Test Wawancara

1273 Kata
"Beneran kamu sudah merasa baikan, nak?" tanya Sarifah ketika Queeny bersiap-siap untuk pergi ke Jakarta seminggu kemudian. Queeny memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar. "Iya, Umi." Sarifah mengecup puncak kepala Queeny. "Tapi kamu baru saja sembuh." "Kalau Queeny nggak berangkat sekarang, beasiswa Queeny gimana? Queeny jadi salah satu dari sedikit orang yang beruntung bisa sampai ke titik ini, masa Queeny harus sia-siain." "Ya sudah, jaga diri baik-baik. Apa Umi perlu suruh orang buat jaga kamu?" Queeny tertawa kecil. "Memangnya Queeny artis, perlu dijaga-jaga?" Umi duduk di samping Queeny. "Umi lagi nggak bercanda. Melihat keadaan kamu yang ... kacau ini, kamu butuh penjagaan. Kamu tau tidak ada yang menjagamu lagi di Jakarta sana." Umi baru saja ingin menyebut nama Yusuf, tapi dia urung. Queeny tau apa maksud ibunya. "Iya, Queeny ngerti. Queeny kan udah berkali-kali bilang kalau Queeny bisa jaga diri." Umi menghela napas pasrah. "Entah kenapa naluri seorang ibu memang seperti ini, nak. Khawatir dengan keselamatan anaknya. Kalau kamu jadi ibu, kamu akan tau nanti." Queeny langsung menyiutkan senyumnya. Dia buru-buru memasukkan seluruh pakainnya ke dalam tas. "Queeny mau ke wc dulu." Umi membiarkan Queeny meninggalkannya untuk berdalih dari percakapan yang menjurus ke kehamilan Queeny. Entah kenapa Umi selalu melihat Queeny menghindar setiap kali Umi berusaha untuk membicarakan tentang anak. Queeny akhirnya berangkat tiga jam kemudian ke stasiun kereta api. Umi dan Abinya mengantar hingga stasiun. Queeny melambaikan tangan dari arah jendela saat kereta api mulai berjalan. Kereta api melaju seperti kilat. Queeny akhinya sendirian. Bunda dan Uminya berada di belakang sana, kembali ke rumah dengan perasaan lega sekaligus cemas. Queeny sudah menghubungi Marlina bahwa dia akan sampai di Jakarta kurang lebih dalam waktu tiga jam. Dia akan kembali ke kampusnya untuk mengurus surat-surat kepindahan. Queeny tidak pernah merasa sesemangat ini sejak terakhir kali dia merasa bahagia. Pukul sebelas siang Queeny akhirnya tiba di stasiun Jakarta. Dia turun dengan koper kecil di tangannya. Menatap ke sekeliling stasiun untuk mencari wajah Marlina yang sudah berjanji untuk menjemputnya. "Mana sih, nih anak?" gerutu Queeny. Berjalan berputar-putar di sekitar stasiun, tetapi belum juga menemukan sosok Marlina. "Jangan-jangan dia bohong." Queeny memastikan dari dalam telepon. Namun Marlina juga tidak menjawab telepon darinya. 'Maaf, Queen. Gue ada kelas' pesan Marlina lewat chat lima menit setelah Queeny berputar-putar sekitar stasiun untuk mencarinya. "Dasar bocah," umpat Queeny kehilangan kesabaran. "Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?" Queeny membalas pesan Marlina dengan emosi menggebu-gebu. Queeny akhirnya keluar stasiun sendirian. Sebelumnya dia sudah berharap bisa mengobrol dengan Marlina di perjalanan menuju hotel pesanannya, tapi ternyata Marlina cuma PHP. Kesendirian tidak membuat Queeny sedih. Dia tetap merasa bersemangat, terutama untuk sesi wawancara yang akan ia ikuti sore ini. *** Tok tok ... Queeny menatap pintu masuk ruangannya. Kali ini dia berada di sebuah hotel dan sangat heran mendengar suara ketukan pintu padahal biasanya pelayan hotel akan lebih dulu menelfonnya jika ingin datang. Queeny membuka pintu dengan perasaan cemas. Rupanya sosok itu adalah Marlina. "Mar ..." Marlina lebih dulu memeluk Queeny dan tertawa bahagia di ambang pintu. "Gimana kabar lo?" Queeny berusaha melepaskan diri dari dekapan pengap Marlina. "B-baik." "Gue kangen banget. Udah sehat, kan?" Marlina memeriksa penampilan Queeny. "Jangan sakit-sakit lagi, ya." "Iya." Queeny mengajak Marlina untuk masuk ke ruangan sebelum mereka mengobrol. Marlina mendengarkan seluruh rencana Queeny. Mereka sibuk mengobrol di atas tempat tidur sampai lupa jam sudah menunjukkan pukul satu siang. "Yaampun, gue ada kelas." Marlina berdiri kelabakan begitu menyadari waktu yang dia habiskan untuk mengobrol. "Gue ikut ke kampus, yuk." "Mau ngurus surat pindahan?" tebak Marlina. Queeny memperbaiki penampilannya selama beberapa menit. Mereka berdua akhirnya keluar dari kamar. Marlina sudah tak sabar sampai di kampus. Dia takut telat seperti beberap hari lalu. Dosen tidak pernah mengajaknya bicara lagi setelah peristiwa itu. Kampus tempat Queeny pernah menimba ilmu terlihat lebih bersejarah ketika Queeny sampai di sana. Kampus ini penuh kenangan yang tak terlupakan. Sayangnya, dia tidak punya berjalan-jalan keliling untuk mengenang masa-masa indahnya. Alih-alih jalan-jalan, Queeny harus pergi ke ruang rektor dan memanfaatkan waktu singkatnya untuk mengurus kepindahannya ke kampus lain. Queeny melakukan itu sendirian karena Marlina masuk kelas sore. Dia bersyukur tidak bertemu orang-orang yang selama ini mengganggu ketenangannya di kampus. Lebih baik tidak bertemu mereka daripada Queeny kepikiran tentang masa lalu lagi. "Halo, selamat siang!" sapa asisten rektor yang berdiri di ambang pintu. "Sudah ada janji?" "Sudah," sahut Queeny lalu diperbolehkan untuk masuk ke dalam ruangan. Selama hampir satu jam, Queeny menghabiskan waktu di sana. Dia akhirnya mendapatkan surat rekomendasi dan beberapa surat penitng lainnya. Secara tertulis dan resmi Queeny telah keluar dari kampus ini dan diperbolehkan untuk mendaftar ke kampus lain. Queeny merasa sangat lega semuanya berjalan dengan lancar. Tinggal sesi wawancara yang harus ia ikuti beberapa saat lagi. Itu yang paling menguras rasa percaya diri. Queeny menuju ke lokasi sesi wawancara yang sudah diberikan dari pihak beasiswa. Di tengah perjalanan menuju ke sana, dia tidak berhenti menghafalkan jawaban-jawaban yang sudah dia siapkan. Ada beberapa pertanyaan yang Queeny cari di internet agar dia tidak kaget ketika dia ditanya secara langsung oleh pihak beasiswa. Ada sekitar 150 peserta mahasiswa yang harus mengikuti sesi wawancara. Beberapa di antara mereka akan gugur. Sangat sulit membandingkan begitu banyak peserta yang ikut mendaftar sebelum sesi wawancara diumumkan. Ada lebih dari 15 ribu siswa yang ditolak di seleksi sebelumnya. Queeny tidak mau kesempatannya kali ini sia-sia. Queeny mendapat giliran nomor tujuh puluh sembilan. Dia harus menunggu hingga petang tiba. Sembari menunggu, dia mengenal beberapa peserta yang juga berasal dari Bandung. Queeny merasa tidak sendiri lagi. Semua peserta beasiswa sangat suportif dan optimis, seperti itulah dirinya seharusnya. Tepat pukul setengah tujuh malam, Queeny dipanggil ke dalam ruangan untuk melakukan sesi wawancara yang sudah dia tunggu selama beberapa hari terakhir. Dia akan berjuang untuk mendapatkan kesempatan ini. Dia tidak ingin membiarkan masa depannya hancur seperti apa yang pernah ia alami. Ada lima orang yang duduk di meja masing-masing dengan ekspresi serius. Mereka sedang menuliskan sesuatu di atas kertas ketika Queeny masuk dengan perasaan tegang. Queeny duduk di tengah kursi yang sudah disediakan. Jantungnya berdetak tak normal, lebih parah daripada ketika dia sedang jatuh cinta. Ini benar-benar akan menentukan masa depannya yang sesungguhnya. Wawancara yang Queeny ikuti berlangsung lancar. Queeny akan mendapatkan hasil dari seleksi terakhirnya dua minggu kemudian, tepat saat acara empat bulan kandungannya akan digelar di rumah. Queeny sudah kembali ke Bandung empat hari yang lalu. Dia lega sama sekali tidak bertemu dengan masa lalunya di Jakarta. Itu membuat suasana hati Queeny baik-baik saja. Marlina sudah berjanji akan datang di acara empat bulanannya, atau kalu berunutng sebelum Queeny membuka pengumuman hasil seleksi. Queeny merasa perlu ditemani orang-orang terdekatnya agar dia tidak merasa down jika saja hasil ujian itu agak mengecewakan. Namun Marlina belum juga sampai di Bandung ketika acara empat bulanan akan diadakan malam ini. Queeny menjadi agak gelisah. AKhir-akhir ini Marlina memang tidak bisa ditunggu, setiap kali ditunggu dia selalu berakhir mengecewakan. "Kenapa belum datang?" Queeny mengetik pesan untuk Marlina. "Kayaknya nggak bisa datang. Maaf banget." Queeny menghela napas kesal. Mungkin karena Marlina sudah berada di semester banyak, kesibukannya mulai bertambah. "Oke, nggak papa." "Kabarin kalau lolos, ya!" balas Marlina melalui chatt. Queeny menghembuskan napas. Rasa tegang menyelimuti tubuhnya. Segala bentuk kesalahan yang ia lakukan ketika wawancara, seperti salah mengucapkan kalimat atau kata-kata yang terbalik-balik, membuat Queeny overthinking. Bagaimana jika ternyata kesalahan yang ia lakukan lebih banyak daripada yang ia kira? Queeny memendam kegelisahan itu jauh di dalam lubuk hatinya. Dia tidak ingin uminya curiga dia sedih karena acara empat bulanan alih-alih karena pengumuman beasiswa. Queeny meraih laptopnya dengan perasaan cemas. Sudah waktunya dia mengecek email untuk mencari tau apakah dia lolos atau tidak. Queen menggigit bibir bawah. Memeriksa layar laptopnya yang berubah begitu horror. Apapun yang ada di dalam sana, adalah penentuan masa depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN