Ana hanya melihat ke arah tanganku yang terulur padanya, merasa ragu nafas berat lolos dari bibirnya, ia menangkap uluran tanganku. Aku menariknya dari sana untuk membawanya pergi, menunjukkannya sesuatu. Sebelah tangan kananku memegang tangan Ana sementara tangan kiriku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Ray dan memintanya untuk membawa kami pergi ke suatu tempat.
“apa aku tidak ganti pakaian dulu?.”Aku memutar kepalaku pada Ana, memerhatikannya dari ujung kaki hingga ke kepala, tidak ada yang salah pakaiannya cukup tebal dan Ana memakai sweater lagi itu sudah cukup. Penampilannya baik-baik saja. Tiba-tiba saja Ana menyilang sebelah tangan kanannya di depan dadanya, merasa rishi dengan tatapanku, padahal ia yang bertanya saat aku melihat untuk menilai dia malah melarangnya.
“apa yang kau lihat!.”
“tidak masalah, aku hanya ingin menunjukkan sesuatu. Ayo.”Ray meminta salah satu anak buahnya untuk mengantar kami. Aku menarik pintu terbuka lalu meminta Ana untuk measuk menggunakan gerakan daguku. Ana mengikuti apa yang ku minta, aku mengikutinya masuk setelah ia duduk dan bergeser lebih jauh ke dalam. Sesekali Ana melirik ke arahku dengan penasaran, seolah bertanya-tanya kemana mobil ini akan membawa kami pergi, aku takmengeratkan genggaman kami dan menaruhnya di atas pahaku. Ana meresponku dengan melirikku sekilas sebelum kembali memalingkan wajahnya. Namun ia tidak melepaskan tangannya dariku, aku senang dia tidak melakukannya.
“kita akan pergi kemana?.”Ana bertanya padaku, ekspresi wajahnya terlihat sangat penasaran. Aku menoleh padanya
“nanti juga kau tahu.”
“Tristan, jangan membuatku penasaran. Kau akan membawaku kemana?.”
“humm.”sahutan dariku membuat Ana mendengus, ia menggeser sedikit tubuhnya menghadap ke arahku.
“kediamanmu?.”ia mulai menebak kemana aku akan membawanya pergi. Aku menyerah ntuk menggodanya, ekspresi wajahnya terlihat sangat penasaran dan aku tak tega melihat ekspresi itu di wajahnya.
“keluarga.”Aku enganggukan wajahku sebagai jawaban untuknya, mobil kami masuk ke dalam halaman rumahku, Ana mengedarkan pandangannya. Ini kedua kalinya aku membawa nya ke rumahku. Aku krluar lebih dulu lalu Ana mengikutinya masih dengan tangan kami yang bertautan. Mataku melirik ke arah bibi Marry yang menahan diri untuk tidak tersenyum lebar saat melihat Ana di sini, saat nenek pergi ke rumah Ana, bibir Marry ikut untuk menemani nenek dan membawa hadiah saat ke sana, tentunya ia penasaran siapa wanita yang di maksud dalam pertemuan keluarga itu. Ia tampak senang melihatnya, bibirnya tak kunjung berhenti untuk menunjukkan senyumnya. Aku membawa Ana menuju taman belakang, terdapat di ujung taman dengan sisi pantai, suara deburan ombaknya terdengar sangat kencang, dan kegelapan di sebrang sana membuat Ana sedikit terganggu, melihatnya merasa ngeri dengan penampakan itu. kami berjalan menuju sebuah blok bata yang memiliki tangga turun menuju ke bawah dimana hal itu akan menunjukkan ruangan lainnya yang sangat rahasia. Ana menahan diri, tubuhnya mendadak kaku, ia berhenti berjalan dan menatap ngeri ke arah tangga tersebut. Aku menariknya lagi agar pergi mengikutiku ke ruang bawah tangan tersebut. Sebuah ruang persegi yang cukup luas, ada duorang pria yang terikat di kursi tersebut namun satu dari mereka adalah orang yang mengikuti Ana menuju Claifornia sementara satu pria lainnya yang memantau Ana di rumahnya, pria yang lainnya sudah mati dan tidak ada di sini. Ada beberapa pengawal di sini, mereka tengah mencoba untuk menggali informasi dari kedua orang tersebut, luka-luka di tubuh mereka adalah hasil dari mencoba untuk bungkam. Ana tampak sangat bingung, takut, ekspresinya membuatku bingung. Genggaman tanganku mengerat, aku harap dia bisa lebih tenang, menunjukkan ini karena aku ingin Ana mengerti dan memahami apa yang ku lakukan untuknya dan semua ini adalah kebenaran. Mataku beralih kepada kedua orang itu dan rasanya sesuatu mendidih di kepalaku, aku menahan diri untuk tidak mengepalkan tanganku karena sebelah tanganku tengah menggenggam tangan Ana, aku tak ingin membuatnya ketakutan karena kemarahanku pada kedua orang ini.
Ana melepaskan genggaman tanganku untuk menghampiri kedua orang itu, mendekatinya dengan hati-hati, salah seorang pengawalku ingin menghentikannya namun aku membiarkannya, ia hanya mengangguk dan mendekat untuk menjaga Ana. Ana berlutut untuk melihat wajahnya, salah seorang anak buahku yang berdiri di sebelahnya menjambak rambutnya hingga membuat wajahnya mendongak dengan bibirnya ya ng merintih kesakitan. Ana meringis melihat hal itu, tindakan kekerasan sepertinya bukan sesuatu yang ia sukai. Ana memintanya untuk melepaskan kepala pria itu dengan kedua tangannya yang bergerak naik turun. Dia mengikuti apa yang Ana minta setelah melirikku dan mendapatkan persetujuanku dengan anggukan kepala, Ana berputar menuju ke belakang tubuh mereka berdua, berjongkok untuk melihat kedua tangannya yang terikat. Setelah melihat itu pandangannya beralih padaku.
“Boleh aku lihat tanganmu juga?.”Ana bertanya pada salah seorang pegawai dan memastikan mengenai tato, tentu saja tidak ada hal semacam itu di sini.
Aku kembali ke hadapan orang yang tubuhnya lebih berisi di bandingkan yang satunya lagi. Ana membungkukan tubuhnya untuk melihat. Pria itu mendongak menatap Ana lalu mengeram dan ingin menerjang. Reflek aku menarik tangan Ana yang tubuhnya membeku karena terkejut, untung saja pegawaiku lebih cepat untuk menariknya kembali ke posisi.
“kita keluar dari sini.”kataku tepat di dekat telinganya, aku melingkarkan tanganku di pinggang Ana, membawanya pergi. Saat kami pergi Ana tersentak dalam sentuhanku saat pegawaiku memukul kepala pria itu. Jika dia tidak melakukannya maka aku yang akan melakukannya. Sialan. Aku hampir saja membuat Ana dalam bahaya. Saat di anak tangga Ana menghentikkan langkahnya saat pria itu berteriak histeris, seharusnya mereka melakukannya saat aku dan Ana sudah ada di luar, sialan. Ana terpaku, dengan tubuh tegang melihat apa yang saat ini berada di depan mata kepalanya, aku menarik wajahnya dan membawanya pergi dengan segera, atau setelah ini dia tidak akan pernah menerima lamaranku lagi.
Ketika sudah cukup jauh dari tempat itu kami berhenti berjalan, tubuhnya berbalik menghadapku, wajahnya mendongak untuk menatap langsung ke arah mataku. “anggotamu tidak memiliki tato?.”
“mereka bersih, tidak ada hal seperti itu.”tentu saja Ana.
“eum..”Ana bergumam lirih.
Tiba-tiba tubuhnya tersentak kaget, suara tembakan terdengar keras berasal dari ruang bawah tanah, ada kemungkinan ia berontak lagi dan salah seorang pegawaiku langsung mengeksekusinya, mereka tidak akan melakukannya jika tidak ada perlawanan keras dari mereka. Ana kembali melihat ke sana, dan aku menatapnya mencoba menilai bagaimana perasaannya saat ini. Wajahnya memucat dan tubuhnya kaku. Ana terlihat ketakutan namun ia mencoba bersikap biasa seolah tidak ada yang salah dengan reaksi tubuhnya karena melihat hal ini. Nefasnya tersenggal, aku sadar dia menahan nafasnya sejak tadi, dan kini ia bernafas seolah baru saja selesai berlari marathon.
“Ana.”