Part 30 (Dia Bukan Ayahku)
Air mata Rania menjadi penawar dari semua rasa sakit ditubuh Bara. Ia kini berhasil membuka kedua matanya dengan sempurna, lalu berusaha bangkit dan berdiri tegak untuk menyelamatkan Rania dari markas terkutuk Bandot dan para pengikut setianya.
Rania yang masih berlutut di samping Bara, lantas mengucap hamdalah dalam hati. Ada perasaan sedikit lega melihat pemuda itu kembali berdiri.
Bara jongkok di hadapan Rania, lalu melepas ikatan di tangan gadis itu, kemudian membantu Rania untuk berdiri. Sejenak pandangan mereka bertemu. Sebuah pandangan yang menyiratkan akan kesedihan, kerinduan, juga rasa yang berusaha dikubur oleh kedua insan tersebut, justru semakin besar menguar.
"Jangan takut, aku akan melindungimu," ucap Bara lembut, seraya memandang wajah sendu Rania yang telah basah dengan air mata.
"Romantis sekali … bagai Romeo dan Juliet." Bandot bertepuk tangan melihat dua insan di hadapannya. Ia masih duduk santai di kursi seraya menyulut sebatang rokok.
"Hajar!" perintahnya kemudian kepada para pengikutnya, setelah sekali isapan kuat pada rokoknya.
"Mundur, Rania!" pekik Bara.
Gadis itu segera berlari beberapa meter ke belakang. Dengan tangan gemetar, ia menyaksikan Bara berkelahi melawan beberapa orang sekaligus dengan tangan kosong. Sebuah perlawanan yang sungguh tak seimbang jumlahnya.
“Ya Allah, lindungi dia …,” doa Rania. Ia berharap Allah segera mengirimkan pertolongan untuk mereka.
Di hadapannya, Bara terus melawan para pengikut Bandot. Meski dengan tenaga yang tersisa, tetapi semangat yang besar yang dihadirkan oleh Rania, membuat bara tak ingin menyerah begitu saja. Ia bertekad untuk keluar hidup-hidup bersama Rania dari tempat terkutuk itu.
"Hiyaak!" Sebuah tendangan tinggi ia layangkan dengan kaki kanannya dan mengenai tepa wajah salah satu lawan.
Satu lawan lainnya mencoba memukul wajah Bara, tetapi dengan gesit pemuda itu bisa menangkis pukulan tersebut. Dalam hitungan detik saja, kaki kanannya kembali terayun dan menendang orang tersebut hingga terjatuh. Namun, tiba-tiba seorang pengikut Bandot memukulkan balok dari belakang ke tengkuknya.
"Aak!" rintih Bara yang refleks memegang tengkuk dan terjungkal ke depan.
"Tidaaak …!" Rania menjerit menyaksikan Bara terkulai di lantai akibat pukulan tersebut.
"Kak Bara …!" Rania menjerit di tempatnya.
Para pengikut Bandot tak menyia-nyiakan kesempatan itu walau sedetik. Dengan beringas mereka langsung memukuli dan menendang pemuda itu meski ia sudah tidak berdaya.
"Rania …." Bara kini hanya bisa merintih, menyebut satu nama.
‘Ya Allah, lindungi dia,’ doanya dalam hati. Samar-samar pandangannya mulai gelap. Wajah Rania yang terus menangis dan memanggil-manggil namanya kini mulai kabur. Perlahan kesadarannya memudar.
Di saat ia sudah pasrah akan semua yang terjadi padanya, tiba-tiba ia seperti mendengar sebuah suara. Suara yang pada saat malam pertama kali bertemu dengan Rania, suara itu yang menyelamatkannya dari para pengikut Bandot yang mengejarnya untuk membawanya kembali ke markas.
Di dalam ruangan itu, suara sirene polisi terdengar jelas. Tak hanya satu, melainkan ada beberapa suara.
"Sial!" umpat Bandot seraya menekan rokoknya dengan kuat di pegangan kursi kayu yang ia duduki.
"Kakak?" gumam Rania. Iya yakin jika itu suara sirene kepolisian. Dan sang kakak pasti sudah tahu ia diculik dan dibawa ke tempat terpencil ini. Ada secercah harapan yang tumbuh di hati Rania.
“Kak Bara, bertahanlah …," lirih gadis itu sambil menatap Bara yang tergolek lemah di lantai dengan wajah penuh luka dan lebam.
Bara terkulai dengan tubuh menelungkup di lantai. Ia begitu lemah, bahkan sekadar untuk membuka mata pun sangat sulit baginya, meski ia masih bisa mendengar suara-suara di sekitarnya. Wajahnya penuh dengan luka lebam dan darah yang mengalir dari pelipis dan bibirnya. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit.
‘Polisi? Syukurlah …,’ batin pemuda itu.
"Tempat ini sudah kami kepung! Menyerah atau kami tembak mati!" Suara seorang aparat terdengar jelas di dalam ruangan.
Di luar gedung itu, Pandu dan semua timnya telah bersiap dengan senjata api yang ditodongkan ke arah pintu utama markas Bandot. Pandu meneriakkan ancaman melalui pengeras suara yang ia pegang, sedang satu tangannya memegang pistol yang siap menembak siapa saja dari pengikut Bandot yang berusaha untuk melawan atau kabur dari tempat itu.
"Menyerah? Hah! Yang benar saja! Polisi-polisi bodoh itu tak akan pernah bisa menangkapku. Ha-ha-ha!" Bandot berbicara pada dirinya sendiri. Ada getir ketakutan di hatinya, tetapi ia tak ingin orang melihatnya lemah.
Ia berdiri dan berjalan mendekati Bara yang tampak seperti orang pingsan. Dengan satu kakinya, ia membalikkan tubuh pemuda itu hingga telentang.
"Kau bersekongkol dengan polisi, hah?! Dasar pengkhianat! Kau pantas mati!" umpatnya sambil menendang kuat perut Bara.
“Tidak!” Rania menggeleng lemah melihat Bandot masih saja menyiksa Bara meski lelaki itu sudah tak berdaya. Ia bahkan tidak tahu apakah Bara masih bisa bertahan atau tidak setelah menerima pukulan dan tendangan dari para pengikut Bandot yang terkenal kejam dan tak kenal rasa kasihan.
Bandot meraba kantong celananya untuk mengambil sesuatu. Sebuah senjata api nyaris saja keluar sari sana sebelum akhirnya belasan polisi masuk ke ruangan itu dan menyergap semua pengikutnya.
"Jangan bergerak!" Seorang aparat yang tak asing lagi di mata Rania mengacungkan pistol ke arah kepala Bandot. Meski dari jarak beberapa meter, tetapi Pandu mampu menembak tepat sasaran. Sekali tembakan di kepala, bisa membuat Bandot kehilangan nyawanya.
"Sial!" gumam Bandot yang menyesali keterlambatannya. Sedetik saja polisi itu datang terlambat, nyawa Bara pasti habis ditangannya.
"Angkat tanganmu!" teriak Pandu.
Perlahan ketua gangster mengangkat kedua tangannya. Ia melirik ke segala arah. Semua pengikutnya kini telah diringkus oleh aparat.
"Jalan!" perintah Pandu sambil terus mengarahkan pistol ke Bandot.
Bandot berjalan satu dua langkah mendekati Pandu. Sangat perlahan. Ia mencoba untuk mengulur waktu agar bisa melarikan diri dari penyergapan itu.
Di belakangnya, perlahan Bara mulai membuka mata. Ia mencoba bangkit dengan tenaga yang tersisa. Tertatih ia berjalan ke arah Rania, dengan tubuh yang membungkuk. Sebab, ia tak mampu lagi berdiri dengan tegak.
Tanpa disadari, dengan sigap Bandot menarik pistol dari kantong celananya dan langsung berbalik badan, lalu mengarahkan moncong pistol ke arah Rania. Salam hitungan detik, Bandot langsung menarik pelatuk.
"Rania, awas …!" Bara yang melihat perbuatan Bandot segera melompat ke depan gadis itu untuk melindunginya.
"Aak!" Pemuda itu pun terjatuh di kaki Rania, dengan punggung mengeluarkan darah.
"Tidaaak …!" Rania menjerit. Kedua lututnya mendadak lemas melihat kejadian tak terduga itu. Kakinya begitu lemah untuk menopang tubuh. Ia pun terduduk di sisi Bara yang lagi-lagi tergeletak tak berdaya.
Secara bersamaan, peluru dari pistol Pandu mengenai tangan kanan Bandot. Membuat penjahat itu menjatuhkan senjatanya.
Bandot berusaha mengambil kembali senjatanya yang terlempar tak jauh dari tubuh Bara. Sayang, satu peluru dari pistol Pandu berhasil menembus kaki kanannya. Bandot pun tertekuk di lantai, lalu kembali mencoba mengambil pistolnya. Namun, lagi-lagi sebuah tembakan dari senjata di tangan Pandu mengenai kakinya. Kini, kedua kaki Bandot telah dilumpuhkan dengan senjata api.
Pandu segera berlari untuk meringkus pemimpin gangster itu. Ia menyimpan kembali senjatanya dan mengeluarkan borgol untuk menjerat kedua tangan Bandot. Namun, dengan tangan yang berlumur darah, pria bengis itu dengan sigap mengambil pistol di saku senjata Pandu dan mengarahkan ujung senjata ke wajah sang aparat. Ia hendak menarik pelatuk, sebelum akhirnya suara tembakan mengejutkan dua pria yang saling berhadapan itu.
Duar!
Duar!
Bandot terkulai di hadapan Pandu. Dua peluru menembus jantungnya. Ia menoleh ke arah Bara yang terbaring lemah menatapnya.
"Aku ... ayah kandungmu."
Lelaki itu mengembuskan napas terakhir setelah mengatakan sesuatu yang begitu mengejutkan. Meski terucap pelan, tetapi Bara masih bisa mendengar kalimat itu dari mulut Bandot sebelum lelaki itu menjemput ajalnya.
Kalimat itu bagai petir yang menyambar tepat di d**a. Bara tersentak. Apakah ia harus percaya atau tidak dengan apa yang dikatakan Bandot?
‘Ayah? Dia ... ayahku?’
Batin Bara menjerit sebelum ia kehilangan seluruh kesadarannya.
***
Seorang gadis berkulit putih, tinggi semampai bagaikan seorang model profesional, sedang menunggu jemputan di salah satu mal besar di tengah kota. Sepasang mata bulat dengan bulu mata yang lentik mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk. Tunangannya berjanji akan segera datang menjemput.
Hujan deras membasahi bumi tempat wanita itu menunggu. Lelaki itu tak kunjung datang setelah tiga puluh menit ia duduk di sebuah restoran cepat saji. Tak lama, sebuah pesan dari sang tunangan masuk ke ponselnya.
[Maaf, Sayang. Di kantor masih banyak kerjaan. Pulang naik taksi saja, ya?]
Gadis itu menghela napas. Calon suaminya begitu sibuk dengan pekerjaan. Terlebih di akhir bulan, banyak laporan yang dikejar deadline. Mau tak mau, ia harus pulang sendiri. Tak mungkin lagi menunggu tunangannya menjemput.
Hari sudah gelap. Jam di tangannya menunjukkan pukul 20.15. Wanita cantik itu melangkah keluar mal dan memesan taksi untuk mengantarnya ke rumah.
Jalanan menuju rumah yang biasanya tak terlalu ramai kendaraan lalu lalang, semakin sepi karena diterpa hujan deras. Cahaya lampu berjejer di trotoar, menerangi jalanan yang gelap di malam hari. Beberapa meter di depan taksi, tampak sebuah sepeda motor tengah melintang di tengah jalan. Memblokade jalan hingga sulit bagi taksi yang ditumpangi sang gadis untuk lewat.
Dua orang lelaki berdiri di samping motor. Salah satunya bersenjata laras panjang. Keduanya menyeringai. Mangsa baru berada di depan mata.
Ada rasa khawatir dan takut yang mendadak muncul di hati gadis itu. Jalanan itu memang terkenal sepi dan mencekam. Terlebih di malam hari. Para pelaku begal sering beraksi di sana. Ia yakin dua orang di depan sana adalah para pelaku begal yang selama ini beraksi mencelakai para korbannya. Ada yang cacat, dan tak jarang korbannya meregang nyawa.
Sopir taksi yang membawanya menoleh ke arah penumpang. Wajahnya mulai dibasahi peluh. Lelaki itu juga tampak ketakutan dan bingung harus bagaimana. Ia hentikan laju mobil sebelum berada dekat dengan dua orang misterius yang berdiri dekat motor itu.
Sang penumpang tampak ketakutan. Raut wajah cantiknya menegang. Ia meremas jari jemari.
"Putar balik, Pak!" pintanya segera.
Sopir taksi dengan sigap melajukan mobil, memutar balik arah. Lalu menekan gas dengan kuat setelah posisi lurus dengan jalan.
Prang!
Ciiiittt! Deru ban mobil yang mendadak berhenti beradu dengan aspal. Kaca mobil di jok sebelah sopir pecah. Sebuah batu berukuran kepalan tangan orang dewasa mengenai bahu sopir taksi.
Gadis itu semakin ketakutan. Kedua matanya mulai merah. Air matanya nyaris tumpah dengan apa yang kini menimpanya.
Sopir taksi itu hendak kembali menginjak pedal gas. Namun, seorang pria berkulit gelap melempar kaca mobil dengan keras menggunakan batu di sisi pengemudi. Sang sopir merintih, cairan merah kental mengalir dari keningnya akibat batu besar yang menghantam tepat di sana.
Bugh!
Lagi, sebuah batu menghantam kepala pengemudi taksi. Membuat lelaki paruh baya itu menyandarkan kepala di kemudi. Tak bergerak.
"Aaa!" Gadis itu menjerit melihat kondisi sopir taksi yang sudah tak ada lagi pergerakan. Ia tak tahu apakah sopir itu pingsan atau sudah kehilangan nyawa. Detak jantungnya serasa berhenti sesaat akibat merasakan ketakutan yang teramat sangat. Alarm dalam dirinya memberikan peringatan akan bahaya yang mengancam.
Dua orang dengan motor yang menghadang tadi, kini sudah berada di depan mobil. Ternyata, mereka tak hanya berdua saja menjalankan aksi kriminal itu, karena lelaki yang melemparkan batu ke arah sopir taksi bersembunyi di balik rumput lalang.
Lelaki itu langsung membuka pintu mobil, lalu menarik sopir taksi yang tak sadarkan diri keluar, dan melemparnya ke semak-semak.
Gadis di dalam mobil itu mencoba mencari kesempatan. Ia pun bergegas membuka pintu taksi dan keluar dari sana. Ia terus berlari di tengah hujan. Namun, dua orang yang berada di motor berhasil mengejarnya dan menyeretnya kembali untuk masuk ke dalam taksi yang ia tumpangi.
Lelaki yang melempar tubuh pengemudi taksi itu langsung masuk ke mobil dan menutup pintu setelah sang gadis duduk kembali di kursinya sambil dipegangi erat oleh salah satu dari dua orang yang tadi mengejarnya menggunakan motor.
Mobil taksi itu pun melaju ke sebuah tempat yang sepi dan jauh dari jalanan. Sesampainya di sana, lelaki bengis yang mengemudikan taksi itu segera turun dari mobil dan menyeret gadis itu ke sebuah bangunan tua yang sepi.
Gadis itu menjerit. Teriakannya sangat menyayat hati. Ia meronta, berusaha melepaskan diri. Sayang, cengkeraman lelaki itu begitu kuat. Ia lalu tak sadarkan diri setelah menerima sebuah tamparan keras dari tangan kekar dan legam pria yang diketahui sebagai pimpinan kelompok begal yang selama ini meresahkan warga.
Bandot. Ia begitu senang mendapatkan mangsa baru yang cantik seperti model. Dengan beringas ia melakukan perbuatan b***t yang selama ini dilakukannya terhadap para korban wanita.
Tawanya menggelegar setelah ia mendapatkan apa yang terjaga dari diri gadis itu. Tawa yang membuat seorang pemuda begitu membenci dirinya sendiri. Tawa yang akhirnya membuat pemuda yang terbaring di brankar rumah sakit, tersadar dari tidur panjang beberapa hari di sana.
Bara tersentak. Napasnya memburu. Bahunya naik turun mengikuti irama napasnya. Bayang-bayang wajah sang ibu dalam mimpi membuat dadanya begitu sesak. Terlebih, wajah lelaki b***t itu, yang membuat dadanya semakin sakit bagai dihantam bongkahan batu besar.
‘Tidak mungkin! Tidak! Semua hanya mimpi!’
***