BAB 14 - San Fransisco

1207 Kata
Ketakutannya membuatku bergerak semakin mendekat ke arahnya, ia berusaha untuk menjauh, tidak bersentuhan denganku hingga membuat tubuhnya menempel di atas kasur dengan kedua tangan yang menyilang di depan d**a, sedikit miring matanya terpejam ketika jarak kami semakin terkikis, tubuhku membatu, bibirnya mengalihkan perhatianku. Rasanya aku ingin menyentuhnya, hampir.. Reflek aku menarik diriku menjauh ketika pintu kamarku diketuk. Seorang pelayan datang memberikan 1 botol ember yang berisi es batu dan dua botol anggur. Aku menaruhnya di atas meja lalu pergi ke meja kerjaku. "Aku akan pakai toilet lebih dulu."kata Ana yang membuatku menghentik tubuhku menyamping untuk melihat ke arahnya. Kepalaku mengangguk setuju. "Pakailah. Oh ya.. pakaianmu sudah di siapkan. Sebelum toilet ada ruang Pakaian. Itu milikmu, kau bisa memakainya."Ana terlihat bingung. "Aku akan bekerja sebentar." Aku menghentikkan langkahku dan kembali memutar tubuhku pada Ana, ia tengah berjalan menuju toilet tampak kikuk. Bibirku tersenyum mengingat tentang hal tadi, dasar bodoh. Mataku kembali menelusuri kamar ini, tidak ada yang berubah sedikitpun, semua barang-barangku dan letak setiap furniture, aku ingat jendelanya pernah pecah saat aku bermain baseball dan dengan sengaja memukulnya dengan ke arah kamar ini. hanya karena aku ingin melakukannya. Ada ketukan lagi di pintu ketika aku membukanya aku mendapati Phil dengan tas berisi laptop dan berkas kerjaku, aku akan kembali memeriksanya. “terima kasih.” “butuh sesuatu ?.” “tidak, kau juga akan ikut saat nanti bertemu dengan kakek.” “tentu saja. selamat beristirahat tuan Xander.” Aku menutup pintu kamar ketika Phil sudah pergi dari hadapanku, aku kembali ke meja kerjaku dengan tas berisi laptop menaruhnya di sana dan mulai berkutat dengannya. Aku hampir menyelesaikannya tadi, melihat hal ini membuatku ingin segera melakukan video conference dan menatap Mario untuk melihat reaksi dan alasannya mengenai semua hal tidak wajar ini. Ponselku berbunyi, tanda ada email masuk beberapa kali menarik perhatianku, aku duduk dan mulai membuka setiap pesan itu dan melihat laporan yang dikirimkan untukku. Cukup lama hingga perhatianku teralihkan dari layar laptop ke arah Ana yang baru saja selesai mandi. "Kau memakai pakaianku!."dia seharusnya memakai pakaian yang disiapkan untukkunya, ia malah memakai pakaianku. "Hanya gaun tidur model dress yang bisa ku pakai dari lemari itu. Aku menemukan kaus ini di lemari lain. Yang ini bisa di pakai, gaun itu tidak."wajahnya mengerut tampak ngeri ketika menceritakan tentang pakaian yang di siapkan untuknya, aku tak tahu maksudnya pakaian seperti apa yang tidak bisa ia kenakan. "Itu milikku." "Aku tidak keberatan jika kita tukeran. Kau bisa memakainya kalau kau mau." Dia membuatku terheran-heran, perkataan yang keluar dari bibir Ana kerap kali asal yang membuatku ingin tertawa. Aku memutuskan untuk pergi mandi ketika aku selesai aku mendapati Ana sudah terlelap, posisi tubuhnya berada di pinggir ranjang dengan kedua kakinya yang menyentuh lantai, ponselnya masih berada di genggaman tangannya. Aku menghampirinya dan membetulkan posisi tubuhnya, menyelimutinya. Aku berdiri di pinggir ranjang, menatapnya. Ana tertidur sangat lelap, padahal sepanjang perjalanan ia banyak tidur, seolah tidurnya yang berjam-jam itu masih belum cukup untuknya. Kening Ana mengerut, apa dia mimpi buruk, aku harap bukan tentang mafia, pikiran itu membuatku ingin tertawa. Pintu kamar lagi-lagi di ketuk, aku menghampiri pintu untuk melihat siapa yang datang. Anak buah kakek dan Phil kini berada di hadapanku. “ada apa?.” “sudah waktunya.”yang dimaksud Phil adalah mengenai pembicaraan dengan kakek, ini sudah malam dan ia ingin kami membahas hal penting itu, aku kembali melihat Ana, wanita itu masih terlelap, aku menutup pintu dan meninggalkannya bersama dua orang pengawal yang ku bawa dari New York kalau-kalau Ana terbangun dan membutuhkan sesuatu. Pergi menuju ruang kerja kakek, pria paruh baya itu masih sangat muda untuk pria seumuran nya. ia tersenyum ketika melihatku datang, duduk di sofa dengan beberapa lamber foto yang berada di atas meja kaca di hadapannya. Aku duduk di hadapnnya sementara Phil berdiri di belakangku. Melihat foto pamanku di sana membuatku mendidih, sudah lama tidak meneleponnya dan sekalinya mendapatkan kabar tentangnya ia sudah sudah tak ada. “dia di temukan di Texas.” “Apa! Untuk apa dia di sana?.” “Tidak ada yang tahu, dia meninggal ditemukan di salah satu gedung yang belum jadi, tertembak. Entah apa yang dia lakukan di sana, 3 hari yang lalu dia meneleponku dan posisinya berada di Las Vegas untuk membuka cabang Clubnya.” “apa dia masih berhubungan dengan Elorado?.”salah seorang kartel di Meksiko, ia pemilik kokain cukup besar ketiga di Meksiko, kemungkinan ia menjual nya di Club miliknya. Ini hanya dugaan, kemungkinan terbesar yang terpikirkan olehku. “beberapa orang ku kirim ke sana untuk menyelidikinya, tidak bisa mengharapkan polisi untuk kasus ini, pasti ada polisi yang dibayar untuk berusaha menutupi jejaknya.”seru kakek. Aku melirik ke arah Phil dan dia mengangguk, seolah pikiran kami sejalan dan dia tahu apa yang aku pikirkan, setuju dengan hal itu, ia meninggalkan ruangan untuk melakukan panggilan telepon. Aku tak tahu jam berapa sekarang ketika aku membuka pintu Ana sudah terbangun. "Kau belum tidur?." Aku menghampiri untuk tidur. Sebelah tangannya berganti posisi menopang kepalanya memerhatikanku, aku duduk di pinggir ranjang, menaruh ponselku di atas meja nakas sebelum menaikan kedua kakiku ke dalam selimut. "Kau darimana saja?."gerutu Ana membuatku tertawa. Ekspresinya sangat lucu. "Kau takut?."aku meledeknya. "Tentu saja, bagaimana jika tiba-tiba ada yang menculikku."pikirannya terlalu berlebihan. Bagaimana bisa dia di culik di sini. "Kau akan sangat merepotkan mereka, jangan khawatir mereka akan langsung melepaskanmu karena tidak tahan."aku memperolok-oloknya, tak pernah bosan. "Aku serius."ucapnya, tampak kesal dan jengkel, ia tak seharunya tak berpikir sejauh itu. "Kau akan aman, tidak akan ada yang berani menyakitimu. Percayalah.ku mencoba untuk meyakinkannya, dia harus percaya itu. aku tak akan membiarkannyaterluka dan tidak akan membiarkannya di lukai. Sampai kapan aku harus meyakinkannya tentang hal ini. "Aku melihat semua senjata-senjata itu, apakah mereka pernah membunuh seseorang? Pasti pernah kan."Kedua bola mataku berputar malas, otak Ana sudah di racuni dengan berbagai adegan di dalam film-film. Aku serius ia harus berhenti untuk menyaksikan semua acara film-film itu. Aku berbaring miring membelakangonya atau Ana tidak akan pernah bisa tidur jika berhadapan denganku. ** Aku terbangun dengan mataku yang menatap langit-langit kamar, dengan posisi Ana lagi-lagi tengah memeluk tubuku. kepalanya berada di dekat bahuku sementara tangannya di lengan dan dadaku. Aku melihat wajahnya, dia masih terlelap, aku membiarkannya tak ingin menggangguk yang masih sangat terlelap jika aku mencoba untuk melepaskan diri. Tiba-tiba saja aku teringat akan sesuatu. biarkan dia menyadari apa yang tengah ia lakukan sekarang. Cukup lama aku dengan posisi ini, hanya menatap Ana dan megingat serta memikirkan bagaimana ekspresinya jika menyadari apa yang tengah ia lakukan. Akhirnya dia terbangun, kedua matanya terbuka sedikit namun buru-buru ia memejamkan matanya lagi. Mencoba untuk pura-pura tidur, perlahan-lahan bergerak membalikan tubuhnya seolah ia masih terlelap dan pindah posisi untuk membelakangiku. dia jelas-jelas merasa malu dan menyadari apa yang dia lakukan. Mengetahui dia tahu, membuatku senang bukan main. Ia tidur membelakangiku, membatu dengan nafas yang dibuat-buat. “aku akan mandi lebih dulu, membiarkanmu menenangkan diri setelah apa yang kau lakukan padaku.” Aku mandi lebih dulu dan membiarkannya. aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tertawa, bibirku kerap kali tersenyum melihat ekspresi Ana, wajahnya mengerut menahan rasa malu. wanita itu sangat lucu. ketika aku selesai aku melihatnya terduduk di atas tempat tidur. “kau terlihat malu.” "jangan dibahas."Berjalan ceat seraya menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, membuatku tertawa. Dia terlihat sangat malu, wajahnya memerah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN