16. Pulang Bian, Kamu demam!!

1032 Kata
Rian dan Amel kembali ke Villa tepat pukul sepuluh pagi. Saat keduanya masuk ke dalam, mereka melihat Tania yang berada di kamar Bian dengan pintu yang terbuka. "Tania? Lo ngapain di kamar om Bian?" Tanya Amel dengan volume suaranya yang cukup tinggi. Tania yang terkejut langsung menyuruh Amel untuk diam dan jangan berisik. "Om Bian demam. Kamu jangan berisik." Ucapnya. Tentu saja Amel dan Rian langsung terkejut. Perasaan tadi saat mereka pergi, Bian tak kenapa-kenapa. Rian langsung masuk ke dalam dan mengecek suhu tubuh Bian. Dan benar saja, suhunya lebih panas dari biasanya. "Kok bisa sih? bukannya tadi pas aku pergi masih nggak pa-pa ya.?" Gumamnya. "Aku nggak tahu. Pas aku keluar kamar, Nemu om Bian itu si sofa single itu. Ternyata udah demam. Tahunya pas aku lihat banyak keringat kecil-kecil di keningnya." Ucap Tania dengan sedikit mengarang cerita. Amel menatap wajah Rian yang terlihat cemas. "Kenapa wajah lo sepanik itu?"tanya Amel padanya. "Sebenarnya Om Bian ini jarang sakit. Bahkan selama gue tinggal sama Om Bian, gue cuma nemuin dia beberapa kali sakit. bayangin aja 10 tahun gue tinggal sama dia. Makanya gua rada panik sekarang. Soalnya om Bian ini punya dokter pribadi, tapi di Jakarta." Rian lalu menatap Tania dan Amel bergantian. Melihat Rian yang panik seperti itu tentu saja Amel dan Tania juga tak tenang. Otak mereka berpikir jika sepertinya mereka harus pulang ke Jakarta. Walaupun ini hanya demam biasa, Namun mereka tidak tahu bagaimana setelah ini. karena Rian sendiri juga mengatakan kalau omnya jarang sakit bukan. "Ya udah, kita balik aja ke Jakarta." Saran Tania yang langsung diangguki oleh Amel. "Lo betul. kita balik aja ke Jakarta. setidaknya di Jakarta om Bian bisa dipantau oleh dokternya. kalau di sini, kita nggak ada yang dokter di sini. gimana cara mantaunya." Rian menatap keduanya. Ia lalu menatap Bian. Ia melafalkan dalam hatinya semoga saja sampai di Jakarta ya tak di amuk oleh omnya ini. 'om, kerjasama sebentar ya om. Ini demi kebaikan om." Gumam Rian membatin. "Kamu bangunin om dulu ya Tania. Aku sama Amel mau beres-beres. Kamu bantuin juga beresin semua." "Eh? Kenapa aku.?" "Ih, Lo pake nanya. Kerjain aja dulu Tania." Tania melongo saat Rian dan Amel keluar begitu saja dari kamar Bian. Tanpa Tania sadari, senyum yang sangat tipis terbit di bibir Bian. Tania menatap Bian. Ia melirik ke arah semua barang-barang Bian. "Haaahh. Bian, maaf ya aku sentuh barang-barang kamu." Ucapnya sebelum ia mulai membereskan semuanya. Satu persatu barang-barang Bian ia masukkan ke dalam koper Bian. Namun saat ia memasukkan beberapa parfum Bian, matanya menatap lurus pada sebuah benda yang sangat ia kenal. Jantung Tania kembali bergemuruh. Dengan perlahan ia mengambil benda tersebut yang ternyata cincin dari rumput yang tersimpan rapi di dalam kotak cincin. Dan kini cincin itu ada dua. Namun ia bingung dari mana Bian mendapatkan cincin ini. Karena seingatnya, cincin miliknya ini tak pernah ia berikan pada Bian. Ia benar-benar lupa. Tak hanya cincin, di sana juga ada selembar foto yang semakin membuat air matanya terjatuh. Selembar foto polaroid. Ia foto dirinya waktu masih kecil dulu. Ia sangat ingat kalau Rian membawa polaroid saat itu tapi mereka tak sempat foto berdua. Tania menutup mulutnya rapat-rapat agar tak ada suara tangisannya yang terdengar. Ia takut menganggu Bian. Namun sekuat apa ia menahan isakannya, isakan itu terdengar juga oleh Bian membuat pria yang sejak tadi terbangun itu langsung membuka mata. Ia menatap ke arah Tania dan langsung duduk. Ia cukup terkejut melihat Tania memegang selembar foto. "Hei.." panggil Bian. Tania yang terkejut langsung menghapus air matanya. Ia berdehem dan menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. "Ma..maaf aku lancang." Ucapnya sembari meletakkan foto tersebut kembali. Tak lupa ia juga menyimpan cincin yang tadi ia ambil. Bian turun dari tempat tidur dan langsung mendekati Tania. Ia meraih jemari Tania yang masih krasak krusuk. Ia menyentuh jemari tersebut dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya, ia julurkan untuk mengambil kotak cincinnya. Tania bisa merasakan hawa panas dari sentuhan jemari Bian. Bian membuka kotak tersebut dan mengeluarkan cincin milik Tania. Ia langsung menyematkan cincin itu di jari kelingking Tania. Tania menatap cincin itu sangat Lamat dan masih terisak. "Kamu berikan cincin ini pada Rian beberapa hari yang lalu. Dan Rian berikan ini sama aku." Ucap Bian. Oh, Tania mengingatkannya. Waktu Bian menyerahkan lagi cincin itu pada Amel hari dimana ia tak mengenali Rian, beberapa hari yang lalu ia memberikan cincin itu pada Rian. Ternyata Rian memberikannya pada Bian. Namun seketika ia menatap Bian kesal. "Berarti benar kalian berdua itu bersekongkol." Tuduhnya. "Nggak. Nggak ada yang sekongkol di sini Tania." "Bohong banget sih." Tania berdiri. "Mau kemana.?" "Ya beres-beres barang. Punya aku belum selesai di bereskan." "Udah Tania. Barang Lo sudah selesai gue beresin." Sorak Amel dari luar. Tania dan Bian langsung melirik ke luar. Dan di sana sudah berdiri Rian dan Amel. Di dekat keduanya ada barang-barang bawaan saat berangkat ke puncak. "Kenapa harus pulang? Kita masih punya banyak waktu di sini." Ucap Bian sembari menatap Amel Rian dan Tania secara bergantian. "Kamu itu demam. kamu nggak ngerasa kamu sakit?" "Aku baik-baik aja Tania. Kita masih punya banyak waktu di sini, Kenapa harus pulang." "Tapi kamu itu lagi sakit. puncak itu dingin Bian." "Aku tahu tapi aku baik-baik aja kok. kita masih punya banyak waktu di sini. kita masih bisa jalan-jalan di sini. kita masih bisa main-main di sini. Jadi kenapa harus pulang.?" "Tapi aku mau kamu pulang." "Kenapa? Ayolah Tania..." "Pulang Bian. Badan kamu itu panas." "Semua makhluk hidup badannya pasti panas." Jawab Bian semakin membuat Tania kesal. "Ih, bandel banget sih! Pokoknya aku bilang pulang ya pulang. Rian kita pulang ke Jakarta." "Ha? Hei, kita pulangnya sore aja ya." "Sekarang Bian." "Tania..." "Kamu lupa kalau kamu itu harus cepat sembuh biar bisa baku hantam sama aku!!" Bian terdiam. Sepertinya ia benar-benar tidak bisa membantah Tania. Daripada terjadi keributan yang lebih heboh lagi, Bian akhirnya memilih untuk pasrah. Padahal Ia sudah memikirkan banyak list tempat yang ingin ia tuju bersama Tania. "Sampai siang aja gimana?" Bian mencoba menawarkan sekali lagi, namun jawaban Tania tetap sama, yaitu, "Pulang Bian!!" Keributan kecil itu membuat Rian dan Amel yang berdiri memperlihatkan dari luar langsung gemas. Interaksi yang tanpa Bian serta Tania sadari, itu menjadi interaksi yang membuat banyak orang gemas dan iri. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN