Aku menjemput Ana dan sekalian berpamitan dengan Linda dan nenek. Ana terasa jauh, ia menjaga jaraknya dariku bahkan ekspresinya kelewat dingin, ia menghindari kontak mata dan membuat hatiku mengiris, sisi emosional dalam diriku menjerit, aku masih kalut dengan amarahku karena pria b******k itu dan kini Ana semakin membuat perasaanku memburuk. Saat aku menyentuh bawah punggungnya ia bergerak maju, seolah sentuhan tanganku menyakitinya. Aku akan membiarkannya, kemungkinan ia masih membutuhkan waktu untuk berpikir dan rasa khawatirku terwujud. Ana menjauh dariku, membuat jurang di antara kami. Ia masuk lebih dulu ke dalam mobil setelah memeluk tubuh Linda erat. Biasanya dia akan mengomeliku karena bersikap akrab dengan ibunya tapi kini ia hanya diam saja tanpa komentar apapun, Linda sepertinya tahu jika mood Ana dalam keadaan buruk, saat kami akan pergi menuju mobil ia berucap di dekat telingaku dengan suara berbisik.
“tolong sabar dalam menghadapi sifat kekanakannya.”
Aku hanya menganggukan kepala sebagai jawaban untuknya. “titipkan salamku pada Dina, aku akan menjaga kakaknya dengan baik.”kedua mata Linda berbinar saat menatapku, bibirnya tersenyum lebar. kepalanya mengangguk setuju, Ana sudah di dalam mobil dan duduk bersandar memandang lurus saat aku meliriknya.
“aku tahu kau bisa melakukannya, begitu pula dengan Dina.”
“aku pergi dulu mam.”ucap Ana serasa melambaikan tangannya, aku masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya. Ray mulai melajukan mobilnya dan keheningan melingkupi kami berdua. Wajah Ana terlihat murung, membuatku merasa bersalah karena menunjukkan sesuatu hal yang membuatnya ketakutan. Aku ingin mengatakan sesuatu, apapun itu untuk sekedar basa-basi asal bisa mendengar suaranya menjawab perkataanku dan meyakinkan diriku jika dia hanya ingin diam untuk saat ini bukannya tidak ingin berbicara denganku lagi.
Kami sampai di bandara dan aku turun lebih dulu, lalu dia menyusulku. Saat aku mengulurkan tanganku untuk membantunya keluar dari mobil, aku senang ia menyambut tanganku namun pandangannya hanya tertunduk lalu beralih ke arah lain. Kami membiarkannya duduk lebih dulu dan memilihkannya tempat, aku duduk di kursi sebrang sebelah kanannya. Dia terlihat tidak ingin bicara dengannya kupikir duduk tepat di sebelahnya hanya akan membuatnya terganggu dan semakin marah padaku. Aku memilih untuk bergelut dengan pekerjaan, diam-diam melirik ke arah Ana, dia hanya diam memandang ke arah jendela pesawat seraya mendengarkan musik, saat aku melihatnya lagi dia sedang tertidur.
Hari ini waktu terasa sangat lambat, walaupun aku sudah menyibukkan diri dengan pekerjaan tetap saja waktu terasa lambat sekali hingga membuatku kesal sendiri menunggu kami tiba di New York. Saat kami tiba Ana sudah terbangun. Bahkan saat kami berada di dalam mobil Ana masih saja terdiam, kebisuan ini menggangguku. Aku ingin bicara padanya, mendengarkan suaranya saat berbicara denganku. Tidak peduli dia akan menjawab ku atau tidak, aku hanya ingin mencoba dulu dari pada menahan diri.
“Ana,”aku menyebut namanya, meminta perhatiannya. ia tengah bermain ponsel dan mengabaikanku, biasanya dia akan menoleh padaku atau sekedar melirikku, namun saat ini ia benar-benar mengabaikanku. “berhentilan memikirkan hal-hal yang menganggumu, tidak perlu memikirkannya secara berlebihan, semuanya akan baik-baik saja. Selama kau bersamaku.”
Aku mengingatkannya tentang keamanan yang dia dapatkan jika bersama denganku, dan janjiku pada keluarganya terbesit dalam benakku. Aku tak akan pernah melanggar janji yang ku buat.
“bukankah,.. semua kejadian buruk ini terjadi karena aku bersama denganmu!.”kata-katanya menusukku, ia meluruskan punggungnya yang bersandar pada kursi, lalu wajahnya menoleh padaku, memberikanku perhatian namun juga menyakitiku dengan perkatannya barusan. Aku adalah masalah dalam hidupnya. “Aku tidak suka melihatmu untuk saat ini, kau membuat hidupku sulit. Seharusnya kita tidak pernah bertemu.”
Tolong jangan mengatakan hal itu padaku Ana. Pandangannya beralih menatap ke arah jendela, lalu memandang lurus melihat mobil di depan kami, tidak ada pergerakan sedikitpun, jalanan sangat ramai hari ini. “buka pintu belakangnya.”ucapannya membuatku terkejut, apa yang dia inginkan.
“jangan ikuti aku, aku butuh waktu sendiri, sudah tidak jauh dari Apartemen, jadi aku akan aman bukan!.”perkatannya tadi seolah mengunci bibirku rapat-rapat hingga aku kehilangan kata dan suaraku dalam waktu bersamaan. Aku hanya melihatnya pergi meninggalkanku di dalam mobil dengan kondisi tercengung. Aku kleuar dari dalam mobil dan berteriak memanggil namanya namun ia mengabaikanku dan memilih pergi kea rah sebaliknya lalu menghilang dalam belokan. Aku berniat untuk berlarik menyusulnya namun Ray menghentikkanku.
“seseorang sudah mengikutinya, dia akan baik-baik saja tuan Xander. Beri dia waktu, jika kau memaksanya Ana akan semakin nekat untuk menjauhimu. Kita tahu ia terlalu syok mengenai kejadian semalam.”Sialan. Aku benci dengan diriku sendiri dan masalah yang ku hadapi. Aku bukanlah pria baik dan itu benar, menghadapi wanita baik-baik seperti Ana rasanya sangat sulit, kupikir segalanya akan mudah. Hal yang membedakan Ana dengan wanita yang pernah dekat denganku adalah dia tidak menginginkanku, hal itu membuatku terus menariknya agar tetap di tempat yang sama bukannya kabur seperti yang biasa ku lakukan.
Aku mendengarkan Ray berbicara, dia sangat mendukungku dengan Ana, dan dia lebih mengeti tentang smeua hal ini di bandingkan ku, menjalani hubungan seperti ini bukanlah gayaku, aku tidak pernah bersama dengan seseorang yang sama lebih dari dua minggu, dan kini aku bersama dengan Ana hingga berminggu-minggu lamanya. Ray membawaku menuju apartemen dan aku setuju dengan hal itu, menunggu Ana di sana dan berusaha untuk meredakan emosiku, hari ini adalah hari yang sangat buruk, emosiku tidak stabil dan Ana mendiamiku membuat hariku lebih buruk.
Aku sampai lebih dulu di apartemen lalu bergegas mandi, hal yang menjengkelkan ku dengar dari Ray adalah pria bodoh yang tadi mengikuti Ana kehilangan jejaknya, sialan. Aku memerintahkan untuk mencarinya segera, berjalan mondar-mandir tidak jelas di dapur seraya menggenggam ponsel. Aku mencoba meneleponnya beberapa kali tak lama Ray datang membawa tas milik Ana, sialan dia tidak membawa tasnya dan ponselnya ada di tas, berdering karena aku menghubunginya.
Ponselku berdering tanpa melihat namanya aku mengangkat telepon tersebut.
“kau sudah menemukannya!.”kataku dengan suara tinggi yang hampir terdengar seperti bentakan keras.
‘Tristan! kenapa kau semarah ini? Kau baik-baik saja? Menemukan apa? Sesuatu hilang?.’
Aku terkejut mendengar suara nenek di sebrang sana, aku menjauhkan telepon dari telingaku untuk menarik nafas dalam-dalam, berusaha untuk meredakan emosiku yang meluap, hampir saja meledak. Aku tidak berharap nenek menelepon, bukan waktunya untuk bebricara tenang saat suasana hatiku dalam keadaan buruk.
“bukan apa-apa. Ada apa nenek menelepon? Ini bukan waktu yang tepat.”aku berharap pembicaraan ini tidak lama. Kemana semua pegawaiku kenapa tidak ada yang bisa menemukan keberadaan Ana, sialan. Mereka semua mmebuatku kesal bukan main.
‘Aku tidak membutuhkan waktu yang tepat untukmu. Hanya ingin memberitahumu jika aku sudah menemukan tempat yang tepat untuk gaun pernikahan kalian.’kedua mataku terpejam, keningku berdenyut karena rasa panik kehilangan jejak Ana, belum ada informasi apapun jika dia sudah ditemukan dan dia aman.
“terserah, tapi aku sedang sibuk saat ini. Bisa kita bicarakan nanti saja?.”saat moodku dalam keadaan baik dan Ana sudah ditemukan.
‘baiklah, kau selalu saja sibuk. Aku mengerti. Lusa kita akan bertemu dan bawa Ana bersama denganmu. Aku akan mengirimkan alamatnya, jangan sampai kau lupa. Aku akan meminta Ray memasukan jadwal ini dalam catatannya. Kau mengerti.’
“ya. sampai jumpa nanti.”
‘jaga dirimu dan Ana. Titipkan salamku padanya.’mendengar nenek menyebut nama Ana membuatku semakin gelisah. Dimana dia sekarang astaga.
“humm.”
Aku tak bisa berpikir jauh karena Ana terus membuatku memikirkannya. Aku tak bisa tenang. Lalu Ray berkata jika Ana sudah ada di lobby. Sialan, ia membuatku pusing setengah mati dan tiba-tiba saja muncul seperti ini. Aku senang namun aku juga merasa sangat jengkel dengan sikap bodohnya. Bagaimana jika dia terluka saat tidak dalam penjagaan. Kegelisahanku terhenti saat melihatnya baru saja tiba dengan salah seorang pengawalku. Aku mendekatinya dengan langkah lebar.
“kemana saja kau?.”Ana bersembunyi di balik tubuh pegawaiku, aku menakutinya hingga membuatnya bersembunyi namun aku menyerbunya dengan pertanyaan, pria yang berdiri di hadapanku terkejut dengan bentakanku sama seperti Ana, ia mencoba menghindariku dengan tak menghalangiku dari hadapan Ana namun Ana terus saja mengikutinya hingga membuatku cukup kesulitan untuk meraihnya. Mengerti kesulitanku ia kabur dari hadapanku, meninggalkan Ana sendirian.
“Hei.”protesnya saat pegawaiku kabur dan membuatnya tak bisa bersembunyi lagi. Ia ingin berlari mengikutinya yang langsung ku halangi dengan cara menarik pergelangan tangannya.
“Jangan menghindar lagi.”seruku tidak suka jika dia menjauh dariku.
“Kau membuatku takut, berhenti menatapku dengan ekspresi menyebalkan itu.”Ana menunjuk wajahku menggunakan jari telunjuknya, tepat di arah mataku yang membuat ku tertegun, tanpa sadar aku membuatnya takut. Aku tidak berniat seperti itu namun dia terus saja membuatku khawatir.
“hilangkan kerutan di keningmu, jangan menatapku setajam itu.” ucap Ana membuatku memejamkan mata sesaat agar tak mengerutkan keningku lagi, sebelum aku kembali menatapnya. Aku mengatur nafasku, tahan dirimu Tristan kau menakuti Ana.
“Nah. Itu lebih baik.”ucap Ana seraya tersenyum, sepertinya suasana hatinya sudah membaik. Ekspresi wajahnya terlihat berbeda dari sebelumnya. Ternyata benar kata Ray, membiarkan Ana berpikir, memberikannya waktu untuk merenungkan semuanya namun tetap saja aku tak ingin dia pergi sendirian tanpa penjagaan. Ana berniat pergi menuju kamarnya, hal itu membuatku segera menahannya agar tidak pergi kemana-mana, kami harus menyelesaikan semua ini dengan pembicaraan serius, dan juga aku menunggu jawaban darinya. Moodnya sudah lebih baik, tidak ada salahnya untuk bertanya mengenai keputusan yang akan ia ambil. Aku yakin Ana sudah berpikir matang-matang mengenai pilihannya.
“ada apa lagi?.”Ana terlihat sangat lelah, aku tahu tapi aku tidak sabra untuk mendapatkan jawabannya. Kita harus bicara segera, saat moodnya dalam keadaan baik, aku tidak mau dia berubah pikiran besok atau moodnya kembali buruk.
“bukankah kita harus bicara, darimana saja kau. Ponsel dan tasmu di mobil. Kau membuat..”
“itu urusanku aku mau pergi kemana, memangnya kau siapa. Ahh dan pembicaraan tentang pernikahan. Aku pasti tidak bisa menolak karena kau akan memaksa, tapi apakah tidak bisa.. maksudku jangan 2 minggu lagi.”kedua tanganku bersedekap, sikap defensive yang ku tunjukkan membuat Ana menghela nafas seraya memutar kedua bola matanya malas.
“nenekku akan datang untuk membicarakan tentang gaun pernikahan. Nenekku sudah memilih toko mana yang akan kita datangi, mungkin lusa kita akan menemuinya di sana.”perkataanku barusan membuat Ana terkejut, mulutnya sampai terbuka lebar mendengarnya. Matanya mengerjap karena kebingungan, pandangannya beralih dariku jengah saat ia kembali menatapku ekspresi wajahnya terlihat kesal.
“luar biasa yang mau menikah itu aku kenapa yang antusias nenekmu. Seharusnya kau mengatakan dari jauh-jauh hari. Tidak tiba-tiba begini.”protesnya. aku tahu ini sangat mendadak tapi aku tak bisa menerima penolakan lebih lama dari ini jika aku memberitahunya dari jauh-jauh hari. Akan ada banyak hal yang Ana pertimbangkan dan aku tak ingin merasakan hal itu.
“Aku sudah mengatakannya padamu waktu di Hotel, aku akan menagih sesuatu darimu nanti dan kau tidak boleh menolaknya.”aku mengingatkannya mengenai satu permintaan yang akan ia wujudkan. Ana menggelengkan kepalanya, ia memejamkan matanya sesaat sebelum kembali menatapku protes.
“tapi bukan berarti menikah. Ini terlalu mengejutkan kau bisa membuatku terkena serangan jantung.”Ana sangat berlebihan, ia sudah sangat cerewet berarti Ana ku kembali menjadi Ana yang normal. Anehnya aku senang mendengarnya banyak bicara.
“kau tidak akan mati Ana hanya karena mendengar informasi kau akan menikah.”percayalah jika wanita lain aku tidak akan mendapatkan jawaban seperti ini, mereka akan sangat senang dan mengatakan ya tanpa banyak pertimbangan, karena ini adalah Ana maka jawaban yang ku terima sangatlah berbelit. Bagaimana caranya agar dia mengatakan ya tanpa memprotesku.
“Apa ini paksaan dari kakek dan nenekmu?,”Ana masih berpikir jika hubungan ini adalah paksaan, tadinya ya tapi sekarang sudah tidak lagi. Ana adalah wanita yang tidak peka, seharusnya ia bisa menyadari jika perasaanku lebih dari itu. “ini semua gara-gara kau tidak mau menikah!.”
Kepala ku bergerak ke sisi kanan, hal itu membuat sebelah alis Ana terangkat. Sepertinya ada yang salah tentang ucapannya, ia tersadar perkataannya memang keliru. “maksudku kau tidak mau menikah sungguhan, ini pernikahan palsu. Jangan di samakan. Anggap saja ini akting. Ah.. dan juga aku sudah memikirkan hal ini. Memikirkan kerugian yang ku dapatkan, aku menuntut permintaan sebagai hakku atas pernikahan ini. Mari kita bicarakan setelah aku mandi.”
Baiklah, aku menganggukan kepalaku setuju. Aku sudah mandi sementara ia belum karena baru saja tiba setelah berkeliling entah kemana, membuatku panik. Ketika ia akan pergi aku menahannya lagi.
“ada apa lagiiiii.”ia terdengar sangat kesal. Aku menyodorkan tas nya yang tertinggal di dalam mobil. Ponselnya juga berada di sana, ia harus membawanya kembali ke dalam kamarnya.
“bagaimana bisa tasku ada bersamamu?.”sebelah alisnya terangkat saat mengatakan hal itu, apakah dia amnesia. Jelas-jelas dia yang meninggalkannya di mobil, pergi tanpa membawa apapun. Dia membuatku panik.
“tertinggal di mobil kau lupa!.”
“ahh kau benar. Terima kasih.”sebenarnya dia tidak perlu berkata terima kasih karena aku tidak melakukan apapun untuknya. Ana mendekap tas di dalam pelukannya lalu berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Aku terus memerhatikannya hingga siluetnya menghilang dari pandanganku. Bibirku tersenyum lalu memutuskan untuk membuat kopi dan menyiapkan sesuatu untuk pembicaraan kami.