Malam ini menjadi malam yang sangat mendebarkan bagi Bara. Ia akan datang ke rumah Rania, untuk pertama kalinya bertemu dengan kedua orang tua gadis itu. Ia sudah menyiapkan mental untuk lamaran ini. Seorang ustaz tempat Bara menuntut ilmu agama akan menemaninya melamar Rania. Tentu saja Bara sudah menceritakan semuanya kepada gurunya itu. Tak lupa Pak Amin, orang tua yang sudah sangat mengenalnya itu juga turut menemani.
Ketiganya pergi mendatangi rumah bercat putih milik orang tua Rania, menggunakan mobil sang ustaz yang bersedia memfasilitasi niat baik salah seorang muridnya
Sesampainya di depan rumah Rania, sang ustaz memarkirkan mobilnya di samping mobil bercat putih nan tampak gagah milik orang tua Rania.
Dada Bara berdebar keras, jauh lebih keras dari yang ia rasakan sebelum-sebelumnya. Ada banyak pertanyaan yang melintas di benaknya kini. Apakah orang tua Rania bisa menerima kehadirannya? Apakah orang tua Rania bisa menerima latar belakang keluarganya yang tidak jelas? Apakah orang tua Rania akan menyetujui lamarannya?
Ia berhenti sejenak di teras rumah itu dan menatap pintunya. Ada perasaan tak diterima kala melihat betapa Rania berasal dari keluarga berada. Sangat jauh dengan dirinya yang tidak mengenyam bangku pendidikan dan hanya memiliki usaha sebuah warung.
“Kenapa berdiri di sini? Ayo masuk,” kata Pak Amin. Ustaznya pun tersenyum melihat sikap sang murid yang tampak grogi.
Bara akhirnya mengikuti langkah dua orang tua di depannya itu.
Pak Amin mengetuk pintu rumah bercat cokelat tua itu. Tak lama, seseorang membukakan pintu dari dalam. Ayah Rania tampak terkejut melihat kehadiran Ustaz Hanafi di kediamannya. Ia tak menyangka sang ustaz, yang sering ia ikuti kajiannya, malam ini datang bersama seorang pemuda yang akan melamar putrinya.
“Assalamualaikum,” sapa Ustaz Hanafi dan Pak Amin.
“Wa-alaikumussalam, Ustaz, Pak Amin. Silakan masuk,” sambut ayah Rania ramah.
“Assalamualaikum, Pak,” sapa Bara yang berjalan di belakang kedua orang tua itu kepada ayah Rania.
“Wa-alaikumussalam, Bara. Ayo, masuk.”
“Terima kasih.” Bara tersenyum senang dengan sambutan ayah Rania yang terasa hangat. Mereka diajak duduk di sofa empuk di ruang tamu rumah itu. Baru dua kali ini Bara memasuki rumah besar itu. Pertama kali saat ini memaksa Rania dengan mengancamnya menggunakan pisau lipat agar gadis itu membawanya ke rumah. Dan malam ini, ia datang untuk meminta gadis itu menjadi ratu di istananya kelak.
Ibu Rania segera menuangkan teh hangat dari teko ke gelas, yang sudah ia siapkan sebelumnya di meja untuk para tamunya malam ini. Beberapa stoples berisi aneka makanan ringan juga tersaji di sana.
Bara melirik sekilas ke seluruh sofa, tak ada Rania di sana. Hanya ada kedua orang tua gadis itu. Pikiran-pikiran negatif pun kembali melintas di benaknya.
‘Kenapa Rania tidak ada di sini? Apakah aku tidak akan diterima?’
Orang tua Rania menanyakan beberapa hal pada Bara. Tentang asal usulnya, tempat tinggalnya, pekerjaannya, juga komitmennya dalam berumah tangga.
Bara menjawab apa adanya tentang dirinya. Ia tak mau menutupi hanya untuk mengambil hati orang tua dari gadis yang ini dilamarnya.
Sesekali, sang ustaz juga membantunya menjelaskan tentang sikap pemuda itu selama belajar agama bersamanya.
Orang tua Rania tampak menerima semua hal tentang Bara. Bagi mereka, bagaimana Bara kini telah berubah dan bertekad untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dan mengetahui tentang seluk beluk pernikahan.
Bara hanya diam saat ustaznya menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Kami senang sekali dengan niat baik Nak Bara. Apalagi Ustaz Hanafi sendiri yang langsung memintanya,” sambut ayah Rania atas lamaran yang diajukan oleh Ustaz Hanafi. “Tapi, jawabannya saya serahkan ke anaknya langsung. Saya hanya bisa merestui,” ujar orang tua itu. Semuanya mengangguk. Ayah Rania pun meminta istrinya untuk memanggil sang anak untuk menemui mereka di ruang tamu.
Tak lama, Rania datang bersama ibunya mengenakan gamis berwarna hijau daun, senada dengan kerudung lebar dan cadarnya. Bara terpesona hingga membuat degup jantungnya berdetak kencang.
Sang ayah kembali menyampaikan niat tamunya secara singkat kepada gadis itu. “Semua keputusan ayah serahkan padamu, Nak,” ucap orang tua itu pada anaknya. “Apakah kamu menerima lamaran Bara?” tanyanya.
Dari balik kerudungnya yang menjuntai panjang, Rania memainkan kuku-kukunya akibat rasa gugup yang teramat besar. Belum pernah ia merasakan kegugupan seperti ini ketika lelaki-lelaki lain datang melamarnya. Detak jantungnya juga seirama dengan Bara. Berdebar keras lebih dari biasanya ketika mereka bertemu.
Semua orang sedang menunggu jawabannya. Ia hanya menunduk tanpa berani memandang siapa pun. Lalu, tak lama gadis itu menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan dan penerimaannya atas lamaran Bara.
“Katakan iya, Nak kalau kamu menerima,” pinta ibunya agar mereka bisa mendengar lebih jelas jawaban gadis itu.
“Iya, Umi. Saya menerima lamaran ini,” ujar Rania dengan hati yang terus berdebar-debar.
“Alhamdulillah,” ucap semua orang di ruangan itu serempak. Tak terkecuali Bara, yang sejak tadi juga tak berani memandang sang gadis. Hatinya benar-benar lega saat ini. Ia tak menyangka, Rania akan menerimanya.
Bara memberanikan diri melihat sejenak ke arah gadis yang sedang tersipu malu itu. Hati keduanya kini sedang berbunga-bunga, menanti hari indah bahagia untuk menyempurnakan separuh agama.
***
Sebuah pesta pernikahan digelar di gedung yang sama saat terakhir kali Bara melihat Rania. Gedung yang juga digunakan oleh Pandu di pesta pernikahannya. Konsep pernikahan Islami juga diterapkan di sana.
Kedua pengantin duduk di singgasana terpisah. Sesekali, mereka saling mencuri pandang meski berjarak beberapa meter. Kemudian menunduk malu-malu.
Bara tak segan-segan lagi menatap wanita yang ia cintai. Tak ada larangan, apalagi dosa ketika kedua matanya terus menatap sepasang mata indah sang istri yang juga mencuri-curi pandang padanya dari singgasana yang terpisah.
Dengan gaun pengantin berwarna putih yang menjuntai indah di panggung pelaminan, Rania tampak semakin anggun meski wajahnya tetap tertutup cadar berwarna senada dengan hiasan manik-manik yang berkilau. Ia tersenyum menyambut tamu-tamu wanita yang datang menyalami dan mengucapkan selamat padanya.
Rania menoleh ke tempat sang suami yang baru mengucapkan ijab kabul pagi tadi dengan ayahnya. Lelaki itu juga sedang menoleh padanya. Pandangan mereka bertemu. Bara mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda sang istri, membuat Rania tertawa kecil. Pipinya yang tertutup cadar semakin merona. Sayang, Bara masih belum bisa melihat wajah tersipu yang kemerah-merahan itu.
***
Kelip bintang menghiasi langit malam. Tampak indah. Bulan seolah tersenyum kepada dua insan yang kini telah berada dalam satu ikatan yang suci.
Sepasang pengantin baru itu berdiri di balkon jendela kamar yang sejak kecil ditempati Rania. Keduanya memandang keindahan alam di langit luas.
Rania berdiri di sisi Bara mengenakan set gamis biru muda yang ia temukan di tempat sampah waktu itu.
Bara memandang sang istri dari atas hingga ke bawah.
“Baju ini ....”
“Kutemukan di tempat sampah,” sahut Rania lembut, membuat Bara salah tingkah. Lelaki itu mengelus tengkuknya yang dengan wajah menahan malu.
“Kenapa dibuang? Tidak menghargai rezeki!” protes Rania yang tampak merajuk.
“Maaf. Bukan begitu. Waktu itu, saat aku datang untuk meminta maaf dan memberikan baju ini sebagai hadiah ucapan selamat karena kamu sudah menjadi dokter, aku lihat seseorang melamarmu.”
“Dan Kakak menyerah begitu saja?”
Bara terdiam seraya mengembuskan napas perlahan-lahan. Ia lalu mengalihkan pandangannya dari sang istri dan menatap langit.
“Aku hanya tahu diri untuk tidak mengharapkan bidadari sepertimu,” ujar Bara tanpa mengalihkan pandangannya.
Darah di tubuh Rania berdesir mendengar pengakuan lelaki yang kini sudah menghalalkannya. Ia tak menyangka Bara memiliki pemikiran seperti itu.
Hening menyelimuti keduanya. Bara dan Rania masih sama-sama canggung. Degup jantungnya juga masih berdetak kencang berada dalam jarak yang sangat dekat satu sama lain.
“Aku selalu berdiri di sini, menatap bintang-bintang di langit saat memikirkan sesuatu,” ujar Rania, yang masih betah mengenakan cadarnya di hadapan sang suami.
Bara menoleh menghadap sang istri. “Termasuk memikirkanku?” tanyanya.
Rania menunduk tersipu, lalu kembali melihat indahnya bintang yang bertaburan di langit malam.
“Memikirkan lelaki yang menghilang tanpa kabar. Apakah ia baik-baik saja? Apakah ia masih istikamah? Apakah ia—“
Ucapan Rania terhenti saat Bara memegang dagunya dan menghadapkan wajahnya ke wajah lelaki itu.
“Terima kasih sudah memikirkanku. Maaf, Rania. Aku tidak bermaksud menghilang. Aku hanya—“
Kali ini, gantian Rania yang menghentikan kalimat suaminya dengan menggenggam lembut tangan Bara.
“Jangan diteruskan. Aku tidak ingin mendengar hal sedih malam ini.”
Bara tersenyum. Perlahan tangannya menarik ikatan cadar di belakang kepala Rania. Kain penutup wajah itu luruh ke lantai. Tampak wajah cantik kekasih hati di hadapannya.
Mereka saling tersenyum dan memandang penuh cinta.
“Kamu sangat cantik,” puji Bara, membuat kedua pipi Rania merona. Baru kali ini Bara melihat kemerahan di pipi wanita itu. “Semoga kamu suka baju yang kuberikan.”
“Sangat suka. Terima kasih, Kak,” jawab Rania dengan tersenyum sangat manis di hadapan suaminya.
Senyuman Rania menciptakan gelombang dahsyat dalam aliran darah lelaki di hadapannya.
"Rania …."
"I-iya," jawab pengantin wanita itu malu-malu, lalu menunduk.
"Maaf, membuatmu menunggu selama dua tahun," ucap Bara lembut. Ia meraih tangan sang istri dan mengecupnya perlahan.
Wajah Rania semakin merona. Ia malu mengakui bahwa selama dua tahun itu ia menunggu Bara kembali.
"Siapa yang bilang Rania menunggu?" ucapnya pelan, menyembunyikan senyum dengan melipat kedua bibirnya ke dalam.
"Pak Amin yang bilang," jawab Bara seraya terus memandangi wajah cantik yang tengah tersipu itu.
"Ih, Pak Amin! Awas nanti!" ucap Rania manja dengan memajukan bibirnya.
Bara tertawa kecil melihat ekspresi sang istri yang begitu menggemaskan di matanya. Ia mencubit pelan kedua pipi Rania.
"Maafkan aku, Rania," ujarnya kemudian. "Aku selalu merasa tak pantas bersanding dengan bidadari sepertimu. Karena itu aku menjauh," lirihnya. Bara menatap sendu wajah cantik dengan sepasang mata yang selalu membuatnya kagum.
"Aku hanya manusia biasa, Kak. Dan Allah tidak pernah membedakan hamba-Nya, kecuali dalam ketakwaan," tutur Rania, menatap lembut sang suami.
Bara tersenyum. Kalimat yang keluar dari bibir sang istri membuatnya semakin cinta dan kagum pada wanita itu.
"Aku mencintaimu, Rania. Ana uhibbuki fillah," ucap Bara lembut. Tangan kanannya mengelus pipi sang istri.
Rania tersipu. Pipinya semakin terlihat merah.
"Aku juga mencintaimu, Kak," ucapnya malu-malu. "Ana uhibbuka fillah.”
Kedua insan itu saling menatap penuh cinta. Cahaya rembulan menciptakan siluet indah ketika Bara perlahan membuka jilbab sang istri. Rambut panjang Rania tergerai indah di punggungnya. Bara mendekatkan wajahnya ke wajah sang istri. Semakin dekat, nyaris menyentuh bibir ranum di hadapannya, sebelum akhirnya sebuah ketukan pintu terdengar dan mengacaukan momen tersebut.
Keduanya terlonjak kaget, lalu tertawa kecil.
"Mengganggu saja," ucap Bara tertawa dan berjalan ke pintu kamar.
"Maaf, mengganggu pengantin baru," ucap Pandu setelah Bara membuka pintu sedikit. Anggota kepolisian itu tampak menahan senyum.
"Ada apa, Kak?" tanya Bara.
"Hadiah pernikahan." Pandu menyodorkan sebuah kotak persegi yang dihias dengan kertas kado.
“Bukankah tadi Kak Zahra sudah memberi kami kado?” tanya Bara heran.
“Iya. Tapi ini hadiah khusus dariku.”
"Terima kasih," ucap Bara senang menerima hadiah dari kakak iparnya itu.
"Sudah ya, Kak. Selamat malam ...," ucap Bara menirukan gaya wanita dan segera mengunci pintu. Ia tertawa lalu menghampiri Rania yang tersenyum geli melihat tingkahnya.
"Apa itu? Kak Pandu mencurigakan!" Rania duduk di tepi ranjang dan meraih kotak dari tangan Bara.
"Ayo kita buka."
Keduanya tercengang mendapati hadiah dari Pandu. Sepasang borgol yang biasa digunakan kepolisian menjadi hadiah pernikahan mereka dari sang kakak. Rania dan Bara saling menatap tak percaya.
"Ada suratnya." Bara mengambil sebuah kertas yang menempel di dinding kotak.
[Jaga Rania dengan baik. Kalau kulihat dia menangis, aku akan langsung menyeretmu ke penjara!]
Bara dan Rania saling memandang, lalu tertawa bersama.
"Dasar Kak Pandu." Rania tertawa lepas. Ia tak menyadari bahwa lelaki di sampingnya tak lagi tertawa, dan hanya memandangi wajahnya.
Bara menatap wajah Rania yang sedang tertawa itu. Wajah yang tak lagi tersipu itu tampak begitu cantik di matanya.
Rania akhirnya menyadari bahwa sepasang mata tengah menatapnya tanpa berkedip. Ia menghentikan tawa dan menutup wajah dengan kedua tangannya karena merasa malu ditatap oleh suami sendiri.
Bara menarik tangan Rania perlahan agar dapat melihat wajah cantik istrinya yang sedang tersipu itu.
"Kamu cantik," pujinya, membuat Rania semakin terbuai oleh pujian sang suami.
Bara mendekatkan wajahnya, merasakan hangat napas sang istri. Keduanya menyatu dalam sentuhan cinta suci sepasang kekasih. Di bawah cahaya rembulan yang menyinari.