“Ana berhentilah berteriak seperti itu.”Linda menegur Ana dengan suara nya yang lembut hingga membuat Ana terdiam dan mengunci bibirnya rapat-rapat. Saat tatapan kami bertemu dia melototiku lalu pandangannya beralih pada Dina.
“kau pikir kau dimana? Tenanglah sedikit, tinggal di New York membuatmu liar sekali.”Ana mengambil bantal dan melemparkannya pada Dina yang membuatku reflek menangkapnya, saat ini aku duduk di sofa dan Dina berada di sebelahku. Aku senang seseorang bisa akrab denganku di tengah ketegangan antara aku dan Ana.
“Tristan apa kau akan menginap?.”
“tentu saja tidak, dia akan pergi sebentar lagi.”kami bertiga menatap Ana kecuali nenek Ana yang tampak focus melihat telenovela, Ana menjaga ekspresinya di sini jika tidak kemungkinan besar dia akan memutar kedua bola matanya di hadapanku.
“Ana, kau tidak boleh seperti itu!.”
“lihat mam, New York sungguh bagus untuknya.”gerutu Dina lagi, mereka berdua benar-benar sering kali bertengkar dan Dina adalah wanita yang kerap kali memancing hal itu. kemungkinan besar ia sangat merindukan Ana dan dengan bertengkar dengannya membuat momen mereka lebih banyak, interaksi satu sama lain, aku bisa melihatnya dari sikap Dina.
“bagaimana Tristan?.”
“kalau boleh aku akan menginap.”kataku, tentu saja aku ingin melakukannya.
“tentu saja, kau akan tidur di kamar Ana, Ana antar Tristan ke kamarmu biarkan dia istirahat sebentar sebelum makan malam, dia pasti sangat lelah habis melakukan perjalanan jauh dari New York.”Ana menatap Linda lalu beralih padaku dan kemudian kembali menatap Linda dengan wajah cemberut.
“tidak, lalu aku tidur dimana?.”Ana menunjuk dirinya sendiri dengan tampak bingung.
“kau akan tidur di kamar Dina, berhentilah mengomel kau ini,”omel Linda.“Antar Tristan ke kamarmu.”
“mam.”
“cepatlah.”Ana berdiri dan aku mengikutinya naik ke lantai atas menuju kamarnya, menuju kamarnya kami menaiki tangga yang cukup sempit dengan dinding terpajang beberapa foto keluarga dan aku bisa melihat foto ayahnya terpajang di sana. Kamar Ana cukup rapih, begitu pula di apartemen, dia menyusun barang dengan benar dan merapikan tempat tidurnya hingga benar-benar rapih, dia berdiri bersandar pada pintu lemari, menatapku yang tengah melihat-lihat perabotan kamarnya lalu menatap kea rah jendela yang menunjukkan halaman depan.
“jangan menyentuh barang-barangku.”peringatan keras darinya.
“kenapa aku tidak boleh melakukannya? Kau bahkan memakai barang-barangku di apartemen.”aku mengingatkannya, dia tahu apa yang ingin aku lakukan, berusaha untuk mengenalnya lebih jauh dengan melihat-lihat apa yang ada di kamarnya namun dia sudah melarangku bahkan sebelum aku memulai untuk melakukan sesuatu.
“awas jika kau melakukannya, aku memakainya karena kau yang memaksaku untuk berada di sana. Jika kau tidak mau aku menyentuhnya maka biarkan aku kembali ke apartemenku.”
“jika aku membiarkanmu kembali maka seseorang akan membunuhmu jadi berterima kasihlah padaku karena aku sudah melindungimu dan memberikanmu tempat berlindung.”aku memang terdengar keras kepala, rasanya sulit untuk mengalah padanya jika dia selalu berkata untuk membiarkannya pergi. Seharusnya dia mulai berhenti untuk mengatakan hal itu karena aku tidak akan pernah melakukannya.
“menyebalkan berbicara denganmu karena alasanmu selalu sama, perlindungan. Aku bisa menelepon polisi dan meminta perlindungan dengan alasan dikejar mafia.”Aku berjalan mendekatinya, Ana hanya diam berdiri di tempatnya seraya menatapku. Tatapannya membuatku ingin semakin dekat dan dekat, sementara tanganku yang lain berada di sisi pinggangnya, mataku beralih pada matanya lalu pada bibirnya yang sejak tadi menarik perhatianku.
“apa mereka akan percaya pada wanita sedikit gila yang hobbynya marah-marah. Lagi pula kau yakin tidak ada orangku di sana yang bisa saja mengabaikanmu dan bertindak kebalikannya.”ketegangan berada di wajahnya. Matanya menyipit lagi. Kekesalan di wajahnya membuatku ingin tertawa. Ana tidak perlu berusaha keras untuk menghiburku karena hal kecil yang ia lakukan, apapun itu sudah bisa membuatku tertawa.
Aku ingin menyentuh bibirnya, saat ia mendongak dengan angkuh di hadapanku. “benarkah? Kau benar-benar menyebalkan, keahlianmu dalam membuatku kesal. ugh!”
“aku rasa itu keahlian terbaikku.”
“ouh. Maaf mengganggu tapi Ana kau dipanggil.”kehadiran Dina mengejutkan kami berdua. Reflek Ana mendorongku menjauh hingga kakiku bergerak mundur beberapa langkah darinya. Dina tersenyum tampak malu-malu saat melihat kami. Saat dia pergi Ana beralih melototiku.
“gara-gara kau Dina akan berpikir yang tidak-tidak tentang kita berdua.”
“biarkan saja, dia tahu kita akan menikah.”aku menggodanya dan wajahnya memerah.
“sialan kau Tristan.”Aku merintih lirih, terkejut saat Ana berjalan pergi dan menginjak kakiku. Kekuatannya sangat besar hingga membuat kakinya terasa sakit. Ana meninggalkanku sendirian di sana, aku tak bisa berhenti untuk tersenyum dan merasa sedikit malu, padahal aku belum mencium bibirnya namun rasanya seolah aku sudah melakukan hal itu padanya. Ia menutup pintunya dan membiarkan aku beristirahat di sana. Namun siapa yang akan bisa melakukannya. Aku sempat tertidur 1 jam selama perjalanan dan aku tidak bisa melakukannya dan mengabaikan diriku brada di kamarnya sekarang.
**
Ana pergi sekitar 30 menit dan kembali, membuka pintu hampir seperti dobrakan karena terlalu keras hingga membuatku terkejut, saat aku membalikan tubuh ke arahnya, kedua matanya membulat sempurna, terkejut melihat apa yang tengah berada di tanganku. Ana berlari ke menghampiriku mencoba untuk mengambil buku itu, sementara Aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi agar dia tidak bisa mengambilnya, Ana berusaha melompat untuk mengambil jurnal itu dari tangannya.
Ia terus berusaha melakukan hal itu hingga menubruk tubuh ku dan membuat tubuh kami limbung dan jatuh ke atas tempat tidurnya yang masih rapih karena aku tidak berbaring di sana sejak tadi. Sepertinya Ana tidak akan pernah menyerah, aku masih berusaha untuk menjauhkan buku itu darinya, namun Ana juga tidak menyerah untuk berusaha mengambil buku itu dariku. Ana bangkit merangkak lebih jauh untuk meraih tanganku dan mengambil bukunya. Ia mencubit pinggang ku cukup keras hingga membuatku merintih kesakitan dan tertawa. Sulit sekali membuatnya menyerah. Aku menyerah pada akhirnya dan membuatnya berhasil mengambil buku itu lalu memukul lenganku dengan buku itu. lagi dan lagi.
“ini privasi tahu.”ucapnya jengkel.
“Apa isinya? Curhatan masa sekolah. Kau pasti banyak mengumpat di dalam sana!.”aku menggodanya.
“aku tidak seperti itu!.”Aku mendengus remeh, tidak percaya.
Pintu di buka dengan keras, membuat Ana dan aku menoleh terkejut. “kalian berudu.....a,”ucapan Dina terhenti, kedua pupil matanya melebar, matanya mengerjap, ia terdiam melihat ke arah kami. “a.. ada anak remaja di sebelah yang sedang belajar untuk ujian, jadi tolong pelankan suara kalian berdua.”
Setelah mengatakan hal itu Dina pergi meninggalkan kami, pintu tertutup dan suasan berubah menjadi kecanggungan yang menakutkan hingga membuatku bergidik. Perlahan-lahan wajah Ana menoleh ke araku , melihat posisiku membuatku membeku. Aku tidak tahu bagaimana bisa berakhir seperti ini, Ana tengah duduk di perut seraya memeluk buku jurnalnya sementara aku tengah berbaring di atas ranjangnya.
“maaf.”Ana turun dari tubuhku dan dari ranjangnya, kkecanggungan ini membuat kami berdua merasa kikuk, lagi-lagi Dina memergoki kami berdua. Aku bangkit terduduk dan mendorong rambutku ke belakang lalu menatap Ana yang terlihat sangat malu, wajahnya benar-benar memerah, aku menyukai bagaimana reaksinya. Tapi pada akhirnya dia berucap..
“ini sudah malam, tidurlah.”ucapnya lalu bergegas keluar dari kamar dan menutup pintu. Aku ingin tertawa dengan keras, anehnya aku merasa sangat malu. Aku tidak pernah semalu ini, perasan ini terasa sangat baru. Aku kembali berbaring dan tidak bisa berhenti untuk tersenyum.