Part 18 (Rahasia Pandu dan Rania)
Suasana di sebuah rumah berlantai dua dengan cat putih sekeliling temboknya itu masih terlihat sepi. Hanya ada dua orang kakak beradik di sana, Pandu dan Rania. Kedua orang tua mereka masih belum kembali dari tanah suci untuk menunaikan ibadah umrah. Selama kepergian orang tuanya, ada banyak hal yang terjadi kepada Pandu dan Rania.
"Kak, apakah dia membaca buku-buku yang Rania berikan?" Rania duduk di sebelah Pandu yang tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Pemuda tanpa asal usul itu?" Ucapan Pandu terdengar sinis.
"Namanya Bara, Kak."
"Siapa pun namanya, kau tidak perlu terlalu memperhatikannya. Untuk apa kau menanyakannya?”
Pandu benar-benar tak bisa menutupi rasa tidak senangnya terhadap Bara. Terlebih jika sang adik, Rania bertanya tentang pemuda itu.
Rania menghela napas panjang mendengar kata-kata Pandu yang terasa pedas baginya.
“Hanya menanyakan itu saja, apa salahnya, Kak? Sebagai sesama Mus—“
“Jangan beralasan sebagai sesama Muslim. Kakak tahu betul alasanmu sebenarnya bukan Cuma itu!” sela Pandu yang langsung to the point menuduh adiknya tanpa basa-basi.
Pipi Rania mendadak memerah, antara marah atas ucapan sang kakak, juga malu karena seperti telah tertangkap basah memberi perhatian kepada pemuda yang saat ini sedang menjalani hukuman di dalam ruang tahanan.
“Kakak terlalu berburuk sangka pada adik sendiri,” sanggah Rania.
“Berburuk sangka? Kau bilang Kakak berburuk sangka padamu?” sindir Pandu. “Sudah berapa tahun kamu menjadi adikku? Sudah berapa tahun kita hidup serumah? Sejak kamu lahir sampai sekarang, Rania! Kakak tahu persis bagaimana karaktermu!”
“Kakak pikir Rania orang seperti apa?” Suara Rania bergetar mengatakan ia. Ucapan sang kakak kali ini benar-benar menyakitinya meski tidak diucapkan secara langsung dan detail. Namun, Rania merasa sang kakak sedang menguliti dan menganggapnya hanya peduli kepada Bara saja.
“Maaf ...,” ujar Pandu setelah melihat raut wajah sang adik yang tampak sedih setelah mendengar ucapannya.
“Kakak tahu kau selalu peduli terhadap sesama Muslim. Tapi, kau tidak pernah seperti ini terhadap laki-laki, Rania. Bahkan seorang ikhwan yang alim sekali pun.” Kali ini Pandu berbicara lebih lembut dan berhati-hati untuk menjaga perasaan adiknya.
Rania menunduk menahan tangisnya. Ia menatapi lantai keramik untuk menghindari tatapan kakaknya.
“Kau tidak bisa menyembunyikan perasaanmu di depan Kakak, Rania. Kau sudah dewasa, pasti sudah paham apa yang Kakak maksud.” Pandu mengelus lembut kepala sang adik.
Mendapatkan perlakuan hangat dari sang kakak, Rania tak mampu lagi menahan air matanya. Ia menangis, membiarkan air mata mengalir di kedua pipinya, lalu menetes ke lantai.
Melihat sang adik menangis, Pandu tak lagi bisa berkata-kata. Ada rasa bersalah di hatinya telah membuat hati adiknya terluka. Kini, ia hanya bisa mengusap kepala sang adik agar segera tenang dan kembali bicara dari hati ke hati.
Setelah beberapa saat hening, Rania akhirnya merasa lebih tenang. Ia menghapus air mata dan menghadap sang kakak.
"Rania hanya ingin orang yang berniat untuk hijrah mendapatkan dukungan, Kak. Mendapat tuntunan untuk menjalankan syariat," tutur gadis itu. Ia masih saja mengelak untuk mengakui perasaannya terhadap Bara di hadapan sang kakak.
"Kau masih saja mengelak, Rania?” ucap Pandu kesal. Ia masih tak habis pikir mengapa adiknya terus saja berkilah.
“Jangan pikir Kakak tidak tahu perasaanmu untuk Bara. Sorot matamu itu jelas sekali mengatakan kalau kau menyukainya." Pandu tak tahan lagi untuk tidak mengatakan hal itu kepada adik satu-satunya itu. Di matanya, Rania tidak pernah menangis demi seorang pria. Sang adik adalah gadis lugu yang begitu taat akan perintah agama. Ia paham betul akan dosa yang disebabkan oleh sebuah kata yang disebut Cinta.
Rania tertunduk. Kedua matanya kembali menghangat. Semburat gerimis tengah menari-nari di sana. Ia tak menyangka perasaan yang berusaha ia tata dengan baik, mampu terlihat dengan jelas oleh sang kakak.
"Apa menyukai seseorang itu sebuah kesalahan, Kak?" lirihnya. Akhirnya ia mulai mengakui apa yang ada dalam hatinya kepada sang kakak.
Rania menatap Pandu yang tampak frustrasi akan sikapnya. Air mata pun kembali mengalir di kedua pipi gadis berhidung mancung itu.
"Kau menangis demi lelaki itu, Rania? Lelaki yang bahkan kita tidak tahu dia sebenarnya siapa, asal usulnya, keluarganya?”
"Dia punya nama, Kak."
“Apa cukup hanya dengan tahu namanya? Apa kau yakin itu nama aslinya?”
Rania menggeleng. Ia memang tidak tahu apa pun tentang Bara, kecuali kehidupan lelaki itu yang jauh dari agama, yang terbukti dari ketidaktahuan Bara akan dasar-dasar agamanya sendiri, akan perintah Tuhannya.
“Rania hanya tahu dia ingin bertobat dan menjadi seorang Muslim yang baik, Kak,” jawab Rania.
Pandu semakin frustrasi dengan jawaban-jawaban yang dilontarkan sang adik. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi terhadap seorang gadis yang hatinya tengah dilanda asmara. Ia tak mengerti bagaimana menghadapi orang seperti itu.
"Rania, apa kau sadar apa yang kau lakukan? Ke mana ilmu agama yang selama ini kau pelajari?"
"Apa yang salah, Kak? Apakah menyukai seseorang adalah sebuah kesalahan?" Rania terus menangis di hadapan Pandu.
"Kau tahu itu bisa menimbulkan zina hati, Rania!"
"Rania paham, Kak. Karena itu Rania berusaha sekuatnya menata hati Rania. Apa Rania salah?"
"Kau menyukai lelaki yang salah," ucap Pandu pelan. Ia melemparkan pandangan pada secangkir kopi di meja.
"Karena dia bukan lelaki yang mengerti dan menjalankan agama seperti Kakak?"
"Kau tidak tahu bagaimana kehidupannya."
"Apa seseorang yang bertobat masih akan dicap sebagai penjahat?" lirih Rania.
"Kau tidak tahu siapa dia, Rania!" Suara Pandu mulai meninggi. Lelaki itu pun menatap tajam sepasang mata adiknya.
"Kalau begitu beri tahu aku siapa dia, Kak!" ucap Rania tegas.
"Kau akan tahu nanti. Tidurlah, besok Abi dan Umi tiba." Pandu melangkah ke kamarnya, meninggalkan Rania yang kembali terisak di sofa. Ia tak ingin lagi berdebat dengan adiknya, yang ia anggap matanya sudah tertutup oleh sebuah rasa bernama cinta. Cinta yang tak seharusnya dipelihara sang adik kepada lelaki yang bukan suaminya. Terlebih lelaki seperti Bara, yang masih ia ragukan hijrahnya.
Pandu berhenti melangkah sebelum berbelok ke kamarnya. Ia menoleh pada sang adik yang masih menunduk di sofa.
“Menikahlah!”
Ucapan Pandu membuat Rania menoleh, menatap heran pada kakak satu-satunya itu.
“Kau memang sudah harus menikah, Rania. Menikahlah agar bisa menjaga diri dan agamamu. Akan Kakak carikan lelaki saleh yang bisa menjadi suami terbaik untukmu,” ujar lelaki itu sebelum benar-benar meninggalkan adiknya sendiri di ruang tengah.
Rania tertegun sekaligus terkejut akan ucapan kakaknya. Ia tak menyangka sang kakak akan memberikan solusi seperti itu padanya.
Gadis itu mengusap air matanya. Ia tak ingin memedulikan apa yang baru saja dikatakan Pandu. Kali ini, ia benar-benar penasaran akan sosok Bara. Dari kalimat-kalimat yang diucapkan sang kakak saat masih duduk di sofa tadi, ia menebak bahwa Pandu mengetahui seluk-beluk tentang pemuda yang selalu ia sebut namanya dalam doa itu.
"Apa yang sebenarnya Kakak sembunyikan dari Rania? Kenapa Kak Pandu harus menyembunyikannya? Perasaan ini, terlanjur tumbuh tanpa Rania sadari, Kak …," rintih gadis itu.
***
Sinar cerah mentari pagi menyambut kepulangan kedua orang tua Rania dan Pandu dari tanah suci. Sudah dua minggu orang tua mereka meninggalkan rumah. Selama itu pula, banyak hal terjadi pada kedua anaknya.
"Abi, Umi, Rania rindu …," ucap bungsu dari dua bersaudara itu seraya memeluk kedua orang tuanya.
"Abi dan Umi juga rindu. Kalian sehat-sehat saja, kan?" tanya Umi.
"Alhamdulillah sehat, Umi."
Pandu mencium tangan kedua orang tuanya. "Abi dan Umi pasti lelah," ucapnya.
"Lelah sudah pasti, tapi bahagianya lebih," jawab Abi.
Semuanya tersenyum senang mendengar jawaban sang ayah.
“Doakan Rania dan Kak Pandu juga bisa ke tanah suci, ya, Bi,” ujar gadis itu.
“Tentu, Sayang. Tanpa kalian minta pun, Abah dan Umi selalu mendoakan untuk kalian. Insyaa Allah Rania dan Pandu juga bisa berangkat ke tanah suci,” tutur Abah sembari mengusap kepala anak gadisnya yang masih duduk di antara ayah dan ibunya itu.
Rania kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk menuangkan teh hangat di meja ke dalam gelas, dan memberikan kepada kedua orang tuanya.
"Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Abi seraya meneguk teh buatan putrinya.
"Alhamdulillah tinggal menunggu sidang, Bi."
"Alhamdulillah. Kamu Pandu, dua minggu lagi akan menjadi seorang suami. Persiapan pernikahannya lancar?"
"Alhamdulillah lancar, Bi. Zahra dan keluarganya telah mengatur konsep dan rangkaian acara."
"Syukurlah. Sebentar lagi kami memiliki menantu," ucap Umi dengan raut wajah bahagia.
“Mungkin juga tak lama lagi akan ada calon menantu lagi, Umi. Rania sepertinya sudah siap untuk menikah,” ujar Pandu sambil melirik sang adik.
Rania yang terkejut mendengar penuturan sang kakak, hanya bisa tersenyum di depan ayah dan ibunya. Ia tak ingin membantah dan menimbulkan perdebatan dengan kakaknya itu di depan kedua orang tua.
“Wah, benarkah? Baru dua minggu Abah dan Umi pergi, sudah ada kabar bahagia lainnya.” Wajah ibu dari kedua kakak beradik itu tampak bahagia. Begitu pula dengan sang ayah.
“Tidak, Umi. Kak Pandu hanya bercanda.” Akhirnya Rania membuka suara. “Oh iya, bagaimana perjalanan Abi dan Umi di sana? Rania mau dengar,” ujar gadis itu dengan antusias. Rania memang sangat ingin pergi beribadah ke tanah suci.
“Nanti akan Umi ceritakan. Sebelumnya, ada cerita apa di rumah selama Abi dan Umi umrah?" tanya Abi sambil menikmati pisang goreng buatan anak gadisnya. Ada beberapa hidangan di meja, termasuk makanan yang dibawa kedua orang tua itu sebagai oleh-oleh dari tanah suci. Namun, tetap pisang goreng yang menjadi pilihan sang ayah.
Kedua kakak beradik itu saling memandang, mengisyaratkan satu sama lain untuk tidak mengatakan apa pun. Hal itu tertangkap oleh kedua orang tuannya dan membuat orang tua mereka bertanya-tanya heran.
"Ada apa? Sepertinya kalian menyembunyikan sesuatu?" tanya Umi.
"Tidak ada, Umi. Semuanya berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berbeda,” jawab Pandu segera.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Abi.
"Oh ya, Rania. Nanti kamu antarkan oleh-oleh untuk Pak Amin, ya," pinta Umi.
"Iya, Umi."
***