BAB 32 - Following You (2)

1330 Kata
“Tristan!.” Ana memanggil namaku dengan suara yang nyaris seperti teriakan melengking, responnya sesuai dengan perkiraanku dan matanya terbelalak seolah akan keluar dari tempatnya. Pandangannya beralih pada Linda, Dina dan nenek lalu kembali padaku terheran-heran. Aku tidak bisa menyembunyikan kesombongan dari wajahku, bukankah seharusnya dia bisa melihatnya. “tadi Ana memutuskan untuk pergi lebih dulu karena masih ada pekerjaan yang harus ku urus, dia membelikan sesuatu tapi lupa membawanya dari New York.”Aku ingin terlihat jika kami benar-benar pasnagan yang sangat harmonis namun kemungkinan hanya aku yang bisa melakukannya karena Ana terlihat berbanding terbalik dariku. Matanya menyalak seperti anjing liar yang siap menerkam. Aku masuk lebih dalam dan mondorong koperku yang Ray tinggalkan karena dia memilih untuk menghampiri pengawal lainnya yang berjaga di sekitar rumah Ana. “pasti kalian sedang bertengkar ya? Ana memang keras kepala dia juga selalu tidak mau mengalah padaku!.”ucapan Dina membuatku menatapnya lalu kembali melihat Ana, dia juga menyadari ketidak sukaan Ana dengan kehadiranku di sini. “Dinaaa jangan memprovokasi!.”gerutu Ana, suaranya benar-benar keras dan aku sudah bisa menduganya, bukan hanya padaku Ana memang suka berteriak pada siapapun yang membuatnya kesal. mereka berdua terlihat seperti anak-anak yang tengah bertengkar jika itu Dina maka aku akan memakluminya karena dia masih remaja, tapi tidak dengan wanita setengah baya di sana. Kedua mataku menyipit saat tatapan kami bertemu, ia membuang arah pandangannya dari ku secara terang-terangan, lalu melirikku sekilas. “ini untuk Dina, Linda, dan nenek tentunya.”ucapku mengalihkan topik. “kau tahu, kau benar-benar seperti tipe kakaku, kau sangat tampan dan juga dermawan.”itu terdengar klise tapi aku tahu ada maksud lain dalam kelimat itu karena matanya melirik ke arah Ana, aku tahu jika sarkas itu untuk kakaknya. Bibirnya tersenyum padaku, dia ingin bekerja sama dalam hal ini, aku mulai menyukainya sebagai adik ipar. Tiba-tiba saja Ana berdiri menghampiriku, menarik lenganku untuk segera ikut bersamanya keluar rumah. Kami akan berbicara keluar, di bandingkan menarikku keluar kenapa dia tidak menarikku ke kamar saja atau ke lantai atas. dia menarikku lebih jauh saat menyadari ada jendela di sana. Lebih jauh lagi, lalu berhenti dan menghadapku dengan ekspresi andalannya, wajah tertekuk, bibir mengerucut marah dan alis bertaut seperti karakter kartun berwarna merah yang suka menghancurkan barang. “Bagaimana kau bisa mengenal keluargaku? Apa kau sudah mengenal ibuku sejak lama? Kau menjebakku ya?.”Jika kau tahu nenekku dan ibumu sudah seperti rekanan lama maka kau akan lebih terkejut dari ini. Kemungkinan terkena serangan jantung. “jangan terlalu percaya diri, mengenalmu juga kesialan bagiku.”aku tidak bisa berbicara lembut padanya, walau aku menginginkannya. Perdebatan konyol ini selalu saja terjadi, dan aku mengatakan hal-hal yang tidak penting, menunjukkan betapa kekanakannya aku. Tapi aku tidak bisa berhenti. “kesialan kau bilang, aku sudah membantumu kau tahu. Aku bilang aku butuh waktu kan, kenapa kau mengikutiku kemari, apa kau tidak punya kerjaan lain selain mengawasiku! Sepertinya kau memiliki banyak waktu luang tuan Xander.”ucapnya sarkatis, dia berusaha terlihat galak namun aku tetap merasa ekspresinya sedikit lucu. “aku sangat sibuk, kau bisa merasa tersanjung karena aku masih menyempatkan waktu ke sini untuk menemuimu.” “jangan buat aku membencimu.”katanya dengan kedua mata menyipit, memberikanku tatapan sinis. “bukannya kau sudah melakukannya sejak awal.”Ana memutar kedua bola matanya malas, ia menghela nafas berat seraya mengalihkan pandangannya dariku lalu menatapku kembali. “bagaimana caramu memanggil ibuku dengan nama depannya?.”aku rasa pertanyaan itu tidak perlu. Aku tidak ingin mengatakan padanya lebih jauh tentang perkenalanku dengan Linda. “aku tinggal menyebutkan namanya apa itu masalah?.”aku tersenyum saat mengatakannya, membuatnya semakin kesal. “maksudku bukan itu. bagaimana caramu bisa mengenal ibuku? Kenapa kalian begitu akrab?.”sebelah alisku terangkat saat mendengarnya, melihat wajah Ana membuatku tersenyum. Dia membuat perasaan aneh dalam diriku, bahkan saat aku hanya menatapnya saja. “oh.. itu. humm.. kau bisa tanyakan itu pada Linda.”kedua matanya mengerjap, tampak terkejut dengan perkataanku barusan. Ujung tertarik, Ana bersedekap seraya memalingkan wajahnya dariku, menarik nafas sebelum kembali menatapku dengan kekesalan di wajahnya. “jawab aku Tristan, aku bertanya padamu!.”pertanyaannya semakin menuntut dan dia terdengar tidak sabaran. “aku tidak mau. Kita akan menikah, jadi aku tidak butuh lagi jawabanmu. Persiapkan dirimu.”aku ingin pergi menghindarinya, perdebatan ini. Aku tak menyukainya. “APA KAU SUDAH GILA!.”Ana berteriak padaku hingga membuat langkahku terhenti dan kembali menatapku. Aku tak suka caranya berteriak padaku barusan, dia tidak perlu melakukannya apalagi saat kita berdua berada di sini. Aku tak ingin Linda atau siapapun itu melihat pertengkaran kami seperti ini, aku tak ingin memberitahunya dan membuktikan sejauh mana aku bertindak untuk mendapatkannya sementara aku berkata mengenai perlindungan untuknya di balik ajakan ini. “Hei Ana, berteriak saja di New York jangan di sini kau bisa membuat burung-burung menangis mendengar teriakanmu. Masuklah, di luar dingin kau mau mati membeku!.”ujar Dina dari halaman rumah, mereka pasti mendengarnya. saat aku kembali menatap Ana dia juga kembali menatapku. “sebentar lagi aku masuk.”perkataan Ana membuat Dina kembali masuk ke dalam. “sekarang pulanglah, sedang apa kau di sini?.” “karena kita akan menikah, aku harus mengambil hati Linda, adikmu dan juga nenekmu bukan, seperti orang-orang lain. Mereka melakukan itu kan!.” “Well, sejak kapan kau memikirkan tentang bagaimana orang lain. Dan juga kau tidak perlu mengambil hati Linda. Sama sekali tidak. Pulanglah! Aku tidak akan kabur, lagi pula aku tidak akan bisa bukan.”Aku berjalan mendekati Ana, membuatnya mengambil langkah mundur untuk menjauh dariku. Reflek aku menahan pinggangnya agar tidak bisa kemanapun. Aku menariknya semakin dekat, saat wajah kami hanya berjarak beberapa cm saja Ana menarik wajahnya dariku. “arah jam 10, mobil warna van hitam, mereka mengikutimu kemari! Kau seharusnya tidak kemari dan menunjukkan rumah keluargamu, bagaimana jika mereka menjadi ancaman.”tubuh Ana tersentak di bawah sentuhanku. Ia menolehkan wajahnya, memerhatikan mobil itu dari tempatnya berdiri, matanya memincing memerhatikan dengan seksama, saat pandangannya kembali padaku matanya menyipit curiga. “Benarkah? Bukankah itu orang suruhanmu!.”well, sialan. Dia menebak dengan benar. Mereka yang akan menjaga rumah Ana, kupikir Ana mulai cerdas. Ia tidak bisa di tipu. “kau bisa menghampirinya dan bertanya mau apa dia kemari? Jika kau melihat tato di pergelangan kirinya kabari aku jika bentuknya seperti tengkorak. Itu sudah pasti anak buah keluarga Shitler.”aku ingin dia percaya pada perkataanku, untung saja Ray tidak ada di sana, jika dia berada di dekat mobil itu maka aku tidak akan bisa mengatakan hal ini padanya. “jadi mereka meniru tato Voldemort.” Bibirku berkedut menahan tawa, Ana dia benar-benar lucu. Guyonannya membuatku hampir saja terbahak, ia mengatakan sebuah lelucon dengan ekspresinya yang datar seolah itu bukanlah sebuah guyonan, aku menyukai selera humornya. “kau benar-benar memiliki humor aneh nona Wren.” Ana melihat ke arah mobil itu lagi, sebelum kembali menatapku, lalu pandangannya turun kea rah tubuh dan tanganku. Ia mendorong tubuhku menjauh dan melepaskan tanganku yang berada di pinggangnya, menyadari jarak wajah kami terlalu dekat. Ana mengambil dua langkah menjauh, terlihat gugup membuat senyum tipis di wajahku. “pulanglah.” “tidak mau.” “pergilah Tristan.”serunya lagi. “kau tidak kasihan padaku, menempuh jarak yang sangat jauh untuk menghampirimu di sini! Seharusnya kau menjamu tamumu dengan baik.”Ana mendengus sebal, ia melirikku jengkel sementara aku menatapnya dengan angkuh. Bukankah seharusnya seperti itu, matanya menyipit karean kekesalannya padaku. Jika dia bukan Ana maka aku akan mengutuknya namun karena Ana yang bersikap seperti ini padaku, aku bisa memaafkannya. “tidak, siapa suruh kau datang kemari, aku tidak memintamu untuk melakukannya.” Aku mengambil satu langkah maju untuk mendekatinya, mencondongkan tubuh ke arahnya untuk membisikan sesuatu. “ada jawaban yang harus ku dengar darimu, tenggat waktunya besok. Jadi pikirkan matang-matang untuk memberikan jawaban bagus yang ingin ku dengar. Kau mengerti.” Aku menarik diriku lagi sementara Ana memasang wajah tegang, menatapku tanpa berkedip. Aku membalikan tubuh berjalan masuk ke dalam rumahnya tanpa memperdulikan Ana yang berteriak memanggilku untuk kembali. “Heii TRISTAN.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN