Part 44: Cemburu?

2175 Kata
Part 44 "Kita kemana sih?" tanya Anya pada Dipta yang tengah fokus menyetir motornya memasuki kawasan perumahan yang nampak asing di mata Anya. Perjalanan menuju ke lokasi ini ditempuh kurang lebih hampir dua jam lamanya dan sampai sekarang Anya tidak diberitahu oleh Dipta kemana mereka akan pergi. Dipta hanya mengajak Anya pergi dan diam saja ketika diberi pertanyaan yang sama berulang kali oleh Anya. "Capek deh gue nanya tapi gak dijawab-jawab." Anya mendengus sebal dan bertepatan dengan itu Dipta menghentikan motornya tepat di depan rumah mewah di perumahan elit ini. "Ini rumah siapa?" Anya yang tadinya berniat diam namun tak bisa menghentikan mulutnya bertanya lagi dan menatap bingung gerbang rumah itu. "Turun." Dipta turun dari motornya setelah Anya turun lebih dulu sebab motornya yang tinggi membuat Anya kesusahan ketika turun. "Mewah banget ini rumah, luasnya melebihi rumah gue." Anya berdecak kagum memandang rumah itu. "Eh masih mewah rumah Dipta sih, rumah lo yang masih dibangun." Anya melirik Dipta yang sudah berdiri di sebelahnya. "Itu rumah mendiang orang tua gue bukan gue." "Lo ahli pewarisnya, Dip. Rumah lo kapan jadinya?" tanya Anya pada Dipta penasaran. "Mungkin gue lulus baru jadi. Kenapa malah bahas rumah?" Dipta mengernyitkan dahinya bingung. "Lagian lo dari tadi gue tanyain kita mau kemana tapi gak lo jawab-jawab. Terus ini koper kerja isinya apa? Berat banget." Anya meletakkan koper kerja itu di depannya dirasa semakin berat lama-lama dibawanya. "Ini menyangkut Felix." "Menyangkut Felix? Ini rumah ada hubungannya sama Felix?" Anya menunjuk rumah di depannya. Dipta mengangguk lalu meraih koper kerja miliknya dan mereka berdua melangkah bersama mendekati gerbang rumah tersebut. Dipta menekan tombol dan tidak lama dibalas oleh seseorang di dalam rumah tersebut. "Sore, saya Dipta yang ingin bertemu Bapak Gio. Apakah beliau ada di rumah?" Tidak ada jawaban namun gerbang di depannya langsung terbuka otomatis. Dipta dan Anya saling pandang sejenak kemudian masuk ke dalam dna ketika mereka sudah masuk ke dalam, gerbang rumah itu menutup kembali. "Kayak rumah tante lo, Dip. Ada ginian." Anya terkekeh pelan dan ia sendiri tidak paham apa yang dilakukan Dipta tadi. "Pasang kayak gitu lebih aman tapi ada minusnya juga." "Minusnya apaan?" "Ya kalau keadaan darurat, bingung mau nrobosnya kalau semisal ada orang asing yang mau nolong kita. Semoga aja ada tombol daruratnya jadi gerbang bisa otomatis terbuka sendiri." "Ah begitu." Anya mengangguk paham dan keduanya berjalan bersama menuju rumah Pak Gio. Sesampainya di latar rumah Pak Gio, seorang pembantu membuka pintu rumah Pak Gio dan mempersilakan mereka berdua masuk ke dalam. "Duduk ya, Nak. Saya panggilkan Bapak Gio dulu." "Iya, Bi." Dipta dan Anya kompak mengangguk lalu duduk di ruang tamu. "Bapak Gio siapa?" "Wartawan." "Wartawan?" Anya mendelik saking terkejutnya. "Kenapa memangnya?" "Jadi wartawan bisa jadi sekaya ini ya? Apa dia juga seorang pengusaha? Apa temen Om Asher?" "Dia wartawan dibilangin gak percaya." "Terus kenapa kita ke rumah wartawan?" "Berita tentang Felix dulunya sering di up sama wartawan ini tapi tiba-tiba gak lagi bahas Felix jadi gue gak mau tanya dan gur juga nyuruh wartawan ini buat angkat lagi berita tentang Felix." "Bukankah kita harus tanya ke keluarganya Felix dulu baru kita suruh wartawan ini buat angkat berita tentang Felix." "Gue mau nanya juga kenapa berita tentang Felix dihentikan dan ini yang buat kepikiran terus. Pasti ada alasannya." "Iya sih, gue juga pengen tau kenapa berita Felix kabur dari rumah itu tiba-tiba dihentikan. Tapi lo gak hubungi bokapnya Felix?" "Gegara Om Delmon sama Om Asher bersitegang dari dulu dan sekarang mereka gak sedekat kayak dulu lagi, jadi susah hubungi Om Asher." "Emm lo yakin orang tua Felix merasa kehilangan karena Felix menghilang?" "Nah ini juga yang bikin gue kepikiran, kenapa orang tua Felix santai banget tau anaknya menghilang. Harusnya sebagai orang tua itu panik, khawatir, cemas, sedih intinya perasaan campur aduk. Bener-bener janggal banget keluadga Felix." "Ini wartawan juga sering up berita tentang tante Naura deh, apa kita juga tanyain dimana tante Naura berada? Barangkali Pak Gio tau gitu." Anya menunjukkan sebuah berita dari tahun-tahun lalu dan banyak sekali berita yang dipublikasikan oleh Pak Gio. "Ada yang bisa saya bantu?" Seseorang datang menghampiri mereka dan mereka berdua reflek berdiri kemudian saling berjabat tangan. "Saya Dipta dan teman saya ini namanya Anya. Saya datang kemari ada keperluan penting yang ingin saya bahas bersama Bapak." Dipta tersenyum sopan. "Dipta ini ponakannya Freya dan Freya istrinya Pak Delmon kan? Seperti tidak asing lagi." Pak Gio tersenyum walau dibalik senyumannya menyimpan rasa tak menyangka rumahnya didatangi oleh Dipta. "Iya, Pak." "Waah benar dugaan saya, mengapa jauh-jauh datang kemari? Padahal kalian bisa langsung datang ke kantor tanpa perlu jauh-jauh kemari." "Karena lebih nyaman langsung datang ke rumah Bapak." "Oh jadi begitu, lalu apa yang akan kamu bahas bersama saya?" tanya Pak Gio heran. "Ini tentang Felix, Pak." Raut wajah Gio seketika berubah namun segera memasang wajah seramah tadi dan Anya yang menyadari perubahan ekspresi Pak Gio secepat kilat tersebut. 'Kayak ada yang disembunyikan'--Pikir Anya yang mencurigai gelagat Pak Gio. "Felix anak pertama Pak Asher dan Bu Naura? Iya saya pernah memberitakan tentang Felix." Pak Gio mengulas senyum tipis. "Mengapa kasus teman saya yang menghilang diberhentikan?" tanya Dipta langsung pada intinya. "Karena ada alasannya saya melakukan itu." "Apa alasannya?" tanya Anya yang sudah sangat penasaran sekali. "Maaf saya tidak bisa membicarakan ini lebih lanjut, silakan kalian pergi dari rumah saya." Pak Gio beranjak berdiri, ia tersenyum namun tatapan menunjukkan dirinya tidak nyamam membahas tentang Felix. Dipta mengangkat koper hitam, koper yang biasa digunakan untuk bekerja orang kantoran lalu diletakkan di atas meja. Ia membuka koper itu perlahan dan isi di dalam koper milik Dipta membuat mereka terkejut. "Dip, itu duit?" Anya memegang uang sekoper penuh itu dan tangannya bergetar. "Duit gue, buat nyogok." Bisik Dipta tepat di sisi telinga Anya. "Gila lo--" Pekik Anya dan Dipta langsung membekap mulut Anya. "Diamlah!" Lalu pandangan Dipta tertuju pada Pak Gio yang kembali duduk dan menetralkan napasnya yang berdebar tak karuan. "Mengapa dengan uang itu?" "Saya akan berikan apapun yang Anda minta jika Anda memberitahukan kepada saya, alasan mengapa berita Felix dihilangkan." Walau Dipta ketar-ketir sendiri melakukan ini dan dirinya sudah siap menanggung semua resiko atas tindakan yang dilakukannya. Pak Gio malah menertawakan Dipta sambil menggelengkan kepalanya. "Apa kamu lagi bercanda?" "Pak, saya benar-benar serius. Saya lakukan apapun demi bisa menemukan teman saya yang telah lama menghilang." "Felix menghilang diumur dia masih dini dan kamu mau menyuruh saya mencari keberadaan Felix dan rasanya percuma juga mau dibahas lagi." "Saya menanyakan alasan mengapa berita kehilangan Felix diberhentikan, bapak sedang mengalihkan topik pembicaraan kan?" Dipta sedikit merasa kesal karena jawaban dari Pak Gio tak sesuai harapannya. "Ini urusan orang dewasa, mengapa kamu ikut-ikutan? Lebih baik kamu diam saja." "Apa memang dari keluarga Felix sendiri yang menghentikan pencarian Felix?" tebak Dipta. "Mau dari keluarganya sendiri atau tidak, kamu tak perlu ikur campur." "Benarkan dari keluarga Felix? Siapa yang melakukan ini semua, apakah Om Asher dan Tante Naura? Tolong jawab dengan jujur, Pak." Pinta Dipta. "Saya memang sengaja tidak melanjutkan berita tersebut karena berita itu tidak laku." "Tidak laku? Anda berbohong saja, tidak mungkin tidak ada yang tertarik dengan berita itu. Saya pernah melihat banyak wartawan yang masih menanyakan keberadaan Felix--" "Tanya saja pada wartawan yang lain, saya sudah tidak lagi peduli dengan berita itu. Saya sibuk hari ini dan saya mohon kalian pergi dari sini sekarang juga!" Dengan tegas, Pak Gio memperintahkan mereka agar segera pergi dari rumahnya. Pak Gio memanggil suruhannya dan mereka menggeret paksa Dipta dan Anya keluar dari rumahnya. Selepas dua bocah remaja tadi sudaj tidak ada di rumahnya. Pak Gio menghubungi seseorang dan memberitahukan kejadian ini kepada orang tersebut. 'Baguslah kalau kau masih mau dengan harta yang aku berikan kepadamu. Awas saja kalau kau sampai teledor dan jangan sampai mulutmu berbicara sembarangan. Simpanlah rahasia ini atau kau akan mati.' "Baik, Pak." 'Aku sudah memberikan banyak sekali harta kepadamu dan jangan sampai kau merugikan aku!' "Iya, Pak Asher. Saya mengerti. Saya akan menjaga rahasia Anda dengan sangat baik." 'Dan satu lagi yang perlu diingat, semua yang aku lakukan ini perintah dari Naura. Naura yang membenci sama anaknya sendiri. Harta yang aku berikan kepadamu itu milik Naura semuanya dan aku hanyalah pesuruhnya. Paham?' "Lalu Bu Naura ada dimana?" 'Dia ingin keberadaannya tidak diketahui oleh publik dan dia lebih nyaman begini. Sudahlah aku matikan dulu.' Klik' Pak Gio mengernyitkan dahinya bingung, walau dirasa aneh sekali tapi ia berusaha mempercayai ucapan Asher. Di seberang sana, Asher berdiri menghadap ke arah jendela balkon kamarnya dan tangannya membawa secangkir teh. Ia menyesap pelan dan merasakan manisnya minuman itu dilidahnya. "Ck, ada masalah lagi rupanya." ... "Kita diusir." Dipta menghela napasnya pelan dan Anya menepuk pundak Dipta. "Gak papa, gue dari awal juga ngerasa kayak gak mungkin semudah itu membujuk wartawan itu untuk mengatakan yang sebenarnya." "Iya, An. Gue kayaknya terlalu buru-buru tapi mau gimana lagi. Orang biasanya terbutakan oleh uang eh malah tetep gak gagal bujuknya." "Gila sih lo bawa duit sebanyak itu, mana gue tadi lempar ke bawah pula. Buat gue aja deh." "Heh!" Anya menyengir kuda. "Terus pakai cara apa lagi?" "Gue curiga sama Om Asher yang nutupin kasusnya Felix." "Gue juga dari awal udah nebak sih dan herannya Om Asher ini kan bokapnya kok bisa-bisanya mencari anaknya sendiri susah padahal berduit." "Kalau diculik pasti cepat ditemukan sedangkan kalau dianya kabur dari rumah, patut dicurigakan orang tuanya." "Tapi kebanyakan rumor gak jelas itu Felix diculik bahkan ada yang rumorin Felix meninggal." "Enggak, enggak meninggal. Gue yakin Felix masih hidup dan kalau hidup, gak mungkin dia tinggal di kota ini yang masih gempar-gemparnya berita dia dan foto dia juga bertebaran dimana-mana." "Terus kalau dia masih hidup, apa dia bakal muncul lagi di tempat asalnya?" "Gue gak yakin sih, kita gak tau pasti juga. Kita masih anak-anak dan baru paham ginian setelah kita udah gede." "Om gue aja angkat tangan karena disisi lain tidak ada dukungan dari keluarga Felix jadi om Gue gak mau beresiko juga." ... "Followers lo naik pesat wow!" Jessi memekik kegirangan menunjukkan ponselnya pada Abra yang duduk santai di sebelahnya sedangkan Balder sendiri sedang berada di kamar mandi. Mereka bertiga masih berada di cafe dan Abra menyudahi bermain bersama anak-anak karena mereka satu per satu memutuskan meninggalkan cafe ini. "Hmm?" Abra berdehem dan matanya menyipit menatap ponselnta Jessi. Abra melihat akun sosial media yang dibuat oleh Jessi dan ada satu postingan foto yang mencuri perhatiannya. "Ini foto gue?" tanya Abra bingung. "Iya foto lo waktu kita kerja kelompok kemarin. Gue fotoin lo diam-diam hehe lagian lo ganteng banget sumpah kalau lagi serius gitu." "Jangan posting foto gue lagi, biar gini aja." "Emm enggak janji gue." "Jessi." "Abra." "Gue risih denger notifnya." Abra merasakan ponselnya bergetar terus menerus dan melihat apa yang membuat ponselnya terus bergetar. Awalnya ia mengira 'spam chat' dari nomer tak dikenal atau kartu ponselnya ternyata pemberitahuan dari akun sosial medianya. "Buset makin banyak yang like dan sekarang pengikut lo juga melunjak, gila sampai puluhan ribu." "Hp gue bunyi terus." "Eh sini gue benerin biar gak bunyi terus." Jessi mencoba mengambil ponsel milik Abra namun Abra menggeleng dan tak ingin benda penting ini dipegang oleh orang lain selain dirinya. "Enggak, cukup lo kasih tau aja caranya gimana." "Napa gue gak dibolehin pegang hp lo?" "Privasi." "Gue gak ngapa-ngapain hp lo kok, sumpah deh." Jessi mengangkat dua jarinya dan berusaha membujuk Abra supaya Abra mau memberikan ponselnya sebentar ke Jessi dan Jessi berniat membantu caranya agar tidak ada bunyi pemberitahuan beberapa kali. "Enggak, kalau gitu gue cari sendiri caranya." "Hmm iya udah gue kasih tau caranya." Setelah paham akhirnya Abra merasa tidak terganggu dan ponselnya benar-benar sunyi sekali. "Bentar lagi jadi seleb lo." Jessi tersenyum lebar dan masih saja memeriksa akun sosial media milik Abra. Jessi pun membaca komentar dari postingan Abra sebab sudah mencapai ribuan komentar dan entah kenapa ia malah membenci semua komentar yang ditunjukkan kepada Abra. "Kok banyak yang ngajak Abra pacaran sih? Kenapa mereka gak muji Abra ganteng gitu doang dan kenapa mereka sampai bicara pengen pacaran sama Abra bahkan ada yang nyiapin diri buat antri." Jessi mendumel dan rasanya ingin membanting ponselnya saat ini juga. "Apa lagi?" tanya Abra yang tentu mendengar suara Jessi yang tengah mendumel seseorang. "Pada ngajakin lo pacaran, mana banyak banget pula fasnya dan ya gue kira komentar kebanyakan memuji lo ganteng dan lainnya tapi malah gini." "Kenapa kalau ada yang ngajak gue pacaran?" "Oh jadi lo pengen pacaran sama fans lo? Oke deh gue ngerti sekarang." Tanpa diketahui oleh Jessi, Abra tersenyum memandang wajah gadis itu dari samping. Raut wajahnya ketika kesal dan bibirnya yang maju kedepan seperti bebek membuatnya merasa gemas. "Apa gue ngaku aja ya kalau gue juga megang sosmed lo." "Biarin aja, itu cuman komentar." "Halah mau cari pacar aja." "Lo gak suka kalau gue punya pacar?" tanya Abra heran. "Emm ya jangan dulu lah, mereka yang ngajak lo pacaran itu cuman ngasal aja. Paling nanti kalau ada yang lebih ganteng dari lo, mereka pada berpaling." "Berarti lo juga begitu?" "Enggak, gue sulit jatuh cinta jadi gue gak sembarangan suka sama seseorang termasuk sama lo." Abra tersenyum melihat Jessi yang sepertinya mulai tertarik padanya. Tingkah Jessi ini membuktikan kalau gadis itu merasa cemburu. Entah benar atau tidak, Abra menebaknya begitu. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN