Setelah perdebatan kecil yang seharusnya tak penting, Bian akhirnya mengalah. Namun karena kondisi Bian tak memungkinkan untuk mengendarai mobil, alhasil Tania Kembali ke mobil Amel dan Rian yang mengendarai mobil Bian. Perjalanan mereka ke Jakarta cukup lancar. Namun hanya ada beberapa hal yang sedikit memperlambat yaitu Bian yang beberapa kali muntah yang mengharuskan Rian berhenti dipinggir jalan.
Setelah Mobil Bian masuk lebih dulu di halaman rumahnya, mobil Amel pun ikut menyusul masuk ke dalam.
Rian membantu Bian untuk masuk ke dalam kamar sementara Tania langsung berlari menuju dapur. Menyiapkan air hangat untuk diminum oleh Bian nanti.
"Panggil dokter om?" Tanya Rian.
Bian menggeleng, "Nggak usah. Ini karena kopi tadi pagi." Ucap Bian.
"Kopi? Kopi apa?" Tania masuk ke dalam kamar sembari membawa segelas air hangat.
Rian langsung menutup mulutnya rapat-rapat dan melangkah mundur pamit keluar. Ia tak mau menerima amukan dari Tania.
Sementara Tania menyerahkan air tersebut pada Bian. "Kopi apaan sih?" Tanya Tania dengan tatapan penuh selidik yang tanpa Tania sadari Gadis itu sudah bersikap seperti kekasih Bian saja.
"Semalam aku nggak tidur. paginya aku bikin kopi. makanya perut aku nggak terima." Ceritanya.
Tania berdecak, "Cari mati ya kamu. Kalau perut kosong itu yang diminum bukan kopi, tapi air putih. Habis itu sarapan. kayak buah kek, ini minum kopi."cerewet Tania yang hanya dibalas dengan senyuman termanis oleh Bian.
Bian senang Tania memperhatikannya seperti ini. Ia mencoba untuk duduk lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur.
Ia memperhatikan Tania tanpa melenyapkan senyum manis itu dari bibirnya.
"Kalau aku tahu kamu se-menggemaskan ini saat marah, mungkin dari dulu aku bilang kalau aku ini Rian yang kamu cari." Ucap Bian sembari menggombal membuat Tania mendengus kesal.
"Jangan kamu pikir dengan gombalan kamu itu, aku bisa maafin kamu gitu aja. Nggak semudah itu om." Ucap Tania.
Bian tertawa kecil. "Aku tahu. tunggu aku sembuh dulu ya. habis itu kita baku hantam."
"Ch! Harus. Kamu sia-siain waktu aku yang udah terbuang beberapa minggu ini hanya untuk nyari orang yang sebenarnya sudah ketemu."
"Iya Tania. Kamu kok lucu ya kalau lagi marah."
"Jangan ngegombal, nggak mempan.
"Hahahah. Iya iya." Bian menarik nafas panjang dan melepaskannya secara perlahan. Hatinya benar-benar lega melihat Tania sudah tahu siapa dirinya. Dan Gadis itu tidak marah padanya.
Bian tersenyum manis menatap Tania membuat Tania menatapnya bingung, "ngapain senyum-senyum gitu lihat aku?"
"Nggak, Kamu itu cantik."
"Dih! Udah tua Om"
"Hahahaha. Kita itu cuma beda 5 tahun Tania."
"Sama aja Om itu udah tua."
"Bian..." ucapnya
"Nggak mau. aku mau panggil kamu om."
"Emang kamu Mau jadi sugar baby aku?"
Tania membola, "Su...sugar apa?"
"Sugar baby Tania. "
"Ih, apaan sih. otak kamu tuh mesum."
"Hah Kok m***m. Kan aku cuma minta kamu buat jadi sugar baby-nya aku. kok sampai dibilang m***m?"
"Ya sama aja kan. aku tahu loh Apa itu sugar baby."
"Apa emangnya?" tanya Bian dengan tatapan menantang. Pertanyaan menantang itu membuat Tania seketika terdiam. "Hm? Kenapa diam?" Tanya Bian namun tetap tak dijawab oleh Tania.
Sebenarnya bukannya Tania tak ingin menjawabnya, hanya saja ia yakin semakin ia jawab, pria di depannya ini akan semakin memiliki cara untuk menggodanya. Padahal saat ini ia harus konsisten dengan dirinya sendiri yaitu belum memaafkan Bian karena pria itu sudah berbohong padanya.
Tania menatap Bian dengan tatapan berani. Ia mengangkat sedikit wajahnya ke atas mendongakkan tatapannya pada Bian. "Pokoknya apapun yang terjadi, aku nggak akan maafin kamu sebelum kamu sembuh Dan kita baku hantam. Tapi ada syaratnya, kamu nggak boleh balas. Cukup aku yang pukul kamu sepuas aku."
Bian meringis, "tapi jangan keras-keras." Ucapnya dengan nada manja.
"Terserah aku dong. Yang namanya samsak harus terima sekuat apapun orang pukul dia."
Bian memandang Dengan tatapan merajuk dan tak lupa puppy eyes nya, "Kamu tega?" Rajuknya.
"Ih, apa-apaan itu tatapannya? Maaf om, nggak mempan."
"Hahahaha. Oke, aku tanya, kamu tega?"
"Apanya?"
"Pukul aku."
"Tega. Tega banget jika yang aku pukul itu kamu."
Bian menautkan alisnya, "Oke aku terima, tapi setelah itu kamu harus maafin aku."
"Tergantung."
"Kok tergantung. kan kamu udah pukul aku. Sakit tahu Tania."
"Dih! Dipukul aja belum. Lagian ni ya, Tergantung seberapa puas aku mukul kamu. kalau aku nggak puas ya aku lanjutin lagi."
"Kalau pukulan kamu itu bikin aku mati gimana "Tania terdiam. "Kalau kamu pukul aku sepuas kamu dan sekeras yang kamu bisa setelah itu aku cedera gimana?"
"Ck! Jangan lebai Bian. Kamu itu cuma..."
"Kamu cemas ya?"
"Ha??"
"Kamu cemas kan? Pasti Lagi mikir ulang buat mukul aku kan?"
Tania mendadak gemas. Tanpa harus menunggu sampai Bian sembuh, Tania langsung melampiaskan kekesalannya saat itu juga. Ia memukul Bian dengan bertubi-tubi. Tak peduli Bian yang kesakitan, Tania terus memukul Bian.
"Kamu ya. Kamu nggak tahu aku lagi kesal sama kamu. Masih kamu pancing. Kamu, iiiihhhhh.. bikin kesaaall.."
"Aww sakit Tania. Aw, hei sakit!"
"Bodo, aku nggak peduli. Aku kesal sama kamu. Aku marah sama kamu. Kamu bohongi aku. Kamu bikin aku kayak badut yang terus cariin kamu, aku..." Pukulan Tania terhenti. Ia ngos-ngosan dan akhirnya tertunduk.
Ia terisak. Tidak, Tania sudah tergugu. Isakannya bahkan terdengar menyakitkan. Ia meremas lantai dengan kuatnya. Bian juga ikut terdiam menatap Tania. Ia benar-benar merasa bodoh.
"Tania..." Bian mencoba merangkul Tania namun langsung ditepis oleh gadis tersebut. "Aku nggak tahu apa salah aku. Jauh-jauh dari Malaysia ke Indonesia hanya untuk mencari orang yang selalu aku pikirkan sejak sepuluh tahun yang lalu. Aku...aku bodoh. Aku..."
"Nggak. Tania, aku minta maaf. Aku salah aku tahu aku salah. Aku yang bodoh Tania. Aku minta maaf. Hei..." Bian menangkup wajah Tania yang sudah basah karena air mata dan sedikit ingusnya.
Bian menghapus air mata Tania bahkan mencubit hidung Tania untuk membersihkan ingus gadis tersebut, "Jorok ih." Ucap Bian yang menghapus ingus Tania dengan tangannya.
"Hikss..hiksss. kamu..."
Bian kembali mencubit hidung Tania dan kali ini justru membuat Tania kesal. "Iiihh, aku lagi kesal sama kamu kenapa hidung aku dicubitin terus. Hikss.."
"Hehehe. Gemes banget sih kalau lagi nangis gini."
"Iiihhh Bian!"
"Iya iya. Maaf ya. Aku benar-benar minta maaf. Apa yang bisa aku lakukan untuk dapat maaf dari kamu?"
Tania menatap lekat mata Bian sembari terus terisak. Bian masih terus menghapus air mata Tania.
"Kamu harus beliin aku makanan yang banyak."
Bian seketika tersenyum cerah, "Hanya itu?"
"Ajak keliling Indonesia."
"Terus?"
Ditantang seperti itu, Tania langsung memikirkan apa yang dia inginkan untuk menguras semua uang Bian.
"Aku mau shopping pakai uang kamu, makan yang banyak, beli makanan mahal, jalan-jalan keliling dunia pakai uang kamu, aku..." Tania terdiam saat Bian tiba-tiba menyodorkan sebuah black card padanya.
"Ini buat kamu. Kamu simpan ya. Beli apapun yang kamu mau. Yang aku tahu sekarang, aku punya alasan untuk kerja keras..."
Tania membola seketika saat kartu hitam legam itu terpampang di depan matanya.
*****