Matahari bersinar cerah di langit Ibukota Jakarta. Padatnya lalu lintas menjadi pemandangan sehari-hari di kota metropolitan itu. Asap knalpot kendaraan saling beradu, menciptakan polusi udara yang membuat Jakarta menjadi kota besar dengan udara yang tidak segar. Suara klakson mobil dan motor saling bersahutan. Semua pengendara berlomba-lomba untuk bisa mendahului agar tidak terlambat datang ke tempat tujuan mereka.
Di sebuah mobil hitam milik orang tua Rania, Bara dan Rania duduk di kursi tengah dengan tenang. Sang ayah yang duduk di balik kemudi, duduk tenang menunggu kemacetan sambil berzikir. Sedangkan sang istri duduk di sebelahnya.
Bagian belakang mobil penuh dengan barang-barang Rania dan satu koper pakaian milik Bara. Mereka akan memulai hidup baru hari ini di sebuah rumah kontrakan yang sudah dikontrak Bara untuk setahun ke depan. Keduanya memilih mengarungi bahtera rumah tangga di sebuah kontrakan kecil berdua, meski ibu Rania meminta keduanya untuk tinggal saja di rumah orang tua itu.
“Kami ingin belajar mandiri, Umi,” kata Rania dan Bara beberapa hari lalu, saat mereka memutuskan untuk meninggalkan rumah orang tua Rania, setelah beberapa hari menjadi sepasang suami istri.
Ayah dan ibu pengantin baru itu pun tersenyum. Mereka menyetujui apa pun keputusan anak dan menantunya itu asalkan itu baik dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Kini, Bara dan Rania sedang bersiap menuju sebuah rumah sederhana yang akan menjadi saksi perjalanan hidup rumah tangga mereka berdua.
Setelah kemacetan panjang, akhirnya mobil yang dikendarai ayah Rania bisa melaju ke tempat tujuan. Satu jam lebih menempuh perjalanan, kini mereka tiba di sebuah rumah kontrakan sederhana. Bara dan Abi mengangkat barang-barang dari dalam mobil ke rumah itu.
Setelah meminta kunci pintu pada pemilik kontrakan yang tinggal tak jauh dari rumah yang akan ditempati, Bara membuka pintu dan terlihat rumah yang masih kosong dari berbagai perabotan dan alat-alat rumah tangga.
Rumah itu jauh lebih kecil dari rumah orang tua Rania yang memiliki dua lantai dengan masing-masing ruangan yang cukup luas. Di rumah kontrakan ini, hanya terdapat dua kamar dengan ukuran 3x3 meter, kamar mandi di ruang makan dan dapur yang menyatu, juga satu ruang tamu dan ruang keluarga berukuran minimalis.
“Maaf, Abi, Umi. Saya baru mampu mengontrak rumah sederhana ini untuk Rania. Isinya insyaa Allah akan segera saya lengkapi,” ujar Bara kepada mertuanya.
“Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja. Semoga Allah mudahkan semua urusan kalian dan berkahi rezeki kalian,” sahut Abi.
“Aamiin. Dan yang terpenting, jalani rumah tangga dengan sabar, sesuai ketentuan Allah. Pahami masing-masing hak dan kewajiban suami. Belajar dan terus belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang bisa saling melengkapi dan mengingatkan kala salah satu berbuat kesalahan. Sebab, tidak ada manusia yang sempurna,” nasihat Umi.
Bara dan Rania mengangguk bersama.
“Terima kasih, Umi. Nasihat Umi dan Abi akan selalu kami ingat.”
“Bara, jangan sungkan-sungkan dengan Abi dan Umi, ya. Kamu sudah menikah dengan Rania, artinya kamu juga sudah menjadi anak kami,” ujar Umi dengan tutur katanya yang selalu lembut dan meneduhkan.
Hati Bara benar-benar luruh mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir ibu mertuanya itu. Matanya menghangat, dan ia mendongak sejenak agar genangan air mata tidak terlihat oleh mertuanya. Bara benar-benar merasakan kehangatan kedua orang tua lengkap, sebuah keluarga yang penuh dengan kasih sayang, yang belum pernah ia rasakan selama hidupnya. Hanya kasih sayang sang ibu lah yang ia rasakan di waktu kecil, yang ia tidak tahu di mana wanita yang melahirkannya itu dimakamkan.
***
Rania menemani sang suami ke sebuah pasar yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka saat ini. Pasar yang dulu menjadi saksi tragedi menyakitkan dalam hidup Bara. Tempat ia melihat sosok sang ibu terbaring dengan luka di perut hingga meregang nyawa. Tempat yang menjadi saksi ia pertama kali dibawa oleh lelaki berhati dan berkelakuan seperti iblis, yang telah ia bunuh dengan tangannya sendiri.
Bara bertanya ke sana ke mari, kepada beberapa pemilik toko yang ada di sana untuk mendapatkan informasi mengenai kasus pembunuhan yang terjadi lebih dari dua puluh tahun lalu. Pasar ini sudah banyak perubahan dibandingkan yang dulu. Sekarang lebih bersih dan tertata rapi dengan bangunan lapak yang lebih kokoh. Beberapa toko juga sudah berganti pemilik dan jenis barang yang dijual.
Ia dan Rania sudah cukup lelah bertanya dari satu tempat ke tempat lain. Namun, tidak ada hasil yang mereka dapatkan. Tak ada seorang pun yang mengaku mengetahui kejadian yang sudah teramat lampau itu.
Keduanya pun memilih beristirahat sejenak di sebuah warung pecal sambil menikmati sayuran dengan bumbu kacang, juga es campur serut yang nikmat.
“Sayang, terima kasih sudah menemaniku,” ucap Bara lembut pada sang istri yang setia menemaninya berlelah-lelah mencari informasi.
Rania tersenyum, tampak dari sudut kelopak matanya yang menyipit.
“Insyaa Allah, aku akan selalu menemani suamiku ke mana pun melangkah, selama itu tidak keluar dari koridor agama,” balas Rania.
Bara tersenyum lega sambil mengusap lembut kepala sang istri. Setelah mengisi perut, mereka menuju sebuah masjid yang terletak di dalam pasar itu untuk menunaikan kewajiban salat Zuhur kepada Yang Maha Merajai.
Selesai salat, Bara dan Rania duduk di serambi masjid.
“Setelah ini kita cari ke tempat tinggalmu waktu itu, Kak,” saran Rania.
Bara mengangguk. Ia juga sudah berencana akan ke sana setelah tidak mendapat informasi apa pun di pasar mengenai kasus mendiang ibunya.
Keduanya lantas beranjak ke wilayah tinggal Bara sewaktu hidup bersama sang ibu. Dengan hati yang diliputi rasa sedih, Bara mengendarai motor menuju kawasan yang sudah dua puluh tahunan tidak lagi ia datangi. Bahkan, ia nyaris melupakan tempat itu.
Kawasan yang tidak begitu jauh dari lokasi pasar itu ternyata sudah banyak perubahan. Rumah-rumah penduduk semakin padat dan tampak megah. Jika dulunya banyak rumah-rumah yang terbuat dari papan, kini sudah permanen dengan tembok bata yang sudah diplester dan dicat dengan berbagai warna yang dipilih oleh pemiliknya.
Bara menghentikan motornya di ujung jalan. Ia bingung harus mulai dari mana untuk bertanya. Orang-orang yang tinggal di sana juga pasti sudah berganti penghuni.
“Kita cari ketua RT-nya dulu saja, Kak,” saran Rania.
Bara mengangguk dan bertanya kepada salah satu warga yang melintas di sana untuk menanyakan rumah ketua RT. Mereka langsung menuju lokasi rumah RT setelah mendapatkan informasi.