Part 38 (Mengutarakan Niat)

1601 Kata
Sebuah mobil hitam berhenti di halaman rumah sakit, tak jauh dari tempat Bara berjalan menuju parkiran. Seorang gadis bercadar keluar dari dalam mobil tersebut dan melangkah masuk ke rumah sakit itu. Mobil hitam yang ternyata adalah taksi online itu pun pergi meninggalkan kawasan rumah sakit. “Rania? Bukankah itu Rania?” Bara yakin gadis itu adalah Rania. Ia pun segera mengejar gadis itu ke dalam rumah sakit. Setelah membuka pintu kaca dan masuk ke ruangan pendaftaran, Bara mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, tetapi tak menemukan gadis itu. Ia lantas berlari ke ruang tunggu. Kembali Bara melihat sekitarnya, tetapi tak juga melihat sosok wanita yang ia cari-cari. Bara kembali ke tempat pendaftaran pasien. “Mbak, apakah tadi Dokter Rania masuk?” tanyanya pada perawat. “Oh, iya, Mas. Baru saja.” “Ke mana, Mbak?” “Tidak tahu, Mas. Mungkin ke ruangannya. Apakah ada jadwal dengan dokter Rania?” tanya perawat itu ingin tahu. “Ruangannya di mana, ya?” tanya Bara tak sabar, membuat perawat itu jadi curiga. “Maaf, Mas. Saya tidak bisa memberi tahu. Jika ingin bertemu dengan Dokter Rania, silakan tunggu saja di situ,” jawab perawat itu sambil menunjuk kursi yang ada di ruang pendaftaran itu. “Ba-iklah. Terima kasih,” ucap Bara. Namun, ia tak ingin menunggu di tempat yang dimaksud. Bara memilih untuk keluar dan duduk di teras rumah sakit dekat pintu kaca. ‘Rania pasti akan keluar dari sini,’ pikirnya. Ia tak ingin melewatkan momen-momen penting malam ini. Bara yakin, Allah pasti sudah menakdirkan dirinya bertemu dengan gadis itu, meski Rania tidak sedang bertugas malam ini di rumah sakit. Bara menunggu dengan gelisah untuk beberapa saat. Ia berkali-kali menoleh ke pintu kaca itu untuk melihat sosok yang berjalan keluar di sana. Namun, beberapa kali pintu itu terbuka, hanya para keluarga pasien yang keluar masuk dari sana. Bara terus menunggu sambil sesekali mengentak-entakkan ujung sepatunya ke ubin. Tak lama, seorang wanita berpakaian tertutup warna violet, lengkap dengan cadarnya, melewati Bara. Bertepatan dengan datangnya sebuah mobil hitam dengan jenis yang berbeda dari mobil yang membawa Rania tadi. Gadis itu menghampiri mobil tersebut dan hendak membuka pintu. Namun, Bara segera menahannya dengan berlari dan memanggil nama gadis itu. “Rania!” Rania menoleh mencari seseorang yang memanggilnya. Suara itu benar-benar terdengar familiar di telinganya. Ia pun terkejut saat melihat Bara sudah berada di hadapannya. “Kak Bara?” Bara yang tampak terengah-engah, tersenyum lebar. Dugaannya benar. Gadis yang datang tadi benar-benar Rania. Dan malam ini Allah memberinya kesempatan untuk bertemu dengan gadis itu di rumah sakit. “Kamu mau ke mana, Rania?” tanya Bara setelah berhasil menenangkan perasaannya yang begitu berdebar-debar bertemu gadis itu. Rasa yang juga dirasakan oleh gadis di hadapannya. Dada Rania mendadak berdebar-debar melihat lelaki itu muncul di hadapannya. Lelaki yang baru kemarin ia ceritakan kepada sang ibunda, yang membuatnya menolak lamaran beberapa pria. “Ma-u pulang, Kak,” jawab Rania gugup. “Bisa kita bicara sebentar?” pinta Bara. “Bicara apa, Kak?” Bara menoleh kanan kiri. “Hmm, mungkin tidak di sini. Bisa beri saya sedikit waktu?” tanyanya. Rania menoleh kepada sopir taksi yang telah ia pesan sebelumnya. “Pak, maaf. Bisakah saya cancel?” tanya Rania pada sopir itu. “Ah, tidak usah dicancel!” sahut Bara. Ia lantas mendekati sopir tersebut. Rania pun refleks mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak dengan Bara. “Pak, Bapak jalan saja ke alamat tujuan. Ini saya bayar ongkosnya,” ucap Bara, membuat sopir taksi itu bingung. “Berapa tarifnya, Pak?” tanyanya lagi pada sopir yang terlihat bengong itu. “Empat puluh ribu, Mas,” jawab sopir. “Ini, Pak.” “Tapi Mbaknya tidak ikut saya?” tanya sopir itu bingung. “Tidak. Kami masih ada urusan. Maaf, ya, Pak,” ucap Bara. “Baiklah. Terima kasih, Mas.” Sopir taksi itu pun melajukan mobilnya ke tempat tujuan tanpa penumpangnya. Kini, tinggal Bara dan Rania yang berdiri saling berhadapan. Suasananya tiba-tiba terasa canggung. Namun, Bara berusaha untuk tetap tenang meski detak jantungnya berdebar kencang. “A-da apa, Kak?” tanya Rania penasaran. Tak sabar untuk mendengar apa yang akan dibicarakan lelaki di hadapannya itu. Semalam sudah batal. Malam ini ia sangat ingin mendengarnya. “Kita ke sana?” Bara menunjuk tempat yang tak jauh dari lokasi parkir. Rania mengangguk dan mengikuti langkah pemuda itu. Kini keduanya berdiri bersampingan dengan jarak satu meter. “Rania ....” Bara membuka percakapan setelah mengumpulkan segenap keberaniannya. “Aku ... ingin minta maaf atas apa yang telah terjadi dua tahun lalu." Rania tertegun mendengarnya. Jadi, hanya itu yang ingin dikatakan Bara padanya? Hal ini membuatnya mengingat kejadian dua tahun lalu, saat ia diculik dan Bara datang mengantar nyawa untuk menyelamatkannya. Dengan kondisi tubuh yang basah kuyup akibat diterpa hujan deras di Ibukota Jakarta, Bara berlutut di hadapan Bandot dan menghalau tembakan untuknya hingga lelaki itu terluka parah. Setelah itu, lelaki itu bak menghilang ditelan bumi dan tak ingin keberadaannya ia ketahui. Kilasan ingatan itu membuat d**a Rania merasa sesak. Kedua matanya kini menghangat dan ingin segera menumpahkan cairannya. “Rania ....” Suara Bara menyadarkan Rania dari ingatan yang membuatnya larut dalam perasaan sedih. “Kenapa Kak Bara minta maaf untuk hal itu?” tanya Rania parau. “Saya merasa sangat bersalah telah membuatmu berada dalam bahaya. Saya belum sempat meminta maaf untuk semua hal buruk yang telah saya lakukan, baik yang disengaja maupun yang tidak saya sengaja,” tutur Bara. Kalimat terakhir Bara justru mengingatkan Rania akan kejadian di masjid, saat lelaki itu tak sengaja memeluknya. Ia jadi merasa malu sendiri dan berharap Bara tak membahas hal itu. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena Kak Bara juga tidak bersalah,” balas gadis itu. “Terima kasih, Rania.” "Itu saja?" ucap Rania singkat, yang justru terdengar sedikit ketus. Ada kemarahan dari nada bicara dan sorot matanya. Ya, Rania marah karena lelaki itu menghilang, tak pernah menampakkan diri sekali pun selama dua tahun ini. Padahal, Rania sudah terlanjur jatuh pada sebuah rasa bernama cinta terhadap lelaki di hadapannya itu. Selama itu pula, Rania tetap menunggu kedatangannya. Namun, tak pernah sekali pun Pak Amin memberitahukan tentangnya. "Juga terima kasih atas semua bantuan yang kamu dan Kak Pandu berikan padaku,” ujar Bara. Rania mengangguk. Bara bergeming. Lidahnya keluh untuk mengucapkan sesuatu yang ada di dasar lubuk hati. Suasana hening dan canggung tercipta beberapa saat. "Tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, Kak?" tanya Rania. Ia menyentuh d**a dengan telapak tangan kanan di balik kerudung panjangnya. Berusaha meredam emosi yang terus bergejolak. Ada sebuah kalimat yang ia tunggu keluar dari lisan pemuda itu. Namun, tak kunjung ia dengar. Bara menatap mata indah gadis itu, lalu melemparkan pandangan pada bintang-bintang yang tengah menari di langit. "Rania—“ Ponsel Rania berdering. Ia segera mengangkat telepon. "Assalamualaikum. Iya, Rania sudah mau pulang, Umi. Abi tidak usah menjemput," ucap Rania pada ibunya di ujung telepon, lalu memandang wajah lelaki yang mematung di hadapannya. "Maaf, saya harus pulang sekarang." “Pulang sendirian dengan kendaraan umum?” Suara Bara terdengar khawatir. Bara teringat akan mimpinya tentang sang ibu yang dirudapaksa setelah taksi yang dinaikinya dibegal. “Lalu?” “Bahaya seorang gadis pergi sendiri, apalagi sudah malam dan naik kendaraan umum.” “Rumah saya dekat,” jawab Rania. “Tapi tetap saja ....” “Sudahlah, Kak. Tidak usah khawatir. Saya sudah terbiasa selama dua tahun ini pulang pergi sendirian ke rumah sakit naik kendaraan umum,” jelas Rania. Ada sedikit kesal dari nada bicaranya. Bara ingin mengantar gadis itu pulang. Namun, apakah Rania akan setuju naik motor berdua dengannya? Gadis itu pasti akan menolak. “Kalau begitu, saya akan mengikuti mobilmu dari belakang,” ujar Bara menawarkan bantuan. Ia benar-benar khawatir jika Rania pulang sendirian malam ini. “Tidak usah. Terima kasih!” sahut Rania tanpa memandang pemuda itu. Ia membuka aplikasi taksi online di ponselnya dan memesan taksi. Keduanya berdiri tanpa berkata-kata. Bara ingin mengatakan satu hal lagi pada gadis itu, yang menjadi inti dari niatnya menemui Rania malam ini. Namun, entah mengapa nyalinya pasang surut setiap kali berhadapan dengan gadis itu. Sementara, Rania menunggu mobil yang ia pesan dengan d**a bergemuruh. Sepasang mata indah itu berkaca-kaca. Ia meremas ponsel dan menggigit bibir bawah untuk meredam perasaan yang bergejolak. Lamaran, kalimat itulah yang ia tunggu-tunggu selama ini dari lisan Bara. “Rania ....” Bara memecah keheningan. "Aku ingin melamarmu," ucap Bara, bertepatan dengan masuknya sebuah mobil yang dipesan oleh Rania di depan mereka. Akhirnya kalimat yang sedari tadi tertahan itu meluncur dari bibirnya. Degup jantung pemuda itu kian berpacu semakin cepat. Rania langsung menoleh menatap kedua mata lelaki itu. Kalimat yang barusan ia dengar mampu membuat detak jantungnya serasa berhenti sesaat. Desiran halus menjalar ke seluruh nadinya. Kalimat itu akhirnya ia dengar, setelah nyaris kecewa. Rania menarik napas panjang, membuangnya perlahan. Kemudian berkata, "Datanglah ke rumah besok bada Isya," ucap dokter muda itu sebelum menghampiri mobil yang ia pesan. “Boleh aku mengikutimu sampai di rumah? Aku benar-benar khawatir.” Rania mengangguk. Senyum tersungging lebar di bibirnya yang tertutup cadar. Ia berjalan memasuki mobil di depannya dengan hati yang berbunga. “Tunggu sebentar, Pak. Saya ambil motor,” pinta Bara pada sopir taksi online itu. Ia pun segera menuju tempat parkir untuk melajukan motornya mengikuti mobil yang ditumpangi Rania. Bara tersenyum lebar sepanjang perjalanan mengikuti Rania hingga sampai di depan rumahnya. Di perjalanan, sesekali Rania melihat Bara dari kaca spion mobil. Hati keduanya kini diselimuti bunga-bunga indah berwarna-warni. Puji syukur atas kehendak Allah terucap dari bibir keduanya. Bara kembali ke tempat usahanya dengan perasaan bahagia. Bunga-bunga di taman hatinya yang gersang kini kembali bersemi. "Alhamdulillah, Ya Allah ...." Bara mengusap wajahnya perlahan. "Terima kasih, Rania."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN