“Aku yang salah. Maaf.” katanya gugup. Air mata Kesha tanpa sadar menuruni pipinya.
“Hei.. kau…” Yuda hendak menghapus air matanya, namun ditepis secepat mungkin.
“Tidak…. Aku tak apa-apa. Maaf. Aku buru-buru.” Kesha terdengar sesenggukan.
"Puisi itu…. Aku—" belum sempat cowok musim panas itu menyelesaikan perkataannya, Kesha memberi isyarat untuk berhenti.
“Tidak masalah, aku tahu aku terlalu ceroboh. Maaf. Dan. Aku tahu puisiku terlalu vulgar. Aku salah. Memalukan saja.” Kesha pergi meninggalkan Yuda yang termenung sesaat.
“Apa? Tapi…!” Yuda terdiam, memandang Kesha yang berlari semakin jauh, menaiki tangga dan berbelok, menghilang dari jarak pandangnya. “tak ada yang salah denganmu…. Puisi itu bagus sekali… sangat romantis dan sarat pengorbanan… dan begitu penuh kesedihan cinta…” ucap Yuda, berbisik pada dirinya sendiri, suaranya terdengar berat. "Beruntung sekali cowok itu…" Yuda berjalan kembali dengan rasa putus asa yang tercoreng jelas di wajahnya.
Kesha tiba di depan pintu kamar sang Rektor, menghela napas berat sebelum membuka pintu.
Grek!
Suara pintu dibuka.***Entah ini baik atau buruk, sang Rektor memberinya hukuman yang tak terlalu berat atas puisinya yang sedikit atau agak vul*gar itu. Dia tak diberi hal yang memberatkan, tapi keberangkatannya dipercepat, sepuluh hari lagi ia akan berangkat ke Amerika. Segala urusan administrasinya bahkan dipermudah dan dipercepat! Sial atau beruntungkah ia? Kesha bingung memikirkannya.
Si pelakunya sudah tertangkap—ternyata peserta yang sempat protes sewaktu Kesha lulus ujian terbuka, dan teman si peserta itu yang menemukan puisi Kesha di meja perpustakaan, itu laporan dari penyelidik detektif rahasia kampus. Meskipun si pelaku sudah minta maaf, tetap saja Kesha tak luput dari hukuman karena membuat nama penerima beasiswa tercoreng.
Kesha juga sudah meminta maaf pada pihak Universitas H dan memberikannya kelonggaran dengan hukuman paper setebal 100 halaman—pihak universitas tak mau kehilangan anak seberbakat Kesha, syaratnya harus diselesaikan dalam seminggu setibanya di Amerika nanti.
Jessy menelepon beberapa kali ke rumahnya, tapi tak ada yang menjawab alias disengaja begitu agar menghindari telepon sahabatnya itu. Ia diskors dari kampus sampai hari keberangkannya, hukuman tambahan. Ia juga tak berani menghubungi Jessy duluan, takut temannya itu malu dan marah padanya.
Hari keberangkatan tiba, semua barang telah dikemas. Sebelum berangkat, Kesha duduk bertopang dagu dikasurnya yang empuk, memandang setiap sudut kamarnya yang bercat biru langit.
“Aku pasti akan merindukan semuanya….” ucapnya tanpa sadar.Sang ayah muncul dari belakang, memberikan isyarat untuk segera berangkat. Kesha mengangguk. Dia berdiri, berjalan menuju laci mungil di sisi tempat tidur, membukanya sehingga terlihat buku harian miliknya.Ia ingin meninggalkan perasaannya di sini.Jahat betul dia pergi tanpa pamit pada Jessy, sahabatnya sendiri. Tapi ini yang terbaik.*** Kesha meratapi nasibnya, pesawat yang akan ditumpanginya terhadang badai, mungkin sampai sore, tapi Kesha menolak untuk pulang kembali ke rumah hanya sekedar menunggu dan takut ketinggalan pesawat. Maka sang Ayah dan Ibunya hanya memberikan salam perpisahan semata, memberikan semangat bagi anak satu-satunya.Kesha duduk di kursi tunggu dengan pandangan mata menyapu bandara itu, tak masalah ia harus menunggu, toh, disini juga mulai hujan. Kesha menatap hujan yang deras itu, seperti menyapu habis masalahnya. Semua akan baik-baik saja. Harap Kesha dalam hati.***Jessy menekan-nekan bel rumah Kesha berkali-kali, yang keluar malah Ibunya, bukan makhluk pembuat puisi super romantis yang dipikirkan Jessy.
“Kesha, ada, Bi?” tanyanya, setengah tersenyum ceria.
Terkejut, sang ibu lalu menceritakan tentang keberangkatan Kesha yang dipercepat. Dan beliau juga tak tahu kalau Kesha tak memberitahu Jessy hal itu. Sebagai rasa bersalahnya, sang ibu mempersilahkannya masuk ke kamar anaknya. Berharap Kesha meninggalkan sesuatu, mungkin sepucuk surat bagi Jessy.
Sesampainya di kamar, ia tak menemukan apa-apa untuknya, bahkan sedikit pemberitahuannya semacam salam perpisahan juga tidak ada. Tidak ada sama sekali!
Jessy duduk di tepi kusen jendela, memandang pemandangan pepohonan yang bergoyang terkena hujan. Matanya bergerak liar silih berganti dari isi kamar dan pemandangan yang menenangkan itu.
Tanpa sadar Jessy melangkah menuju foto mereka berdua saat festival kampus dulu yang ada di atas laci mungil di ruangan itu. Dia meraih bingkai foto itu memandangnya muram, lalu berkata, "kau jahat sekali nggak pamitan denganku…."
Jessy cemberut, meletakkan bingkai itu kemudian diam sejenak tak melakukan apa-apa. Berpikir betapa teganya sahabat sejatinya pergi tanpa pamit, padahal ia sungguh berharap melambaikan tangan di bandara untuknya.
Jessy melirik laci mungil itu yang tak tertutup rapat melalui ujung matanya, sebelah keningnya terangkat. Senyum mungil terpasang wajahnya.
Mungkin sebagian orang akan menilainya kurang ajar karena membuka laci orang lain tanpa izin, tapi Kesha tak akan keberatan jika Jessy orangnya. Begitu pikirnya.
Di dalam laci bertumpuk beberapa foto mereka bersama ketika berlibur ke Bali, diraihnya dan dilihatnya selembar demi selembar. Jessy terkejut, dari sekian banyak foto mereka, ada satu makhluk aneh yang difoto oleh Kesha. Cowok dengan senyum super manis tengah ngobrol dengan beberapa temannya di samping perpustakaan. Tampaknya diambil secara diam-diam.
Ya! Dia Yuda! Teman Jessy. Melihat itu, ia memutar otaknya dan mulai mengaduk-aduk isi laci, ia pun menemukan buku harian Kesha. Agak ragu untuk membuka, dia tahu batas-batas untuk seenaknya di kamar orang lain, tapi jika ia tak mengetahui isi buku kecil itu, maka dia tak akan tahu apa yang terjadi.