Part 28 (Rania Diculik)

2170 Kata
Part 28 (Rania Diculik) "Jika kehadiranku membahayakanmu, aku akan pergi. Meninggalkan separuh hati yang telah kau curi." ~Bara~ *** Pak Amin berlari-lari menuju tempat Bara bekerja di tengah hujan yang sangat deras. Ia tak lagi memedulikan napasnya yang sudah sangat lemah dan terengah-engah. Orang tua itu hanya ingin segera menemui Bara dan memberitahukan sebuah kabar buruk kepadanya. Tak jauh lagi dari pandangan tuanya, Pak Amin akan segera tiba di tempat, di mana Bara tampak sedang duduk bersama para pekerja lainnya. Hujan yang sangat deras membuat para pekerja bangunan itu tak bisa melanjutkan pekerjaannya. Mereka hanya bisa duduk menunggu hujan mereda. Bara yang melihat Pak Amin berlari-lari ke arahnya segera berdiri dan menghampiri orang tua itu. Wajah Pak Amin tampak sangat panik dan khawatir. Napasnya tersengal-sengal saat Bara sudah berada tepat di hadapannya. “Pak Amin? Ada apa? Kenapa berlarian ke sini?” tanya Bara yang turut panik melihat raut wajah orang tua itu. "Bara, Rania diculik!" Dunia serasa berhenti berputar. Petir yang tiba-tiba menyambar, seolah-olah turut menyambar hatinya. ‘Rania … diculik?’ batin Bara syok. “Seseorang mengirim surat untukmu." Pak Amin mengeluarkan sebuah amplop putih berisi sebuah surat tanpa nama dari kantong celananya. "Ada orang tak dikenal melempar batu ke kaca masjid sampai pecah. Ketika saya lihat, ada surat di batu itu untukmu.” Bara segera membuka surat tersebut. Surat itu sudah basah, tetapi tulisan di dalamnya masih bisa dibaca. [Jika ingin gadis itu selamat, datang ke markas seorang diri! Tak boleh seorang pun tahu!] Tulisan tangan itu sangat familier bagi Bara. Ia sangat mengenal tulisan tangan yang tak kalah buruk dari tulisannya. Tulisan yang membuat gemuruh di dadanya menyembur keluar. Ia sangat tahu persis, siapa sosok yang ada di balik penculikan Rania. Bara meremas kertas tersebut erat-erat hingga urat-urat di tangannya menonjol. Begitu juga dengan urat-urat lehernya yang seperti hendak keluar seiring kemarahannya yang membara. Wajahnya kini tampak merah membara. Rahangnya mengeras. Tatapan tajam dari mata elang itu terlihat sangat menakutkan. Napasnya memburu seiring detak jantungnya yang berpacu kencang. Ia merasakan darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun. Penculikan Rania membuat singa yang tidur itu pun bangkit dengan kemarahan besar. Bara bergegas menuju tempat yang dimaksud oleh penulis surat tersebut. Ia tak peduli lagi dengan apa pun. Di pikirannya hanya ada Rania. Gadis itu harus selamat tanpa tersakiti sedikit pun. Tak akan ia biarkan orang-orang biadab itu menyentuh Rania satu inci pun dari kulitnya. "Bara! Siapa mereka?" Teriakan Pak Amin tak lagi ia pedulikan. Hatinya dipenuhi amarah, serta ketakutan akan keselamatan Rania. Bara terus berlari kencang di tengah derasnya hujan menuju markas Bandot. Ya, lelaki biadab itulah yang menjadikan Rania sebagai umpan untuk menangkap dirinya. ‘Bandot biadab! Aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!’ umpatnya dalam hati. Sisi lain dari dirinya kini muncul. Selama ini, Bara tak pernah mau melakukan begal, apalagi sampai membunuh korban. Ia hanya merampok tanpa mau melukai korbannya. Namun, hari ini jiwa gelap dalam dirinya seketika bangkit dan membuat pemuda itu begitu bernafsu untuk mencabik-cabik tubuh lelaki yang telah menculik gadis pujaannya. Bara terus berlari secepat kilat. Wajah Rania yang melintas di benaknya membuatnya tak sabar untuk segera tiba di tempat terkutuk yang membuatnya menjadi kaki tangan iblis selama bertahun-tahun. ‘Ya Allah … selamatkanlah Rania.’ Batin Bara merintih. Ia terus berharap Allah melindungi wanita yang ia cintai dari tangan-tangan kotor Bandot dan para pengikutnya. Setelah berlari menembus hujan dengan jarak yang cukup jauh, Bara berhenti pada sebuah bangunan tua di daerah yang cukup jauh dari perkampungan. Sebuah bangunan petak yang bentuknya mirip dengan gerbong kereta api itu tampak tua dan kotor. Di sekeliling bangunan itu, terdapat tembok tinggi yang membuat orang-orang di luaran sana tidak akan bisa melihat apa yang terjadi di dalam markas terkutuk itu. Lima orang pengikut Bandot berbadan besar sudah berjaga di depan gedung tersebut. "Di mana Bandot?!" teriak Bara penuh amarah. Para penjaga itu saling memandang. Kemudian memberikan isyarat padanya untuk mengikuti mereka. Bara berjalan di antara lima orang tersebut di sebuah lorong di dalam bangunan tua itu. Namun, tiba-tiba …. Bugh! Sebuah pukulan keras mendarat di tengkuknya. Seorang pengikut Bandot yang berjalan di belakangnya memukul kuat hingga membuat Bara terhuyung dan nyaris kehilangan kesadaran. Belum sempat ia berdiri tegak dan menyiapkan diri untuk melawan kelima orang pengikut Bandot itu, salah seorang di antara lawannya mengarahkan tendangan ke perutnya. Bara tak sempat menghindar hingga ia terjungkal. Kepalanya nyaris saja membentur sebuah lemari besi jika saja ia tak sigap menahan tubuh dengan lengannya. Orang-orang berwajah bengis itu mendapat perintah dari Bandot untuk melumpuhkan Bara sebelum membawanya ke hadapan pemimpin kelompok gangster itu. Bara segera bangkit dan memasang kuda-kuda. Ia siap untuk melawan para algojo itu meski hanya seorang diri. Ia juga tahu bahwa di dalam sana, masih ada banyak pengikut Bandot yang akan dengan sigap menuruti perintah manusia bengis itu untuk melumpuhkan, bahkan membunuhnya. Dan Bara sudah siap dengan semua konsekuensi itu. Ia siap mati demi menyelamatkan Rania. Gadis yang harus dijaga kesuciannya dari tangan-tangan kotor Bandot dan para pengikutnya. Salah seorang lawan kembali melancarkan serangan adanya. Peia bertubuh besar itu mengangkat satu kakinya kaki ke wajah Bara. Namun, gerakan itu sudah bisa dibaca oleh Bara yang selama bertahun-tahun ini diam-diam mempelajari ilmu bela diri. Ia pun mengayunkan kepalanya ke belakang untuk menghindari tendangan lelaki di hadapannya itu. Lalu, dengan gesit Bara menarik tangan lawannya tersebut dan memelintirnya dengan kuat hingga terdengar suara seperti tulang-tulang yang remuk. Pria itu pun menjerit akibat merasakan tulang di bahunya patah. Bara kembali menyerang lawannya itu tanpa memberi jeda sedetik pun. Ia lantas meninju wajah bengis pengikut Bandot itu dan menendang perutnya hingga preman itu terpental. Tubuh besar lelaki itu pun terkulai lemah di lantai. Darah mengucur dari hidungnya. Bara hendak menoleh dan menghajar empat orang lainnya yang tersisa. Namun, tiba-tiba ia diserang dari arah kiri dengan sebuah pukulan keras yang tepat mengenai wajah tampannya. Cairan hangat mengalir keluar dari sudut bibirnya, yang dengan cepat ia usap dengan jari. Bara menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan untuk melemaskan otot-otot lehernya, lalu kembali memasang kuda-kuda. "Hiyaaa …!" Salah seorang di empat preman itu melancarkan tinju ke wajahnya lagi, tetapi Bara mampu menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya. Dengan gerakan cepat, kaki kanannya menendang satu preman lainnya yang hendak memukulkan linggis ke arahnya. Pria pembawa linggis itu pun tersungkur. Bara lantas meninju pria yang ada di sebelah kirinya dengan tangan kanannya. Ia lalu menerjang dengan cara melompat dan memukulkan kakinya dengan kuat ke punggung lawannya itu. Bumh! Pengikut Bandot itu pun terbaring dengan mata terpejam. Kini, sudah tiga orang pengikut Bandot yang terbaring lemah tak berdaya di lantai. Sedangkan dua orang lainnya, masih terus menyerang Bara. Kini, mereka hendak menyerang Bara bersamaan menggunakan balok yang ada di dalam ruangan itu. "Hiyaaa …!" Mereka memukulkan balok ke arah Bara. Namun, dengan cepat pemuda itu bisa menangkisnya dengan kedua lengan yang disilangkan ke depan. Perlahan-lahan kakinya mulai terseret ke belakang akibat dorongan kuat dari dua pria berbadan kekar. Dengan sekuat tenaga Bara mendorong balok-balok itu hingga membuat dua orang lawan di hadapannya nyaris terjatuh. Bam! Tendangan kuat dari kaki kanannya menerjang salah satu lawan hingga terjerembap di sebuah motor. Pengikut Bandot itu terjatuh dan merobohkan deretan motor lainnya yang didapat dari hasil pencurian dan pembegalan. Serangan dari satu-satunya lawan yang tersisa tak berhenti sampai di situ. Ia terus melancarkan serangan yang membuat Bara cukup kewalahan. Namun, Bara masih lebih gesit untuk menangkis serangan yang dilancarkan oleh satu-satunya lawan yang tersisa itu. Lawan yang sangat kuat, hingga membuat Bara lebih ekstra menanganinya. Bara terdorong ke samping setelah menerima tendangan kaki lawan di pundaknya. Ia memijit pundak sejenak, lalu kembali melawan lelaki itu. Pukulan demi pukulan mereka lancarkan. Tendangan bertubi-tubi yang nyaris imbang di antara keduanya. Bara melompat naik ke atas meja, lalu mengangkat satu kaki untuk menghindari tendangan tinggi dari lawannya yang berada di bawah. Pria yang memiliki tato di pipi itu melompat ke meja untuk mengejar Bara, lalu melancarkan pukulan ke wajah tampan pemuda itu. Sayang, berkali-kali pukulan yang dilayangkan oleh preman itu, mampu ditangkis dengan baik oleh Bara. Kini, mereka saling melompat dan mengejar dari satu meja ke meja yang lainnya. "Hiyaaak!" Bara melompat ke bawah dan segera meraih besi yang tersandar di sudut. Ia segera melayangkan pukulan menggunakan besi ke arah lawan. Prang! Sayang, pukulan tersebut tidak mengenai lawan, malah menghantam beberapa botol minuman keras yang berjejer di lemari kayu. "Aaak!" Tiba-tiba sebuah tendangan kuat mendarat di perut Bara tanpa ia prediksk. Bara terjerembap ke belakang akibat tendangan tersebut. Ia merintih kesakitan. Namun, tetap berusaha bangkit dengan satu tangan yang masih memegangi perut. Sebuah tendangan dari lawannya itu nyaris mengenai wajah tampannya. Beruntung, kali ini Bara sempat menghindar. Namun, lagi-lagi serangan bertubi-tubi harus ia hadapi. Pria bertato di hadapannya itu tak memberi celah sedikit pun padanya untuk menyerang balik. Preman itu terus saja menyerang Bara yang tampak mulai kelelahan. Prang! Besi-besi berjatuhan akibat tubuh Bara yang menabrak tumpukan besi itu di sudut ruangan. Hal itu membuat langkah lawan sedikit melambat. Bara pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera melompat dengan bertumpu pada sebuah meja, lalu satu kakinya menendang bagian kepala lawan. Brak! Tubuh besar itu menghantam lemari kayu yang nyaris penuh dengan botol minuman keras. Bara tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia segera melompat dan menghantamkan kedua sikunya dengan keras di punggung lawan, hingga membuat pengikut Bandot itu tertelungkup di lantai. Ia lalu menarik tubuh lelaki itu dan melayangkan tinju ke wajahnya. Tubuh algojo itu pun ambruk menghantam lemari. Prang! Lemari itu jatuh menimpa tubuh lawan yang tampak sudah tak bergerak lagi. Dada Bara naik turun. Napasnya memburu seiring detak jantung yang semakin cepat. Dengan melupakan rasa lelah dan sakit di beberapa bagian tubuh, juga sekujur badan yang basah kuyup, ia segera berlari ke dalam gedung tua itu untuk mencari sosok yang ingin sekali ia cabik-cabik dengan tangannya sendiri. Di ujung lorong, Bara melihat manusia kejam pemimpin gangster itu sedang duduk di sebuah kursi kayu dengan menyilangkan satu kaki, sambil menyesap rokok. Ia tampak begitu santai menyambut kedatangan Bara di atas kursinya, yang di kelilingi oleh lima orang pengikut berbadan kekar, sambil melemparkan senyum kemenangan sekaligus penghinaan kepada pemuda itu. Melihat ekspresi Bandot, amarah Bara semakin memuncak. Ia lantas berlari kencang untuk menerjang lelaki bengis itu. Namun, lagi-lagi ia dihalangi oleh para pengikut Bandot yang berbaris menghadang. Bara pun berhenti di tempat. "Biarkan dia lewat!" Suara yang sangat dibenci itu terdengar lantang. Para pengikut Bandot memberi jalan padanya. Kini, dua orang yang dulunya dianggap seperti ayah dan anak, sedang berhadapan dan saling menatap dengan tatapan tajam yang membunuh. Tatapan keduanya tampak ingin segera menerkam lawan tanpa ampun. Prok! Prok! Prok! Tepukan tangan Bandot menggema di ruangan itu. "Hebat! Kau bisa mengalahkan para preman. Pantas saja kau berani kabur. PENGKHIANAT!" teriak lelaki itu. Kilat kemarahan karena Bara melarikan diri dan markas dan tak ingin lagi menjadi kaki tangannya, membuat Bandot ingin menyiksa pemuda itu. Apalagi, saat itu ia sudah hampir berhasil menjual Bara kepada para penikmat lelaki sesama jenis ke luar negeri dan akan mendapatkan sejumlah uang yang sangat besar. Namun, ternyata Bara sudah mengetahui hal itu dan ingin membunuh dirinya saat itu juga. Jika waktu itu para pengikut Bandot lainnya tak segera sigap menolong, Bara pasti sudah berhasil membunuh Bandot. Mengingat hal itu membuat amarah Bandot menyala-nyala. Dengan cara apa pun akan ia lakukan demi mendapatkan pemuda itu kembali padanya. Dan sekarang, ia merasa nasib kembali berpihak padanya. Seorang pengikut setia yang mendekam di balik jeruji besi yang terletak satu blok dari tempat Bara mendekam di penjara, dialah yang memberikan informasi tentang pemuda bermata elang itu. Bandot lantas menyuruh pengikutnya yang lain untuk mencari informasi lebih jauh tentang kehidupan Bara saat ini. Ia lantas mengetahui bahwa Bara tinggal di sebuah masjid bersama seorang lelaki tua, juga sedang dekat dengan seorang gadis yang telah menolongnya. Setelah kesempatan itu tiba, Bandot pun menculik Rania dan menjadikannya sebagai umpan untuk menarik Bara keluar dari persembunyian dan menangkapnya hidup-hidup. "Di mana Rania?!" teriak Bara dengan lantang. Nyala api berkobar-kobar di manik hitamnya. Betapa ia ingin segera menghabisi manusia bengis di hadapannya itu. "Hahaha … tak menyangka gadis itu mampu membuatmu mengantar nyawa." "Di mana dia?!" Bara tak memedulikan ucapan Bandot. Yang ia butuhkan hanya Rania. Ia tak sabar untuk melihat gadis itu dalam kondisi baik-baik saja. "Bawa dia keluar!" perintah Bandot pada anak buahnya. Dua orang pengikut bandot menggiring Rania yang terikat tangannya di belakang untuk berdiri di samping pemimpin gangster itu. Rania menatap sendu pada Bara yang basah kuyup. Kedua mata indahnya dipenuhi dengan genangan air yang sejak tadi ia tahan agar tidak mengaliri kedua pipinya. Gurat ketakutan terlihat jelas di sana. Kini, itu menangis, membiarkan air matanya membasahi cadar. Ia menatap Bara dengan penuh harap. Harapan agar pemuda itu tidak kembali mengikuti apa yang Bandot inginkan. Rania tak ingin Bara kembali ke jalan gelap yang sudah menjadi masa lalu pemuda itu. Hati Bara seperti disayat sembilu melihat Rania menangis. Gadis tak bersalah itu sekarang menjadi korban atas dirinya, atas masa lalunya yang begitu kelam. Ia berdiri dengan kedua tangannya terkepal erat, hendak menghajar Bandot. Gigi-giginya gemeratak. Namun, ia tak bisa sembarangan bertindak jika ingin Rania keluar dengan selamat. "Lepaskan dia! Akulah yang kau inginkan!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN