Part 42: Cinta Dalam Diam

2062 Kata
"Terima kasih Abra sudah mau ikut kumpul siang ini." "Sama-sama, Pak." Abra mengangguk sambil membalas jabatan tangan dari guru olahraganya. Abra menatap sekitar murid kelas 10 dan 11 yang mengikuti ekstrakulikuler renang. Semua murid yang ikut kumpul hari ini di ruang aula yang biasanya memang digunakan untuk kepentingan rapat. Acara kumpul mendadak ini membahas jadwal ekstrakulikuler renang yang akan aktif di minggu depan dan dilakukan di hari kamis setelah pulang sekolah. Kemarin tidak jadi kumpul dikarenakan banyak murid yang sudah pulang duluan. Tidak begitu banyak yang mengikuti ekstrakulikuler renang dan bisa dihitung dengan hitungan jari. Abra sendiri juga tidak melihat murid yang sekelas dengannya karena semua wajah murid disini nampak asing. Abra yang berniat akan pergi dari tempat ini, tiba-tiba seseorang dari arah belakang menghadang jalannya. Abra menatap gadis itu bingung dan ia melirik warna betnya yang berbeda dengannya. Gadis itu adik kelasnya dan ia ingat sewaktu guru olahraganya menjelaskan bahwa gadis di hadapannya itu adalah atlet renang yang sering menjadi perwakilan sekolahan sewaktu sekolah ini mengikuti lomba namun sayangnya karena gadis itu kecelakaan beberapa waktu yang lalu menyebabkan patah kaki sehingga tak bisa ikut ekstrakulikuler renang lagi. Bahkan gadis itu berdiri menggunakan dua alat penyangga. "Ini lo kan?" Gadis itu menunjukkan layar ponselnya di depan Abra. Abra melihat dirinya yang menghajar Faisal dan teman-temannya sampai babak belur dan ada yang susah berjalan karen Abra menendang kaki mereka dengan kuatnya. Abra mengangguk sebagai jawaban meski bingung juga gadis itu tiba-tiba menanyakan hal ini dan bagaimana gadis itu mendapatkan foto dari CCTV di sekolahan tersebut. "Tolong jangan hajar Faisal, emm gue tau dia nakal tapi kasian dia. Dia cuman caper biar dilihat semua orang kalau dia hebat. Faisal sebenernya baik kok cuman mudah terpengaruh sama orang lain anu gimana ya jelasinnya susah banget nyusun kata." Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan malah gugup berdiri di depan kakak kelasnya yang memiliki wajah rupawan. "Kalau begitu, suruh dia buat gak ganggu gue." Abra membalikkan kalimat yang gadis itu ucapkan. "Haduh gak bisa." Gadis bernama Nebila itu merasa bersalah telah menyuruh orang seenaknya tapi dirinya juga tak bisa disuruh orang juga. Nebila akui tindakannya tidak adil tadi ada alasannya menyuruh Abra menghajar Faisal. Abra yang akan pergi masih dihadang oleh Nebil bahkan Nebil hampir terjatuh, untung saja Abra menahan tubuh gadis itu dan menyuruhnya duduk di kursinya. "Jangan pergi dulu, gue belum selesai ngomong." Pinta Nebil pada Abra. Abra pun terpaksa menunggu gadis itu berbicara lagi walau sebenarnya merasa malas membahas Faisal. "Alasan gue suruh lo buat berhenti hajar Faisal itu karena..." Nebil merasa malu dan ini pertama kalinya ia mengungkapkan rahasia yang telah lama disembunyikan kepada siapapun termasuk teman-temannya. "Gue suka sama Faisal." Abra menghela napasnya mendengar ungkapan rasa dari Nebil. Tapi ia langsung paham mengapa gadis itu menyuruhnya menghentikan untuk menghajar Faisal. Sama seperti Jessi yang tidak mau melihatnya kena pukulan dari Faisal dan teman-temannya. 'Apa Jessi suka sama gue? Gadis itu juga mencemaskan seseorang yang disukainya'---pikir Abra yang langsung teringat wajah Jessi yang begitu mencemaskannya dan takut dirinya kenapa-napa saat berkelahi dengan Faisal dan teman-temannya. "Tolong jangan bilang ke siapa-siapa, gue mohon. Soalnya ini pertama kalinya gue bicara rahasia gue ke lo. Jadi itu alasannya gue suruh lo buat gak hajar Faisal lagi. Gue khawatir banget sama dia." "Lo pacarnya?" "Emm bukan-bukan, kita bukan pasangan kekasih. Dia gak tau kalau gue suka sama dia dan hubungan kita juga gak dekat alias gue diam-diam suka sama dia." Nebil menggelengkan kepalanya cepat. "Gak dekat tapi bisa suka." Abra masih tak paham, soal beginian memang ia sedikit merasa lamban untuk memahaminya. "Gue anak pembantu di rumahnya dia, gue juga kadang bantu nyokap kerja disana dan bokap gue tukang kebun juga. Gue suka sama dia sudah sejak lama." Abra menatap gadis itu bingung sebab Nebil baru saja bercerita tapi raut wajahnya tak menunjukkan kebahagiaan melainkan kesedihan. Disisi lain Abra terkejut juga mendengar bahwa orang tua gadis itu bekerja di rumahnya Faisal. "Itu aja sih, cuman kalau kasih dia pelajaran. Kalau pukul dia, jangan terlalu kencang. Gue gak kuat lihat dia kesakitan. Mungkin kalau orang tuanya tidak menuntut dia pasti dia juga anak baik dan gak nakal. Dia nakal cuman caper ke orang-orang dan dia siksa orang lain itu buat melampiaskan rasa sesalnya yang dia dapatkan dari rumah." Abra memejamkan matany sejenak mendengar Nebila bercerita tentang Faisal yang hidupnya menderita di rumah dan itu adalah alasan mengapa Faisal berulah di sekolah. Ia juga kaget sewaktu awal masuk di sekolah ini, mengetahui segitu nakalnya Faisal di sekolah dan ia mengira Faisal itu anak yang pendiam. Ada hal lagi yang membuatnya tak kaget lagi adalah Abra membayangkan diringa dulu yang tertekan karena orang tuanya juga namun ia tak membuat rusuh berbeda dengan Faisal yang membuat kerusuhan. Abra juga tau dari berita yang menggambarkan sosok Faisal itu sangat berbeda dengan Felix, Faisal yang tak bisa apa-apa sedangkan Felix yang serba bisa. Lalu ada banyak hal berita yang menyebutkan Faisal itu pembawa bencana di keluarga Abraham karena kelakuannya yang seringkali mencemarkan nama baik keluarga Abraham. "Sejak kapan orang tua lo kerja di rumahnya dia?" tanya Abra. "Sejak Pak Asher menikah sama Bu Luna." Tanpa disadari oleh Nebil, Abra mengepalkan kedua tangannya erat mendengar nama Luna disebutkan. Ia sangat membenci wanitu itu dari sejak kecil. "Terus kalau gak salah, kakaknya Faisal menghilang dari dulu sampai sekarang gak ditemukan. Aneh banget." "Ada rumor dia diculik, kabur, emm kalau diculik serem juga tapi pasti cepat ketemu dan kalau kabur pasti yang gak beres itu Pak Asher sama ibunya dia, gue gak tau namanya siapa. Lupa hehe." Lanjut Nebil sambil terkekeh pelan. "Lo belum pernah ketemu?" "Ketemu siapa? Oh itu ibunya kakaknya Faisal. Mereka tinggalnya gak disatukan karena kata pembantu lain yang sudah lama bersama Pak Asher, dua wanita itu bisa berantem. Jadi Pak Asher beli rumah baru buat keluarga barunya." "Lo tau segala hal tentang mereka." "Eh aduh malah bahas keluarganya Faisal, semoga gak ada yang denger. Takut banget kalai ada yang ngadu ke Faisal. Ya sudah itu saja pesan dari gue buat lo. Gue pamit pergi dulu. Abra menatap kepergian gadis itu setelah menceritakan tentang keluarga Abraham. Jauh dari lubuk hatinya, Abra akan menanyakan tentang Naura-ibunya namun ia harus tau batasan dan takut jika penyamarannya bisa terbongkar. Selanjutnya Abra keluar dari ruang aula yang makin terlihat sepi. Bertepatan dengan itu seseorang datang sambil memanggil namanya. "Abra ternyata lo disini." Siapa lagi kalau bukan Jessi yang sedari tadi mencari keberadaan Abra yang tiba-tiba menghilang. "Hmm." Abra berdeham saja dan melihat napasnya Jessi memburu sehabis larian membuatnya geleng-geleng kepala. "Kenapa lo gak bilang kalau lagi kumpul, gue khawatir banget tau." "Khawatir?" "Iyalah, takutnya lo mau berantem lagi sama Faisal." Abra menghela napasnya lalu tangannya menuntun Jessi duduk di bangku koridor depan aula. "Bentar." Abra menyuruh Jessi menunggunya sebentar dan ia kembali masuk ke dalam untuk mengambil sesuatu. Tak lama Abra keluar dari aula dan duduk di sebelah Jessi sambil memberikan gelas mineral kepasa gadis itu. "Hehe makasih." Jessi tersenyum lebar lalu meneguk habis air mineral yang dibwakan oleh Abra. "Lo itu orang peka banget, jarang ada cowok yang peka. Emm cuek tapi soal perhatian bikin meleyot hati gue." Jessi mengatakan apa adanya dan susah sekali menutupi kebahagiaan yang diperlakukan semanis itu oleh Abra. Abra diam saja dan menatap lurus ke depan. Ia salah tingkah tapi masih bisa menutupinya dengan pura-pura bersikap acuh. "Berarti lo nerima gue jadi teman kan?" "Hmm." "Berhasil juga akhirnya bisa diterima ajakan pertemanan dari gue. Dari dulu pengen punya temen cowok eh malah banyak yang pengen ngajak lebih dari temen. Nah sekarang gue dapat temen cowok yang cuek, sesuai lah apa yang gue inginkan selama ini walau agak-agak sebal juga selalu dicuekin sama lo." "Lo udah punya temen cowok, kenapa cari lagi?" "Maksud lo si Dipta kan? Iya dia temen gue dari lama alias dari kecil. Sebenernya ada lagi sih temen cowok ah gue gak sanggup buat cerita ini hehe." d**a Jessi mulai sesak jika sudah membahas seseorang yang telah lama tidak bertemu dan sungguh betapa rindunya pada teman istimewanya itu. "Kenapa gak sanggup?" Abra pun menoleh dan melihat raut wajah Jessi yang berubah sedih meski bibirnya membentuk senyuman lebar. "Maaf, gue gak bisa cerita." Jessi menggeleng lalu beranjak berdiri dan mengajak Abra balik ke kelas. Mengetahui betapa sedihnya Jessi ketika tak sadar sekilas menceritakan sosok teman istimewanya yaitu dirinya. "Gue disini, di samping lo." Tak sadar pula Abra mengatakan hal yang membuat Jessi menatapnya bingung. "Maksudnya apa?" Jessi mengernyitkan dahinya. Abra beranjak berdiri dan mendekat ke arah Jessi lalu berkata, " Maksud gue kalau lo lagi sedih..." "Bersandalah di bahu gue. Lo gak sendirian. Ada gue di samping lo." 'Gue hampir keceplosan'--batin Abra. ... "Lo masih nekat nyari tentang Felix?" tanya Anya pada Dipta yang masih berkutat pada laptopnya setelah kelasnya sepi karena bel sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Sebelumnya Anya tak jadi pulang mengetahui Dipta membuka laptopnya lagi dan raut wajahnya juga begitu serius sekali. "Iya tetap nekat cari tau gue soalnya banyak hal ganjal." "Ganjal gimana?" "Gue pengen tau alasan mengapa waktu proses pencarian Felix yang menghilang itu dihentikan bahkan sudah tidak ada lagi yang membahas soal Felix." "Ah jadi itu yang buat lo langsung serius begini." Anya memberikan permen s**u pada Dipta dan Dipta pun menerimanya. "Iya, bodohnya gue kenapa gak dari dulu." "Karena lo egois." "Kok gue jadi salah?" "Lo sendiri tadi bilang bodoh dan sama aja itu menyalahkan diri sendiri kan? Lo yang acuh sama berita kehilangan Felix supaya Jessi bisa fokusnya ke lo tapi ternyata sampai saat ini Jessi tetap mengingat Felix dan berharap Felix kembali. Akhirnya lo terpaksa harus ikhlas gak tega juga lihat Jessi terus sedih karena teringat Felix sampai nangis. Akhirnya lo sadar dan mulai mencari Felix. Betul ucapan gue?" Anya tersenyum miring. "Ada benarnya dan ada salahnya juga." "Salahnya apa emang?" "Gue bukan acuh, Felix juga teman gue. Dia gak pernah jahat sama gue, cuman gue yang merasa iri melihat dia yang gak perlu caper Jessi karena Jessi selalu memusatkan perhatiannya ke Felix. Felix anaknya pediam, harus diajak main dulu baru mau gabung main." "Iya gue ingat, Felix itu anak yang baik. Gak pernah buat ulah, berantem sama murid lain dan dia cerdas. Makanya sampai jadi kesayangan banyak orang sih kalau di sekolah, jujur aja gue pernah dibanding-banding sama Felix waktu nyokap gue kumpul sama ibu-ibu murid lain." "Tante gue juga memuji Felix tapi tante gue gak bandingin gue sama Felix cuman dia kayak kagum sama Felix. Gue memang pendiam tapi gak sependiam Felix." "Mungkin kalau Felix masih bareng sama lo dan Jessi. Felix sudah pacaran kali ya sama Jessi hihi." Anya cekikikan. "Jadi lo dukung mereka bersama?" "Gue dukung siapapun yang dekat sama Jessi asal anaknya baik dan temen gue bahagia." "Padahal dulu lo dukung banget gue sama Jessi tapi sejak ada Abra, lo dukung mereka dekat juga." "Ya gimana Jessi kayaknya lebih klop sama Abra gitu. Gak ada Abra disisinya aja dia sampai keliling buat nyari Abra." "Iya bener, gue kayaknya gak ada celah buat deket sama Jessi kayak dulu. Gue mencoba mencari alasan supaya dia nemenin gue belajar bela diri eh Jessi masih ada saran yang lain supaya gue gak bisa batalin itu." "Haha gak papa, kata lo sendiri cinta gak bisa dipaksa kan? Jadi kalau sesuatu keinginan lo itu pergi itu ya sudah. Pasrah aja haha." Anya tertawa menutupi rasa cemburunya mengetahui Dipta yang masih saja berharap pada Jessi yang jelas-jelas Jessi menganggap Dipta hanya berteman saja. "Hmm betul kata lo, gue pasrah aja. Tapi karena gue cinta gue ke Jessi itu tulus, gue ingin sesuatu yang gue lakuin ke dia bikin dia bahagia dan dia bakal ingat gue karena apa yang gue lakuin untuk dia." "Lo yang berusaha mencari tau Felix karena kebahagiaan besar Jessi itu di Felix. Ya kan?" "Lo udah tau jawabannya tetep aja nanya." Dipta berdecak kesal. "Iya gue memastikan dan sedikit menghibur hati lo yang gak baik pastinya." Anya tertawa dan berusaha menghibur Dipta supaya tak terlalu sedih memikirkan cintanya yang bertepuk sebelah tangan padahal Anya sendiri butuh hiburan juga tapi Anya sangat pandai sekali menyembunyikan perasaan sukanya pada Dipta dan Dipta tak pernah menaruh rasa curiga kepadanya. "Baik-baik saja gue. Gue gak masalah kok, kalau dia hanya ditakdirkan buat berteman ya sudah memang berteman saja." "Tapi lo gak ada niat gitu buat ungkapin perasaan lo ke Jessi? Emm jangan dipikir jawaban dari Jessi." Saran Anya. "Enggak, lebih baik gue simpan rapat aja begini." Dipta tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. 'Apa gue juga terud memendam perasaan ini?'--Pikir Anya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN