Part 27 (Surat dari Bara)
“Kenapa kau menolak Irham?” Pandu yang tak mengerti jalan pikiran sang adik, tampak geram karena gadis itu menolak untuk meneruskan proses taaruf dengan sahabatnya.
Rania hanya diam memandang sang ibu. Ia berharap wanita itu bisa mengerti perasaannya.
“Sudahlah, Pandu. Kita tidak bisa memaksa Rania harus menolak atau menerima lelaki yang datang padanya. Rania punya hak untuk itu,” bela ibunya.
“Iya, Umi. Tapi, Pandu tidak habis pikir, alasan apa yang membuat Rania menolak? Karena belum siap menikah? Klise sekali!” geram Pandu.
“Kenapa Kakak sepertinya mengatur sekali hidupku, Kak? Abi dan Umi saja tidak memaksa seperti Kakak. Bahkan tidak pernah menjodohkanku dengan ikhwan mana pun. Tapi lihat Kakak! Belum apa-apa sudah merencanakan proses taaruf ini dengan teman Kakak. Apa hak Kakak atas hidupku?” tegas Rania. Kali ini, ia tak ingin lagi terus mengalah dan diatur oleh kakaknya.
Pandu tampak semakin geram mendengar kalimat-kalimat adiknya. “Lihat, Abi, Umi. Rania sudah berani membantah seperti itu.”
“Tenanglah, Pandu. Dengarkan Abi,” pinta ayah mereka.
Pandu pun menarik napas dan mengucap istigfar sebelum mendengar apa yang akan dikatakan ayahnya.
“Adikmu, Rania sudah dewasa. Dia bisa memilih yang terbaik untuk hidupnya. Rania juga punya hak untuk menolak ataupun menerima siapa saja yang ingin melamarnya. Kita hanya perlu mengarahkan jika itu bukan yang terbaik. Bukan berarti memaksa Rania dan menyalahkannya,” tutur ayah mereka.
Pandu menunduk merasa bersalah. Meski di dalam hatinya, ia masih berharap sang adik mau menerima lamaran orang saleh seperti sahabatnya, Dokter Irham. Ia ingin sang adik menikah dengan lelaki yang bisa menjaga agamanya, menjadi imam yang baik untuk saudara kandung satu-satunya itu.
“Kamu dengar, Pandu? Biarkan adikmu yang memutuskan,” tegur sang ayah.
“Dengar, Abi. Maafkan Pandu,” ucap lelaki yang tak lama lagi akan melepas masa lajangnya itu.
“Ya, sudah. Kalau begitu istirahatlah,” ujar ibu mereka. “Tidurlah, Sayang. Besok kamu harus kembali bekerja,” ucap Umi kepada Rania.
Gadis itu mengangguk. “Terima kasih, Umi, Abi. Rania istirahat dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam,” jawab keluarganya serempak.
Rania lantas pergi ke kamarnya, meninggalkan kedua orang tua dan sang kakak yang masih duduk di sofa ruang tamu. Kedua orang tua itu kini bergantian menanyakan Pandu mengenai pernikahannya tak lama lagi akan digelar. Tak lupa, sang ayah memberi nasihat padanya dalam memimpin sebuah biduk rumah tangga.
***
Rania berdiri di balkon kamarnya. Sebuah tempat favorit di rumah besar itu jika ia sedang ingin memikirkan sesuatu. Di sana, ia bisa menatap langit dan mentadaburi ciptaan Allah yang begitu indah di malam hari.
“Aku yakin itu Kak Bara. Tapi ... untuk apa ia datang ke rumahku malam-malam?” gumam Rania bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Ia lantas teringat akan pertemuannya dengan Bara di rumah sakit kemarin. Saat itu, Rania sangat penasaran mengapa Bara membawa seseorang yang terluka ke ruang IGD. Awalnya, ia mengira lelaki ynag dibawa itu adalah Pak Amin. Rania sempat memastikan dengan memperhatikan detail sosok yang terbaring lemah di brankar itu. Namun, ia sedikit lega bahwa orang yang terluka itu bukanlah Pak Amin.
“Siapa orang tua yang dibawa Kak Bara itu, ya? Apa hubungan mereka?” Rania terus saja bertanya-tanya pada dirinya sendiri, meski ia tahu tak akan pernah mendapatkan jawabannya jika tidak menanyakan sendiri kepada lelaki itu.
Pikirannya terus dipenuhi dengan sosok Bara. Ia menyadari bahwa pemuda itu berkali-kali melihat ke arahnya saat mereka berada di ruangan IGD. Dari sorot matanya, Rania bisa melihat bahwa ada rasa bersalah yang dirasakan pemuda itu kepadanya. Padahal, Rania sudah memaafkan kejadian itu. Sebab, ia sadar bahwa semua itu kecelakaan, dan bukanlah sesuatu yang disengaja oleh Bara.
“Ya Allah, lindungilah dia. Aku telah memaafkannya. Tuntunlah ia agar selalu berada di jalan-Mu,” doa Rania sebelum meninggalkan balkon dan merebahkan dirinya di kasur.
***
Matahari tampak malu-malu memancarkan sinarnya. Mendung menggelayut langit pagi ini. Rania harus tetap berangkat meski tak lama lagi sepertinya akan turun hujan deras. Ia harus bergegas tiba di rumah sakit sebelum air benar-benar turun dari langit.
Namun, sebelum berangkat ia menyempatkan diri untuk membuang sampah yang sudah dibungkus sang ibu di dapur. Saat membuka tutup tempat penampungan sampah dan hendak meletakkan bungkusan sampahnya di sana, ia melihat sebuah bungkusan yang dibalut dengan kertas kado berwarna biru muda dengan gambar bunga. Bungkusan itu masih tampak rapi dan bersih.
‘Punya siapa ini?’ batin Rania. ‘Apakah punya Kak Pandu?’
Ia penasaran. Sebab, tempat sampah itu hanya akan diisi oleh orang-orang yang ada di rumahnya. Setiap rumah di tempat tinggal Rania memiliki tempat sampah tersendiri di halaman rumahnya masing-masing.
“Atau punya Umi? Jangan-jangan tak sengaja terbuang,” gumamnya. Ia pun mengambil bungkusan tersebut dan meletakkan kantong sampah di tangannya ke dalam tempat sampah.
Rania hendak kembali ke rumah dan memberikan bungkusan itu kepada ibunya. Namun, langkahnya terhenti saat ia menemukan satu tulisan di bungkusan tersebut.
‘RANIA'
‘Rania? Apa ini?’ batinnya lagi, semakin penasaran dengan bungkusan misterius itu. Tiba-tiba ia teringat akan sosok Bara yang datang ke rumahnya semalam.
“Jangan-jangan ....” Ia segera menyobek sedikit bungkusan tersebut dan melihat sebuah kain berwarna biru muda di dalamnya. Dengan cepat Rania memasukkan bungkusan tersebut ke dalam tasnya, lalu berjalan ke persimpangan rumahnya untuk menunggu bus. Pandu tidak bisa mengantarnya pagi ini karena sejak subuh sudah berangkat ke markas kepolisian. Ada hal mendesak yang membuatnya harus segera ke sana.
Rania menaiki sebuah bus yang akan membawanya ke rumah sakit tempatnya bekerja, tepat sebelum hujan deras mengguyur bumi. Ia menghela napas lega karena tak harus menunggu bus lebih lama dalam kondisi seperti itu. Ia pun duduk di salah satu kursi yang kosong. Tak lama, bus kembali berhenti. Seorang penumpang lelaki dengan menggunakan masker dan topi hitam masuk dan duduk di kursi paling belakang. Meski tampak mencurigakan, tetapi Rania tak ingin mengambil pusing dengan hal itu. Sebab, ada banyak penumpang di dalam bus ini.
Kini, ia fokus pada sebuah bungkusan dengan kertas kado warna biru yang masih ada di dalam tasnya. Ia tak sabar untuk segera membuka isinya. Ada keyakinan yang besar di hatinya bahwa bingkisan tersebut dibawa oleh Bara semalam.
Ia pun mengeluarkan bingkisan itu dari dalam tasnya dan menyobek kertas kado yang membungkus rapi. Ada sebuah kertas di dalam bungkusan tersebut, selain sebuah plastik bening berisi kain—yang Rania yakini dari merek yang tertera di plastik tersebut—sebuah set gamis berwarna biru muda.
Rania membuka lipatan kertas itu dan melihat beberapa baris kalimat yang tertulis di sana. Sebuah tulisan yang bisa dikatakan seperti ditulis oleh anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
‘Rania ... aku sungguh-sungguh ingin meminta maaf atas semua yang telah terjadi. Saat di masjid itu, sungguh aku tidak mengira kamu ada di sana. Aku hanya ingin memberi kejutan kepada Pak Amin setelah keluar dari penjara. Namun, ternyata aku begitu ceroboh.
Selama ini, aku terus merasa bersalah. Sampai melihatmu saja pun aku tidak punya muka. Aku sungguh-sungguh malu sampai tidak berani datang untuk meminta maaf padamu.
Dan malam ini, segenap keberanian aku kumpulkan untuk meminta maaf padamu. Aku sungguh-sungguh minta maaf, Rania.
Dan, selamat sudah menjadi seorang dokter. Ini ada hadiah kecil untukmu yang kubeli dari hasil bekerja sebagai kuli bangunan. Maaf jika kamu tidak menyukainya. Sekali lagi, aku minta maaf atas segala perbuatanku sejak kita bertemu hingga saat ini. Semoga Allah selalu menjagamu.’
Rania menggenggam erat surat tersebut dengan tangan gemetar. Dadanya terasa sesak menahan tangis. Andai saat ini ia berada di dalam kamarnya, tangis itu pasti sudah pecah. Air mata akan mengalir deras di kedua pipinya.
Surat dari Bara benar-benar membuat hatinya tersentuh dan terenyuh. Ternyata, selama ini lelaki itu memendam rasa bersalah padanya. Rania semakin sakit membayangkannya.
Bara ... pemuda asing yang belum lama ia kenal, mampu menciptakan rasa sakit yang mendalam di hati Rania atas semua kesalahpahaman ini. Ia juga tak ingin menyalahkan Bara atas apa yang sudah terjadi. Ia hanya merasa malu. Malu bertemu dengan lelaki itu. Juga ... malu menghadap Rabb-nya.
Ia juga tak menyangka lelaki itu benar-benar datang ke rumahnya semalam. Rania yakin Bara berniat meminta maaf secara langsung padanya. Namun, waktu yang tak tepat membuat mereka tidak dapat bertemu.
Rasa cinta yang berusaha ia kubur selama ini, mendadak kembali muncul di permukaan. Perasaan itu kembali bersemi. Meski ia tahu, ia harus tetap menjaga hati untuk suaminya kelak, yang ia tak tahu siapa jodoh yang telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfuz untuknya.
Dari lubuk hati kecilnya, Rania berharap masih bisa bertemu dan mendengar kalimat yang ada di dalam surat itu secara langsung meski hanya sesaat.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Rania memandangi air hujan yang menetes di kaca jendela bus. Dalam hatinya terus berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat dirinya maupun Bara. Hingga tanpa sadar, rumah sakit sudah hampir dekat. Ia pun bersiap untuk turun.
Bus berhenti tak jauh dari seberang rumah sakit. Suasana hujan deras seperti itu membuat orang-orang yang biasa berlalu lalang di sekitar sana, tampak sepi. Rania turun dari bus. Di belakangnya, seorang penumpang yang memakai masker dan topi hitam juga turun. Rania hendak berlari ke tepi jalan untuk menyeberang. Namun, seseorang menariknya dan menutup wajahnya dengan sebuah sapu tangan hingga tubuh gadis itu terkulai lemah tak sadarkan diri.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan mereka. Dan dengan gerakan cepat, lelaki itu membawa Rania ke dalam mobil.
“Rania!” teriakan Dokter Irham yang sedang menyetir mobil beberapa meter di belakang mobil hitam itu, hanya terbawa oleh suara hujan yang deras. Ia bisa melihat bahwa gadis yang sedang tak sadarkan diri dan dibawa masuk ke mobil itu adalah Rania. Dokter Irham pun segera menancap gas mengejar mobil itu di tengah hujan yang deras.
Sayangnya, mobil hitam itu terlalu kencang dan sempat melewati lampu lalu lintas yang sedang menyala kuning. Dokter Irham hendak menerobos lampu merah untuk mengejar mobil itu. Namun, baru satu meter mobilnya melewati batas persimpangan, nyaris saja sebuah mobil dari kanan menabraknya. Jalur lain yang sedang menyala hijau pun sudah ramai dipenuhi kendaraan sehingga tak memungkinkan bagi Dokter Irham untuk terus melajukan mobilnya.
Ia pun kehilangan jejak mobil misterius itu.
“Ya Allah, lindungi Rania,” doanya. Lalu mengambil ponsel dari dalam saku celana dan menghubungi Pandu untuk memastikan kondisi Rania saat berangkat kerja.
***