Part 42 (Ke Makam Ibu)

1036 Kata
Matahari kian terik kala Bara dan Rania terus mencari informasi mengenai tempat pemakaman sang ibu pada warga yang tinggal di kawasan tempat tinggalnya dulu bersama sang ibu. Ketua RT yang baru sama sekali tak mengetahui tentang ibunya Bara. Lelaki itu pun harus mencari lagi informasi dari semua orang yang ada di sana, yang sudah tinggal di tempat itu sejak Bara dan ibunya masih bersama. Setelah sekian puluh rumah mereka datangi, akhirnya Bara mendapatkan informasi dari salah satu warga yang sudah paruh baya. Mungkin, usianya tak jauh berbeda dengan ibunya jika masih hidup. Wanita itu mengetahui tentang Bara kecil dan ibunya, yang tinggal di rumah yang tak jauh dari rumahnya kini. Ia memberikan informasi mengenai ibu Bara yang meninggal dibunuh oleh preman yang tak diketahui keberadaannya, lalu memberi tahu di mana wanita malang itu dikuburkan oleh warga. Bara membawa sang istri segera menuju tempat pemakaman umum, di mana jasad sang ibu terkubur di sana. Dengan hati menahan pedih dan kerinduan yang teramat sangat, Bara mengucap istigfar sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan. Sesampainya di sana, ia segera memarkirkan motornya di halaman luar pemakaman yang tersedia untuk para kendaraan roda dua para pengunjung makam. Ia lantas bergegas membawa sang istri untuk mencari sebuah makam bertuliskan Andini, yang dimakamkan 23 tahun lalu. Ia segera menuju lokasi makam sesuai petunjuk yang telah ia dapatkan. Setelah memperhatikan makam satu per satu, Bara akhirnya menemukan sebuah makam yang sudah dipenuhi dengan rumput. Tulisan di kayu nisannya juga nyaris tertutup lumut. Nama dan tanggal yang tertulis di sana, sama persis dengan nama dan tanggal meninggalnya sang ibunda. Lutut Bara lemas seketika. Ia berlutut di samping pusara sang ibu dengan d**a sesak bagai ditimpa batu-batu besar pegunungan. Perlahan tangannya membersihkan lumut di kayu nisan itu dengan gemetar. Ia tak tahan lagi. Tangisnya pecah di pusara ibunda. Bara tak kuat lagi menahan kesedihan dan kerinduannya kepada sosok sang ibu. Ia peluk pusara sang bunda dan menumpahkan tangisnya di sana, tanpa peduli rasa malu akan kehadiran sang istri di sampingnya. Kerinduan yang teramat sangat membuat stok air mata yang selama ini tersimpan, tumpah ruah di atas gundukan tanah yang dipenuhi rumput-rumput yang cukup tinggi. Ia seperti anak kecil yang kehilangan sosok sang ibu. Rania yang berjongkok di sampingnya juga tak bisa menahan perasaan sedih melihat kesedihan sang suami. Air matanya mengalir membasahi cadarnya. Ia benar-benar tak menyangka akan masa-masa sulit yang dilalui suaminya sewaktu kecil. Bahkan, lelaki itu baru tahu di mana makam ibunya setelah dua puluh tahun lebih mereka terpisah. Rania berusaha menguatkan dirinya sendiri agar bisa menguatkan sang suami. Ia hapus air mata dengan ujung kerudungnya, lalu memeluk punggung sang suami yang meringkuk di pusara ibunda. Ia biarkan lelaki tercintanya itu meluahkan seluruh kesedihan dan kerinduan hingga tak ada lagi sesak yang menggelayut di dadanya. Setelah puas menangis di pusara sang ibu, Bara pun menegakkan punggungnya dan melihat wajah sang istri, yang cadarnya sudah basah dengan air mata. Keduanya saling menatap sendu. Rania menghapus air mata di kedua pipi sang suami dengan tangannya. Bara lalu menggenggam tangan istrinya dengan lembut dan menoleh ke makam bundanya. “Ibu pasti bahagia melihatku memiliki istri yang cantik, baik, dan salihah sepertimu,” lirihnya, lalu memandang sang istri. Rania tersenyum mendengar ucapan sang suami. “Ibu juga pasti lebih bahagia karena anaknya kini telah menjemput hidayah dan hidup dalam syariat Islam,” ujar Rania menghibur sang suami. Bara menyunggingkan senyum. Kata-kata sang istri selalu bisa menjadi penyejuk hatinya. “Ayo kita bersihkan, Kak,” ajak Rania. Bara mengangguk. Keduanya pun mulai membersihkan makam tersebut dari rumput-rumput yang tumbuh di sana. “Selalu doakan Ibu, Kak. Karena doa anak saleh, akan terus mengalir kepada orang tuanya,” tutur Rania setelah mereka selesai membersihkan makam tersebut. “Terima kasih, Sayang. Ibu tak pernah luput dari doa-doa Kakak. Tolong doakan ibu juga, ya,” pinta Bara dengan lembut. “Iya, Kak. Rania selalu mendoakan Ibu, meski belum pernah bertemu dengannya. Karena ibumu, ibuku juga.” Bara tersenyum dan mengelus kepala istrinya. Mereka pun meninggalkan pusara sang ibu setelah mendoakannya agar Allah mengampuni dosa-dosa ibunya semasa hidup. “Sekarang kita mau ke mana, Kak?” tanya Rania saat ia memakai helm. “Hmmm ... Kakak juga tidak tahu,” jawab Bara. Masih tampak kesedihan di wajahnya. “Ke pantai mau, Kak? Kita lihat sunset,” saran Rania. Ia ingin menghibur sang suami di tempat yang mungkin akan disukai lelaki itu, setelah bersedih di pusara ibunya. “Ke mana saja asal kamu senang, Istriku,” jawab Bara, yang justru membuat Rania tersipu. Mereka pun berangkat menuju sebuah pantai yang cukup indah. Tidak terlalu banyak pengunjung di sana karena hari sudah mulai sore dan bukanlah hari libur atau akhir pekan. Rania bisa menemani sang suami karena masih memiliki masa cuti di rumah sakit. Bara menggenggam erat tangan sang istri sambil berjalan menyusuri pantai. Ia biarkan ombak menyapu kaki mereka, seraya menikmati angin yang menyapu rambut Bara dan aroma air laut yang khas. “Kakak baru pertama kali ke sini,” ucap Bara. “Kakak senang ke sini?” tanya Rania. Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menghadap sang istri. Seraya tersenyum ia berkata, “Sangat senang. Ini tempat yang indah dan membuat kesedihan-kesedihan Kakak seperti terbang bersama angin. Apalagi bersamamu. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari ini.” Ucapan Bara lagi-lagi membuat Rania tersipu. Ia menunduk sambil memandangi ombak yang menyapu ujung gamisnya. Bara memegang dagu sang istri dan mengangkat sedikit hingga wajah mereka saling berhadapan. Ia tatap lembut sepasang mata indah wanita di hadapannya dengan penuh cinta. “Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?” ucap Bara. “Aku mungkin bukan lelaki yang bisa memberikan seluruh dunia kepadamu, tetapi aku ingin membahagiakanmu dan mendampingimu sampai di surga,” tuturnya. Rania tersenyum. Satu tangannya mengelus lembut pipi sang suami. “Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?” ucap Rania. “Semoga aku bisa menjadi istri salihah, sebaik-baik perhiasan untuk suamiku, di dunia dan di akhirat,” lanjutnya. Bara tersenyum. Ingin sekali ia memeluk erat wanita di hadapannya itu. Namun, ia masih sadar diri untuk melihat tempat dan situasi agar tidak memperlihatkan kemesraan di hadapan orang lain, meski mereka sudah berstatus sebagai suami istri. Ia hanya mencubit gemas pipi istrinya yang terbalut cadar, lalu merangkul pundak wanita itu untuk kembali berjalan menyusuri pantai nan indah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN