Sudah hampir seminggu Kesha tak bisa fokus untuk ujian terbuka Universitas H. Konsentrasinya pecah akibat selembar kertas kumal berisi puisi tentang cowok musim panasnya hilang! Kesha lupa menaruhnya di mana ketika pulang dari kampus seminggu lalu. Parahnya, seluruh perasaannya tercurah ke dalam puisi itu! Sungguh memalukan jika ada yang menemukannya….!
Walaupun tak ada yang tahu bahwa yang dimaksud dalam puisi itu adalah Yuda, nama Kesha tertulis dengan tinta merah tepat di tengah gambar hati yang dipoles begitu indah. Mana nama lengkap lagi! Dasar ceroboh !
Hampir setiap hari Kesha keringat dingin memikirkannya. Walaupun tak ada yang membencinya tapi masih ada orang-orang iseng diluar sana. Kesha bisa mati malu kalau puisi itu sampai tersebar.
Semoga saja itu hanya rasa khawatir yang tak beralasan.
Harap Kesha was-was.
***
Sulit sekali menghapus pikiran yang mengganggunya dari selembar kertas lusuh yang kini sudah mencapai minggu ketiga. Sekalipun belum ada tanda-tanda yang menemukan dan menyebarnya sekedar iseng, hatinya belum saja tenang. Padahal, bisa saja kertas itu terjatuh dan terinjak-injak tanpa dipedulikan orang lain atau mungkin dianggap sampah—hal ini paling diharapakannya dan dibuang begitu saja. Itu yang diinginkannya daripada ada yang tahu isi hatinya pada seseorang. Isi puisinya sungguh konyol dan bodoh.
Di tengah mata kuliah Pak Darius, Kesha yang biasanya semangat dan berapi-api, kini terlihat seperti lilin kecil yang hampir padam di tengah genangan air yang makin meninggi.
Meskipun Jessy yang sudah mengikuti ujian SNMPTN kini terlihat ceria—yakin sekali dengan jawabannya, kondisi Kesha yang aneh tak luput dari matanya. Sempat ingin menegurnya seminggu lalu, namun dielaknya, berpikir bahwa Kesha pasti cerita padanya. Keadaan dengan apa yang diharapkan kadang tak selaras. Jessy yang sudah tak tahan kini bertanya penuh prihatin dan berusaha agar nada suaranya terdengar normal.
“Kesh, jika kau ada masalah, kau bisa berbagi denganku. Mungkin saja aku bisa membantumu?” ungkapnya, berusaha agar suaranya tak terdengar Pak Darius.
Kesha memalingkan wajahnya, menatap Jessy dengan raut wajah pucat, kekhawatirannya soal Jessy yang perhatian terjawab sudah. Ini topik yang paling ingin dihindarinya. Kesha masih diam, bergulat dengan pikirannya jika saja Jessy melontarkan pertanyaan yang sulit.
“Kau boleh bercerita apa saja. Kita, kan teman. Jangan kau pendam sendiri.” Jessy berpura-pura terlihat serius menulis rumus yang dipaparkan Pak Darius, tapi mulutnya komat-kamit berceloteh pada Kesha.
"Tidak. Aku sama sekali tak ada masalah. Tenang saja, dan... terima kasih atas perhatianmu." jelas Kesha, nada suarnya terdengar meragukan.
Jessy mengkerutkan kening.
“Baiklah. Tapi, jika kau ada masalah, ceritakan padaku, ok?” ujarnya mantap, tersenyum pada Kesha dengan lembut.
Kesha membalas senyuman Jessy. Baginya mustahil menceritakan masalahnya itu. bisa-bisa dia bakal ngamuk lagi.
Kesha menghela napas, pundaknya lemas, raut wajahnya letih sekali. Konyol membayangkan dirinya cemas memikirkan kertas kumal yang sudah hilang entah di mana dan membayangkan hal yang tidak-tidak hanya karena kertas? Please… konyol banget… sampai sekarang hal itu tak terjadi.
Tak mau ambil pusing lagi, Kesha berusaha fokus pada ujian terbuka itu. Semangatnya kembali berkobar. Dia harus lulus. Menjalankan rencananya semula. Ya. Itu satu-satunya hal yang jadi prioritasnya saat ini.
***
Tangan Kesha sibuk menari-nari di buku kecilnya, sekedar catatan tambahan kuliahnya, Kesha duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon hijau yang rindang, menghalaunya dari sinar matahari yang menyengat kulit. Di kedua telinganya terpasang headset yang bersambung dengan Ipod merah muda di sakunya.
“Dan… ini pakai rumus ini, hem… sulit juga… baiklah… lalu… ini…” Kesha berbicara sendiri, tenggelam dengan kesibukannya dengan rumus ekonomi di tangannya.
Sensasi aneh tiba-tiba menerjangnya. Kesha bagai mendengar suara air yang mengalir jernih, padahal di sana tak ada air mancur atau semacamnya. Lalu, bagai ada angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya dengan lembut sekali—siang itu lumayan panas, tak ada angin yang berhembus, rasa kantuk tanpa belas kasihan menangkapnya dalam sebuah kehangatan yang berpusing aneh dalam dirinya, ditambah bau yang sungguh wangi ini. Tanpa sadar, Kesha menutup mata, tak mau menyia-yiakan perasaan ganjil itu.
"Serius sekali kelihatannya?" suara yang berkomentar itu bagaikan denting gelas yang terdengar merdu di telinga Kesha, bagai bonus kecil di antara sensasi aneh yang dirasakannya, menggema mengisi hatinya.
Matanya terbuka.
Sebuah kemeja putih polos yang amat bersih berada di depannya. Kepalanya mendongak, berharap tebakannya salah.
“Hai?” denting gelas itu terdengar lagi.
Hampir saja Kesha memekik kaget. Dia pasti mimpi!
“Boleh…” sang pemilik suara denting gelas itu menuding bangku yang kosong di sisi Kesha dengan ujung mulutnya.
Kesha terdiam terpaku, tak mendengarkan perkataan itu.
“Boleh. Aku. Duduk. Di sampingmu?” tanya si pemakai kemeja putih itu lambat-lambat, kali ini telunjuk kanannya yang menuding bangku itu.