Part 29 (Demi Rania, Mati pun Rela)

2043 Kata
Part 29 (Demi Rania, Mati pun Rela) "Lepaskan dia! Akulah yang kau inginkan!" Bara mengepal erat kedua tangannya, menahan amarah yang menyala-nyala. "Romantis sekali. Seorang Bara mengantar nyawa demi seorang gadis. Hebat …! Tak sia-sia aku menculiknya," ujar Bandot dengan seringai meledeknya. Lelaki bengis itu lalu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Rania yang sedang menangis ketakutan. "Wanita ini … apa istimewanya? Apakah dia lebih cantik dari perempuan-perempuan yang kami gilir?" ucap Bandot menyeringai, seraya memainkan jemarinya di kerudung Rania. Sorot matanya terlihat seperti hendak menerkam gadis itu, seperti ia menerkam gadis-gadis lainnya. Bara semakin terbakar emosi melihat wajah menjijikkan pemimpin kelompok biadab itu. "Biadab! Jauhkan tangan kotormu darinya!" teriak Bara lantang. Kilat kemarahan semakin jelas terlihat di matanya. Bandot semakin senang melihat amarah yang begitu besar dari sorot mata pemuda itu. Ia pun semakin senang memainkan emosi Bara dengan menggoda Rania, sebelum melumpuhkan dan menjual pemuda itu ke luar negeri. "Kenapa? Apa dia wanita suci yang belum pernah disentuh? Waw! Menarik! Aku jadi tidak sabar untuk mencicipinya." Nada bicara Bandot terdengar lembut, tetapi sangat menikam jantung Bara. Lelaki berwajah bengis itu mengusapkan telunjuknya di cadar Rania. Rania semakin terisak dengan kelakuan Bandot yang sungguh kurang ajar. Suara tangis ketakutannya pun terdengar jelas di telinga Bara. Gadis itu memejamkan mata kala jemari Bandot mulai menyentuh tali cadarnya. "AKU BILANG JANGAN SENTUH DIA!" Suara Bara terdengar bagai petir yang menyambar di dalam ruangan itu. Bandot benar-benar berhasil memancing emosi kedua insan tersebut. "Ha-ha-ha …! Kau tampak takut, hai anakku. Kenapa? Apa istimewanya gadis ini? Wajahnya tertutup kain. Jangan-jangan buruk rupa!” Ucapan Bandot disambut tawa oleh seluruh pengikutnya. "b******k!" Umpatan itu meluncur begitu saja dari bibir Bara. Ia benci disebut anak oleh lelaki berkelakuan iblis itu. Juga, ia tidak terima Bara menghina dan merendahkan Rania. "Bagaimana kalau kita lihat wajah kekasihmu?" Bandot menyeringai. Mempermainkan emosi pemuda itu terasa sangat menyenangkan baginya. "Lepaskan dia! Aku akan menuruti apa maumu." Bara mengalah, demi Rania. Ia tak sudi wajah yang selama ini dijaga dengan baik oleh gadis itu, harus diperlihatkan di depan manusia-manusia berhati binatang seperti Bandot dan para pengikut setianya. "Benarkah? Waw, menarik sekali! Seorang singa tampan menyerah begitu saja demi seorang wanita." "Kumohon, lepaskan dia." Pemuda itu pun memelas. Ia merendahkan diri demi keselamatan wanita yang menempati setiap relung hatinya. Demi Rania, ia akan melakukan apa saja. "Berlutut!" Perintah Bandot membuat kedua mata indah Rania terbelalak. Ia tak ingin Bara melakukan apa yang diperintahkan pria b***t itu. Ia tak ingin melihat harga diri lelaki yang sedang memperbaiki diri itu diinjak-injak. Sepasang matanya beradu pandang dengan Bara. Rania menggeleng. Sorot matanya memohon kepada Bara agar pemuda itu tidak menuruti apa yang diminta oleh Bandot. Bara bisa menangkap apa yang disampaikan Rania dari sorot matanya. Ia juga tak ingin menyerah dan berlutut begitu saja terhadap Bandot. Namun, ia lebih tak ingin lagi jika Rania yang dihinakan di sini. Belum sempat Bara melakukan apa yang diminta oleh pimpinan gangster itu, Bandot sudah tak sabar dan langsung menarik tali cadar di belakang kepala Rania. "Aa!" Rania menjerit ketika tali cadar itu ditarik dengan keras. Kain penutup wajahnya itu pun terlepas dan jatuh ke lantai. Wajah cantik Rania kini terlihat dengan jelas. Bibir merah muda yang sedikit tipis, hidung mancung bak putri Arab, serta kedua pipi tirus yang membuat wajahnya terlihat seperti seorang bidadari yang tersesat di bumi. Wajah cantiknya menyihir semua mata lelaki di ruangan itu, tanpa terkecuali. Bara yang baru pertama kali melihat wajah Rania tanpa cadar, juga turut menatap gadis itu tak berkedip. Kecantikan Rania benar-benar menghipnotisnya. Ternyata, ada sebuah lukisan indah ciptaan Allah yang selama ini bersembunyi di balik cadar itu. Ia terpesona. Kilat kemarahan mendadak berubah menjadi sorot kekaguman. "Rania …." Tanpa sadar bibirnya menggumamkan nama gadis yang tengah menangis di hadapannya itu. Namun, ia langsung tersadar bahwa kejadian ini justru membuat Rania semakin terisak. Hal ini seharusnya tidak terjadi andai ia dengan cepat berlutut mengikuti perintah Bandot. "Sangat cantik." Tangan Bandot menarik dagu Rania, membuat gadis itu mendongak ke arahnya. "Lepaskan tangan kotormu!" Kilat amarah itu kembali terlihat di mata Bara. Ia benar-benar tidak sudi satu inci pun kulit Rania tersentuh oleh lelaki lain, apalagi pria b***t seperti Bandot. "Berlutut! Atau aku akan melakukan yang lebih dari ini pada wanitamu!" ancam lelaki bengis berwajah gelap itu. Gigi Bara gemeretak. Tangannya semakin erat terkepal di kedua sisi pahanya. Perlahan ia menekuk satu lututnya, lalu menurunkan tubuh. Ia masih belum benar-benar berlutut di hadapan Bandot. Hanya satu kakinya saja, sedang kaki lainnya masih sangat lambat ia gerakkan untuk membuat posisi yang sama. Air mata Rania mengalir semakin deras. Ia tak tahan melihat lelaki yang telah mengisi separuh hatinya direndahkan seperti itu. Hanya doa dalam hati yang mampu ia lakukan. Berharap Allah melindungi mereka dari manusia-manusia keji itu. "Kenapa lama sekali kau menggerakkan lututmu untuk bersimpuh padaku, hah?!" teriak Bandot dengan geram. Lelaki itu memberi isyarat pada salah satu anak buahnya untuk melakukan sesuatu pada Bara. "Aak!" Salah satu anak buah Bandot menendang keras bagian belakang lutut Bara. Ia kini benar-benar bersimpuh di lantai dengan kedua kaki tertekuk. Ia berlutut sempurna di hadapan lelaki b***t yang tak mengenal ampun dan tak pernah mengasihani para korbannya. Rania memejamkan kedua matanya. Ia tidak tahan melihat Bara diperlakukan seperti itu. Ia tak ingin melihat Bara dihinakan demi dirinya. Air mata itu tak berhenti mengalir dari kelopak mata Rania. Hatinya teramat sakit melihat Bara diperlakukan begitu. Ia ingin meronta, tetapi tak bisa. Hanya doa-doa yang terus ia lantunkan di dalam hatinya. "Merangkak!" perintah Bandot tanpa melepaskan tangannya dari dagu Rania. Ia benar-benar ingin memperlakukan pemuda yang ia besarkan sejak kecil itu seperti hewan peliharaan. ‘Jangan lakukan, kumohon …,’ batin Rania menjerit. Ia berharap Bara bisa mendengar jeritan hatinya. "Cepat!" Bandot menekan jarinya di kedua pipi Rania. Membuat pemuda yang sedang berlutut itu semakin menunjukkan kemarahan. Namun, ia lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa demi keselamatan Rania, kecuali apa pun yang Bandot perintahkan kepadanya. Meski harus menjilat kaki pemimpin preman itu. Perlahan Bara mulai meletakkan kedua tangannya di lantai. Tubuhnya sedikit bergetar akibat amarah yang memenuhi rongga dadanya. Ingin sekali ia berlari menerjang lelaki bengis itu. Namun, jari hitam Bandot yang terus menempel di wajah Rania membuatnya mengurungkan niat. Ia tak ingin lelaki itu melakukan hal yang lebih buruk terhadap gadis yang tak ada hubungannya dengan permasalahannya bersama Bandot. Ia mulai menggerakkan tangan dan kakinya untuk merangkak seperti bayi, menuju tempat Bandot berdiri. Hati Rania semakin teriris melihat pemandangan itu. Tangisnya bertambah kencang hingga menimbulkan suara isak yang menyayat hati. "Ha-ha-ha! Lihat gadis ini! Dia menangis demi seekor anjing? Menggelikan!" Caci maki terus keluar dari bibir hitam lelaki bengis itu. Namun, bukan lagi cacian Bandot yang kini membuat gemuruh dalam d**a Bara membuncah, melainkan tangis Rania yang begitu menyakitkan. Bara tak tahan lagi mendengar isak tangis gadis itu. Namun, melihat Rania yang masih terikat di hadapan lelaki itu, membuatnya memilih untuk tetap melakukan perintah Bandot. "Lepaskan dia. Akulah yang kau cari. Bunuh aku jika itu yang kau inginkan!" ucap Bara pelan, tetapi penuh dengan pennekanan. Bara tak sanggup lagi melihat air mata Rania terus mengalir deras. "Membunuhmu? Nyawamu lebih berharga dari gunungan emas. Tidak mungkin aku membuang aset berhargaku begitu saja. Ha-ha-ha!" Tawa Bandot menggelegar di dalam ruangan. Benar saja yang ia katakan. Menjual Bara kepada orang yang telah memesan pemuda itu bisa membuatnya jauh lebih kaya. Hasil dari penjualan Bara jauh lebih besar dibandingkan berbulan-bulan ia merampok dan membegal korban-korbannya. Bara paham apa yang dimaksud lelaki itu. Aset berharga yang akan dijual kepada para manusia berkelakuan seperti hewan. Namun, lagi-lagi demi Rania. Ia harus bisa bernegosiasi dengan Bandot agar gadis itu selamat lebih dulu dari tempat terkutuk ini. Setelahnya, ia baru akan melawan Bandot dan para pengikutnya meski harus mati di sana. "Aku mohon padamu, lepaskan dia dan bawa aku ke mana pun kau mau …." Bara bersimpuh dengan kening di lantai. Ia tidak punya pilihan lain selain merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan lelaki itu. "Menarik sekali. Tapi aku sudah bosan dengan drama romantis ini." Bandot melepaskan tangannya dari dagu Rania. Ia tersenyum sinis melihat Bara bersujud, memohon padanya untuk melepaskan gadis itu. Ia lalu duduk kembali di kursi kayu di samping Rania. "Beri dia pelajaran!" perintah lelaki berkulit gelap itu kepada para pengikutnya. Beberapa orang lelaki bertubuh tegap menghampiri Bara yang masih bersimpuh di tempatnya. Mereka melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh pemuda itu. Tanpa ampun para preman itu melakukan kekerasan bertubi-tubi terhadap Bara. Tak ada perlawanan dari Bara. Ia hanya merintih menahan sakit di sekujur tubuhnya. Semua demi Rania. Apa pun akan ia lakukan asalkan gadis itu bisa selamat. Rania menangis kencang melihat Bara yang tak berdaya, menerima setiap pukulan tanpa ada perlawanan. Darah segar mengucur dari sudut bibir Bara, hingga tubuhnya yang masih basah kuyup itu jatuh dan tertelungkup di lantai. "Tidaaak! Tolong hentikan!" Rania menjerit. Ia tidak sanggup lagi melihat kekerasan terhadap Baradi depan matanya. Bara sudah tak berdaya, tetapi orang-orang itu masih saja memukulnya. "Hentikaan. Kumohon …!" Tangis gadis itu semakin menjadi-jadi. Ia meronta, berusaha melepaskan ikatan di tangannya. Namun, semua sia-sia. Tali yang mengikat tangannya ke belakang begitu ketat. "Kak Bara …! Kak Bara, bangun! Kumohon jangan mati …." Gadis itu berlari dengan tangan yang masih, lalu mendekati Bara. Ia bersimpuh di samping tubuh yang terkulai lemah itu. Isak tangisnya terus keluar dari bibir Rania. Lengannya mencoba menggoyangkan badan Bara agar pemuda itu bangun. Samar-samar suara lembut Rania terdengar memanggil namanya. Pukulan dan tendangan tak lagi mendarat di tubuh. Bara merasakan sebuah guncangan di punggung, juga tangisan yang menyayat hati. Perlahan Bara membuka kedua mata. Wajah cantik Rania kini ada di hadapan. Sangat dekat. Hanya beberapa puluh senti saja. Belum pernah ia sedekat ini dengan Rania. Gadis itu berlutut di sisinya. Menangis dan memanggil-manggil namanya. "Rania …," ucap Bara lemah. Rania menangis kencang di hadapannya. "Bangunlah, kumohon … jangan begini." Gadis itu tersedu. Air matanya jatuh ke pipi Bara. Setetes, dua tetes. Membuat semangat dan tenaga Bara perlahan-lahan mulai kembali. "Rania, jangan menangis," ucap Bara seraya memandang wajah Rania yang begitu dekat. *** “Pandu, aku melihat Rania dibawa sebuah mobil hitam!” Pandu yang sedang menyelidiki lokasi markas dari pimpinan gangster yang selama ini menjadi buronannya itu terkejut seperti tersambar petir, setelah mendengar penuturan sahabatnya di telepon, yang juga terdengar sangat panik. “Kamu tahu pelat mobilnya?” tanya Pandu cepat “B 4576 RK.” “Baik!” Pandu segera menutup telepon dan mencari informasi terkait mobil yang membawa adiknya. Sayangnya, ia tidak menemukan informasi apa pun karena pelat mobil yang digunakan itu pelat palsu. “Pak, lelaki bernama Bara itu pergi ke suatu tempat.” Seorang bawahan memberikan informasi kepada Pandu. Anggota kepolisian itu pun berpikir sejenak. Ia berpikir jika kepergian Bara itu ada sangkut pautnya dengan penculikan sang adik. Namun, ia masih ragu-ragu. Ia harus segera menyelamatkan sang adik. Sementara, tugasnya untuk menangkap buronan yang selama ini sulit ditangkap itu harus dilakukan sekarang. Tidak akan ada kesempatan lagi jika ia melepaskan lelaki itu saat ini. “Bagaimana, Pak? Kita berangkat sekarang?” tanya salah seorang anak buahnya. Pandu benar-benar dilema. Ia harus bisa memutuskan dengan cepat. “Segera siapkan pasukan. Kita berangkat sekarang!” perintahnya. “Siap!” Semua tim yang bertugas dalam misi penangkapan pimpinan gangster bernama Bandot itu pun berbaris sambil memegang senjata. Mereka segera keluar markas menuju mobil untuk berangkat ke lokasi yang sudah mereka temukan. “Pandu!” Teriakan Pak Amin di depan gerbang gedung kepolisian itu membuat Pandu yang baru membuka pintu mobil segera menoleh. Dengan tubuh yang basah kuyup, Pak Amin segera menghampiri Pandu. “Pak Amin, ada apa?” “Rania diculik oleh seseorang. Orang itu mengirim surat meminta Bara datang ke tempat mereka seorang diri.” Informasi dari Pak Amin akhirnya menguatkan dugaan Pandu bahwa penculikan Rania memang berhubungan dengan pemuda itu dan komplotan gangster yang menjadi incarannya. “Terima kasih, Pak. Kami akan segera menyelamatkan Rania,” ucap Pandu pada Pak Amin sebelum masuk ke dalam mobilnya. Pasukan yang terdiri dari dua puluh anggota khusus kepolisian itu pun langsung berangkat menuju lokasi yang sudah mereka pastikan. Sebuah markas yang selama ini menjadi tempat persembunyian Bandot dan para pengikutnya dari kejaran pihak berwajib. ‘Setelah ini, aku tidak akan pernah memaafkanmu!’ batin Pandu geram terhadap Bara. Ia menyalahkan Bara sebagai sebab atas penculikan sang adik yang tidak tahu menahu tentang kehidupan gelap pemuda itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN