Ana hanya diam saja, berdiri membeku di tempatnya. Dia mengabaikanku yang saat ini berdiri di hadapannya. Matanya terpaku, memandang kosong ke arah ruang bawah tangan yang baru saja kami tinggali, suara tembakan yang baru saja terdengar menyita perhatiannya. Aku tidak tahu apa yang saat ini tengah Ana pikirkan namun aku sangat penasaran dengan hal itu. Kemungkinan terbesar yang terbesit dalam pikiranku adalah jika Ana tengah berpikir mengenai profesiku dan penembakan yang baru saja terjadi mengganggu pikirannya. Ana masih saja mengabaikanku, aku mengambil satu langkah mendekatinya, mengikis jarak lebar di antara kami.
“Ana.”aku memanggilnya hingga ketiga kalinya ia baru meresponku dengan gumaman lirih.
“hmm.”matanya beralih padaku. Ujung jari telunjukku menyentuh keningnya dan mendorongnya pelan.
“aku bukan mafia seperti apa yang sedang kau pikirkan saat ini.”seketika matanya melebar. Binggo! Seperti dugaanku, ia berpikir tentang hal itu. kedua mata Ana mengerjap saat ia menarik nafas dalam-dalam.
“Apa yang terjadi? Mereka membunuhnya?.”
“itulah yang mereka dapatkan, jika kau tahu apa yang akan mereka lakukan padamu dan keluargamu malam ini kau tidak akan memberikan simpatimu pada mereka.”Ana mengalihkan pandangannya dariku, ia menatap ke arah bawah lalu ke arah lain. Tubuhnya gemetar, saat aku menyentuhnya ia tersentak begitupula denganku yang terkejut karena Ana masih saja ketakutan. Aku Berniat untuk membawanya pergi dari sana, meraih tangannya untuk menggenggamnya namun saat Ana mengambil satu langkah maju kedua kakinya seperti jelly, ia hampir saja terjatuh dari tempatnya berdiri saat ini. Aku tidak tahu Ana masih sangat terkejut dengan hal ini, kupikir ia baik-baik saja.
Aku membawanya masuk dengan melingkarkan tanganku yang lain di bahunya, aku ingin membuatnya yakin jika aku tidak akan melukainya, Ana mengikutiku kemana aku akan membawanya, ruang kerjaku untuk melihat apa yang bersamalah dengan pria itu dan menunjukkan apa maksud dari perkataanku tadi. Ray menaruh barang milik pria itu di atas meja kerjaku, apa yang dia bawa dalam saku jaketnya membuatku murka. Aku membuatnya terkejut lagi, saat melihat apa benda-benda yang berada di atas meja kerjaku, sebuah foto dengan identitas si pria, ada dua ponsel, 3 pistol dan pisau yang masih bersih di siapkan untuk menyakiti seseorang. Semuanya terbungkus dengan plastik transparan. Foto candid Ana yang di ambil secara diam-diam saat dia berada di salah satu hotel. Mereka sudah mengincar Ana cukup lama namun kepergiannya yang tiba-tiba kemari dan berpikir tidak berada dalam pengawasanku membuat mereka cukup nekat untuk mendekat, untung saja anak buah Ray begitu cepat, jika tidak mungkin sesuatu yang buruk sudah terjadi pada Ana.
Ana meraih fotonya, saat ia membalikan foto tersebut sebuah tulisan besar di sana membuat keningnya mengerut, matanya terbelalak. Seseorang berniat jahat padanya namun Ana masih merasa ragu, seolah aku adalah dalang di balik semua ini karena hanya untuk memaksanya mendekat dan memberika kenyatan hubungan ini pada kakekku.
Aku menoleh ke belakang untuk memanggil salah seorang pengawal untuk menunjukkan yang berada di dalam ponsel itu. Bagaimana mereka membicarakan tentang Ana untuk melakukan rencana jahat padanya. Dengan siapa pria itu melapor untuk saat ini kami masih dalam pengejaran, dan pria di bawah sana di paksa untuk segera memberikan informasi tersebut. Pria itu menyodorkan ponselnya pada Ana yang membuatnya menoleh padaku, seolah bertanya apakah boleh. Kepalaku mengangguk sebagai jawaban. Ia menerima ponsel itu dan membawa pesan yang di tunjukkan untuknya.
Pria itu kembali keluar untuk berada di posisinya di depan pintu ruang kerjaku, Ana membaca pesan tersebut, bukan berniat untuk menakut-nakutinya namun aku hanya ingin mendapatkan kepercayaannya, bukan hanya ingin memilikinya dan memintanya untuk berada di sisiku, namun juga karena aku ingin melindunginya.
“kau percaya sekarang?.”
Helaan nafas lolos dari bibirnya yang terlihat gelisah. Ia menaruh kembali ponsel itu di atas meja lalu menoleh padaku ragu-ragu. “aku mau pulang.”
Aku menyetujuinya, ia mendekat ke arahku. Aku menggenggam tangannya dan menatap sisi wajahnya yang menegang, banyak hal mengejutkan malam ini yang baru saja ia ketahui, aku harap hal ini tidak membuatnya ketakutan setengah mati, penerimaannya membuat ku khawatir. Saat berada di dalam mobil Ana hanya diam saja menatap ke sisi pintu, ke arah jalanan yang masihlah gelap. Tampak ia terguncang dengan apa yang ia ketahui mengenai dirinya. Aku membiarkannya, Ana membutuhkan waktu untuk memikirkannya.
Wajahnya tampak sendu, ada ketakutan, dan juga amarah. Ia terguncang dan aku mengutuk diriku karena menunjukkan semuanya padanya. Kupikir seharusnya aku tidak melakukan itu, namun di sisi lain aku ingin dia percaya, seseorang berusaha menyakitinya dan aku berusaha untuk melindunginya. Sikap diam Ana membuatku gelisah. Apa yang ada di dalam pikirannya saat ini! Aku sangat ingin tahu dan tebak-tebakan di dalam kepalaku membuatku meringis tersiksa. Hanya ada hal buruk dan kemungkinan besar aku rasa itu akan terjadi.
Mobil kami sampai di depan halaman rumah Ana. Ia turun lebih dulu, aku tidak berniat untuk berada jauh darinya, tiba-tiba menghilang aku tidak mungkin tidak mungkin melakukan hal itu karena Linda tahu jika aku berada di sini. Ana tak mengatakan apapun padaku. Saat ia berjalan menaiki anak tangga, tiba-tiba sjaa berhenti di anak tangga. Ia menolehkan wajahnya padaku untuk mengatakan, aku berjarak beberapa langkah darinya.
“Ayo kembali ke New York besok.”
Kini dia membuatku terkejut, mengajak kami kembali ke New York besok. Secepat itu ku denga ria mengambil cuti beberapa hari di kantornya. Sialan! Pikirannya saat ini membuatku penasaran. Ana adalah satu-satunya wanita yang membuatku ingin memiliki kekuatan membaca pikiran. Aku menatap wajahnya untuk mengetahui perasaannya saat ini. Rasanya seperti saat berada di dalam mobil.
“baiklah. Jam 10 kita berangkat.”kataku. Ana menganggukan kepalanya setuju lalu kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah. Aku menatap punggung yang semakin jauh, masuk ke dalam kamar Dina, aku masih melihat ke arahnya sampai pintu kamarnya tertutup. Aku tidak bisa tidur lagi setelah itu. waktu sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Memutuskan untuk mengecek email dalam ponselku. Banyak hal informasi yang ku dapatkan, ciri-ciri pria yang menjadi lawan bicara dalam ponsel tersebut untuk menerima setiap laporan yang Ana kerjakan sudah ditemukan.
Asalnya dari Meksiko seperti dugaanku. Rata-rata anak buah Shitler berasal dari sana. Umurnya 42, rambutnya pirang dan wajahnya nampak keras. Tato mengintip dari balik bahunya, tato yang sama seperti yang lain. Ia begitu ceroboh langsung memerintahkan seseorang begitu saja, biasanya Shitler selalu bermain dengan orang ketiga untuk menutupi jejaknya. Seiktar jam 5 pagi aku mendengar sesuatu dari lantai bawah, kemungkinan besar Linda sudah bangun dan bersiap untuk bekerja.