Queeny masih berada di Bandung bersama teman-temannya setelah kejadian di tengah aktifitas membuatnya harus gagal menikmati liburan. Namun, meskipun teman-temannya sudah mulai kuliah Marlina dan Agung masih betah menjaga Queeny. Queeny masih berada di rumah sakit dengan penjagaan ketat dokter dan perawat.
Teman-temannya Queeny selalu menjaganya. Beberapa ada yang berniat pulang, tapi mereka belum yakin untuk meninggalkan Queeny sendirian.
Pagi ini Queeny bersama dengan Marlina di ruangan inapnya. Marlina membawa semangkuk bubur di tangannya yang akan suapkan kepada Queeny.
"Kadang, lo manja juga, ya," kata Marlina emmbuat Queeny menyeringai.
"Kalau nggak mau nyuapin ya nggak usah," sahut Queeny dengan ekspresi cemberut.
"Bercanda ya elah." Marlina tertawa. Queeny hanya menanggapi dengan dengusan singkat.
Marlina menyuapi Queeny hingga beberapa suapan. Queeny merasa perutnya berkontransi aneh. Dia menahan untuk tidak muntah.
"Kenapa?" tanya Marlina yang sudah curiga dengan ekspresi aneh Queeny dan wajahnya yang memerah.
Queeny menggeleng. Tak sanggup membuka mulut karena masih berusaha menelan buburnya.
"Jangan-jangan mual lagi," tebak Marlina. Queeny buru-buru menggelengkan kepala, setengah tersenyum.
"Udah aja, Mar. Aku udah nggak lapar." Queeny menghentikan suapan ke delapan yang ingin Marlina sodorkan ke mulutnya.
"Tapi ini tinggal dikit," desak Marlina.
"Nggak usah. Gue udah kenyang banget." Queeny menodorng suapan Marlina.
"Yaudah. Nih, minum!" Marlina memberikan segelas air putih kepada Queeny.
Dengan senang hati Queeny menerimanya. Tangannya yang masih terinfus terlihat bergetar.
"Dingin ya?" tanya Marlina membuat Queeny merasa begitu diperhatikan. Mendadak Queeny merasa sangat beruntung punya teman sebaik Marlina yang selalu ada setiap dia dalam keadaan susah maupun senang.
"Sebentar lagi dokter akan ke sini. Lo nggak mau minum obat dulu, gitu? Biar dikira rajin sama dokter?" Marlina menggoda Queeny agar mau meminum obat yang sudah disarankan dokter.
"Nggak, ah. Ngapain juga gue curi-curi perhatian dokter."
"Dia masih muda, loh. Belum menikah," bisik Marlina dengan nada mencurigakan.
"Mar, apa-apaan sih."
Marlina tertawa geli melihat ekspresi menegur di wajah Queeny.
Obrolan singkat mereka terputus ketika dua orang masuk ke dalam ruangan. Mereka adalah Agung dan Nasir. Ada sebuah paperback besar di tangan Agung. Marlina menatap penasaran.
"Apa lihat-lihat?" tanya Agung ketika Marlina tak kunjung mengalihkan perhatiannya dari paperback di tangan Agung.
"Cuma lihat. Memangnya nggak boleh?" Marlina mencibir.
"Ini buat Queeny bukan lo." Agung menyodorkan paperback itu kepada Queeny.
"Halah, sok peduli banget sih," sindir Marlina.
Queeny meraih paperback dari tangan Agung untuk menghentikan pertengkaran singkat kedua temannya. Dia mengintip ke dalam paper back. Ada buah-buahan segar yang tertata rapi di sana.
"Makasih, Agung. Jadi repot."
"Nggak. Nggak repot, kok," sahut Agung. Tersenyum malu.
"Oh ya, sebenarnya kami mau pamitan balik ke Jakarta," jelas Nasir yang sejak tadi hanya memperhatikan percakapan teman-temannya.
Queeny mengangguk mengerti. "Oh ya, nggak papa. Hati-hati, ya."
"Nggak papa kan, kalau kita balik dulu?" tanya Agung memastikan. "Soalnya orang tua udah nyariin."
Queeny tertawa kecil. "Iya, pulang aja. Halah kalian udah ngomong pulang, tapi nggak jadi terus."
"Hahah, kasian sama lo. Tapi, kali ini beneran kota mau pulang hari ini," jelas Nasir.
Queeny mengangguk setuju. "Iya iya, hati-hati di jalan ya."
"Lo juga cepat sembuh ya, Queen," kata Agung dengan ekspresi peduli.
Queeny mengangguk mengharagai perhatian Agung.
"Gue gimana? Sendirian?" tanya Marlina yang merasa kesal karena tidak diajak berdiskusi tentang jadwal pulang ini.
"Lo nggak usah pulang. Sini aja sama Pak Dokter yang lo taksir itu!" perintah Agung membuat Marlina membelalak marah.
"Semangat terus, Queeny. Kita balik dulu, ya," pesan Nasir sambil menjabat tangan lemas Queeny yang terpasang infus.
Nasir dan Agung keluar dari ruangan beberapa saat kemudian. Marlina memeriksa ponselnya untuk mencari kabar, tapi orang tuanya sama sekali tidak peduli kalau dia belum pulang padahal seharusnya dia sudah sampai di Jakarta lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Marlina merasa mengantuk, begitu pula Queeny. Mereka menguap hampir bersamaan.
"Mana sih, dokter gantengnya. Kok belum datang-datang?" gerutu Marlina sambil sesekali melirik ke arah pintu masuk ruangan.
Queeny sudah mengubah posisinya menjadi tiduran. Dia menatap kegelisahan di wajah Marlina.
"Halah bang Arga mau dikemanain?" selorok Queeny.
"Yakali kan gue masoh jomblo belum terikat status apapun, jadi hebas dong!"
"Lo beneran nggak papa nemenin gue?" tanya Queeny.
Marlina menoleh dengan ekspresi tenang. "Nggak papa, kok. Gue akan jagain lo sampai sembuh."
"Tapi lo harus kuliah," sahut Queeny.
"Iya, gue tau. Tapi kalau gue pergi, lo sama siapa?"
Queeny berdecak. Sudah menebak Marlina akan menjawab seperti itu. Queeny sudah tau betapa besar perhatian yang Marlina berikan padanya hingga kepikiran sejauh itu.
"Tenang aja, gue bisa jaga diri, kok. Lagi pula, gue cuma pusing dan mual aja. Nggak perlu penjagaan ketat dan kuliah lo lebih penting."
Ponsel Marlina bergetar, tanda sebuah pesan masuk. Itu adalah teman-temannya yang menanyakan tentang tugas yang harus dia kerjakan. Marlina teringat dia masih punya banyak tugas yang harus dikerjakan.
"Siapa?" tanya Queeny ketika Marlina menatap gelisah ke dalam layar ponselnya.
"Teman kampus."
"Tumben. Ada apa?"
"Mereka bilang mereka mau nyontek tugas gue, padahal gue juga belum ngerjain."
Queeny menghela napas. "Tuh, kan, apa gue bilang. Lo dibutuhin di kampus. Mending lo balik aja."
"T-tapi lo gimana?" Marlina menautkan alis.
"Gue? Nggak usah khawatir. Gue ada di kota kelahiran. Gue aman di sini."
Marlina menghela napas pasrah. "Oke, gue balik nanti sore."
"Berani kan? Ke Jakarta sendiri?" tanya Marlina dengan nada menggoda.
"Berani lah. Gue kan pemberani."
Marlina mengetik sesuatu di layar ponselnya hingga beberapa menit. Queeny menunggu hingga Marlina meletakkan ponselnya lagi.
"Siapa, Mar?" tanya Queeny.
"Katanya, ada kendala di jalan. Agung sama si Nasir jadi pulang pagi ini."
"Kenapa?"
Marlina mengedikkan bahu. Memeriksa ponselnya lagi untuk melihat balasan dari Agung. "Nggak tau tuh, nggak jelas banget Agung kasih alasannya. Katanya mereka mau mampir dulu, lah. Katanya ban mobil bocor, lah."
"Lo chatan sama Nasir?" tebak Queeny membuat Marlina mengalihkan perhatiannya kepada Queeny.
"Iya, kenapa?" Marlina menautkan alis.
"Aneh, ya. Kalau di dunia nyata sering berantem. Tapi kalau di dunia maya akrab banget."
Marlina menggeleng kecil. "Enggak juga, sih. Gue tau kabar dia cuma dari postingan story dia aja."
Queeny tertawa menggoda. Sayangnya itu tidak berhasil membuat Marlina baper. Justru Marlina memilih untuk mengubah topik pembicaraan.
"Gimana sama beasiswa ke Turki itu? Ada kabar?" tanya Marlina.
"Ada. Minggu depan ada wawancara eksklusif sama pihak beasiswa di Jakarta."
Marlina menatap terperangah. "Itu artinya lo harus ke Jakarta lagi?"
Queeny mengangguk dengan tatapan malas. "Iya, gue harus balik ke Jakarta lagi buat wawancara. Nanti balik lagi ke Bandung, terus balik lagi ke Jakarta. Gitu terus. Pantesan kalau gue mual-mual kan, soalnya bolak-balik terus."
Marlina tertawa. "Hebat lo bisa sampai tahap wawancara. Sebentar lagi lo akan jadi warga Turki beneran."
Queeny ikut tertawa melihat keceriaan di waja Marlina. "Doain aja, ya. Sesi wawancara ini ketat soalnya, dan lo tau keadaan gue kan?"
Marlina memperhatikan tubuh ringkih Queeny karena sakit. "Makanya, lo sembuh dulu."
"Iya, besok gue pasti sembuh kok."
Marlina memeriksa ponselnya lagi, tapi belum ada jawaban dari Nasir.
"Kalau lo mau balik ke Jakarta lagi, kenapa nggak sekalian bareng aja?"
Queeny berdecak. "Emangnya lo mau nungguin gue seminggu lagi?"
Marlina menggeleng. "Enggak juga sih."
Drtt ....
Marlina menoleh ke arah ponselnya. Terlihat paggilan dari Agung. Marlina buru-buru menjawab panggilan itu. Queeny memperhatikan sambil tersenyum tengil.
"Halo!" sapa Marlina. Dia terlihat mendengar ucapan penelpon dengan fokus. Queeny tidak berani bertanya meskipun dalam kepalanya sudah muncul berbagai pertanyaan yang ingin ia ketahui jawabannya.
Satu menit setelah Marlina menjawab dengan anggukan dan pernyataan setuju, akhirnya panggilan berakhir.
Queeny menatap penasaran. "Kenapa?"
"Kata Agung, kalau gue mau ikut pulang sekarang, gue harus nyusul mereka ke bandara sekarang."
Marlina bangkit dari duduknya. "Nggak papa, kan? Gue pulang dulu?"
Queeny mengangguk. "Nggak papa."
Marlina memeluk Queeny sekilas. "Cepet sembuh ya, cantik!" pesan Marlina membuat Queeny tertawa.
"Iya. Hati-hati di jalan ya cantik!"
Marlina meraih barang-barangnya dan buru-buru meninggalkan rumah sakit sebelum Agung dan yang lain meninggalkannya.