Jam 6 aku memutskan untuk turun ke bawah dan mendapati Linda tengah berada di belakang meja dapur, matanya beralih menatapku dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Aroma masakannya tercium di hidungku, fajitas yang terbuat dari potongan daging dengan campuran paprika dan bawang Bombay, aku tahu itu nenek pernah memesan untuk makan malam dan aku menyukainya.
“kemarilah Tristan, kau ingin kopi?.”
“boleh, jika tidak merepotkan.”aku berjalan ke arah nya, duduk di salah satu kursi di depan meja dapur yang berhadapan dengannya. Linda sangat baik dan juga lembut, anehnya Ana memiliki sifat yang bertolak belakang dengannya. Ana sangat cerewet, banyak bicara, bukan wanita penurut dan lebih seringnya ia sangat berisik, tidak bisa diam. Jika ia diam saja maka sesuatu yang buruk terjadi padanya, itu akan menajdi sangat aneh sekali.
“tentu saja tidak merepotkan sama sekali.”jawab Linda membuat bibirku melengkungkan senyum.
“aku dan Ana akan kembali ke New York hari ini jam 10.”ia tampak terkejut mendengarku, sepertinya Ana belum memberitahukannya, bairkan aku yang memberitahunya jadi kami tidak akan pergi mendadak, walau ini sudah termasuk ke dalam mendadak.
“kenapa begitu tiba-tiba, kau bahkan baru datang kemarin sore.”katanya seraya membuatkan kopi untukku. ia manruh kopi buatannya di hadapanku dengan sepiring fajitas, aromanya membelai hidungku dan menggoda perutku untuk mencicipinya.
“sepertinya Ana memiliki urusan urgent di sana, mengenai pekerjaannya. Jadi dia mengajakku untuk kembali hari ini.”
“kenapa dia tidak memberitahuku.”ucapnya dengan suara lirih. Aku mengerti tentang perasaannya saat putrimu saja tiba dan dia harus kembali lagi besok.
“baiklah, dia memang sibuk. Aku harap dia tidak merepotkanmu,”bibirnya melengkung menunjukkan senyum dengan ujung matanya yang berkerut. “makanlah selagi hangat.”
Kepalaku mengangguk seraya tersenyum padanya sebelum mengambil garpu untuk menusuk dagingnya dan memasukannya ke dalam mulutku. Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar menghentak-hentak setiap anak tangga. Dina turun dari sana dengan pakaian rapih dan tas ransel di punggungnya.
“wah kau sudah bangun, pacarmu masih tidur seperti bayi.”
“Dina.”tegur Linda. Ia langsung berkata ups tanpa suara lalu duduk di sebelahku, aku tidak pandai menghadapi anak remaja di masa pubertas mereka, bahkan aku bingung menghadapi adikku sendiri namun mereka berdua memiliki kesamaan dimana keduanya sangat banyak bicara itulah sebabnya tak mengherankan lagi berada di dekat Ana. Aku sudah terbiasa dengan adik perempuanku namun ketenangan yang kudapatkan saat aku memutuskan untuk memisahkan diri ke New York kini tak bisa ku dapatkan lagi sejak bertemu dengan Ana. Dulu aku tak ingin berdekata dengan wanita yang banyak bciara, bahkan aku sering mengabaikan Alice, kini aku malah akan menikah dengan wanta yang selalu ku hindari. Apakah ini karma karena selalu mengabaikan Alice. Lingkunganku di penuhi dengan wanita yang pandai bicara.
“kau tahu, kau tampan. Kau adalah kriteria Ana, bahkan kau lebih tampan di bandingkan Alex.”
“Dina.”tegur Linda lagi.
“siapa itu Alex?.”Linda dan Dina saling melempar pandang bingung, lalu Linda melototkan matanya pada Dina, ahh wanita mirip dengan Ana.
“mantan Ana si pria b******k yang tiap kali mengingatnya membuatku ingin menenggelamkannya di lautan. Memangnya Ana tidak pernah membicarakan tentang mantannya yang hampir dia nikahi?.”
Aku menggelengkan kepalaku, tapi aku ingat sekarang, nama itu ada di daftar profil Ana yang diberikan Ray berikan padaku. Jadi dia berengsek!
“apa yang dia lakukan?.”aku bertanya dengan rasa penasaran yang sangat kuat.
“menyakiti Ana tentunya. Sikapnya saat ini membuatku mengutuknya ratusan kali, dalam hidupku aku baru saja mengutuk seseorang dan itu adalah dia, pria itu membuatku tua.”matanya menyipit menatapku.
“kau memang suka mengutuk seseorang, jadi berhentilah melakukannya,”omel Linda. “lebih baik kau berangkat sekolah sekarang Dina.”seru Linda memerintah. Wanita itu mencoba untuk membuat Dina berhenti berbicara namun rasanya sulit untuk membuat remaja itu membungkam mulutnya, karena dia sangat suka berbicara dan aku senang mendengarnya karena membuatku mengetahui sesuatu hal yang sepertinya tidak akan aku dapatkan dari bibir Ana.
“aku hanya memberitahukan sedikit informasi padanya mengenai Ana, aku senang Ana tetap ingin menikah setelah masa lalunya tersebut. Lagi pula mereka berdua akan menikah bukankah akan lebih baik jika Tristan mengetahuinya,”Dina beralih padaku dengan tatapan sinis. “jika kau bercanda untuk menikahinya lalu kabur dengan selingkuhanmu seperti yang dilakukan si b******k itu, maka aku akan membunuhmu. Auw.”Dina merintih saat kepalanya dipukul Linda menggunakan kepalan tangannya. Aku terkejut melihatnya namun ancaman Dina yang membuatku lebih terkejut. Seberapa sakit Ana waktu itu, kapan kau merasa tidak suka dengan orang tiba-tiba saja bahkan kau belum pernah melihatnya. Aku rasa aku mengalaminya sekarang, mendadak aku tak menyukai pria bernama Alex, aku karap dia tidak muncul di hadapanku atau aku akan menghajarnya.
‘kau terlalu banyak bicara. Jangan dengarkan dia Tristan, nikmatilah makananmu. Si kecil ini memang perlu di jitak untuk menjaga nada bicaranya. Sopanlah sedikit.”ucap Linda memarahi Dina yang memasang wajah cemberut. Aku tahu dia serius dengan hal itu, melihatnya membuatku teringat dengan Alice. Tapi Alice akan bergurau dan terlihat seperti menggoda, senyum dan tawa yang diberikannya saat ia memberikan ancaman. Itu lebih mengerikan.
“Aku belum bisa melakukannya saat terjadi pada Alex karena aku masih terlalu kecil. Aku tidak akan memaafkanmu jika kau melakukannya, walau aku sangat merestui kalian berdua saat ini karenaaa.. kau terlihat bisa melindungi kakakku yang sangat ceroboh itu.,”Dina menggeleng-gelengkan kepalanya terheran-heran. “dia benar-benar sangat ceroboh, percayalah padaku.”
Aku senang bisa mendapatkan kepercayaan itu walau kalimat itu berasal dari remaja labil yang banyak bicara. Dia terlihat tidak begitu akur dengan kakaknya siapa sangka jika sebenarnya dia sangatlah perhatian. Dina menghabiskan makanannya dengan cepat lalu meminum susunya sebelum berdiri untuk pergi sekolah.
“bismu akan segera datang, cepatlah.”seru Linda.
“aku tahu. Aku pergi dulu Tristan, tolong lindungi putri tidur di sana..”kata Dina yang membuat senyum di wajahku melebar.
“aku berjanji.”kataku. Matanya bersinar dengan senyum simpul di bibirnya, lalu matanya mengerjap saat ia bersikap seolah tak ada respon yang terjadi dalam dirinya barusan. Sungguh jika ia bergaul dengan Alice maka mereka berdua akan sangat akrab.
“aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi.”saat ia pergi aku mendengarnya menyapa Ray yang saat ini berada di luar rumah.
“maaf ya. Dina sangat banyak bicara, Ana selalu mengajaknya bicara banyak hal hingga anak perempuan itu menjadi seperti ini.”dia memang sangat mirip dengan Ana, tapi Linda berbeda ia lebih pendiam dari pada kedua putrinya tersebut.
“kau lebih kalem.”tanpa sadar aku bergumam dan terkejut dengan perkataanku sendiri. sesuatu telah terjadi dan aku tahu penyebab sikapnya berubah. Bisa-bisanya aku berucap seperti ini. Ia menjadi salah tingkah dan hanya tersenyum padaku. Aku menghabiskan makananku dan kopiku sementara Linda memasak sup untuk nenek. Dia berkata jika nenek sudah tidak bisa lagi makan-makanan yang keras.
Aku memutuskan untuk melihat Ana sebentar sebelum kembali ke Condoku dan berisap-siap untuk kembali ke New York. Ketika aku naik ke lantai atas menuju kamar Dina, aku melihat Ana masih meringkuk di kasur bawah smaping tempat tidur. Ia baru tidur saat kami kembali jam 4, aku tak tega membangunkannya sekarang, biarkan dia tidur sedikit lebih lama. Aku menempatkan diriku di sebelahnya, melihatnya tertidur dan kali ini keningnya mengerut lebih dalam dari sebelumnya. Tanganku tergerak, menyentuh pipinya yang lembut, perlahan-lahan kerutan di keningnya menghilang. Aku harap dia tidak membenciku setelah bangun nanti karena membuatnya takut semalam. Apa yang akan dia lakukan nanti saat berhadapan denganku? Dan apakah fakta semalam dapat membuatnya yakin untuk tetap stay di sisiku atau ia memutuskan untuk lebih membenciku dan berusaha untuk lebih menjauh.
Tubuhku membungkuk untuk menempelkan bibirku di dahinya, lalu pergi meninggalkannya sendiri. Aku harus ke Condo sebentar sebelum benar-benar pergi bersama dengan Ana kembali ke New York. Aku pamit pada Linda berkata padanya jika aku akan kembali menjemput Ana untuk pulang bersama, sementara saat ini aku harus pergi ke suatu tempat karena ada hal-hal yang harus ku urus.
**
Ray mengantarku kembali ke condo. Dia berkata jika pria yang tengah kami cari kemarin sudah tertangkap malam ini juga, jangan bermain-main denganku, bahkan semut yang bersembunyi pun akan ku temukan. Aku bergegas pergi menuju ke ruang bawah tanah dan beberapa pengawalku ada di sana, menjauhi si pria b******k yang tengah terduduk di salah satu kursi dengan kedua tangan terikat ke belakang saat aku menghampirinya. Ia menatapku dengan wajah sinis, senyum liciknya membuatku muak, walau wajahnya sudah di penuhi dengan luka memar kebiruan dan darah yang keluar dari bibirnya.
Aku menendang kursinya hingga ia terjatuh dengan kursi menyamping. Amarah menguasai diriku, sepatuku menempel di sisi wajahnya dan bibirnya masih saja tersenyum menyebalkan. Aku merasa ingin menghancurkan bibirnya sekarang sialan. Kesetian nya pada Shitler cukup membuatku terkesan karena sejak tadi ia tak juga berbagi informasi pada kami, bahkan hanya tersenyum dan tertawa seperti psyco gila yang membuatku semakin marah. Kedua tanganku mengepal, menginjak sisi wajahnya tak kunjung membuatku merasa puas, membunuhnya hanya membuat ia lebih cepat tak merasakan rasa sakit.
Aku menarik kakiku, kedua tanganku bertolak pinggang dengan kepala mendongak menghela nafas kesal. Aku meminta agar kursinya kembali di angkat dan menduduknya dengan benar. Aku melihat kilatan amarah dalam matanya, cara dia menatapku bibirnya meringis. Tubuhku membungkuk untuk bisa menatapnya dengan mata kami yang sejajar, menekan sisi kepalanya beberapa kali dengan jari telunjuk dan jari tengahku yang rapat. Ia tampak marah karena matanya mulai menyala-nyala dan aku menyukai kemarahannya.
“Bunuh saja aku tuan Xander, kau tidak akan mendapatkan apapun dari mulutku.”
“benarkah!,”salah seorang pengawalku memberikanku kursi untuk duduk di hadapannya dan mulai bicara. Mencoba untuk mengulik sesuatu darinya, pria itu terus berteriak untuk berbicara denganku, nyalinya sangat besar, dia mencoba untuk membuatku semakin marah. Aku menghadapinya dan membalas ajakannya dalam permainan ini. “kau pikir kau bisa melakukannya? Meminta orang lain untuk membunuh kekasihku.”
“tidak. Bukan dia yang akan membunuhnya. Menurutmu apa yang akan aku lakukan jika aku mendapatkannya? Memukulinya hingga tubuhnya membiru, menyayat kulitnya dan menusuknya berkali-kali, kau melihat pisau yang kau temukan, aku mengasahnya sendiri selama satu minggu supaya tajam, dan membuatku mudah untuk mengulitinya.”dia mencoba membuatku semakin marah, ap acara kerjanya, dan kenapa dia ingin membuatku membunuhnya. Kedua tanganku terkepal erat, sangat erat hingga membuat buku-buku tanganku memutih. Ujung lidahku menusuk dalam pipiku, merasa jengkel mendengarkan celotehannya yang membuatku membayangkan semua itu, hal itu tiba-tiba saja terlintas di dalam kepalaku hingga membuat tubuhku menegang. Ray menyentuh pundakku saat ia berganti posisi berdiri di dekatku, aku tahu ia memintaku untuk menahan diri, sesuatu yang sangat sulit untuk kulakukan saat ini, setelah mendengar bagaimana seseorang ingin membunuhseseorang yang cukup berharga bagiku.
“jika kau berencana untuk berbicara denganku dan mengirim informasi pada orang di antah berantah mana, yang bisa mendengarkan percakapan kita dari alat perekam yang berada di salah satu kulit tubuhmu maka kau sangat bodoh untuk bisa melakukannya. Aku bisa melacaknya tapi kau tidak akan mendapatkan apapun karena di dalam sini, benda seperti itu tidak akan berguna.”aku menarik diriku bersandar pada punggung kursi.
Ujung bibirku tertarik membentuk seringaian. “membunuhmu! Aku tidak sebaik itu. Kau cukup berani untuk berurusan denganku, bahkan menyuruh orang lain tanpa perantara seperti yang biasa tikus Shitler lakukan untuk bermain-main denganku.”
Aku meminta salah satu pistol dengan gerakan tanganku pada salah seorang pengawal lalu menempelkan di keningnya, ia tersenyum lalu memejamkan matanya dengan bangga. Ia sangat menginginkan untuk mati, maka aku akan memberikan kuburannya.
“jika kau sangat ingin mati maka aku akan memberikannya padamu. Dengan cara yang spesial, kau membuatku terkesan dengan caramu bermain-main.”
Aku berniat untuk pergi, baru saja membalikan tubuhku aku kembali menghadapnya dan meninju rahangnya dengan keras hingga membuatnya jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri. Nafasku memburu karena emosi, aku mencoba untuk menahan diri dengan tidak langsung membunuhnya.
“jangan membuatnya mati seminggu ini, buat dia bicara. Minggu depan aku akan memutuskan bagaimana caranya dia mati.”
Jangan bermain-main denganku, menganggu apa yang menjadi milikku jika kau tidak ingin mendapatkan kemarahanku. Sialannya pakaiku terkena cipratan darahnya saat aku meninjunya dan membuatnya mengeluarkan darah dari bibirnya yang sobek. aku memutuskan untuk segera mandi dan bersiap-siap untuk menjemput Ana lalu kami bersama kembali menuju New York. Aku masih merasa sangat emosional, sesaat aku memejamkan mata mencoba mereda rasa amarah dalam diri yang masih menggebu-gebu.
Masih ada waktu untuk bersiap-siap menuju New York, aku meminta Ray untuk membereskan barang-barangku sementara aku pergi menuju ruang olahraga, melampiaskan kemarahanku pada samsak yang tergantung. Hanya dalam waktu 1 jam aku membuat tiga samsak rusak, nagaimana jika aku menghajarnya tadi. Jika Ray tidak mengingatkanku untuk menahan diri, aku mungkin akan kehilangannya, mengenal Ana membuatku meminta Ray untuk menghentikkanku mengotori tanganku lagi seperti dulu. Belum cukup untuk melampiaskan emosiku, namun maslaahnya waktuku sudah terlalu dekat untuk segera bersiap-siap. Aku bergegas mandi dan berpakaian. Setelah siap kami langsung pergi menuju rumah Ana untuk menjemputnya.