pulang lebih dulu karena suasana di dalam rumah Faisal sedang memanas. "Aku dihina anak pelakor, anak hasil dari hubungan gelap kalian! Aku benci diriku sendiri, aku jijik!" Faisal mendorong Luna hingga terjatuh di lantai. Asher mengusap wajahnya mendengar keluh kesah dari putranya walau rasany malas mendengarkan ucapan Faisal. "Abaikan saja perkataan orang---" "Abaikan kata Daddy? Daddy tidak mengerti perasaanku gimana dicaci maki orang?" "Daddy juga pernah ada di posisimu, lagian lama-lama mereka tidak akan begitu lagi." "Cih, Daddy egois! Cuman mementingkan diri sendiri dan tidak berperasaan. Aku benci Daddy!" "Jangan benci Daddymu, Nak. Dengerin kata Daddymu itu ada benarnya." Luna memegangi tangan Faisal namun ditepis kasar oleh Faisal. "Kalian sama saja dan aku tidak akan menjadi pengganti perusahaan itu. Aku tidak tertarik sama sekali, aku sudah bilang berulang kali." Faisal berteriak kesal karena Luna pun tetap berharap kepadanya supaya menjadi penerus perusahaan Asher. "Karena cuman kamu anak satu-satunya, siapa lagi kalau bukan kamu." Pinta Luna sembari menangis bahkan berlutut di depan putranya sambil kedua tangannya ditangkupkan di depan dadanya. "Masih ada anak lain, anak yang hilang entah kemana itu. Cari saja dia. Apa Mommy tidak malu apa dikata orang ini dan itu? Aku saja malu My, mendengar ucapan orang-orang itu." "Mommy--" Luna tak bisa berkata apa-apa lagi, hinaan orang-orang yang tak menyukainya masih teringat jelas di dalam benaknya sewaktu dirinya dan Asher menghadiri di sebuah acara penting. "Aih aku menyesal lahir dari keturunan kalian!" Setelah mengatakan itu, Faisal berlari menuju ke kamarnya di lantai dua dan mengabaikan panggilan dari orang tuanya. Asher menatap Luna yang masih termenung di tempatnya berdiri. "Andai saja aku bukan istri yang kedua. Putraku tidak akan begini," ujar Luna sembari menatap Asher. "Jadi kesatu dan kedua itu sama saja. Aku sudah adil pada kalian bahkan aku mengutamakanmu dibanding Naura yang bukan apa-apa bagiku." "Bukan apa-apa gimana? Kamu mau kembali dengan Naura waktu itu karena kamu punya hutang banyak dan setelah tau harta warisan dia dari keluarganya yang banyak juga, kamu tidak jadi membunuhnya karena masih ingin menguras harta istri pertamamu itu." "Semua yang kulakuan demi kita, keluarga kita dan anak kita. Lagian kamu juga butuh harta kan? Kamu ingin Faisal menggantikan posisiku juga. Aku butuh banyak sekali tabungan." "Apa kamu main judi?" "Maksudmu apaan sih Lun?" Asher gelapan mendengar tuduhan dari Luna dan mendekati istrinya yang menatapnya penuh amarah. "Tiba-tiba kamu butuh uang banyak, apa kamu punya hutang banyak? Ikut judi?" "Kamu tidak perlu tau--" "Atau kamu mau bangkrut?" "Luna, kamu bicara apa sih? Tidak jelas sekali." "Lalu kamu mau melakukan apa dengan uang sebanyak itu?" "Luna, tenanglah. Akan aku jelaskan." Luna menghembuskan napasnya yang begitu berat. "Aku butuh dana besar untuk membungkam banyak orang dan aku juga butuh nama seseorang menjadi tameng kita jika suatu saat ada sebuah kejadian besar terus kita tidak langsung dituduh." "Membungkam, gimana maksudnya Mas? Aku benar-benar tidak paham apa yang kamu rencanakan." "Ini soal Felix, Luna." ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN