Part 40 (Pengantin Baru)

1043 Kata
Bara membuka kedua matanya saat malam masih larut. Di saat semia orang masih terlelap dalam mimpinya, lelaki itu sudah tak bisa lagi tidur seperti biasanya. Pada jam-jam seperti ini, ia selalu bermunajat kepada Allah lewat salat-salat malamnya. Namun, ada yang berbeda dengan malam ini. Ketika membuka mata, ia melihat satu sosok bidadari yang tengah terlelap di sampingnya. Bara tak lantas bangkit dari tidur. Ia memiringkan tubuh dan menyangga kepalanya dengan tangan, siku bertumpu di kasur. Ia memandangi wajah cantik tanpa polesan bedak yang tampak sangat lelap dalam tidurnya. Bibir ranum berwarna merah alami yang tampak tersenyum, membuat Bara ingin meraihnya dalam sentuhan cinta yang hangat. Bara mengusap lembut rambut yang menutupi kening dan pipi wanitanya. Ia tersenyum sambil mengingat penyatuan cinta yang mereka lakukan sebelum tertidur. Ia kini telah benar-benar menjadi seorang suami, dari seorang wanita berharga yang menjaga dirinya hanya untuk kekasih halal. “Terima kasih, Rania. Semoga aku bisa menjadi imam yang baik untukmu, di dunia hingga akhirat,” ucapnya pelan, lalu mengecup lembut kening sang istri. Bara lantas beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar pengantin itu. Ia mengguyur sekujur badan untuk membersihkan hadas dan tubuhnya sebelum bermunajat kepada Sang Pencipta di sepertiga malam ini. Setelah selesai mandi dan melilitkan handuk di pinggangnya, ia segera mengenakan baju Kokoh yang masih ia simpan di dalam koper. Kemudian, Bara menuju tempat tidur untuk membangunkan sang istri yang masih tampak lelah. Meski tak tega karena Rania mungkin terlalu lelah karena seharian menjadi ratu di pelaminan, juga kegiatan sakral cinta mereka semalam, Bara tetap mencoba membangunkan sang istri dengan lembut. Ia dekatkan wajahnya ke telinga bidadarinya dan berbisik lembut, “Rania, istriku ... mau salat tahajud bersama?” Rania hanya membalikkan tubuh dari miring menjadi telentang. Bara tersenyum melihat istrinya yang begitu imut seperti anak kecil. “Sayang, salat, yuk,” ucap Bara lagi, lebih dekat ke telinga Rania. Perlahan wanita yang baru satu malam melepas kegadisannya itu, mengerjap-kerjapkan mata. Bayangan Bara ada di depan wajahnya. Ia mengernyit dan langsung membuka mata lebar-lebar. “Kak Bara? Kenapa bisa di sini?!” pekik Rania dengan wajah yang begitu terkejut. Ia lantas menutupi rambut panjangnya yang indah dengan kedua tangan Bara tertawa melihat tingkah istrinya. Rania pasti tidak ingat bahwa mereka baru saja menghabiskan malam bersama sebagai suami istri. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah sang bidadari hingga hangat napas Rania terasa menerpa wajahnya. “Ka-k Bara ...,” ucap Rania ragu-ragu. “Iya, istriku,” jawab Bara lembut. Napasnya yang segar setelah sikat gigi, terasa di wajah Rania. ‘Istri?’ Rania nyaris memekik jika tidak langsung menutup rapat mulutnya dengan kedua tangan. Ia baru menyadari bahwa dirinya kini sudah menjadi istri dari lelaki di hadapannya. Ia juga teringat beberapa jam lalu, saat mereka menghabiskan malam berdua dengan penuh cinta dan rindu. Wajahnya tersipu. Pipinya merona. Rania merasa malu dipandangi oleh sang suami, yang masih tidak menjauhkan wajahnya. “Kamu benar-benar menggemaskan,” ucap Bara gemas sambil menggenggam tangan sang istri agar tak lagi menutupi mulutnya. Rania tersenyum dan menunduk malu. “Mau salat Tahajud bersama?” tanya Bara. Rania mengangguk. “Ya sudah. Mandi dulu sana.” Rania mengangguk lagi. Ia masih merasa malu untuk menatap sang suami. Ia pun beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. “Rania ...,” panggil Bara. Wanita itu menoleh menatap suaminya. “Iya, Kak?” “Jangan lupa niat mandinya,” goda Bara. Rania tersenyum seraya menggigit bibir bawahnya kesal. Lalu berlari ke kamar mandi. Bara yang melihat tingkah bidadarinya yang ternyata tampak manja dan menggemaskan saat mereka hanya berdua itu, tertawa kecil dan merasa sangat bahagia. Ia lantas beranjak dari kasur untuk mengambil mushaf Rania yang diletakkan di meja samping tempat tidur. Bibirnya fasih melantunkan ayat-ayat suci Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sembari menunggu Rania selesai mandi untuk menunaikan salat malam berdua. Selesai menunaikan ibadah salat malam berjamaah, Rania membaca Alquran dan Bara mendengarkannya. Keduanya hanyut dalam malam-malam panjang yang penuh dengan keberkahan. Setelah dua lembar Rania membaca, keduanya kembali duduk di kasur untuk bercerita banyak hal hingga subuh tiba. “Aku ke masjid dulu, ya, Sayang,” ucap Bara setelah terdengar lantunan azan. Suara merdu yang tak asing lagi menghiasi waktu-waktu salat di lingkungan rumah Rania. Pak Amin, orang tua itu masih semangat menjadi muazin hingga saat ini. Rania tersipu kembali saat mendengar kata “sayang” yang terlontar dari bibir suaminya. Bara mengecup kening sang istri cukup lama, lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan lembut. Bergantian Rania yang mengangkat tangan suaminya dan menciumnya dengan takzim. “Assalamualaikum, Sayang” ucap Bara sebelum beranjak dari tempat tidur. “Waalaikumussalam,” jawab Rania. “Itu saja?” “Waalaikumussalam, suamiku sayang.” Bara tersenyum lebar mendengarnya, lalu mengusap-usap kepala sang istri dan beranjak dari kasur. Ia meninggalkan kamar pengantin baru itu untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang Muslim, yakni salat wajib berjamaah di masjid. Kini, Rania hanya seorang diri di kamar. Ia bersiap untuk melaksanakan kewajibannya kepada Sang Khaliq di kamarnya. Kamar yang sudah disulap menjadi sebuah ruangan yang begitu khas dengan nuansa romantis. Seprei putih dan kelambu yang dihias sedemikian rupa, juga beberapa tangkai bunga di sudut-sudut kamarnya, membuat kamar pengantin baru itu terasa hangat. Juga minyak aroma terapi yang tercium wangi di seluruh penjuru kamar, menambah indah suasana pengantin baru di kamar itu. Di luar kamar, Bara yang sudah turun ke lantai 1, bertemu dengan ayah mertua dan kakak iparnya yang juga sudah bersiap untuk berangkat ke masjid. Abi dan Pandu tersenyum hangat melihat pengantin baru yang tampak sangat bahagia itu. “Rania sudah bangun, Bara?” tanya Abi. “Sudah, Bi.” “Ya sudah. Ayo, berangkat.” Ketiganya pun berangkat ke masjid An Nur dengan berjalan kaki. Bara benar-benar merasa bahagia saat ini. Tak ada lagi kesedihan yang mengusik hatinya. Pergi salat berjamaah ke masjid bersama keluarga baru, kakak ipar dan ayah mertua yang menerima kehadirannya dengan baik dan hangat. Meski awalnya, Pandu sempat tidak menyukai Bara sebelum menikahi adiknya. Namun, kini anggota kepolisian itu bisa menerima mantan kaki tangan pimpinan gangster itu sebagai keluarga baru yang akan membimbing adiknya ke surga Allah. Udara subuh tak begitu dingin di badan. Bara merentangkan tangan dan menghirup napas dalam-dalam udara ke dalam paru-parunya. Terasa berbeda. Aroma wangi kekeluargaan merasuki hidungnya. Ia benar-benar merasa menjadi hamba Allah yang paling beruntung di dunia ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN