13

1781 Kata
“Raja sayaaaanggg..” panggil Jana dengan nada aneh yang selalu membuat Raja menyipit akhir-akhir ini. Sejak keduanya tidak mendapatkan hasil apa-apa setelah terbang ke Kalimantan, Jana menganggap bahwa mereka sudah sangat dekat. Tentu saja bukan dekat versi Raja, tapi versi gadis itu. Jana akan muncul kapan saja dan dimana saja dan pasti akan mengajak jalan. Kadang Raja menyesali janji yang ia buat hari itu. “Nek, lo ga liat gue lagi pengen tidur siang?” tanya Raja. Yap, kamu tidak salah dengar, Raja memang sudah mengakuinya sebagai Nenek. Kelakuannya persis Nenek-nenek sih. Mana bawel banget. Lagian mana ada cowok yang menemani cewek yang dia sukai keluar tiap hari hanya untuk menemukan jodoh. “Nenek traktir Starbucks biar ga ngantuk. Hayuk! Anak bujang ga boleh malas-malasan. Gimana bisa ketemu jodoh kalo kamu selalu di rumah begini?” “Jodoh lo kali,” cibir Raja tapi Jana tidak peduli. Gadis itu masuk ke kamar Raja dengan riang gembira. Raja mengulurkan satu tangannya pada gadis itu yang tidak lagi merasa masuk ke kamar cucu laki-laki yang lebih tua darinya adalah sesuatu yang tabu. “Manja,” cibir Jana tapi tetap meraih tangan Raja tepat di telapak kemudian menarik pria yang tentu saja lebih berat darinya itu. Raja akui dirinya salah. Dia memang sengaja menarik balik Jana yang berniat membantunya bangun. Tapi hanya untuk membuat gadis itu kaget. Siapa yang menyangka jika Neneknya terlalu lemah. Di benak Raja, Jana hanya akan tertarik sampai beberapa centimeter ke depan. Tapi ternyata dia justru jatuh dan menimpa tubuh Raja. Ah, Raja tidak menginginkan kedekatan ini lagi. Hari terakhir ia menganggap Jana sebagai seorang perempuan adalah pagi itu di dapur. “Lo ngapain Nek?” tanya Raja saat merasakan sebelah tangan jana bertumpu pada d**a sebelah kanannya. Sedang wajahnya tepat berada di atas wajah Raja. Jangan ada yang berani berpikir bahwa Jana terlihat gugup atau bahkan malu-malu. “Ck, ini pelecehan namanya,” ucap Raja menangkap tangan Jana yang tidak sengaja bertumpu pada dadanya. Pasalnya si Nenek, entah apa yang terjadi di dalam kepalanya saat ini sehingga tanpa pikir panjang meremas d**a Raja. “Kamu dadanya sejak kapan kekar gini?” Jika Raja sempat gugup, Jana tentu tidak. Dia bahkan masih ingin menyentuh Raja di sana, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak salah menilai. “Lo jadi mau keluar atau engga?” Raja meletakkan telapak tangannya di bahu Jana kemudian mendorong agar gadis itu menjauh dari tubuhnya. Pintu kamar tentu terbuka lebar dan kalau pun ada Mama, Papa atau Nenek yang lewat, tidak ada satupun dari mereka yang akan berpikir anek-aneh. Raja sudah berdiri ketika Jana dengan tampang berpikirnya itu justru masih ingin berbaring di ranjang. Salah ya Raja memiliki otot di tubuhnya? Berdecih kesal, Raja kemudian berjalan menuju lemarinya untuk mengambil jaket hanya untuk berteriak kesal setelahnya. “Jana!!” begitu teriakannya setelah Jana menarik kaosnya ke atas hanya untuk memastikan entah apa pun itu. Kontan saja Raja memukul punggung tangan gadis itu. Bukannya beberapa saat yang lalu Nenek m***m ini masih di kasur sana? pikir Raja membatin. “Kamu teriak begitu kaya aku lagi mesumin kamu, tau, ga, Ja? Ini Nenek kamu sendiri! Sejak kapan kamu sebagus ini badannya? Kamu lagi pengen nyari perhatian anak gadis orang? Kenapa ga cerita lagi dekat sama sesecewek? Tante Rizka tau kamu lagi naksir cewek?” “Ga! Dan seseorang kali, bukan sesecewek.” “Ga ada atau ga tau?” tuntut Jana tidak peduli dengan koreksian baruan. Gadis itu sudah punya rencana yang Raja sendiri tidak akan bisa mengelak dengan mudah nantinya. “Ga ada.” “Sumpah?” “Sumpah,” ucap Raja kemudian menarik pergelangan tangan Jana keluar dari kamarnya. Sepanjang jalan dari kamar Raja ke lantai bawah, Jana terus saja menggoda cucunya itu tentang badannya serta menoel-noel otot yang menurutnya terlalu bagus untuk seseorang yang bahkan tidak bisa merayu satupun cewek. Bagi Rizka dan Mama mertuanya yang mendengar interaksi Jana dan Raja yang akhir-akhir ini lebih terlihat seperti dua orang kakak beradik itu, keduanya memang terdengar lucu. Teriakan kesal Raja karena Jana menekan-nekan tubuhnya dengan telunjuk gadis itu atau saat Jana melakukan hal yang sangat menjengkelkan baginya, kemudian tawa puas Jana karena berhasil mengganggu Raja membuat rumah mereka semakin terasa ramai. Hanya Raja seorang saja yang menyadari betapa menyedihkan dirinya berkat kalimat yang Jana ucapkan. Pasalnya gadis yang tidak bisa ia rayu adalah Jana, Nenek mudanya sendiri. “Ehem..” Jana menoleh dan menemukan Om Bilal yang sedang memangku tangan di d**a. “Om!” sapanya. “Batuk, Om?” tambah gadis itu. Bilal memutar bola matanya mendengar pertanyaan tidak penting barusan. Untuk ukuran gadis yang besar di Minang Bilal tau bahwa Jana jauh lebih peka dari pada Raja soal sindiran. Tapi sejak melupakan statusnya sendiri dan setiap hari memanggil Bilal dengan kata Om, Jana seperti sengaja berpura-pura polos. “Mau kemana kalian?” “Main,” jawab Jana semangat. “Ga boleh,”ucap Bilal tegas. “Kenapa ga boleh?” “Karena ga boleh. Suka-suka Om mau izinin atau engga,” ucap Bilal yang mulai kesal. Sejak dua bocah ini akrab, keduanya menjadi seperangai. Mereka sering pulang hampir tengah malam. Satu malam Jana akan membela cucunya dan menyalahkan dirinya sendiri lah yang menjadi penyebab mereka lupa waktu. Lalu saat pulang telat berikutnya Jana menyalahkan Raja. Begitu saja terus, mereka ganti-gantian menanggung kesalahan. “Aku selalu jagain Raja selama ini. Aku jamin dia ga main cewek, minuman keras apalagi judi.” Raja yang berada di samping Jana mendengus dan memutar bola matanya kesal. Selalu dirinya yang dijadikan alasan padahal Jana yang gemar sekali berada di luar. Tidak mendapat respons yang ia inginkan, Jana kemudian menarik lengan Raja mendekat. “Nih! Cuma gara-gara sering olahraga bareng akulah Raja bisa sekekar ini, Om.” Jana berkata sambil memeriksa otot lengan cucunya. Sayang sekali Raja langsung menepis tangan Jana dengan tanggannya yang lain. Tidak suka sekali dengan kalimat barusan yang bisa punya makna ganda. Dan sama, Bilal juga tidak senang mendengar kalimat Jana barusan. Raja bisa diadili satu Sumatera kalau sempat macam-macam pada Nenek-nya sendiri. Itulah kenapa putra semata wayang Siti Jamilah tersebut memintta keduanya untuk duduk diam di rumah hari ini. Jika Raja dengan santai menuju Sofa kemudian menyibukkan diri dengan ponselnya, Jana justru memanjangkan mulut dan melipat tangan di d**a. “Om Bilal nyebelin hari ini,” ucapnya kemudian berjalan menghentak ke kamar. >>> Di dalam kamarnya Jana menggigit jari sambil mondar-mandir. Hari ini ia harus membuat Raja keluar dari rumah dan bertemu dengan Sabine di tempat yang mereka janjikan. “Sekali, dua kali mungkin gue bisa aja salah lihat. Tapi engga untuk yang ketiga kali,” ucap seseorang yang menghadang Jana. Gadis yang tampak lebih pendek darinya itu ternyata bisa membuat Jana yang lebih tinggi berjalan mundur ketakutan. “Sa-Sabine.. maksud lo apa?” tanya Jana melirik sekitar untuk mencari bantuan. “Kabur aja lagi kaya hari itu. Gue bisa langsung ngadu ke Mama. Terus Mama pasti langsung curhat ke Ayah lo.” “Orang tua kita sahabatan, cukup kita berdua aja yang musuhan. Ga usah bawa-bawa orang tua. Lo udah terlalu tua untuk ngadu ke orang tua kita soal apapun yang gue lakuin. Lagian apa urusannya sama elo?” tanya Jana. Sabine (baca Sabin)Arafah adalah putri dari teman SMA Ayah dan Mama Fay. Dia adalah putri pertama Mama Popon. Mama Popon adalah satu dari sahabat terdekat Ayah selain Mama Bian dan Papa Adri. Bahkan yang paling lama mengenal Ayah. Dan benar seperti yang Sabin barusan bilang, Mama Popon punya kecenderungan untuk melapor apapun pada Ayah. Itu lah kenapa Jana tidak berani mengulik masa lalu Fateh Ardan Mubarak pada orang-orang terdekatnya. Jana lebih memilih mengcari tau sendiri siapa Ibu kandungnya dari pada membuat Ayah bercerita hanya karena beliau mengetahui bahwa Jana sudah tau apa yang sudah disembunyikan darinya selama bertahun-tahun. Karena begini, kalau Ayah punya niat untuk bercerita, beliau sudah melakukannya dari kemaren-kemaren. “Urusannya sama gue? Lo ngerebut calon laki gue! Masih aja nanya,” ucap Sabine yang matanya sudah hampir copot dari sarangnya. “Shadiq punya aku ya, Sabine! Dia cintanya cuma sama aku.” “Shadiq punya gue! Eh, kok jadi Shadiq?” tanya Sabine bingung. “Ya karena tunanganku memang Shadiq. Kapan kamu kenal calon suamiku?” kini Jana yang menuntut ingin tau. Jana bisa langsung terbang ke Jerman hari ini juga jika ketahuan Shaqid punya hubungan dengan Sabine. Tuh, namanya juga janjian. Sama-sama diawali huruf S. Merasa dipermainkan, Sabine membentak Jana. Membuat orang-orang disekitar mereka melirik terang-terangan. Apalagi nada keduanya tidak normal sama sekali. Mendengar dua gadis cantik memperebutkan cowok tentu adalah hal yang sulit untuk dilewatkan. Tontonan gratis tidak pernah ada yang lebih seru dari dua orang yang memperebutkan satu cowok atau cewek. “Raja yang selalu lo tempelin kemana-mana dan sekarang lo ngaku kalo tunangan lo namanya Shadiq? Lo pikir gue bisa dibego-begoin?” “Oh Rajaa..” ucap Jana mengerti. Gadis itu mengelus d**a karena bukan tunangannya lah yang saat ini sedang Sabine permasalahkan. Jana paham bahwa hubungan dua orang yang terikat hubungan pernikahan saja bisa ada orang ketiganya apalagi hubungan Jana dan Shadiq. Hanya saja kalau orang ketiga tersebut adalah Sabine, Jana tentu merasa dipermalukan. Masa saingannya Sabine sih? Dan sekarang bagaimana caranya keluar dari rumah dengan izin Om Bilal? Pria paling sangar di rumah ini tetap harus mengizinkan mereka main atau Jana tidak akan berani keluar rumah. “Siapa bilang kita yang harus keluar?” tanya Jana dengan seringaian nya sendiri sebelum meraih ponselnya untuk mengetikkan beberapa kalimat. Satu setengah jam kemudian gadis itu tersenyum licik ketika satpam depan mengatakan ada tamu yang mencari Raja. “Siapa, Ja?” tanya Jana antusias seolah bukan dia lah yang merancang semua ini. “Selamat siang, Om, Tante,” sapa Sabine sambil membawa anak rambutnya ke belakang terlinga. “Ngapain lo kemari?!” tanya Raja tidak suka. “Hush! Ga sopan sama tamu. Kamu siapa? Aku Neneknya Raja,” ucap Jana mengulurkan tangannya. Kemaren gadis pengadu ini tidak percaya bahwa dia memang Nenek muda-nya Raja dan hari ini Jana mengenalkan diri di depan orang tua Raja langsung. “Aku Sabine, Nek,” ucap Sabine membawa punggung tangan Jana untuk dicium tapi Jana menarik tangannya menjauh. “Kamu ga berhak manggil aku Nenek karena tampang kamu lebih tua dariku. Cuma Raja aja yang boleh panggil Nenek,” ucap Jana ketus kemudian berbisik pada sang cucu. “Ini yang kamu bilang ga dekat sama seseorang?” “Raja yang tidak pernah menyangka bahwa dirinya sedang dijebak oleh dua orang yang tampak saling tidak kenal itu melotot pada keduanya. Pertama pada Jana yang menuduh Raja dan tentu saja pada Sabine Arafah yang sejak dulu selalu menggatal padanya. Kalau dia bukan anak dari teman baik orang tua sahabatnya yaitu Abizard, Raja tidak akan bisa sesabar ini pada Sabine yang begitu terobsesi padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN