“tidak bisa. Terlalu tiba-tiba banyak yang harus ku lakukan hari ini. Ana juga tahu jika jam 5 kami baru pergi menuju San Fransisco, ia harus bekerja.”
“kakek.”
“kau melupakannya, kita tidak mungkin melewatkannya lagi. Dia akan datang malam ini dan membicarakan tentang proyek itu. Aku sudah mengatakan jika kau akan hadir di sana.”
Aku tahu pertemuan ini penting tapi jadwal keberangkatan kami tidak mungkin berubah secara mendadak, kakek harus memberikan gambaran besar mengenai hal itu dan aku cukup antusias untuk bergabung dengan permainan ini hanya saja semuanya terlalu mendadak. Aku bersandar ke punggung kursi, wajahku mendongak dengan jari telunjuk yang mengetuk-ketuk meja.
“kita harus membahas sesuatu.”
“bisa di bahas melalui telepon kalau kakek ingin berbicara lebih awal.”
“pembicaraan ini bukan topik yang bisa di bicarakan di telepon Tristan.”
Ada meeting mengenai peluncuran mobil baru dari salah satu bisnis yang baru ku geluti dalam 3 tahun ini. Harus ku lakukan sore ini, jadwalnya sudah diganti sebanyak 3x. Tidak mungkin aku membatalkannya atau mengganti jadwalnya lagi.
“akan ku pikirkan.”
“ini penting, percayalah.”
“kau selalu mengatakannya pada setiap pembahasan.”padahal tidak semuanya benar-benar urgent dan sangat penting untuk dibicarakan, kakek menganggap semuanya penting dan menyita waktuku untuk hal-hal yang tidak penting. Ada banyak hal yang harus ku lakukan, menelepon kakek dengan jurnal di hadapanku, pengajuan proyek baru ini tidak masuk di akal.
“setiap hal dalam hidup ini penting untuk di..”
“jangan memberikan kata-kata mutiara untuk saat ini kakek ada hal yang harus ku lakukan. Aku akan memikirkannya, dan memberitahumu secepatnya.”
Kakek menyerah membujukku, aku mendengar suara nenek dari sebrang telepon yang berkata, dia tidak mau. Aku sudah bisa menduganya, ini akan menjadi pembahasan yang tidak penting, sekali lagi. setelah memutuskan sambungan telepon aku kembali melanjutkan untuk membaca proposal ini. Kepalaku menggeleng terheran, ini tidak masuk di akal. Secara tidak langsung mereka ingin merampok uangku. Baru saja aku ingin menelepon pesan dari kakek membuatku mengurungkan niat itu. Tidak sengaja terbuka oleh jariku yang reflek, foto itu membuatku tersentak kaget.
Foto seorang pria dengan darah di tubuhnya, di tembak beberapa kali hingga memiliki bekas lubang di jaketnya. Pria yang ku kenali, salah seorang kartel yang menjadi teman cukup dekat kakek saat ini tapi aku tahu keinginannya berada di pihak kakek hanya untuk merebut pasar yang dulu kakek kuasai selama masih menjadi kartel, walau ia tidak sebrengsek orang-orang lainnya.
“aku akan segera ke San Fransisco.”tanpa pikir lagi, aku akan pergi ke sana. Setelah melihat foto lainnya yang kakek kirimkan, Herold terluka dia aalah pamanku yang cukup dekat denganku, ia berada di rumah sakit dengan luka di bahunya. Aku mengabari Ana jika kami akan pergi siang ini dengan alasan yang akan membuatnya mau tidak mau untuk mengikuti permintaan ini.
**
Ana sudah menunggu di Cafe, saat Phil memberhentikan mobil ini di bahu jalan untuk menjemput Ana di bilang akan menunggu di Cafe, saat sampai aku bergegas mengirimkan pesan pada Ana. Tak lama Ana keluar dari dalam Cafe bersama dengan Niel, mereka terlihat sangat akrab, pandanganku terus tertuju padanya. Ana tersenyum lalu siku lengannya menyikut pinggang Niel lalu tertawa. Ana mulai berjalan ke arah mobil sementara Niel masih berada di depan Cafe, memerhatikannya hingga wanita itu masuk dan duduk di sebelahku, ketika mobil kami pergi Niel masih berada di sana. Mataku tertuju pada Ana, ia cocok dengan pakaian itu, rasanya sepert bukan Ana, ia terlihat lebih lembut. Sebelah alisnya terangkat mengernyit, lalu pandanganku lantas beralih menatap lurus. Aneh, perasaanku rasanya sedikit aneh. Ini pertama kalinya aku merasa aku tak suka melihatnya terlalu sedekat itu dengan Niel.
Tidak ada pembicaraan selama di perjalanan baik aku dan Ana, kami sama-sama diam dan menyibukkan diri dengan ponsel. Aku memiliki hal yang masih harus ku lihat mengenai pekerjaanku, tetapi Ana. Aku tak tahu apa yang tengah ia lihat di dalam ponselnya, kadang-kadang ia tersenyum lalu tertawa hingga membuatku menoleh padanya. Dia benar-benar mengejutkanku, apa yang tengah ia lakukan, layar ponselnya sangat gelap, tak bisa membuatku melirik sedikit saja dari sini. Dia membuatku penasaran, seharusnya aku menyadap ponselnya saja sekalian. Apa dia chat dengan pria lain, dan melanggar aturan tentang menjalin hubungan dalam hubungan ini.
Ana terlihat tampak takjub melihat jet pribadi, matanya mengedar ke segala arah memerhatikan, saat untuk pertama kalinya kita ke San Fransisco juga menggunakan Jet ini namun Ana terlihat seolah ini adalah yang pertama kalinya. Aku duduk lebih dulu lalu dengan ragu-ragu Ana duduk di hadapanku.
"Ekhem."Ana berdehem, aku menoleh padanya ingin tahu. Ia melirik ke arah belakang lalu matanya kembali menatapku.
"Kau menyewa beberapa orang? Ramai sekali."Aku menoleh ke arah belakang, beberapa penjaga keamanan yang ku sewa untuk melakukan perjalanan ini. Aku selalu membawa penjaga jika akan pergi ke luar kota, San Fransisco bukanlah tempat yang cukup aman untukku. Banyak orang yang tak menyukaiku, bukan secara pribadi tapi dalam hal bisnis. Akan sangat sulit jika aku melakukannya di San Fransisco, persaingannya cukup ketat karena kartel seolah mendominasi pasar, di New York tidak seperti itu. Aku lebih suka menyuntik saham ke beberapa perusahaan di bandingkan harus mencatatkan namamku sebagai pemilik. Negara bagian yang tidak ku sentuh adalah Meksiko, Shitler sangat besar di sana.
"Ya. Mengingat kemana kita akan pergi. Beberapa dari mereka akan mengawasimu Ana, jika kau terpisah dariku.."
"Jangan khawatir, hal itu tidak akan terjadi kurasa. Karena aku akan menempel denganmu seperti lem."perkataannya membuatku hampir saja tertawa. Tapi perkataanku serius, Ana sangat aktif dan tidak bisa diam. Akan lebih baik beberapa orang mengawasinya karena dia bisa saja terpisah dariku tanpa ku sadari. Bibirku mengulum senyum lalu memanggil pelayan untuk minta minuman. Tiba-tiba saja Ana berdiri lalu memintaku untuk menyingkirkan kakiku karena ia ingin lewat, pinda posisi di sebelah kananku dekat jendela.
"Ah.. di sini lebih baik."
Ana menoleh padaku dengan kening mengerut seolah bingung karena aku menatapnya saat ini, tingkah ada-ada saja. "Kenapa! Kau keberatan?."
Dia kerap kali membuatku terheran-heran, jet ini akan lepas landas. Aku memakai kannya sabuk pengaman tanpa berbicara lebih dulu untuk memintanya lalu baru aku. Ana terkejut dengan sikapku yang tiba-tiba namun ia tak berkomentar apa-apa.
Aku pergi ke belakang dan kembali dengan tas yang berisi laporan keuangan yang ku minta mengenai perusahaan mobil tersebut, intuisi ku berkata ada yang tidak bisa beres dengan perusahaan tersebut. Aku tidak benar-benar bisa turun tangan namun kini aku harus melakukannya, ada masalah dalam anggaran. Aku memberikannya beberapa pilihan buku untuk menghilangkan rasa bosan, Ana mengambil salah satunya membaca tapi tidak antusias. Baru beberapa menit ia menaruh buku itu lagi. Ia mengubah posisi duduknya seolah ingin mendapatkan posisi yang nyaman untuk tidur. Matanya terpejam dengan kepala yang di sandarkan ke sisi dinding jet dengan kedua tangan bersedekap.
**
Ana terlihat sangat bosan, tidur lagi entah sudah keberapa kalinya. Aku membiarkannya, aku menatp serius pada laporan di lembar ke-7 ada pengeluaran tidak masuk akal. Aku tak ingat kapan aku menyetujui pengeluaran dengan nominal sebesar ini. Kepala Ana bersandar di bahuku, matanya terpejam yang menunjukkan betapa ia masih terlelap. Dasar tukang tidur, bibirku tersenyum melihatnya, untuk beberapa saat aku hanya melihatnya tertidur sebelum kembali memusatkan perhatianku pada lembar kertas kerjaku. Tubuhku mendadak membeku, tak bisa bergerak lebih yang akan membuat Ana terganggu dan bisa terbangun dari tidur lelapnya, bahkan ketika aku mengambil laptop dari meja pergerakanku bergerak selembut mungkin. Ana terlihat tak terganggu ketika bahuku tak sengaja bergerak terlalu jauh.
Tiba-tiba tremor terjadi beberapa detik lalu Ana terbangun, menarik kepalanya dengan cepat dari bahuku. Pilot itu benar-benar menyebalkan, ia membuat Ana terbangun dari tidurnya. Ana terlihat bingung lalu ia tak tertidur lagi. Kami sampai di San Fransisco, Ana hanya diam seolah ia masih berada dalam alam bawah sadarnya, ia terlihat masih mengantuk. Aku membuka pintu mobil lalu berbalik ke belakang, wajah Ana mendongak menatapku, aku memintanya masuk ke dalam mobil, ia berlari kecil menghampiriku lalu masuk ke dalam mobil dengan aku yang menyusul setelahnya.
Tidak ada sahutan atau perkataan yang biasa Ana katakan, dia tampak gugup. Selama ini dia tahu jika hubungan kami berdua menjadi perhatian penting kakek dan nenek kemungkinan besar hal itu yang membuatnya segugup ini. Kedua tangannya bergerak gelisah di atas tasnya. Ana jelas-jelas gugup, beberapa kali ia menghela nafas, kedua kakinya mengetuk-ketuk lantai mobil dengan gelisah. Lucu sekali melihatnya segugup ini.
"Ingat.. jangan buka suara tentang hubungan ini bahkan di dalam kamar sekalipun. Kau mengerti."
Aku mengingatkannya lagi, Ana suka mengatakan hal-hal yang bersifat rahasia tidak pada tempatnya. Jika hubungan ini ketahuan kami berdua akan berada dalam masalah. Saat mobil memasuki halaman kakek dan nenek bersama orang-orang lainnya berdiri di halamannya menyambut kedatangan kami, mereka tak seharusnya melakukan hal ini, ini sangat berlebihan dan aku khawatir Ana akan sangat takut melihat hal ini, ia takut padaku karena dugaan mafia nya dan kini ia melihatnya secara langsung dalam jumlah yang lebih besar. Aku harap dia tak merasa khawatir berlebihan.
Ia menghela nafas lagi, ku harap dia tidak merasa tertekan, aku menggenggam tangannya dan pergi keluar lebih dulu. Aku membantu Ana keluar, tangan lainnya memeluk lenganku. Ana benar-benar menempel denganku seperti apa yang dikatakanya tadi, jadi begini seperti lem.
"Halo nenek."Aku menyapa. Wanita paruh baya itu menghampiriku untuk memberikan pelukan seperti biasa, dan dengan terpaksa aku harus melepaskan tangan Ana, lalu berganti memeluk kakek. Ana terlihat mencoba untuk membaur, ia menyapa nenek, mendekatinya dan memeluknya. Mataku mengawasinya, selalu memerhatikan Ana. Nenek menatapku menunjukkan senyum cerah yang hanya ku balas dengan senyuman simpul. Ia terlihat sangat senang dengan kedatanganku dan Ana, sudah lama aku tak ke sini, pertama kalinya setelah sekian lama saat membawa Ana datang untuk di perkenalkan. Nenek menunggu momen ini sejak lama, aku tahu itu.
"Ayo masuklah."seru kakek.
Ana menoleh padaku, aku menarik pergelangan tangannya untuk mendekat. Ana kembali memeluk lengaku, berjalan bersamanya. Pandangannya mengedar ke segala arah, menatap ke sekeliling ruangan. Aku dapat ketegangannya dalam pelukan di lenganku, ia mungkin berpikir terlalu jauh dalam ketakutannya mengenai apa yang ia lihat, matanya tertuju pada pengawal kakek, anak buahnya yang membawa senjata api. Ana sangat terkejut dengan hal itu, bahkan dia berpikir melihatku hanya mengingatkannya pada benda itu.
"Bersikaplah lebih relax."Aku berbisik di dekat telinganya dengan suaranya yang lirih. Tatapannya akan membuat semua orang merasa canggung.
"Aku sedang berusaha."bisiknya tak kalah lirih. Nenek menyadari kegugupan dan ketegangan Ana di sini, yang membuat nenek bertanya, dan berbicara menceritakan sesuatu yang membuatnya tertawa, membuat Ana lebih rileks, tidak gugup, canggung ataupun takut. Ia hanya makan sedikit, Ana berkata ia banyak makan di pesawat padahal ia tak menyentuh apapun selain tidur dan minum anggur.
"Ana sangat lelah, dia tidak terlalu lapar."kataku, Ana mengangguk-anggukan kepalanya.
"Maafkan aku."ucap Ana dengan eskpresi sendu.
"Tidak apa Ana kau keliahatan lelah, Tristan ajak Ana ke kamarnya."seru nenek, Ana menatapku ketika Aku berdiri lalu dia ikut berdiri pergi ke sisiku, kembali memelung lenganku. Kami pamit sebelum berjalan ke atas meninggalkan kakek dan nenek, kakek memberikanku kode untuk menemuinya setelah ini untuk membicarakan hal yang tidak bisa di katakan melalui telepon. Ana bergegas menuju kasur membanting tubuhnya untuk berbaring, ia terlihat kelelahan begitupula aku. Aku melonggarkan dasi, melepaskannya dan melemparkannya ke aras sofa sebelum melepaskan jaket dan menyampirkannya ke punggung sofa. Ana bangkit terduduk lalu menatapku yang kini duduk di sofa.
"Ini kamar siapa? Kamarnya berbeda dengan yang aku tempati kemarin?."
"Ini kamarku."aku menjawab tanpa menatapnya, disibukkan membuka kancing lengan kemejaku.
"Tunggu. Kita sekamar?."Ana bersuara cukup keras, terkejut sendir. Mataku beralih menatapnya, tidak ada yang salah dengan hal itu, aneh ia terkejut hanya karena nya bukan, sudah biasa pasangan berbagi kamar. Kenapa dia terkejut hanya karena hal itu.
"Ya. Sudah jelas."
"kita akan berbagi tempat tidur?."katanya lagi.
"kau bisa mengambil sofa kalau mau."mataku beralih pada ponselku yang minta untuk diperhatikan.
"aku tidak keberatan dengan kamar yang lama."Ia bergumam lirih. Aku juga berpikir demikian, namun akan sulit untuk melihatnya dan mengawasi Ana, bisa saja ia tiba-tiba menghilang dan aku tak tahu dimana dia, akan lebih mudah jika dia berada di kamar ini bersama denganku. Dan juga akan aneh jika kami berbeda kamar, kakek dan nenek akan menaruh curiga.
"Mereka akan heran jika tahu kita tidak dalam satu kamar yang sama."ucapku.
"Di beberapa negara, s*x sebelum menikah itu adalah hal yang wajar. Kau tahu!."kata Ana, ya tapi kakek dan nenek akan merasa aneh dengan kita berdua bila melakukan hal yang tidak wajar di sini.
"mereka tidak tahu itu."ucapku, Ana selalu membuatku menjelaskan segala sesuatu.
"ah.. mereka berpikir kau Gay."ucapnya lalu tertawa dengan kencang, mentertawaiku. Sialan! Ia terlihat senang mengejekku karena berpikir aku Gay, aku berdiri untuk menghampiri Ana yang masih tertawa mengejekku, kehadiranku membuatnya berhenti tertawa, perlahan-lahan tubuhku membusung ke arahnya, ia bergerak mundur. Matanya tetap menatapku, nyalinya mencitu, kini ia terlihat khawatir aku berganti menggodanya. Ekspresi Ana yang takut membuatku senang. Kini aku bergantiannya membuatnya kesal.
"Aku bisa menunjukkan nya padamu jika aku bukan Gay Ana."