Part 43 (Bakat Terpendam)

1112 Kata
Warung Laa-Barania tampak ramai. Semua kursi yang tersedia untuk pengunjung sudah penuh. Di depan pintu, tampak beberapa pengunjung yang berdiri mengantre untuk bisa menikmati makanan di warung itu di tempatnya langsung, sambil menikmati suasana malam minggu yang cerah. Bara yang duduk di meja kasir juga tampak sibuk menerima p********n dari pengunjung yang baru saja selesai makan, juga pembeli yang membeli tanpa makan di tempat. Semakin hari, warung ayam penyet yang dikelola Bara semakin ramai dan terkenal. Omset yang dihasilkan juga terus meningkat. Menu makanan yang disediakan juga ia tambah. Tak hanya ayam goreng dan ayam bakar, serta ikan dengan menu yang sama, tetapi Bara juga menambahkan beberapa menu lainnya seperti ikan asam manis, ikan tiga rasa, seafood asam manis dan tiga rasa, juga aneka makanan berupa mie goreng Bara terus berusaha meningkatkan cita rasa makanannya dengan belajar dari berbagai resep yang banyak beredar. Saat pagi dan siang, di mana warungnya belum buka, Bara selalu berada di dapur mungil rumah kontrakannya untuk mempraktikkan resep-resep yang sudah ia simpan. Tak hanya sekali dua ia mencoba, tetapi Bara terus mencoba hingga mendapatkan hasil yang maksimal. Kemudian, ia akan mengajarkannya kepada karyawan di warungnya yang bertugas memasak. Pembeli silih berganti di warungnya. Tak sedikit pula yang membeli untuk di makan bersama keluarga di rumah. Bara yang sedang menerima uang dari pelanggannya, dikejutkan dengan kehadiran sang istri yang tidak memberi kabar terlebih dahulu jika hendak datang ke warung. “Assalamualaikum, Kak,” sapa Rania. “Waalaikumussalam, Istriku. Sebentar, ya,” pinta Bara. Rania mengangguk dan berdiri di samping sang suami. Bara tersenyum dan segera meminta salah seorang karyawannya untuk menggantikan tugasnya di kasir. “Ayo, ikut Kakak,” ajak Bara. Rania menurut. Tangannya digandeng oleh sang suami menuju samping warung. Tak lupa Bara meletakkan dua kursi di sana untuk ia dan sang istri. “Kenapa tidak bilang kalau mau ke sini, Sayang? Kan aku bisa jemput,” tanya Bara. “Maaf, Kak, kalau Rania tidak izin dulu. Niatnya mau kasih surprise ke suami,” jawab sang istri. Bara mengelus lembut kepala istrinya seperti biasa. “Kakak Cuma khawatir kalau kamu naik taksi sendirian malam-malam. Lain kali, kamu telepon Kakak, ya. Biar Kakak jemput.” “Iya, Kak.” “Terima kasih atas niat baiknya kasih surprise untukku,” ucap Bara lembut sambil menggenggam tangan sang istri, lalu menuntun ke bibirnya. Rania tersipu dan menarik tangannya. “Malu, Kak, nanti dilihat orang.” “Biarin saja. Anggap saja kita seperti pasangan lain yang lagi pacaran di malam minggu,” jawab Bara dengan santainya. “Ih, Kakak ...!” Rania merengek manja, membuat Bara semakin gemas. Jika tidak di tempat umum, sudah ia hujani sang istri dengan cinta yang mengundang pahala. Sekarang, ia hanya bisa mencubit kedua pipi istrinya sebagai pelampiasan rasa gemas dan sayangnya. “Mau minum apa, Sayang? Kamu mau makan?” tanya Bara. “Masih kenyang, Kak. Kan tadi baru makan berdua di rumah,” jawab Rania. Sepasang pengantin baru itu memang baru sejam lalu makan malam bersama di kontrakan mereka. Bara selalu menyempatkan makan malam berdua dengan sang istri, sekali pun ia sudah berada di warung sejak sore. “Kalau begitu kita minum saja. Jus jeruk?” Bara menawarkan opsi lain. Rania mengangguk. “Ayo ikut Kakak. Kita buat bersama biar lebih romantis,” ajak Bara. Rania kembali mengangguk dan mengikuti langkah sang suami menuju stan tempat pembuatan jus aneka minuman lainnya di warung itu. Keduanya membuat jus jeruk bersama. Kebahagiaan sederhana membuat rumah tangga keduanya terasa mesra dan harmonis. Mereka menghabiskan malam minggunya di warung itu sambil berbincang banyak hal, layaknya muda mudi yang sedang kasmaran. Bara semakin semangat jika sang istri ikut bersamanya di tempat ia mengais rezeki. Namun, tak mungkin bidadarinya bisa menemani setiap malam, karena keesokan harinya harus bertugas di rumah sakit. Dan Bara juga tak ingin Rania terlalu lelah akibat menemaninya di warung. *** Pagi-pagi sekali Bara sudah sibuk di dapur rumahnya untuk membuat sarapan. Rania yang ingin membantunya, ia larang dan hanya boleh duduk melihat kegiatannya pagi itu. “Biar aku yang menyiapkan sarapan pagi kita hari ini, Istriku,” ucap Bara, lalu mengecup lembut kening sang istri yang tak dibalut dengan kerudung. Rania mengenakan home dress selutut yang tampak seperti gaun. Ia sengaja memakai pakaian itu jika hanya berada di dalam rumah bersama sang suami, untuk menyenangkan mata suaminya. “Duduklah dan nantikan menu baru buatan suamimu,” pinta Bara. Rania menurut. Ia duduk di kursi makan yang baru mereka beli minggu lalu. Rania meletakkan kedua sikunya di meja dan menopang dagu dengan kedua tangan. Ia tersenyum melihat sang suami yang sedang sibuk di dapurnya dengan mengenakan kaus berwarna putih dengan celana jeans pendek, serta celemek memasak. Lelakinya tampak lebih tampan dan berkelas jika berjibaku dengan peralatan memasak. Ia penasaran apa yang sedang dimasak oleh imamnya itu. Bara sesekali menoleh ke belakang untuk melihat sang istri. Ada sedikit rasa grogi diperhatikan dengan saksama oleh wanita uang dicintainya itu kala ia memasak. Namun, ia semakin bersemangat untuk menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk wanita yang istimewa pula dalam hidupnya. Lima belas menit menunggu, akhirnya masakan sang suami sudah mendarat cantik di meja, tepat di hadapan Rania. Wanita cantik itu terperangah melihat makanan di depannya. Tiga potong pancake oatmeal dengan lelehan madu di atasnya, serta potongan-potongam buah stroberi segar yang ditata dengan indah dan menggugah selera. Rania bahkan sempat menelan ludah melihat menu sarapan yang baru pertama kali dibuat langsung oleh sang suami. “Kakak ... bisa bikin pancake?” tanya Rania antusias. Ia sangat ingin tahu, sejauh mana suaminya itu ahli dalam urusan masak-memasak. Bara tertawa kecil dan tersipu malu melihat ekspresi sang istri yang tampak terkejut. “Baru belajar. Tidak tahu rasanya seperti apa,” ujar Bara. Ia lantas melepas celemeknya dan duduk di kursi sebelah Rania sambil meletakkan satu piring lagi pancake untuk dirinya. Ia memotong pancake dan menyuapkannya terlebih dahulu untuk sang istri. “Bismillah,” ucap Rania sebelum membuka mulut. Ia mengunyah makanan itu dengan perlahan. Manisnya madu dipadu dengan pancake oatmeal yang manis dan gurih, membuatnya membuka mata lebar. “Masyaa Allah, benar-benar enak, Kak!” puji Rania dengan semangat. “Benarkah?” “He’em!” Rania lantas memotong pancake-nya dan menyuapkan ke mulut sang suami. Bara mengeluarkan ekspresi yang sama dengan Rania ketika merasakan makanan itu di lidahnya. “Iya, enak. Alhamdulillah,” ucap Bara. “Sepertinya suamiku punya bakat terpendam sebagai chef profesional!” Bara semakin tersipu dibuat sang istri. Ia merasa malu karena baru saja memulai belajar memasak sejak bekerja di warung. Ia akui, sejak itu dirinya memang senang membuat sesuatu dan bereksperimen di dapur. “Kakak tak hanya pintar memasak ikan dan lauk pauk, tapi juga bisa membuat makanan sejenis itu. Akankah kita buka restoran?” tanya Rania dengan senyum manisnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN