Cukup hampir kurang lebih dua jam ia membaca isinya, lagi-lagi hanya kata “oh” dan “ya” yang meluncur dari bibir mungilnya.
Bruk.
Dia menutup buku itu, tahu persis seperti apa yang dialami sahabatnya. Harusnya dia menceritakannya! Toh, Yuda juga suka padanya! Di dalam buku itu juga tertulis permintaan maafnya kepada Jessy yang tak tersampaikan.
Ibu Kesha datang membawakan senampan minuman.
“Andai saja aku bisa mengantar kepergiannya…” keluh Jessy.
“Ouh! Mungkin kau masih bisa bertemu dengannya. Keberangkatannya tertunda beberapa jam. Bibi tidak tahu pasti dia sudah berangkat, tapi mungkin masih keburu mengingat hujan lebat sekali.” jelas beliau, mengedikkan bahu dan menaruh nampan itu di tepi tempat tidur.
Secercah harapan muncul di benak Jessy. “Ya. Mungkin saja! Kalau begitu, saya pamit dulu!” Jessy berdiri dan merapikan rambutnya, dia tersenyum lepas.
"Ouh! Ya! hati-hati! hujan deras sekali diluar sana!” teriak beliau pada Jessy yang berlari menuruni tangga.
“Iya, Bi! Makasih!” teriaknya bersemangat.
Ibu Kesha hanya mengeleng-gelengkan kepalanya.
Sebelum menghentakkan pintu di belakangnya, dia menghubungi seseorang. “Halo? Yuda?”.
***
Kesha memasang tampang cemberut. Ini sudah hampir malam, tapi pesawatnya belum juga tiba. Kesal juga akhirnya, mungkin seharusnya ia pulang dulu.
Awan gelap masih menggantung di luar sana, hujannya sudah agak reda. Tapi, ini bukan jaminan pesawatnya akan tiba.
Bola matanya yang cemerlang menyapu isi bandara itu, berharap ada sedikit hiburan, orang yang terpeleset mungkin? Ah… kejam juga dirinya berpikir demikian. Dia mengerucutkan mulutnya. Bersandar di kursi sembari melipat tangan di d**a. Agak dingin juga sebenarnya.
“Pesawat tujuan Amerika sebentar lagi akan berangkat. Diharapkan para penumpang segera menuju tempat pemberangkatan.”
Sebuah suara memberitahukan informasi keberangkatannya.
Mukanya tiba-tiba berubah berlipat-lipat ketika tahu suara siapa itu. Jessy! Dia berbalik. Jessy tersenyum cengengesan berdiri sambil melambaikan tangan kanannya.
Oh… tidak… dia pasti marah sekali…
Pikirnya dramatis.
“Jessy! Maaf…” katanya memelas.
Jessy mengangkat bahu, tersenyum kecut kemudian menghampiri Kesha, duduk di sampingnya.
“Aku tahu semuanya… kau tak perlu minta maaf… aku tak akan malu punya teman sepertimu.” dia diam sejenak. “Kau cowok musim panas yang membuat dunia disekitarku berpusing aneh bagaikan dunia dongeng modern…” Jessy tiba-tiba mengutip puisi Kesha. Tersenyum aneh padanya.
“Ah… jangan hal itu lagi…” erang Kesha malu, menutup mata dengan jaketnya.
“Bagus, kok! Aku suka! Romantis banget! Hanya orang yang tak tahu puisi bagus saja yang menganggapnya vulg4r.” Katanya bangga.
“Benarkah?” Kesha melihat Jessy dari balik separuh jaketnya.
“Tentu. Jika saja Yuda tahu. Dia pasti senang ada seseorang sepertimu yang mencintainya. ” tangan Jessy menarik jaket yang menutupi separuh wajah Kesha.
“Mungkin… tapi dia pasti malu…” keluhnya.
“Benarkah?” ada nada meragukan dalam pertanyaannya.
“Ya… dia nggak punya alasan untuk menyukaiku…” katanya putus asa.
“Kesha. Kesha. Kau terlalu skeptis pada dirimu. Kau luar biasa. Kau tahu?” dia menepuk bahu sahabatnya.
“Trims…” Kesha tersenyum lembut, tapi hal itu tak akan mengubah kenyataan yang ada.
Mereka ngobrol cukup lama hampir 3 jam, hingga pemberitahuan dari pihak bandara mengumumkan keberangkatannya.
Kesampaian juga Jessy melambaikan tangannya, seperti yang diharapkannya.
“Kejutan kecil akan selalu ada untukmu, Kesh….” Ucapnya ngelantur, memandang Kesha menyerahkan kopernya untuk diperiksa.
Jessy berlalu pergi dengan langkah ceria, dia akan mengunjungi Kesha empat bulan lagi ke Amerika. Pikiran itu membuatnya tak sabar untuk melewati hari-harinya ke depannya.
***
Kesha menunjukkan tiketnya pada sang pramugari, dan ia menunjukkan kursi Kesha.
“Terima kasih.” ucapanya lembut.
Sang pramugari mengangguk tersenyum.